Konflik Pemanfaatan SDA Kawasan Perluasan TNGGP

88 fungsi kawasan hutan dan penggunaan lahan yang lebih ketat, serta pilihan tindakan manajemen yang tidak seluas pada manajemen SDH yang dikelola Perum Perhutani dimana menurut aturan perundangan yang berlaku menyatakan larangan keberadaan kegiatan yang dapat mengancam keutuhan kawasan dan larangan terhadap kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, termasuk kegiatan pertanian di dalamnya. Tujuan pengelolaan SDA sebagaimana amanah UUD pasal 33 dan juga tujuan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya sebagaimana tertuang dalam UU no 5 tahun 1990 pasal 3 adalah untuk mendukung usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini disadari oleh Perum Perhutani selaku pengelola kawasan sebelumnya dan merangkul masyarakat untuk ikut terlibat sebagai pemain dalam pengelolaan SDA kedalam bentuk program ‘PHBM-Perum Perhutani’ guna mencapai tujuan pengelolaan kawasan. Melalui program ini masyarakat mendapatkan lahan garapan di dalam kawasan hutan dengan kewajiban mentaati aturan yang ditetapkan oleh pengelola. Penggarapan lahan di dalam kawasan perluasan TNGGP oleh masyarakat merupakan bentuk akses masyarakat kedalam SDA yang secara normatif penguasaan SDA tersebut dimiliki oleh negara state property. Masuknya petani penggarap lahan kedalam program PHBM-Perum Perhutani ini merupakan bentuk akses legal masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan di kawasan perluasan TNGGP. Kegiatan pertanian di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang sebelumnya diperbolehkan oleh Perum Perhutani menjadi sesuatu yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku UU Nomor 5 Tahun 1990. Hal ini memunculkan konflik kepentingan antara masyarakat dan pihak pemerintah selaku pengelola TNGGP. Pemerintah memandang hutan berdasarkan penguasaan property right sehingga berdasarkan peraturan perundang-undangan, SDA kawasan TNGGP dimiliki oleh negara state property. Berdasarkan hak dan kewenangannya, dan berpegang pada peraturan perundang-undangan, pemerintah melarang masyarakat untuk memanfaatkan SDH di dalam kawasan TNGGP. Perbedaan pandangan ini menunjukkan perbedaan kepentingan terhadap keberadaan kawasan perluasan TNGGGP yang 89 pada akhirnya memicu konflik. Hal ini sejalan dengan kasus serupa di kawasan TN Halimun Salak Pratiwi 2008; Prabowo 2010. Konflik kepentingan terhadap SDA terkait dengan penggunaan lahan di kawasan perluasan TNGGP disebabkan oleh cara pandang yang berbeda terhadap SDA yang ada di dalam kawasan perluasan tersebut. Perum Perhutani pengelola kawasan sebelumnya telah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan SDA melalui program PHBM-Perum Perhutani. Melalui program ini masyarakat mendapatkan lahan garapan di dalam kawasan hutan dengan kewajiban mentaati aturan yang ditetapkan oleh pengelola. Sebagian petani ex program PHBM-Perum Perhutani tersebut merasa berposisi sebagai pemilik owner atas pepohonan khususnya tanaman kayu-kayuan hasil tanaman petani penggarap, sementara pihak BBTNGGP memosisikan petani penggarap sebagai pengunjung entrant sehingga menimbulkan konflik. Dengan munculnya konflik kepentingan atas lahan garapan dan ketidakpastian jaminan hukum untuk ketetapan menggarap lahan maka sebagian dari petani pengarap sudah mulai beralih kedalam perubahan pilihan jenis tanaman yang dikembangkan dalam usaha mempertahankan akses lahan garapan yaitu pengembangan jenis tanaman MPTs dan tanaman obat. Hal ini perlu mendapat perhatian dalam rangka penyusunan model dan strategi pelaksanaan kegiatan restorasi mengingat pilihan jenis tersebut dalam batas tertentu masih bisa ditolerir dalam rangka rehabilitasi. Petani penggarap lahan yang menyatakan diri ‘bersedia keluar’ dalam waktu dekat dan yang sudah menyatakan diri ‘keluar’ dari lahan garapan ternyata sebagian besar masih mempertahankan akses lahan garapan dengan mengubah pola pertanian mereka melalui perubahan jenis tanaman yang diusahakan yaitu berupa tanaman MPTs Multi Purpose Tree species dan tanaman obat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya berusaha mempertahankan akses lahan garapan karena desakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Petani bersedia keluar dari lahan garapan dengan berat hati karena takut dengan aturan perundangan. Berdasarkan sikap dan tindakan masyarakat dalam usaha mempertahankan akses lahan garapan di tengah situasi atau realitas konflik yang ada, maka konflik yang terjadi di wilayah perluasan TNGGP sebagaian besar dapat dikategorikan 90 sebagai konflik tersembunyi latent. Usaha terselubung dari petani penggarap dalam mempertahankan akses lahan garapan berupa tekanan-tekanan yang tidak tampak dan gangguan diam-diam terhadap kelangsungan hidup tanaman restorasi merupakan salah satu bukti adanya konflik konflik tersembunyi. Konflik tersembunyi ini perlu diwaspadai karena sewaktu-waktu dapat muncul keluar merupakan konflik manifest jika ada peluang dan provokasi sebagaimana pernah muncul bentuk tindak kriminal kolektif berupa perusakan dan penjarahan pos petugas dan atau kantor salah satu Resort PTN-GGP.

6.4. Perumusan Model Konseptual TPN-GGP

Perumusan model difokuskan pada penyelesaian bentuk konflik yang bersumber pada akses penggarapan lahan hutan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa hambatan keberhaslan pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan perluasan TNGGP sangat didominasi oleh akses masyarakat terhadap kawasan berupa penggarapan lahan hutan kawasan perluasan untuk tujuan usaha tani. Konflik yang bersumber pada akses pemanfaatan HHBK telah diselesaikan oleh BBTNGGP melalui alokasi zona pemanfaatan tradisional dan akan berakhir jika batas umur produksi tanaman telah tercapai sesuai kesepakatan yang telah dibuat oleh masyarakat dengan BBTNGGP. Penetapan zona pemanfaatan tradisional tersebut Sedangkan konflik yang bersumber pada gangguan kawasan berupa pencurian hasil hutan kayu, satwa, dan lain lain dapat diselesaikan dengan kegiatan perlindungan kawasan oleh BBTNGGP melalui upaya penegakan hukum secara bertahap mulai dari preventif, persuasip sampai dengan langkah penindakan secara represif dan realisasi program pemberdayaan masyarakat yang sudah ada antara lain adopsi pohon dan merintis program model kampung konservasiMKK sebagai upaya penyelesaian konflik.

6.4.1. Pola Biofisik Kawasan Perluasan TNGGP

Perumusan pola biofisik kawasan perluasan TNGGP berdasarkan kondisi ekologis dan karakteristik biofisik kawasan restorasi dengan mempertimbangkan tingkat resiko lingkungan terkait potensi penggunaan kawasan untuk kegiatan restorasi dan pelibatan masyarakat. Tingkat resiko lingkungan biofisik ini juga 91 menunjukkan skala prioritas kepentingan restorasi dan sasaran restorasi yang membentuk prioritas biofisik kawasan restorasi. Kondisi ekologis dicerminkan oleh variasi jenis penutupan lahan, sedangkan karakteristik biofisik dicerminkan oleh fisiografi lahan. Fisiografi lahan ditentukan oleh kelas kelerengan dan topografi. Variasi penutupan lahan dapat diperoleh melalui hasil interpretasi data citra landsat mutakhir. Oleh karena itu pola biofisik ditentukan oleh jenis penutupan lahan dan kondisi fisiografi lahan. Hasil analisis diperoleh 9 sembilan rumusan pola biofisik sebagaimana tertuang dalam Tabel 24. Tabel 24 Perumusan pola biofisik kawasan restorasi Jenis Penutupan Lahan Kondisi Fisiografi Lahan Datar sampai Berombak Bergelombang sampai Berbukit 1 Bergunung 2 Hutan Alam Primer dan Hutan Alam Sekunder 3 IX VIII V Hutan Tanaman dan Lahan Pertanian VII VI III Tanah Kosong Semak Belukar IV II I Keterangan: 1 Kelerengan 0-15 2 Kelerengan 15-40 3 Kelerengan 40 Reklasifikasi pola biofisik dilakukan berdasarkan tingkat toleransi biofisik terhadap tanaman budidaya. Pertimbangan unsur tanaman budidaya dalam perumusan pola biofisik ini mengingat bahwa dalam perumusan model restorasi berdasarkan konsep TPN antara lain bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam rangka penyelesaian masalah akses masyarakat terhadap kawasan perluasan TNGGP. Dirumuskan 3 tiga tingkat toleransi biofisik yaitu: 1 Toleransi Biofisik Tinggi terdiri dari pola biofisik II,IV, dan VII.; 2 Toleransi Biofisik Sedang terdiri dari pola biofisik I, VI, dan IX; dan 3 Toleransi Biofisik Rendah terdiri dari pola biofisik III, V, dan VIII. Reklasifikasi pola biofisik berdasarkan tingkat toleransi biofisik terhadap tanaman budidaya ini selengkapnya tertuang dalam matriks Tabel 25. 92 Tabel 25 Tingkat toleransi biofisik terhadap tanaman budidaya Jenis Penutupan Lahan Kondisi Fisiografi Lahan Datar sampai Berombak Bergelombang sampai Berbukit 1 Bergunung 2 Hutan Alam PrimerHutan Alam Sekunder 3 TBS TBR TBR Hutan Tanaman dan Lahan Pertanian TBT TBS TBR Tanah Kosong dan Semak Belukar TBT TBT TBS Keterangan: 1 Kelerengan 0-15 TBR = Toleransi Biofisik Rendah 2 Kelerengan 15-40 TBS = Toleransi Biofisik Sedang 3 Kelerengan 40 TBT = Toleransi Biofisik Tinggi Pengelompokan rumusan pola-pola biofisik kedalam ‘toleransi biofisik’ tersebut mencerminkan keterkaitan hubungan tingkat resiko lingkungan biofisik dengan tingkat kesesuaian dan atau toleransi biofisik terhadap tanaman budidaya sebagai unsur penting aplikasi model dalam rangka pelaksanaan kegiatan restorasi sesuai kondisi ekologis dan karakteristik biofisik kawasan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka kawasan perluasan tersebut perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan ke kondisi ekosistem alamiahnya, oleh karena itu kawasan ini perlu dilakukan restorasi dengan menanam tanaman jenis asli khususnya jenis endemik agar kawasan dapat memenuhi fungsinya sebagai kawasan taman nasional. Hasil analisis data statistik BBTNGGP 2009 menunjukkan bahwa kawasan perluasan dialokasikan sebagai Zona Pemanfaatan, Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, dan Zona Khusus. Keempat zona yang terdapat dalam kawasan perluasan TNGGP tersebut perlu direstorasi sehingga kawasan perluasan TNGGP dapat dikatakan sebagai kawasan restorasi. Kawasan perluasan didominasi oleh Zona Rehabilitasi, diikuti oleh Zona Pemanfaatan dan zona Tradisional. Restorasi dengan konsep TPN dapat diaplikasikan untuk keempat zona yang ada di dalam kawasan perluasan TNGGP melalui aplikasi varian desain fisik TPN guna mendukung tujuan penetapan zona terkait. Penetapan zona dalam kawasan perluasan TNGGP berdasarkan tujuan spesifik. BBTNGGP 2009