Karakteristik Rumah Tangga Responden

pemerintahan. Masalah tersebut terutama dirasakan oleh penduduk di Desa Citayam dan Sasakpanjang. Selain infrastruktur transportasi darat, infrastruktur komunikasi juga memliki peran yang tidak kalah penting dalam mendukung pengembangan wilayah. Pelayanan telekomunikasi di Kecamatan Tajur Halang dikelola oleh Kantor Pelayanan PT.Telkom Tbk. Cabang Bogor, serta didukung pula oleh beberapa perusahaan penyedia layanan telepon seluler yang telah menjangkau seluruh wilayah Kecamatan Tajur Halang.

4.6 Karakteristik Rumah Tangga Responden

Total jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 responden, yang terbagi ke dalam kelompok petani pemilik lahan sebanyak 19 responden dan buruh tani sebanyak 11 responden. Karakteristik rumah tangga responden dalam penelitian ini dikelompokan berdasarkan umur, dan pendidikan. 4.6.1 Umur Faktor umur secara bersama-sama dengan faktor keahlian dan tingkat pengetahuan akan mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Demikian pula halnya pada pengelolaan hutan rakyat atau budidaya pertanian lain pada umumnya. Kekuatan fisik akan sangat dipengaruhi oleh umur karena pada batas usia tertentu kekuatan fisik seseorang akan semakin menurun. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara komulatif, rata-rata umur seluruh petani responden pada lokasi penelitian adalah 49,67 tahun dengan kisaran umur 33-82 tahun. Informasi di atas dapat digunakan sebagai indikasi awal untuk menyatakan bahwa di lokasi penelitian, usaha tani hutan rakyat cenderung diusahakan oleh petani-petani berusia tua. Indikasi awal tersebut dapat diperkuat oleh data distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat pada Tabel 4. Tabel 4 Distribusi kelompok umur responden petani hutan rakyat Kelompok umur tahun Lokasi desa orang Jumlah orang Frekwensi Citayam Sasak panjang Kali suren Tajur halang Sukma jaya 30 - 34 1 1 2 6,67 35 - 39 1 1 1 3 10,00 40 - 44 1 2 1 4 13,33 45 - 49 2 1 1 1 5 16,67 50 - 54 1 3 2 1 7 23,33 ≥ 55 2 4 3 9 30,00 Jumlah 5 5 6 9 5 30 100,00 Tabel 4 menunjukkan bahwa pada 5 desa contoh sangat jarang dijumpai petani hutan rakyat yang berusia muda. Hanya sebesar 6,67 responden yang mengusahakan hutan rakyat berada pada rentang usia 30-34 tahun, dimana di sisi lain sebesar 30,00 berada pada rentang umur di atas usia produktif ≥ 55 tahun. Informasi tersebut dapat menggambarkan bahwa usaha tani hutan rakyat kurang menarik untuk diusahakan bagi petani dan penduduk berusia muda. Penduduk usia muda lebih tertarik kepada dunia kerja sebagai buruh pabrik, karyawan swasta, dan pegawai negeri sipil. Gengsi dan pikiran bahwa usaha tani tidak memberikan hasil yang besar adalah penyebab penduduk usia muda enggan untuk berusaha di bidang pertanian. Pekerjaan dalam dunia manufaktur lebih menarik penduduk usia muda di Kecamatan Tajur Halang, harapan mereka adalah dengan bekerja sebagai buruh pabrik akan mendapatkan hasil yang lebih besar dan berkelanjutan setiap bulannya. Berbeda dengan kelompok usia muda, penduduk pada kelompok usia tua menunjukan etos kerja yang lebih tinggi dalam mengusahakan hutan rakyat dan memiliki keinginan yang kuat untuk terus mengelola hutan rakyat yang dimilikinya dengan alasan, yaitu: 1. Keterbatasan fisik. Usia yang lanjut membatasi kemampuan fisik untuk berusaha pada bidang-bidang usaha yang memerlukan curahan kerja tinggi. Mengusahakan hutan rakyat hanya membutuhkan curahan kerja yang kecil. Dengan mengusahakan hutan rakyat, curahan kerja lebih banyak terpusat hanya pada tahun pertama dan tahun kedua. 2. Harta waris. Penduduk usia tua masih menganggap kayu sebagai harta warisan dengan nilai tinggi kepada anak dan cucu. Penduduk usia tua tidak mengharapkan hasil hutan rakyat yang besar di akhir produksi untuk dinikmati oleh dirinya sendiri, melainkan lebih ditujukan sebagai tabungan atau untuk dinikmati oleh anak dan cucu. 4.6.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan akan mempengaruhi prilaku, pola pikir dan respon masyarakat terhadap suatu informasi dan perubahan. Sebanyak 90 petani responden di lokasi penelitian pernah mengenyam pendidikan formal. Secara komulatif, rata-rata responden mengenyam pendidikan formal sampai dengan jenjang SD, yaitu sebanyak 23 orang atau sebesar 76,67 dari total petani responden memiliki tingkat pendidikan SD, 4 orang atau sebesar 13,33 dari total petani responden memiliki tingkat pendidikan SMP, dan sebanyak 3 orang atau sebesar 10 dari total petani responden tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali. Informasi ini menunjukan bahwa kebanyakan responden tidak menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun. Hal tersebut dapat dipahami karena beberapa faktor, yaitu: 1 kondisi ekonomi keluarga yang tidak mendukung untuk melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ketika responden berada pada usia sekolah, 2 kurang tersedianya sarana pendidikan ketika responden berada pada usia sekolah serta adanya faktor pembatas berupa jarak yang jauh untuk mencapai sarana pendidikan yang ada, dan 3 ketika pada usia sekolah, waktu responden lebih banyak dicurahkan untuk membantu orang tua di sawah maupun ladang. Hal ini dapat dijadikan indikasi awal bahwa tingkat pendidikan responden memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap keputusan responden dalam mengusahakan atau tidak mengusahakan hutan rakyat. Terlihat bahwa mayoritas petani hutan rakyat hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dibawah 9 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi keputusan petani untuk mengusahakan hutan rakyat. Tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi prilaku, pola pikir dan respon petani yang sederhana. Menurut petani usaha hutan rakyat dapat memberikan keuntungan yang besar, dapat dijadikan tabungan, dan dapat dijadikan penanda kepemilikan lahan. Petani yang mayoritas adalah petani palawija berpikir jika hasil penjualan kayu pada hutan rakyat jauh lebih besar ketimbang hasil penjualan palawija mereka, hal inilah yang mejadi dasar pemikiran mereka bahwa usaha hutan rakyat memberikan keuntungan yang besar. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penguasaan Lahan Hutan Rakyat