Kebijakan Pemerintah Analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu

36 mempengaruhi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumber daya ikan. 2 Strategi Harga dan Pemasaran Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Sistem pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumber daya ikan yang ada. Hal ini disebabkan strategi harga dan pemasaran yang tepat, dapat berdampak pada perolehan harga ikan yang optimal dan pada akhirnya akan memberikan pendapatan yang optimal pula.

3.5 Kebijakan Pemerintah

Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 18Men2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2001-2004, disebutkan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai suatu organisasi perikanan yang bertanggung jawab melaksanakan sebagian tugas pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. Lembaga ini memiliki tugas pokok dalam membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dalam bidang kelautan dan perikanan. Adapun fungsinya antara lain adalah melakukan: 1 Penetapan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan untuk mendukung pembangunan secara makro. 2 Penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di bidang kelautan dan perikanan. 3 Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil. 37 4 Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah laut diluar 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya. 5 Penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan hukum laut internasional. 6 Pemberian ijin di bidang kelautan dan perikanan, di wilayah luar 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya, serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya. Over fishing secara simultan disebabkan oleh baik armada perikanan tangkap skala industri industrial fisheries, perikanan sekala kecil artisanal fisheries, perikanan yang bersifat rekreasional maupun komersial, penangkapan oleh nelayan asing maupun lokal, dan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang illegal maupun legal. Perikanan skala kecil menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumber daya. Perikanan skala besar yang sangat potensial sebagai penyebab over fishing terutama karena lemahnya penegakkan hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan ukuran effort. Sistem manajemen perikanan konvensional saat ini masih berpedoman pada: 1 pembatasan volume hasil tangkapan; 2 pembatasan alat tangkap ukuran mata jaring, 3 pembatasan effort jumlah alat tertentu. Menurut Fauzi dan Anna 2005 dari hasil analisis ekonomi sumber daya didapatkan kondisi perairan pesisir yang sangat padat. Hal ini dapat terjadi karena perikanan bersifat quasi open accees. Untuk efisiensi pemanfaatan sumber daya ikan harus melakukan rasionalisasi armada penangkapan dengan membatasi jumlah armada. Pengaturannya yaitu kapasitas 0 – 10 GT izin 38 operasinya tetap di perairan pesisir hingga 4 mil. Untuk kapasitas 20 – 30 GT sebaiknya diarahkan beroperasi ke perairan yang berjarak lebih dari 12 mil. Jalur penangkapan ikan bertangung jawab disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.6071976 Jalur penangkapan Tertutup bagi 0 – 3 mil Kapal penangkapan ikan bermesin dalam Inboard berukuran diatas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring Trawl, jaring pukat Purse Seine, jaring lingkar Gillnet, jaring hanyut tongkol Drift gill net dan jaring pukat di atas 120 meter panjang rentang Saine Nets Longer 3 – 7 mil Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 25 GT atau berkekuatan di atas 25 GT atau berkekuatan di atas 50 DK; jaring Trawl dasar berpanel Otter Board yang panjang taliris atas bawahnya di atas 12 meter, jaring trawl melayang Pelagic Trawl, jaring trawl yang di tarik 2 kapal Pair Trawl, dan pukat cincin yang panjangnya di atas 300 meter 7 – 12 mil Kapal penangkap ikan inbord berukuran di atas 100GT atau berkekuatan di atas 200 DK; jaring trawl dasar dan melayang berpanel Otter Board yang panjang tali ris atas bawahnya di atas 20 meter, pair trawl, dan pukat cincin yang panjangnya di atas 600 meter. 12 – 200 mil Pair trawl, kecuali di perairan Samudra Indonesia Dalam konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan FAO melalui perikanan yang bertanggung jawab code of conduct for responsible fisheries dan kelestarian sumber daya ikan dengan cara memanfaatkannya seoptimum mungkin, menjadi fokus perhatian dunia. Upaya perencanaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya ikan secara komprehensif dan berhasil guna, hendaknya ditindak-lanjuti dengan penyiapan pembangunan yang baik. Dengan pengelolaan yang tepat dan optimal, maka diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan Purbayanto et al. 2004. 39 Sumber daya ikan itu sangat penting bagi pembangunan yang berbasis sumber daya resource-based development. Tanpa sumber daya, pembangunan perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya ikan adalah jantungnya pembangunan perikanan. Jika ada upaya untuk mengelola sumber daya ikan, secara implisit hal tersebut berarti menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan. Sebab itu, tujuan mengelola sumber daya sering juga disamakan dengan tujuan pembangunan perikanan Nikijuluw 2002. Di kawasan Asia Tenggara, tujuan sosial dan ekonomi seringkali bertentangan dalam pengelolaan penangkapan ikan daerah pantai. Di negara yang pemerintahannya menekankan tujuan-tujuan ekonomi, kebijaksanaan ditujukan untuk menjamin persediaan ikan yang memadai dengan harga yang dapat dijangkau oleh para konsumen lokal, guna meningkatkan pendapatan valuta asing dari sektor produk-produk perikanan seperti udang, dan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi tingkat keuntungan dalam sektor perikanan Bailey 1988. Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF adalah salah satu hasil kesepakatan dalam konferensi FAO pada tanggal 31 Oktober 1995 untuk menyusun petunjuk teknis perikanan bertanggung jawab. Tata laksana ini menjadi azas dan standar internasional mengenai pola perilaku praktek bertanggung jawab dalam pengusahaan sumber daya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumber daya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan sumber daya hayati DKP, 2003a. Kebijakan dan perencanaan perikanan merupakan elemen paling kritis dalam sistem pengelolaan perikanan. Efektivitas pengelolaan perikanan 40 didasarkan pada tujuan sosial dan melalui penggunaan kebijakan serta perangkat birokrasi yang sesuai Charles 2001. Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapanpengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara bebas. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Terdapat beberapa aspek yang berpengaruh dalam kegiatan perikanan tangkap untuk dikembangkan di suatu kawasan konservasi, antara lain: 1 aspek biologi, berhubungan dengan sediaan sumber daya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan spesies, 2 aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat, 3 aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak usaha terhadap nelayan, dan 4 aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders Charles 2001.

3.6 Aspek Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan