c Kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuff, dan batuan vulkan intermedier sampai dengan basis, terdapat di kawasan Gunung Gede –Gunung
Pangrango yang berasal dari lava dan batuan hasil kegiatan gunung berapi. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa kondisi topografi kawasan
perluasan tidak berbeda dengan topografi yang secara umum ada di kawasan TNGGP, mulai dari topografi datar sampai bergunung.
Kawasan TNGGP merupakan rangkaian gunung berapi, terutama Gunung Gede 2.958 m dpl dan Gunung Pangrango 3.019 m dpl. Topografi kawasan
bervariasi, mulai dari topografi landai hingga bergunung mulai ketinggian 700 m hingga 3000 m dpl, banyak terdapat jurang dengan kedalaman hingga 70 m.
Sebagian besar kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil lagi merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum
yaitu Rawa Gayonggong. Pada bagian Selatan kawasan yaitu daerah Situgunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit seperti
bukit Masigit dengan kelerengan 20-80 . Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang
berbentuk tapal kuda, sepanjang ± 2.500 meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan
Sukabumi. Data kelas lereng kawasan TNGGP seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Data Kelas Lereng Kawasan TNGGP
Simbol Kelas Lereng Luas
ha Persentase
Keterangan A
0-3 3.543,75
15,51 Datar
B 3-8
1.675,50 7,33
Landai C
8-15 1.502,35
6,57 Berombak
D 15-25
2.365,15 10,35
Bergelombang E
25-40 6.292,75
27,54 Berbukit
F 40
7.471,50 32,70
Bergunung Jumlah
22.851 100
Luas Total TNGGP Sumber BBTNGGP, 2009
Iklim
Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson, iklim di kawasan TNGGP termasuk dalam Tipe A Nilai Q = 5-9 . Suhu udara rata-rata di puncak Gunung
Gede dan Gunung Pangrango pada siang hari berkisar 10
o
C dan di Cibodas berkisar 18
o
C dan pada malam hari berkisar 5
o
C. Pada musim kering atau kemarau suhu udara bisa mencapai 0
o
Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di sekitar jalur pendidikan wilayah Resort Mandalawangi. Jenis
puspa terbesar dengan diameter 149 cm ditemukan di jalur pendakian Selabintana – Gunung Gede dan pohon jamuju terbesar di wilayah Pos
C. Rata-rata curah hujan tahunan 3000- 4200 mm sehingga merupakan salah satu daerah terbasah di Pulau Jawa. Angin
Muson pada bulan Desember – Maret musim penghujan bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan tinggi, pada musim kemarau angin bertiup dari arah
Timur Laut dengan kecepatan rendah.
5.2.2. Biodiversitas TNGGP
Kawasan TNGGP mempunyai keanekaragaman jenis burung terbanyak di Pulau Jawa. Potensi fauna berupa 300 spesies insekta, 250 spesies aves burung,
75 spesies reptilia, 20 spesies amphibia, dan 110 spesies mamalia.
Kawasan TNGGP juga memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi, terdapat berbagai macam jenis tumbuhan antara lain: tumbuhan berbunga 1500 spesies,
paku-pakuan 400 spesies, lumut 120 spesies, dan telah teridentifikasi 300 spesies tumbuhan obat diantaranya disajikan 108 jenis tanaman obat dalam
Lampiran 1, dan 10 spesies berstatus dilindungi. Biodeversitas TNGGP tercermin
dalam daftar-daftar flora dan fauna TNGGP. Flora Endemik TNGGP
Kawasan TNGGP memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi, terdapat 43 spesies flora endemik Gede Pangrango. Lebih kurang 1.000 jenis flora dengan
57 famili ditemukan di kawasan ini, yang tergolong tumbuhan berbunga Spermatophyta 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis, dan jenis
ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya BBTNGGP, 2009.
Bodogol. Kawasan ini juga memiliki jenis-jenis unik dan menarik, diantaranya “si pembunuh berdarah dingin” Kantong Semar Nephentes gymnamphora; “saudara
si Bunga Bangkai” Rafflesia rochusseni; “si Bunga Sembilan Tahun” Strobilanthus cernua. Kawasan TNGGP kaya dengan jenis anggrek, tercatat 199
jenis anggrek di kawasan ini BBTNGGP, 2009. Daftar jenis flora dan jenis anggrek TNGGP tertuang dalam Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Fauna Endemik TNGGP
Berdasarkan data statistik BBTNGGP 2009 disebutkan bahwa potensi fauna endemik adalah 5 jenis primata, yaitu : Owa, Surili, Lutung, Monyet Ekor
Panjang, dan Kukang. Ekosistem kawasan TNGGP menyediakan habitat bagi beranekaragam fauna, antara lain Mammalia, Reptilia, Amphibia, Aves, Insekta
dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Terdapat burung Aves 251 jenis atau lebih dari 50 jenis burung yang hidup di Jawa. Elang Jawa Spizaetus
bartelsi ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara“ melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993. Kawasan TNGGP juga merupakan habitat bagi 110
jenis Mamalia, diantaranya Owa Jawa Hylobates moloch yang langka, endemik dan unik; Anjing Hutan Cuon alpinus yang sudah semakin langka dan Kijang
Muntiacus muntjak. Selain itu terdapat serangga Insecta lebih dari 300 jenis, Reptilia sekitar 75 jenis, Katak sekitar 20 jenis dan berbagai jenis binatang lunak
Molusca. Jenis satwa yang dilindungi di Kawasan TNGGP tertuang dalam Lampiran 4. Jenis Reptilia dan Amphibia dan Lokasi Penyebaranya di Kawasan
TNGGP tertuang dalam Lampiran 5 Pada beeberapa areal zona rehabilitasi di kawasan perluasan TNGGP
masih memiliki keanekaragaman yang cukup baik. Berbagai jenis fauna pun dapat ditemui seperti Elang Jawa Spizaetus bartelsi, Surili Presbbytis comata dan
Owa Jawa Hylobates moloch, 80 jenis aves dan juga sebagai home range dari Macan Tutul Panthera pardus melas BBTNGGP, 2009.
Vegetasi Eksotik Anthropogenik
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atau BBTNGGP 1999 diacu dalam Basuni 2003 telah menemukan 42 jenis tumbuhan eksot
anthropogenik didalam kawasan TNGGP, dan hasil penelitian LIPI 2006 menemukan 75 jenis tumbuhan eksot antropogenik. Dari 35 jenis tumbuhan alien
atau eksotik yang sudah diidentifikasi oleh BBTNGGP terdapat 7 tujuh jenis tumbuhan yang bersifat invasif. Daftar Jenis-jenis Alien species tumbuhan
eksotik yang ada di kawasan TNGGP disajikan dalam Lampiran 6.
5.2.3. Sejarah Kawasan Perluasan TNGGP Kawasan Restorasi
Kawasan perluasan TNGGP merupakan eks kawasan hutan Perum Perhutani yang terdiri dari hutan alam primer dan sekunder, hutan tanaman, tanah
kosongsemak belukar, dan lahan pertanian. Hutan tanaman berupa tegakan hutan bukan jenis asli antara lain eukaliptus, pinus, damar, kayu putih. tanaman
pertanian. Hasil interpretasi citra landsat 2011 menunjukkan luasan dan persentase variasi tutupan lahan di kawasan TNGGP yang cukup beragam
sebagaimana tertuang dalam Tabel 11. Tabel 11 Variasi jenis tutupan lahan kawasan TNGGP hasil interpretasi citra
landsat tahun 2011 No.
Jenis Penutupan Lahan Luas
ha Persentase
1 Hutan Alam Primer
585,480 7,960
2 Hutan Alam Sekunder
2852,941 38,788
3 Hutan Tanaman
2870,563 39,028
4 Tanah KosongTerbuka
27,783 0,378
5 Semak Belukar
89,055 1,211
6 Pertanian Lahan Kering Bercampur
Semak 715,314
9,725 7
Pertanian Lahan Kering 150,060
2,040 8
Sawah 63,983
0,870 9
Danau 0,034
0,000 Jumlah
7355,214 100,000
Kawasan TNGGP dikelola berdasarkan sistem zonasi yang sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari. Penataan zonasi kawasan taman
nasional bersifat dinamis dan merupakan perangkat pengelolaan taman nasional yang dapat mencegah konfliktumpang tindih antara kepentingan perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan, bahkan dapat mengoptimalkan manfaat dan fungsi kawasan taman nasional. BBTNGGP. 2009, 2010. Hasil Revisi Zonasi TNGGP
terdapat 7 tujuh zonasi yakni: 1 Zona Inti, 2 Zona Rimba, 3 Zona Pemanfaatan, 4 Zona Rehabilitasi, 5 Zona Tradisional, 6 Zona Konservasi Owa
Jawa, dan 7. Zona Khusus. Dalam kawasan perluasan TNGGP terdapat Zona Pemanfaatan, Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, Zona Konservasi Owa Jawa
dan Zona Khusus. Pengertian jenis-jenis zona yang dimaksud dalam klasifikasi zonasi TNGGP berdasarkan SK Dirjen PHKA NO. 39IV-KKBHL2011 Tanggal
22 Februari 2011 tentang Zonasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango BBTNGGP, 2011 sebagai berikut:.
1 Zona Inti, adalah merupakan ciri khas baik biofisik dan keanekaragaman
hayati dari suatu kawasan, memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi yang mutlak dilindungi dalam fungsinya untuk perlindungan dan pelestarian
TNGGP secara keseluruhan.
2 Zona Rimba, adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan
potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan, pada dasarnya zona ini ditetapkan sebagai rembesan
refuge dari sumber daya alam baik flora maupun fauna yang sekaligus juga berfungsi sebagai penyangga buffer zona inti terhadap kerusakan yang
mungkin terjadi dari zona pemanfaatan.
3 Zona Pemanfaatan, adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan
potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisijasa lingkungan lainnya. Zona ini untuk menunjang fungsi-
fungsi yang tidak diperkenankan untuk diakomodasikan pada zona lain, karena alasan kepekaan ekologis yang tinggi dan meningkatkan nilai tambah dari
kegiatan konservasi sumber daya alam, sebagai tempat pariwisata alam, pendidikan konservasi maupun sebagai sarana pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pemanfaatan yang dimaksud disini, adalah pemanfaatan dari segi jasa lingkungan untuk manusia, berupa daya tarik
alamiphenomena beserta potensi pendukung lainnya.
4 Zona Tradisional, adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam, guna keperluan
masyarakat dengan pemanfaatan yang dilaksanakan secara tradisional,
misalnya dengan menanam jenis-jenis yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan, obat-obatan, bahan baku kerajinan atau
Hasil Hutan Non Kayu lainnya.
5 Zona Rehabilitasi, adalah bagian dari taman nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan, areal
dimaksud perlu dilakukan rehabilitasi dengan menanam tanaman endemik agar kawasan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
6 Zona Konservasi Owa Jawa, adalah bagian taman nasional yang memiliki
potensi, daya dukung, dan aman untuk pelepasliaran Owa Jawa, zona ini sangat dibutuhkan mengingat kawasan TNGGP merupakan salah satu wilayah
yang memiliki daya dukung yang baik dalam pelestarian owa jawa.
7 Zona Khusus, adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi, makam dan listrik.
Pada kawasan perluasan yang diakses oleh masyarakat petani penggarap lahan hutan seluas 905 ha tingkat kerapatan tegakan utama sangat rendah dan
kondisi lantai hutan dari mulai terbuka hingga ditutupi tanaman pertanian dan perkebunan seperti padi, singkong dan sayuran. Jumlah total luasan zona
rehabilitasi adalah ± 4.367,192 ha dengan perincian wilayah Cianjur seluas 1.298,54 ha, wilayah Sukabumi 1.823,575 ha dan wilayah Bogor seluas 1.245,077
ha. Tegakan utama yang mendominasi Zona Rehabilitasi adalah tanaman pinus Pinus merkusii, damar Agathis lorantifolia dan ekaliptus Eucalyptus alba.
Pada beeberapa areal lainnya dari Zona Rehabilitasi masih memiliki keanekaragaman yang cukup baik seperti kondisi lantai hutan yang ditutupi kelas
perdu, liana maupun jenis rotan-rotanan. Apabila kawasan sudah mengalami suksesi direstorasi secara sempurna dan atau sudah menjadi hutan primer kembali
maka zona rehabilitasi ini dapat dirubah menjadi zona rimba atau zona lain sesuai dengan kondisi kawasannya. BBTNGGP 2010.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu HHBK di zona tradisional telah ada sejak lama seperti penyadapan baik berupa getah pinus maupun damar,
pemanenan bambu, lebah madu dan kopi. BBTNGGP 2011. Zona Tradisional seluas ± 312,136 ha tersebar di wilayah Bidang PTNGGP I Cianjur 12,018 ha,
wilayah Bidang PTNGGP II Sukabumi 229,9 ha dan wilayah Bidang PTNGGP III Bogor seluas 70,218 ha dengan vegetasi utama adalah Pinus Pinus merkusii dan
Damar Agathis lorantifolia. Tegakan utama Zona Tradisional yakni pinus dan damar. Total luas tegakan pinus berada di Cianjur dan Bogor adalah 82,236 ha,
sedangkan tegakan damar seluas 229,9 ha di wilayah Sukabumi. Berdasarkan Kelas Umur KU pinus rata-rata di Bogor KU V dan KU X di Cianjur.
Sedangkan Kelas Umur Damar bervariasi antara KU III hingga KU XIII dengan rata-rata KU V. Terkait dengan perubahan fungsi kawasan yang semula kawasan
hutan produksi menjadi kawasan konservasi, penghentian kegiatan pemanfaata HHBK oleh masyarakat perlu penanganan khusus agar tidak menimbulkan
gejolak di masyarakat yang berdampak buruk bagi kawasan. Oleh karena itu kebijakan yang ditempuh oleh pengelola adalah dengan memberikan ijin
pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dengan diimbangi oleh proses rehabilitasi, pengamanan hutan dan program penghentian kegiatan dengan alih mata pencarian
diluar kawasan hutan. BBTNGGP 2011. Rincian luas dan tegakan pada Zona Tradisional dapat diperiksa pada Lampiran 7.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Aspek Biofisik Kawasan Perluasan TNGGP
Karakteristik kondisi biofisik kawasan perluasan dicerminkan oleh kondisi topografi dan vegetasi tutupan lahan kawasan. Reklasifikasi karakteristik kondisi
biofisik dapat dilakukan berdasarkan tinjauan resiko lingkungan dalam penggunaan lahan untuk tujuan budidaya dan tinjauan aspek fungsi hidroorologis
dari ekologis kawasan perluasan TNGGP. Resiko lingkungan dalam penggunaan lahan untuk tujuan budidaya dicerminkan oleh kondisi topografi medan yang
dapat diwakili unsur tingkat kelerengan kawasan. Dengan demikian reklasifikasi karakteristik kondisi topografi untuk kepentingan penyusunan model dilakukan
berdasarkan resiko lingkungan yang bersumber dari variasi tingkat kelerengan. Dari data 6 enam tingkat kelerengan yang da di kawasan perluasan TNGGP
dirumuskan 3 tiga kelompok kelas lereng untuk mencerminkan kondisi fisiografi lahan kawasan perluasan TNGGP sebagaimana tertuang dalam Tabel 12.
Tabel 12 Kondisi fisiografi lahan di kawasan perluasan TNGGP
Resiko Lingkungan
Kelas Lereng Kondisi Fisiografi Lahan
Rendah 0-15
Datar sampai Berombak Sedang
15-40 Bergelombang sampai Berbukit
Tinggi 40
Bergunung
Tinjauan aspek fungsi hidroorologis dari ekologis kawasan perluasan TNGGP dicerminkan oleh kondisi vegetasi tutupan lahan. Dengan demikian reklasifikasi
vegetasi tutupan lahan kawasan perluasan TNGGP untuk kepentingan penyusunan model dilakukan berdasarkan resiko lingkungan dari segi hidroorologi yang
bersumber dari jenis penutupan lahan dan prioritas lahan untuk dilakukan kegiatan restorasi. Dari data 9 sembilan variasi jenis penutupan lahan hasil interpretasi
citra landsat tahun 2011 yang ada di kawasan perluasan TNGGP dirumuskan 3 tiga kelompok jenis penutupan lahan berdasarkan resiko lingkungan
hidroorologis dari kondisi ekologis kawasan perluasan TNGGP sebagaimana
tertuang dalam Tabel 13.
64 Tabel 13 Variasi kelompok jenis penutupan lahan di kawasan perluasan TNGGP
Resiko Lingkungan
Kelompok Jenis Penutupan Lahan
Rendah
Hutan Alam Primer dan Hutan Alam Sekunder
Sedang
Hutan Tanaman dan Lahan Pertanian
Tinggi
Tanah KosongTerbuka, dan Semak Belukar
Kondisi biofisik kawasan perluasan menunjukkan variasi jenis tutupan lahan yang cukup beragam. Tutupan vegetasi berupa hutan alam primer kurang
dari 8 , tutupan hutan alam sekunder sebesar hampir 39 , dan sisanya sebesar 53 berupa hutan tanaman berupa tegakan eksotik, lahan pertanian, semak
belukar, dan tanah terbuka. Berdasarkan variasi tutupan lahan tersebut, maka sebagian besar dari kawasan perluasan TNGGP perlu untuk direstorasi, sehingga
kawasan perluasan TNGGP dapat disebut sebagai kawasan restorasi. Mengingat istilah kawasan restorasi belum ditetapkan dalam peraturan perundangan
pengelolaan taman nasional khususnya di TNGGP maka untuk pembahasan selanjutnya tetap digunakan istilah kawasan perluasan saja. Berdasarkan zonasi
yang telah ditetapkan oleh BBTNGGP, maka dalam kawasan perluasan TNGGP terdapat zona Pemanfaatan, Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, dan Zona
Khusus. Dengan demikian keempat zona yang terdapat dalam kawasan perluasan TNGGP tersebut perlu direstorasi.
Zona Rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas
hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan, areal dimaksud perlu dilakukan rehabilitasi dengan menanam tanaman endemik agar kawasan dapat
berfungsi sebagaimana mestinya BBTNGGP, 2009. Zona Rehabilitasi merupakan areal perubahan fungsi dari kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan
Produksi Terbatas menjadi kawasan konservasi TNGGP. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistemnya maka pada areal perubahan fungsi tersebut perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan kepada kondisi ekosistem alamiahnya. Oleh karena itu
areal ini perlu dilakukan restorasi dengan menanam tanaman jenis asli khususnya
65 jenis endemik agar kawasan dapat memenuhi fungsinya sebagai kawasan taman
nasional. Berbeda dengan pengertian ‘rehabilitasi’ yang umum digunakan untuk tujuan pengembalian fungsi sesuatu objek, maka restorasi menuntut syarat
penggunaan fitur-fitur asli untuk tujuan pengembalian fungsi sesuatu objek dimaksud. Dengan demikian istilah ‘restorasi’ lebih tepat digunakan untuk
pengembalian fungsi kawasan taman nasional atau kawasan konservasi dibandingkan dengan penggunaan istilah ‘rehabilitasi’.
6.2. Aspek Sosial Ekonomi Petani Penggarap Lahan Hutan 6.2.1. Karakteristik Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGGP
Standar luas penguasaan lahan garapan di dalam kawasan hutan dapat dihitung berdasarkan faktor kesetaraan luas lahan garapan di dalam kawasan
hutan dengan luas penguasaan lahan usaha tani di luar kawasan. Faktor kesetaraan tersebut dapat dihitung berdasarkan luas efektif lahan tergarap untuk tanaman
budidaya pertanian yang menjadi pilihan masyarakat dalam keikutsertaannya pada program restorasi kawasan konservasi. Luas efektif lahan tergarap makin
menyempit dengan semakin jauhnya jarak olah dari tanaman pokok seiring dengan umur dan perkembangan tanaman pokok. Hasil perhitungan faktor
kesetaraan sebesar 1,5 dituangkan dalam Tabel 14. Selanjutnya faktor kesetaraan tersebut digunakan untuk menentukan standar kecukupan luas penguasaan lahan
garapan di dalam kawasan hutan dan juga untuk merumuskan pembagian kelas kisaran luas untuk menentukan kategori luas penguasaan lahan di dalam kawasan
hutan sebagaimana tertuang dalam Tabel 6. Tabel 14 Hasil perhitungan faktor kesetaraan luas lahan garapan petani penggarap
pada program restorasi dan rehabilitasi lahan hutan.
Jarak tanaman
pokok pohon
m Luas
lahan garapan
m
2
Jarak olah tanah dari
tanaman pokok
m Luas lahan
bebas olah ∏r
2
m
2
Luas lahan terolah
=25- ∏ r
2
m
2
Persentase lahan
terolah Faktor
kesetaraan luas lahan garapan
5 X 5 25
0,7 1,5386
23,4614 93,8456
1,065580059 5 X 5
25 1,5
7,065 17,935
71,74 1,393922498
5 X 5 25
2 12,56
12,44 49,76
2,009646302 Jumlah
Rata-rata 4,469148859
1,489716286