Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

(1)

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP

(Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia

No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (S-1) di

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

MHD HADIS SALEH

090904011

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : MHD HADIS SALEH NIM : 090904094

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP

(Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

Medan, Juni 2015 Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.d Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP. 195812051989031002 NIP. 195102191987011001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M. Si NIP. 19680525199203100


(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan

hukum yang berlaku.

Nama: MHD HADIS SALEH

NIM: 090904011

Tanda Tangan:


(4)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : MHD HADIS SALEH NIM : 090904011

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara

JenisKarya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti non Eksklusif (Non Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada tanggal : 10 Juni 2015

Yang menyatakan


(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai konstruksi pemahaman wartawan AJI Medan terhadap undang-undang No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP). Metodologi dalam penelitian ini adalah diskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan paradigma konstruktivisme. Sedangkan teknik analisis atau instrumen analisa data yang digunakan adalah teknik analisis Membership Categorization Device (MCD). Untuk teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana konstruksi pemahaman wartawan AJI cabang Medan terhadap UU KIP. Peneliti melakukan wawancara kepada lima informan dengan keriteria dan panduan wawancara yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana konstruksi pemahaman AJI Medan terhadap UU KIP dimana dalam penelitian ini peneliti menemukan hasil bahwa pemahaman wartawan AJI Medan terhadap UU KIP berbeda antara satu dengan yang lain dan dikonstruksi secara kolektif dari internal AJI dan rekan jurnalis. Mereka memahami UU KIP sebagai kewajiban badan publik dalam menyampaikan informasi, undang-undang yang mengatur hak-hak publik dalam memperoleh informasi dan undang-undang yang menggambarkan era keterbukaan serta semangat zaman. Selain perbedaan, mereka juga belum memiliki pemahaman objektif khususnya pada pasal informasi yang dikecualikan. Meskipun UU KIP ditujukan bukan untuk wartawan, undang-undang ini berfungsi dalam liputan indepth news dan liputan investigasi. Selain itu, UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers di tanah air. Dukungannya berupa legitimasi hukum informasi bagi jurnalis dan bisa saja menjadi kritik terhadap pers industrialis.


(6)

ABSTRACT

This thesis contains research on understanding the construction field AJI journalists to law No. 14 of 2008 on public disclosure (UU KIP). The methodology in this research is descriptive qualitative approach constructivism paradigm. While the analysis technique or instrument used is the analysis of data analysis techniques Membership Categorization Device (MCD). For data collection techniques, researchers used in-depth interviews and literature study. In this study, researchers sought to examine how the construction of understanding AJI journalists Medan branch of the Freedom of Information Law. Researchers conducted interviews with the criteria of the five informants and interview guides that have been defined previously. In accordance with the formulation of issues to be studied are how the construction field AJI understanding of the Freedom of Information Law which in this study researchers found the results that AJI journalists Terrain understanding of the Freedom of Information Law is different from one another and collectively constructed of internal AJI and fellow journalists. They understand the Freedom of Information Law as an obligation of public bodies in conveying information, the laws governing the rights of the public in obtaining information and laws that describe the era of openness and the spirit of the age. In addition to the differences, they also do not have an objective understanding especially in article exempt information. Although the Freedom of Information Law is intended not for reporters, this law serves in depth coverage of news and investigative reporting. In addition, UU KIP role in supporting press freedom in the country. Support in the form of legal legitimacy of information for journalists, and could be a criticism of the press industrialists.


(7)

KATA PENGANTAR

Tidak ada sebaik-baik kata yang dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih peneliti kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa kecuali alhamdulillahi lillahi rabbil’alamiin. Hanya karena rahmat, petunjuk, perlindungan dan anugerah-Nya kepada peneliti perjuangan dan perjalanan panjang skripsi ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin. Selanjutnya shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang menjadi sumber inspirasi peneliti dalam mengarungi getirnya hidup.

Ide skripsi ini berawal dari diskusi kecil peneliti dengan kakak Farida Hanim yang berlangsung di laboratorium Komunikasi FISIP USU. Dari diskusi kecil itu peneliti terus mengembangkan topik pembicaraan dengan mencari sumber-sumber yang relevan guna terciptanya sebuah penelitian ilmiah. Selain itu, adanya ketertarikan peneliti dalam bidang kajian hukum media massa yang kering dalam pengkajian ilmiah menjadi salah satu faktor determinan atas lahirnya skripsi yang berjudul “Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan AJI Cabang Medan Dalam Memahami UU KIP)” ini. Tentu saja banyak proses yang peneliti lalui setapak demi setapak hingga penelitian ini terwujud sesuai dengan harapan dan keinginan yang semestinya.

Selain untuk memenuhi syarat untuk meraih gelar sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya sebagai hasil akhir pendidikan yang selama ini peneliti emban. Selain itu, saya juga mempersembahkannya bagi sahabat-sahabat peneliti yang berkontribusi besar kepada peneliti selama menjalani masa studi.

Dalam penulisan penyusunan skripsi ini telah banyak pihak yang membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu peneliti ingin meyampaikan rasa terima kasih kepada :


(8)

1. Kepada yang terhormat Prof Dr. Badaruddin M,Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Kepada bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.d selaku dosen pembimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Sebelum skripsi ini menemukan tujuan khususnya, pada awalnya beliau menyediakan waktu luang kepada peneliti untuk mendiskusikan permasalahan yang ingin diteliti. Dengan intensitas komunikasi antara peneliti dengan bapak Syafruddin Pohan telah ditemukan satu garis korelasi pernyataan yang dikembangkan peneliti menjadi suatu karya ilmiah. Proses itu memang tidak terjadi dengan sekejap mata. Banyak faktor-faktor lain yang diberikan beliau kepada peneliti seperti, substansi penelitian kualitatif, rujukan sumber, argumentasi dan gagasan serta arahan tertentu. Peneliti tidak bisa memberikan balasan atas jasa dan waktu bapak tersebut. Semoga Allah SWT mengabulkan tujuan-tujuan mulia dari bapak serta tetap berada dalam lindungan dan pertolongan-Nya. Hanya penghormatan setinggi-tingginya yang bisa dilakukan peneliti saat ini atas ilmu yang beliau berikan.

4. Kepada ibu Dra. Dayana M,Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5. Kepada Kak Hanim, Kak Yovita, Kak Puan, Kak Maya dan seluruh jajaran dan anggota kepengurusan FISIP USU yang telah berkontribusi dalam penelitian ini.

6. Kepada Amir Fadli, Handian, Dedy, Frydo Faisal, Muhammad Irfan, Yudha Ikhsan, Zahrawi, Rahmat Utomo. Semoga cita-cita kita tercapai dengan sebaik-baiknya karena merekalah yang kerap mengarahkan peneliti dengan sabar. Semoga kenangan lama tidak terhapus dari memori kita masing-masing.

7. Kepada Zeky Muharam yang bersedia menyumbangkan beberapa propertinya kepada peneliti untuk menunjang terwujudnya penelitian ini.


(9)

8. Kepada AJI cabang Medan khususnya bang Herman, Agus, Liston dan Tikwan. Kesempatan waktu luang dan diskusi yang menarik dengan mereka memberikan indikator penting bagi peneliti dalam meyelesaikan tugas akhir ini. Tanpa jasa dan bantuan mereka mungkin skripsi ini tidak terwujud.

9. Kepada Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara khususnya bapak Sahyan yang bersedia untuk peneliti wawancarai. Waktu luang beliau merupakan peluang emas peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

10.Kepada kedua orang tua peneliti. Hempasan dan benturan hidup yang terpahat dikening mereka menjadi bahan bakar semangat peneliti selama menjalani masa studi yang terpisah dari mereka. Lumuran kasih sayang dan cinta yang mereka berikan laksana napas sejuk kehidupan bagi peneliti sendiri. Khususnya ibunda tercinta Kholilah Nasution yang dengan kesabaran, ketulusan, bimbingan dan motivasinya kepada peneliti sungguh tak terbalaskan. Hanya Allah SWT yang bisa memberi imbalan kepada ibunda tercinta. Doa-doa ibunda senantiasa menjadi penolong utama dalam kehidupan peneliti dan sumbangan materi yang ia berikan.

Peneliti menyadari penuh bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna dan mengandung kekurangan. Maka dari itu, peneliti membuka diri terhadap kritik dan saran dari mereka yang peduli dan membaca skripsi ini.

Medan, Juni 2015 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Konteks Masalah ... 1

I.2 Fokus Masalah ... 8

I.3 Tujuan Penelitian ... 8

I.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Konstruktivisme ... 10

II.1.1Konstruktivisme Dalam Ilmu Komunikasi... 14

II.2 Konstruksi Realitas Sosial ... 15

II.2.1 Karakteristik Realitas Sosial ... 16

II.2.2 Realitas Sosial Bentukan Konstruksi Sosial... 17


(11)

II.3.1 Standar Kompetensi Wartawan ... 23

II.4 Jurnalistik dan Berita ... 25

II.4.1 Berita... 27

II.5 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ... 32

II.5.1 Pokok-pokok Pikiran UU KIP ... 33

II.5.2 Struktur UU KIP ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 37

III.2 Objek Penelitian ... 38

III.2.1 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)... 38

III.2.2 Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan ... 42

III.3 Subjek Penelitian ... 45

III.4 Kerangka Analisis ... 46

III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 51

III.5.1 Penentuan Informan ... 52

III.5.2 Keabsahan Data ... 53

III.5 Teknik Analisis Data ... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Pelaksanaan Penelitian ... 57

IV.2 Hasil Penelitian ... 58

IV.3 Pembahasan... 90

BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan ... 99


(12)

V.2 Saran ... 101

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN

A. Transkrip Wawancara B. Suasana Wawancara

C. Struktur Organisasi AJI Kota Medan D. Dokumentasi Penelitian


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

1. Model dan Kategori Kompetensi ... 23

2. Lambang Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ... 41

4. Silogisme Piramida Duduk Induktif ... 46

5. Model Langkah Analisis Induktif ... 47


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman


(15)

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP

(Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia

No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (S-1) di

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

MHD HADIS SALEH

090904011

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : MHD HADIS SALEH NIM : 090904094

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP

(Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

Medan, Juni 2015 Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.d Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP. 195812051989031002 NIP. 195102191987011001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M. Si NIP. 19680525199203100


(17)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan

hukum yang berlaku.

Nama: MHD HADIS SALEH

NIM: 090904011

Tanda Tangan:


(18)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : MHD HADIS SALEH NIM : 090904011

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara

JenisKarya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti non Eksklusif (Non Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada tanggal : 10 Juni 2015

Yang menyatakan


(19)

ABSTRAK

Skripsi ini berisi penelitian mengenai konstruksi pemahaman wartawan AJI Medan terhadap undang-undang No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP). Metodologi dalam penelitian ini adalah diskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan paradigma konstruktivisme. Sedangkan teknik analisis atau instrumen analisa data yang digunakan adalah teknik analisis Membership Categorization Device (MCD). Untuk teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana konstruksi pemahaman wartawan AJI cabang Medan terhadap UU KIP. Peneliti melakukan wawancara kepada lima informan dengan keriteria dan panduan wawancara yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana konstruksi pemahaman AJI Medan terhadap UU KIP dimana dalam penelitian ini peneliti menemukan hasil bahwa pemahaman wartawan AJI Medan terhadap UU KIP berbeda antara satu dengan yang lain dan dikonstruksi secara kolektif dari internal AJI dan rekan jurnalis. Mereka memahami UU KIP sebagai kewajiban badan publik dalam menyampaikan informasi, undang-undang yang mengatur hak-hak publik dalam memperoleh informasi dan undang-undang yang menggambarkan era keterbukaan serta semangat zaman. Selain perbedaan, mereka juga belum memiliki pemahaman objektif khususnya pada pasal informasi yang dikecualikan. Meskipun UU KIP ditujukan bukan untuk wartawan, undang-undang ini berfungsi dalam liputan indepth news dan liputan investigasi. Selain itu, UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers di tanah air. Dukungannya berupa legitimasi hukum informasi bagi jurnalis dan bisa saja menjadi kritik terhadap pers industrialis.


(20)

ABSTRACT

This thesis contains research on understanding the construction field AJI journalists to law No. 14 of 2008 on public disclosure (UU KIP). The methodology in this research is descriptive qualitative approach constructivism paradigm. While the analysis technique or instrument used is the analysis of data analysis techniques Membership Categorization Device (MCD). For data collection techniques, researchers used in-depth interviews and literature study. In this study, researchers sought to examine how the construction of understanding AJI journalists Medan branch of the Freedom of Information Law. Researchers conducted interviews with the criteria of the five informants and interview guides that have been defined previously. In accordance with the formulation of issues to be studied are how the construction field AJI understanding of the Freedom of Information Law which in this study researchers found the results that AJI journalists Terrain understanding of the Freedom of Information Law is different from one another and collectively constructed of internal AJI and fellow journalists. They understand the Freedom of Information Law as an obligation of public bodies in conveying information, the laws governing the rights of the public in obtaining information and laws that describe the era of openness and the spirit of the age. In addition to the differences, they also do not have an objective understanding especially in article exempt information. Although the Freedom of Information Law is intended not for reporters, this law serves in depth coverage of news and investigative reporting. In addition, UU KIP role in supporting press freedom in the country. Support in the form of legal legitimacy of information for journalists, and could be a criticism of the press industrialists.


(21)

KATA PENGANTAR

Tidak ada sebaik-baik kata yang dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih peneliti kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa kecuali alhamdulillahi lillahi rabbil’alamiin. Hanya karena rahmat, petunjuk, perlindungan dan anugerah-Nya kepada peneliti perjuangan dan perjalanan panjang skripsi ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin. Selanjutnya shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang menjadi sumber inspirasi peneliti dalam mengarungi getirnya hidup.

Ide skripsi ini berawal dari diskusi kecil peneliti dengan kakak Farida Hanim yang berlangsung di laboratorium Komunikasi FISIP USU. Dari diskusi kecil itu peneliti terus mengembangkan topik pembicaraan dengan mencari sumber-sumber yang relevan guna terciptanya sebuah penelitian ilmiah. Selain itu, adanya ketertarikan peneliti dalam bidang kajian hukum media massa yang kering dalam pengkajian ilmiah menjadi salah satu faktor determinan atas lahirnya skripsi yang berjudul “Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan AJI Cabang Medan Dalam Memahami UU KIP)” ini. Tentu saja banyak proses yang peneliti lalui setapak demi setapak hingga penelitian ini terwujud sesuai dengan harapan dan keinginan yang semestinya.

Selain untuk memenuhi syarat untuk meraih gelar sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya sebagai hasil akhir pendidikan yang selama ini peneliti emban. Selain itu, saya juga mempersembahkannya bagi sahabat-sahabat peneliti yang berkontribusi besar kepada peneliti selama menjalani masa studi.

Dalam penulisan penyusunan skripsi ini telah banyak pihak yang membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu peneliti ingin meyampaikan rasa terima kasih kepada :


(22)

1. Kepada yang terhormat Prof Dr. Badaruddin M,Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Kepada bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.d selaku dosen pembimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Sebelum skripsi ini menemukan tujuan khususnya, pada awalnya beliau menyediakan waktu luang kepada peneliti untuk mendiskusikan permasalahan yang ingin diteliti. Dengan intensitas komunikasi antara peneliti dengan bapak Syafruddin Pohan telah ditemukan satu garis korelasi pernyataan yang dikembangkan peneliti menjadi suatu karya ilmiah. Proses itu memang tidak terjadi dengan sekejap mata. Banyak faktor-faktor lain yang diberikan beliau kepada peneliti seperti, substansi penelitian kualitatif, rujukan sumber, argumentasi dan gagasan serta arahan tertentu. Peneliti tidak bisa memberikan balasan atas jasa dan waktu bapak tersebut. Semoga Allah SWT mengabulkan tujuan-tujuan mulia dari bapak serta tetap berada dalam lindungan dan pertolongan-Nya. Hanya penghormatan setinggi-tingginya yang bisa dilakukan peneliti saat ini atas ilmu yang beliau berikan.

4. Kepada ibu Dra. Dayana M,Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5. Kepada Kak Hanim, Kak Yovita, Kak Puan, Kak Maya dan seluruh jajaran dan anggota kepengurusan FISIP USU yang telah berkontribusi dalam penelitian ini.

6. Kepada Amir Fadli, Handian, Dedy, Frydo Faisal, Muhammad Irfan, Yudha Ikhsan, Zahrawi, Rahmat Utomo. Semoga cita-cita kita tercapai dengan sebaik-baiknya karena merekalah yang kerap mengarahkan peneliti dengan sabar. Semoga kenangan lama tidak terhapus dari memori kita masing-masing.

7. Kepada Zeky Muharam yang bersedia menyumbangkan beberapa propertinya kepada peneliti untuk menunjang terwujudnya penelitian ini.


(23)

8. Kepada AJI cabang Medan khususnya bang Herman, Agus, Liston dan Tikwan. Kesempatan waktu luang dan diskusi yang menarik dengan mereka memberikan indikator penting bagi peneliti dalam meyelesaikan tugas akhir ini. Tanpa jasa dan bantuan mereka mungkin skripsi ini tidak terwujud.

9. Kepada Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara khususnya bapak Sahyan yang bersedia untuk peneliti wawancarai. Waktu luang beliau merupakan peluang emas peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

10.Kepada kedua orang tua peneliti. Hempasan dan benturan hidup yang terpahat dikening mereka menjadi bahan bakar semangat peneliti selama menjalani masa studi yang terpisah dari mereka. Lumuran kasih sayang dan cinta yang mereka berikan laksana napas sejuk kehidupan bagi peneliti sendiri. Khususnya ibunda tercinta Kholilah Nasution yang dengan kesabaran, ketulusan, bimbingan dan motivasinya kepada peneliti sungguh tak terbalaskan. Hanya Allah SWT yang bisa memberi imbalan kepada ibunda tercinta. Doa-doa ibunda senantiasa menjadi penolong utama dalam kehidupan peneliti dan sumbangan materi yang ia berikan.

Peneliti menyadari penuh bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna dan mengandung kekurangan. Maka dari itu, peneliti membuka diri terhadap kritik dan saran dari mereka yang peduli dan membaca skripsi ini.

Medan, Juni 2015 Penulis


(24)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... iii DAFTAR ISI ... vi DAFTAR GAMBAR ... viii DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Konteks Masalah ... 1 I.2 Fokus Masalah ... 8 I.3 Tujuan Penelitian ... 8 I.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II.1 Paradigma Konstruktivisme ... 10 II.1.1Konstruktivisme Dalam Ilmu Komunikasi... 14 II.2 Konstruksi Realitas Sosial ... 15 II.2.1 Karakteristik Realitas Sosial ... 16 II.2.2 Realitas Sosial Bentukan Konstruksi Sosial... 17 II.3 Wartawan ... 21


(25)

II.3.1 Standar Kompetensi Wartawan ... 23 II.4 Jurnalistik dan Berita ... 25 II.4.1 Berita... 27 II.5 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ... 32 II.5.1 Pokok-pokok Pikiran UU KIP ... 33 II.5.2 Struktur UU KIP ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian ... 37 III.2 Objek Penelitian ... 38 III.2.1 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)... 38 III.2.2 Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan ... 42 III.3 Subjek Penelitian ... 45 III.4 Kerangka Analisis ... 46 III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 51 III.5.1 Penentuan Informan ... 52 III.5.2 Keabsahan Data ... 53 III.5 Teknik Analisis Data ... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Pelaksanaan Penelitian ... 57 IV.2 Hasil Penelitian ... 58 IV.3 Pembahasan... 90

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


(26)

V.2 Saran ... 101

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN

A. Transkrip Wawancara B. Suasana Wawancara

C. Struktur Organisasi AJI Kota Medan D. Dokumentasi Penelitian


(27)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

1. Model dan Kategori Kompetensi ... 23 2. Lambang Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ... 41 4. Silogisme Piramida Duduk Induktif ... 46 5. Model Langkah Analisis Induktif ... 47 6. Alur Analisis Induktif penelitian... 49


(28)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman


(29)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Bagi kalangan jurnalis atau wartawan, sunshine law menguatkan jaminan hukum bagi profesinya, khususnya dalam taraf mencari dan mengumpulkan informasi. Selama ini jaminan jurnalis untuk memperoleh informasi hanya dilindungi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tapi kini ditambah lagi dengan UU KIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik). Dengan sunshine law seperti itu, kini jurnalis dapat “memaksa” institusi-institusi negara untuk memberikan informasi publik yang dibutuhkan (Suwarjono dalam Asfar dkk, 2012:VI).

Salah satu upaya untuk mendorong pelaksanaan undang-undang ini adalah menggunakan hak atas informasi dalam kerja-kerja jurnalis terutama untuk liputan investigasi. Jurnalis perlu memiliki sebuah rencana yang jelas untuk memastikan institusi publik menyediakan informasi publik apabila diminta. Maka dari itu, upaya dalam merancang liputan investigasi dengan menggunakan hak atas informasi sesuai UU KIP, jurnalis harus memahami undang-undang ini dan jurnalis perlu tahu apa hak-hak mereka dalam mencari informasi publik (Suwarjono dalam Asfar dkk, 2012:VI-VII).

Selain itu, jurnalis harus dapat menghubungkan bagaimana informasi tertentu yang diakses secara resmi guna membantu terbukanya informasi tertentu yang penting bagi publik. Termasuk Jurnalis juga perlu tahu saluran-saluran yang dapat ditempuh untuk mempertahankan hak mereka dalam mengakses informasi publik dan yang terpenting adalah menunjukkan kepada publik manfaat menggunakan hak atas informasi untuk mendapatkan hak-hak dasar lainnya (Suwarjono dalam Asfar dkk, 2012:VII).


(30)

Tindakan yang harus diperbuat kalangan jurnalis tadi sejalan dengan pernyataan Peter Krueg dan Monroe E.Price dengan Suryani bahwa persyaratan utama jurnalisme yang efektif dan profesional adalah kemampuan jurnalis mengumpulkan informasi yang berada dalam arsip berdebu dan sulit dicari yang dipegang dan dikuasai otoritas publik. Mereka juga menyebutkan bahwa tanpa akses informasi, jurnalis cuma bisa menyajikan opini (Suryani dalam Asfar dkk, 2012:IX).

Pengalaman berbagai negara menunjukkan, wartawan adalah unsur publik yang paling akfif menggunakan UU KIP (freedom of information act) dalam aktivitas kerja mereka. Seperti The Guardian yang merupakan salah satu surat kabar di Inggris yangmenampilkan laporan proyek pembelian 100 unit tank Scorpion oleh pemerintah Indonesia pada 1994 sampai 1996. Dalam laporan ini terungkap bahwa, Siti Hardijanti Rukmana menerima suap 16,5 juta pound dari Alvis Vehicle Limited, perusahaan pembuat tank Scorpion berbasis di Coventry, Inggris (Sudibyo, tanpa tahun:1).

Lain halnya di Indonesia, pada tahun 2011 yang lalu. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Yayasan Tifa mengajak rekan-rekan jurnalis untuk memanfaatkan UU KIP guna mendukung liputan. Dengan memanfaatkan undang-undang tersebut, jurnalis dapat membuat liputan mendalam dengan didukung informasi publik. Tujuannya adalah untuk mendorong agar Undang-undang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP) tidak hanya menjadi macan kertas. Seperti yang sudah ditegaskan di atas bahwa fakta yang perlu digarisbawahi disini adalah, wartawan adalah unsur publik yang paling akfif menggunakan UU KIP dalam aktivitas kerja mereka (Sudibyo, tanpa tahun:2).

Cakupan ruang lingkup UU KIP bagi wartawan yang menjadi unsur publik selaku kontrol sosial meliputi beberapa hal. Pertama, Hak untuk mengamati perilaku pejabat dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan (Right to Attend Public Meeting). Kedua, Hak untuk mengakses dokumen-dokumen badan publik. Ketiga, Hak untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Keempat, Hak


(31)

untuk mendapatkan perlindungan dalam mengungkapkan fakta & kesaksian (Whistle Blower Protection). Kelima, Hak untuk mengajukan keberatan dan mendapatkan keadilan jika hak-hak di atas tidak dipenuhi (Right to Appeal). Kelima, Kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara (Sudibyo, tanpa tahun:13).

Kehadiran UU KIP bagi kalangan wartawan memiliki lima poin penting. Pertama, wartawan adalah profesi yang bertujuan untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang relevan dengan kepentingan publik (masyarakat). Kedua, wartawan adalah profesi yang hampir setiap saat berurusan dengan akses informasi ke badan-badan publik.Ketiga,wartawan adalah kelompok yang paling rentan terhadap klaim-klaim rahasia negara, rahasia jabatan dan rahasia instansi yangsering digunakan pejabat publik untuk menutup akses ke informasi, dokumen atau data tertentu. Keempat, dalam menjalankan tugasnya, wartawan belum sepenuhnya dilindungi oleh kerangka hukum yang kuat, yang mampu menjamin hak-hak wartawan dalam mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi kepada publik. Kelima, sejauh ini masih terus terjadi proses kriminalisasi terhadap wartawan dengan dakwaan pencemaran nama baik, pembocoran rahasia negara, penghinaan dan menyebarkan kabar bohong (Sudibyo, tanpa tahun:16).

Belum menguatnya kerangka hukum bagi wartawan ketika menjalankan tugas jurnalistiknya dikarenakan UU Pers (Undang-Undang No.40 Tahun 1999) hanya mengakui hak media untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi, namun tidak mengatur kewajiban nara sumber, khususnya pejabat publik untuk memberikan informasi publik kepada wartawan. Selain itu, UU Pers tidak mengatur sanksi yang tegas untuk pejabat publik yang menolak permintaan informasi dari wartawan, meskipun informasi tersebut jelas-jelas dibutuhkan publik dan UU Pers tidak mengatur mekanisme pemberian informasi yang mencakup: jangka waktu pemberian informasi, biaya akses, petugas pelayananinformasi, klasifikasi informasi, dan jenis-jenis medium penyampaian informasi publik (Sudibyo, tanpa tahun:18).


(32)

Meskipun terdapat kelemahan dalam UU Pers terkait akses informasi publik bagi wartawan, namun kedua undang-undang tersebut terdapat relasi sekaligus koeksistensi. Pertama, UU Pers secara spesifik mengatur segi-segi kebebasan pers. Tercakup di dalamnya pengaturan tentang fungsi pers untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi, fungsifungsi sosial media, hubungan antara media, masyarakat dan negara, pengaturan keorganisasian media. Kedua, UU KIP secara lebih luas mengatur aspek-aspek kebebasan informasi. Dengan tujuan menjamin dan melembagakan hakhak publik untuk mengakses informasi-informasi penyelenggaraan pemerintahan di semua lini dan semua level birokrasi. Jika subyek dalam UU Pers adalah media atau wartawan, maka subyek dalam UU KIP adalah publik, warga negara, setiap orang. Ketiga, Prinsip universal kebebasan informasi menempatkan kebebasan pers sebagai bagian dari ruang-lingkup kebebasan informasi. Tujuan pelembagaan prinsipprinsip kebebasan informasi adalah pembentukan dan penguatan good and clean governance yang dengan jelas mensyaratkan berkembangnya pers yang bebas, independen dan profesional. Keempat, Hak wartawan atas informasi adalah bagian integral dari hak publik atas informasi. Kelima adalah Berbagai negara, seperti Amerika Serikat misalnya, tidak memiliki UU Pers. Dalam prakteknya, di negara tersebut UU KIP (Freedom of Information Act) banyak digunakan untuk mendukung dan melindungi kerja-kerja media (Sudibyo, tanpa tahun:17).

Meskipun wartawan selaku unsur publik yang paling aktif menggunakan hak kebebasan memperoleh informasi, akan tetapi tidak ada lex spesialis (aturan khusus) bagi profesi ini di dalam UU KIP. Pasal 3 dan 4 UU KIP menyatakan bahwa tujuan dan hak pemohon informasi adalah setiap warga negara dan setiap orang (publik). Selain itu, staf ahli menteri komunikasi dan informasi bidang media massa Henry Subiakto mengatakan bahwa UU KIP, bukan ditujukan untuk wartawan. Menurut dia, wartawan dalam melakukan peliputan membutuhkan data secepat mungkin sebagai bahan berita. Sementara, dalam undang-undang tersebut memberi kesempatan 10 hingga 17 hari kepada lembaga maupun instansi pemilik data untuk memberikan informasi yang diminta. Jadi, undang-undang (UU KIP) ini untuk publik. Wartawan


(33)

tentu saja boleh meminta informasi, namun itu adalah haknya sebagai warga negara atau bagian dari publik (http://www.antaranews.com/berita/312281/uu-kip-bukan-untuk-wartawan diakses tanggal 19 september 2014 pukul 00:30 WIB).

Meskipun realitasnya seperti itu, keterbukaan informasi dan kebebasan pers merupakan dua syarat yang harus dipenuhi bagi negara yang ingin menuju kesempurnaan berdemokrasi. Melalui keduanya, penyelenggaraan negara menjadi terbuka lebar mengarah pada terpenuhinya prinsip-prinsip good governance. Melalui UU Pers dan UU KIP Indonesia telah berada di jalur menuju demokrasi yang seutuhnya. UU Pers berlaku sejak sembilan tahun lalu sedang UU KIP baru disahkan. Khusus bagi kalangan pers, UU KIP diharapkan dapat mendukung pelaksanaan fungsi pers seperti diamanatkan UU Pers.Dari ketentuan-ketentuan tersebut, kerja pers sudah seharusnya dapat terbantu dan akan semakin banyak informasi berkualitas

yang bisa diberikan pers ke publik

(http://www.dewanpers.or.id/page/publikasi/buku/?id=1598 diakses tanggal 19 september 2014 pukul 00:40).

Untuk memastikan hak untuk mendapat informasi sungguh diakui, UU KIP mendirikan Komisi Informasi dengan tugas-tugas di antaranya membuat perencanaan peraturan, memberlakukan panduan teknis mengenai standar pelayanan informasi publik dan penyelesaian sengketa informasi melalui mediasi dan/atau penetapan pengadilan (Erdianto dkk, 2012:13).

Bagi kalangan jurnalis atau wartawan, kehadiran lembaga tersebut mempunyai peranan yang cukup penting, yakni klaim rahasia negara tidak bisa sewenang-wenang, sepihak oleh badan publik, harus melalui pertimbangan dan pengaturan Komisi Informasi. Komisi Informasi bisa menjadi lembaga komplain jika akses media terhadap informasi-informasi badan publik dihambat atau ditutup dan komisi informasi mempunyai otoritas untuk meminta badan atau pejabat publik membuka informasi atau dokumen publik tertentu yang dibutuhkan publik, termasuk melalui pemberitaan media (Sudibyo, tanpa tahun:27).


(34)

Secara politis, pentingnya UU KIP bagi kebebasan pers khususnya di Indonesia diharapkan mampu memperkuat kedudukan UU Pokok Pers, melembagakan dasar hukum bagi hak atas dasar informasi yang mencakup hak media atas informasi, mengantisipasi akan revisi UU Pers yang dapat mereduksi peranan pers dan mengantisipasi belenggu kerahasiaan informasi oleh pemerintahan dan birokrasi lainnya. Singkatnya, undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) berperan dalam menyempurnakan kebebebasan pers. Sebab, dengan adanya undang-undang ini, jaminan kebebasan pers untuk mencari informasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) semakin tegas dan detail.(Sudibyo, Tanpa Tahun:18).

Terlepas dari anatomi di atas, UU KIP mempunyai beberapa tujuan. Pertama, UU KIP mengatur dan menjamin hak atas informasi (right to know), atau hak-hak publik atas aksesyang terbuka, efisien dan memadahi terhadap informasi-informasi tata kelola dan proses penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, hak atas informasi juga merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM).Ketiga,keterbukaan Informasi adalah kondisi yang dibutuhkan untuk pemberantasan korupsi, perwujudan pemerintahan yang bersih dan transparan (Sudibyo, tanpa tahun:12).

Bagi negara Indonesia, dengan disahkannya UU KIP dapat dikatakan sebagai proses yang bertujuan untuk mengakhiri era penuh kerahasiaan dan pemerintahan yang tidak bertanggungjawab serta mengantar ke tingkat keterbukaan dan penyingkapan yang lebih baik dan luas. Secara konsep, hak untuk mendapat informasi dapat dipahami sebagai manifestasi pertanggungjawaban penuh negara terhadap rakyat. Organisasi publik, yang dibiayai oleh rakyat dan diawasi oleh pejabat publik terpilih, memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban mereka secara terbuka (Erdianto dkk, 2012:11).

Hak untuk mendapatkan informasi merupakan dasar perkembangan sosial maupun pribadi. Dalam masyarakat yang demokratis, hak untuk mendapat informasi sangat fundamental dalam menjunjung kedaulatan, karena memberikan kesempatan


(35)

bagi setiap warga negara (khususnya wartawan) untuk memantau para pejabatnya dan mendorong partisipasi dalam pemerintahan, transparansi, efektivitas, efisiensi dan bertanggungjawab (Erdianto dkk, 2012:12).

Bertolak dari persoalan yang sudah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam secara akademis, khususnya pada konteks konstruksi pemahaman wartawan AJI Medan terhadap UU KIP itu sendiri. Ketertarikan ini didasarkan pada beberapa hal. Pertama, selama menjalani masa akademis, peneliti menaruh perhatian khusus pada hukum media massa serta adanya keinginan agar lebih mendalaminya sebagai bentuk keilmuan yang akan berperan besar pada masa depan peneliti. Kedua, perhatian yang dikhususkan peneliti terhadap UU KIP disebabkan masih minimnya kajian atau penelitian tentang regulasi medai massa khususnya undang-undang ini. Padahal selaku human communication sepatutnya, mendalami regulasi media massa merupakan bagian yang integral dari kajian ilmu komunikasi kontemporer. Ketiga, undang-undang yang tidak terlalu femiliar ini justru membangkitkan rasa keingintahuan yang besar dari peneliti.

Pemilihan subjek penelitian dan daerahnya yang ditetapkan peniliti juga dilakukan atas dasar pertimbangan yang antara lain; peneliti menilai AJI Medan sudah cukup representatif untuk menjelaskan bagaimana pemahaman wartawan terhadap UU KIP. Hal ini desebabkan oleh beragamnya latar belakang institusi media dari masing-masing anggota subjek penelitian. Selain itu, program beasiswa liputan yang dilakukan organisasi wartawan ini dengan menggunakan UU KIP sebagai alat utamanya menjadi karakteristik tersendiri yang dapat menarik minat peneliti. Untuk pemilihan daerah, kedekatan geografis peneliti terhadap subjek memungkinkan penggalian materi dan informasi yang mendalam selain juga membantu memudahkan peneliti.

Peneliti juga menyadari adanya beberapa penelitian tentang UU KIP ini. Yakni, “telaah implementasi undang-undang keterbukaan informasi publik sebagai wujud penerapan prinsip good governance” oleh Eko Sakapurnama dan kawan


(36)

-kawan, “transparansi informasi publik dan percepatan pembangunan di daerah” oleh Idi Dimyati, dan “penilaian awal akses informasi Publik di provinsi nusa tenggara timur” oleh yayasan TIFA.

Kajian-kajian mengenai UU KIP tersebut lebih banyak menggambarkan persoalan kesiapan dan kapasitas pemahaman badan publik saja. Namun, untuk penelitian terhadap awak media selaku pencari, pengolah dan penyampai informasi terhadap undang-undang ini belum ada, setidaknya dalam lingkup Sumatera Utara. Karena itulah studi ini penting untuk diteliti agar pemahaman wartawan terhadap undang-undang keterbukaan informasi publik dapat dijelaskan. Selain itu, bagaimana wartawan memanfaatkan undang-undang ini dalam menunjang tugas jurnalistiknya dan apakah keterbukaan informasi dapat melindungi kebebasan pers di tanah air. Sehingga, lahirlah laporan atau informasi yang berkualitas yang dapat bermuara pada terbentuknya masyarakat Sumatera Utara yang memiliki basis informasi yang kuat atau masyarakat yang informed.

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan peneliti di atas, yang dijadikan pokok awal kajian, maka dapat ditarik fokus masalah yang berusaha menjawab seiring jalannya proses penelitian ini. Adapun fokus masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengetahuan narasumber sebagai wartawan Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan terhadap undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik ?

2. Bagaimana konstruksi pemahaman narasumber wartawan Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan ?

3. Bagaimana kedudukan undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dalam menunjang kerja jurnalistik ?


(37)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengetahuan wartawan Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan terhadap undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

2. Untuk mengetahui konstruksi pemahaman wartawan Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan.

3. Untuk mengetahui fungsi undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dalam menunjang kerja jurnalistik wartawan Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Sementara, untuk manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini akan memberi sumbangan bagi kekayaan khasanah keilmuan dalam bidang hukum media massa terkait persepsi wartawan sebagai pencari, pengolah dan penyebar luas informasi. Khususnya bagi wilayah Sumatera Utara.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan masyarakat pembaca secara umum, khususnya wartawan di wilayah Sumatera Utara.

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU guna memperkaya bahan penelitian dan sebagai sumber bacaan khususnya bidang hukum media massa.


(38)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Konstruktivisme

Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003:9).

Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas dalam ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003:3).

Untuk konstruktivisme, sejarahnya dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan pengertian alam semesta menjadi tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku. Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Menurutnya, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik melainkan melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran inilah yang kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia (Ardianto & Q Anees, 2007:153). Namun, apabila ditelusuri lebih dalam, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme telah dimulai oleh


(39)

Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997:24).

Kritik kaum konstruktivisme terhadap positivisme yang meyakini pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Konstruktivisme menolak keyakinan tersebut karena pengetahuan bukanlah gambaran dunia keyataan yang ada. Menurut mereka pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Selanjutnya, mereka menjelaskan bahwa subjek pengamat tidaklah kosong dan tanpa terlibat dalam tindak pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat. Menurut mereka, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati (Ardianto & Q Anees, 2007:154).

Menurut Driver dan Bell dalam Bettencourt (1989), ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas. Untuk menemukan kenyataan yang sebenarnya, tidak cukup dengan hanya mengamati objek yang ada. Ada dunia yang berbeda yakni dunia kenyataan dan dunia pengertian. Maka dari itu, untuk menjembatani keduanya diperlukan proses konstruksi imajinatif.

Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Substansi penting dari perspektif konstruktivisme ini adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan membuat proses konstruksi membutuhkan tiga proses. Pertama, kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kedua, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan


(40)

(justifikasi). Ketiga, kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain.

Pieget (1970) telah membedakan dua aspek berfikir dalam pembentukan pengetahuan, yakni aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif a dalah imajinasi keadaan sesaat dan statis. Aspek operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari berfikir adalah aspek operatif. Berfikir seperti inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi (Ardianto & Q Anees, 2007:154-155).

Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut :

a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Ardianto & Q Anees, 2007:155).

Konstruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan terhadap pengetahunannya. Perubahan inilah yang akan mengembangkan pengetahuan seseorang. Menurut Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi; konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan dan konteks pembenaran (Ardianto & Q Anees, 2007:156-157).


(41)

Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto & Q Anees, 2007:151).

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Maka dari itu, konstruktivisme percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independen dari subjek yang mengamati (Ardianto & Q Anees, 2007:151-152).

Selain itu, menurut para konstruktivis semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom akan tetapi dikonstruksi secara sosial dan karenanya plural. Mereka juga menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek terhadap subjek yang mengetahui. Menurut mereka kedua unsur tersebut sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma konstruktivisme mencoba menjembatani dualisme objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, kaum konstrukvis menganggap bahwa tidak ada makna yang mandiri, tidak deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat “apa yang ada disana” atau sebaliknya tanpa


(42)

termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial (Ardianto & Q Anees, 2007:152).

Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen sehingga terbuka dan mengalami proses evolusi. Berbagai versi tentang objek-objek dan tentang dunia muncul dari berbagai komunitas sebagai respons terhadap tertentu, sebagai upaya mengatasi masalah tertentu dan cara memuaskan kebutuhan dan kepentingan tertentu. Masalah kebenaran dalam konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan kesepakatan pada komunitas tertentu (Ardianto & Q Anees, 2007:153).

2.1.1 Konstruktivisme Dalam Ilmu Komunikasi

Dalam ilmu komunikasi, konstruktivisme adalah pendekatan teoritis yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekannya. Relevansi penggunaan teori ini pada waktu tersebut untuk meneliti komunikasi antarpersonal yang dikembangkan para akademisi secara sistematik dengan membuat peta terminologi secara teoritik dan hubungan-hubungannya dengan mengelaborasi sejumlah asumsi serta uji coba teori dalam ruang lingkup situasi produksi pesan. Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi :

a. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan.

b. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif melainkan diturunkan melalui interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.

c. Pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang dan waktu yang dapat berubah sesuai pergeseran waktu.


(43)

d. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut memengaruhi cara pandang kita terhadap realitas. Jadi, dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan diluar dirinya.

e. Pengetahuan bersifat sarat nilai (Ardianto & Q Anees, 2007:157-158).

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan bereaksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. George Keely menegaskan cara pemahaman pribadi seseorang dilakukan dengan pengelompokan peristiwa menurut persamaan dan perbedaannya. Perbedaan tersebut menjadi dasar penilaian sistem kognitif individual yang bersifat pribadi dan karenanya berbeda dengan konstruksi sosial. Aliran ini meyakini bahwa sistem kognitif individu berkembang kompleks (Ardianto & Q Anees, 2007:158-159). 2.2 Konstruksi Realitas Sosial

Menurut Suparno, konstruksi sosial berawal dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Sedangkan istilah konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Lukcmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Constructions of Reality, a Treatise in the Sosiological of Knowladge” (Bungin, 2008:188).

Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial sekelilingnya. Dunia sosial itu menurut George Simmel (dalam Bungin, 2008:82) bahwa realitas dunia sosial berdiri sendiri di luar individu yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya. Realitas sosial itu “ada” dilihat dari sisi subjektivitas “ada” itu sendiri dan dunia objektif disekeliling realitas sosial itu. Sedangkan menurut Max Weber realitas sosial adalah perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kalau yang dimaksud dengan


(44)

subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat (Veeger, 1993:171).

Secara definitif, teori konstruksionisme sosial (constructionism social) menurut Denis McQuail adalah ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif (yang lebih liberal) bahwa struktur, kekuatan dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia secara terus menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah dan kritik. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa ada penekanan secara umum terhadap kemungkinan untuk tindakan dan juga pilihan dalam memahami realitas. Realitas sosial harus dibuat dan diberikan makna (ditafsirkan) oleh aktor manusia (McQuail, 2011:110).

Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik didalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:82).

2.2.1 Karakteristik Realitas Sosial

Menurut Soetandyo Wingnyosoebroto (2004), bahwa realitas sosial itu memiliki realitas ganda (double reality), di satu sisi memiliki realitas fakta sosial dan di sisi lain adalah sistem normatif. Realitas fakta sosial adalah sistem yang tersusun atas segala apa yang senyatanya di dalam kenyataan yang ada. Sistem normatif adalah sistem yang berada di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada. Dengan demikian, fakta sosial terdiri dari dua bentuk, yakni fakta sosial yang kentara dan fakta sosial yang abstrak atau tak kentara. Dengan kata lain, suatu fakta


(45)

sosial merupakan cara berperilaku baik yang tetap maupun yang tidak tetap atau setiap cara bertingkah laku yang umum di dalam masyarakat, yang pada saat waktu bersamaan tidak bergantung pada manifes individual (Bungin, 2008:83).

Sztompka (2004) juga membagikan realitas sosial kedalam dua bagian, yakni realitas potensial dan realitas aktual. Realitas potensial adalah realitas yang secara potensial dapat diungkapkan oleh peneliti melalui pengamatan yang mendalam dan kajian yang panjang. Sedangkan realitas aktual adalah realitas yang dapat langsung diamati melalui pengindraan (Bungin, 2008:83).

Menurut Berger dan Lukcmann, realitas sosial ada tiga macam, yakni realitas objektif, realitas simbolis dan realitas intersubjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar individu dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997:93). 2.2.2 Realitas Sosial Bentukan Konstruksi Sosial

Berger dan Luckmann memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal,


(46)

yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Pendek kata, Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu (Bungin, 2008:191).

Menurut Berger dan Luckmann proses dialektika yang terjadi dalam masyarakat seperti yang sudah penulis jelaskan di atas berlangsung dalam tiga momen simultan. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua, objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Ketiga, internalisasi yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya (Bungin, 2008:193).

Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturalnya. Dengan kata lain, eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah produk-produk sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar. Menurut Berger dan Lukcmann yang perlu ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Dengan demikian, tahap eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat, kemudian individu mengeksternalisasikan (penyesuaian diri) ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia (Bungin, 2008:194).

Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Lukcmann dikatakan


(47)

memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung (Bungin, 2008:194).

Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial itu (Bungin, 2008:195).

Menurut Berger dan Lukcmann (dalam Bungin, 2008:195), hal terpenting dalam objektivasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya keran tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi pemaknaan subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensendensi seperti itu dicapai, dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik terlepas secara maksimal dari “di sini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda-tanda dan bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priori yang berdasarkan kenyataan lain, tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari.

Dengan demikian, yang terpenting dalam tahap objektivasi ini adalah melakukan signifikasi, memberikan tanda bahasa dan simbolisasi terhadap benda yang disignifikasi, melakukan tipifikasi terhadap kegiatan seseorang yang kemudian


(48)

menjadi objektivasi linguistik, yaitu pemberian tanda verbal maupun simbolisasi yang kompleks (Bungin, 2008:196).

Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya” yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia di mana sudah ada orang lain. Pada proses tersebut, individu dapat memodifikasi dunia dan bahkan dapat menciptakan kembali dunia kreatif. Dalam konteks seperti ini, Berger dan Luckmann mengatakan, bagaimanapun juga dalam bentuk internalisasi yang kompleks, individu tidak hanya “memahami” proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat. Individu juga “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia individu bagi dirinya. Ini menandai bahwa individu dan orang mengalami kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekadar sepintas lalu, dan juga suatu perspektif komprehensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya memahami definisi pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya bersama, namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-keyataan itu secara timbal balik (Bungin, 2008:197-198).

Individu menurut Berger dan Luckmann (dalam Bungin, 2008:198) dikatakan, mengalami dua proses sosialisasi, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer merupakan proses, di mana individu terlibat dengan dunia sosial lebih dari sekadar belajar secara kognitif semata-mata. Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya (role specific knowladge), di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja (Bungin, 2008:198).

Sifat sosialisasi primer juga dipengaruhi oleh berbagai persyaratan dalam pengalihan cadangan pengetahuan (social stok of knowladge). Persyaratan tersebut oleh Berger dan Luckmann dikatakan, legitimasi tertentu menuntut tingkat


(49)

kompleksitas linguistik yang lebih tinggi bagi pemahamannya dibandingkan dengan legitimasi lainnya. Sosialisasi primer akan berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya dan segala sesuatu yang menyertainya, telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik ini ia sudah menjadi anggota efektif masyarakat, dan secara subjektif memiliki suatu “diri” dan sebuah dunia (Bungin, 2008:199).

Dalam sosialisasi sekunder, telah terjadi internalisasi “subdunia” kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu, wilayah jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Dengan demikian, “subdunia” yang dijelaskan di atas adalah yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder dan pada umumnya merupakan kenyataan-kenyataan parsial, di mana kenyataan itu berbeda dengan “dunia dasar” yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Walaupun demikian “subdunia” itu merupakan kenyataan yang sedikit banyak kohesif, bercirikan komponen normatif, dan efektif maupun yang kognitif (Bungin, 2008:200).

Proses internalisasi juga melibatkan identifikasi subjektif dengan peran dan norma-normanya yang sesuai. Sifat sosialisasi sekunder, seperti bergantung kepada status prangkat pengetahuan yang bersangkutan di dalam universum simbolis secara keseluruhan. Bagunan sosialisasi sekunder selalu dibangun di atas dunia yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasi. Dalam kenyataannya, internalisasi memiliki konsistensi antara internalisasi pertama dengan yang baru. Dengan kata lain, sosialisasi memiliki konsistensi yang bergantung pada masalahnya (Bungin, 2008:200-201).

Dalam hal bagaimana individu belajar dalam sosialisasi sekunder, maka keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak dicapai, menuntut struktur landasan pengetahuan itu (Bungin, 2008:200-201).

Selanjutnya, Berger dan Luckmann mengatakan, sosialisasi tidak pernah lengkap karena selalu ada tantangan memelihara realitas itu, khususnya untuk


(50)

memelihara hubungan realitas subjektif dan realitas objektif. Sosialisasi yang tidak sempurna itu berakibat terbentuknya konstruksi sosial baru di masyarakat. Inilah proses eksternalisasi yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann. Di mana realitas sosial bisa saja menciptakan suatu realitas pencitraan kelas tertentu bagi kelompok -kelompok sosial dibawahnya melalui pemaknaan dalam interaksi simbolis maupun proses totemisme (Bungin, 2008:201-202).

2.3 Wartawan

Dalam Rinawani (2002:45), istilah wartawan dahulunya dikenal sebagai “kuli tinta atau kuli pena”. Istilah itu berubah dalam satu dekade belakangan ini, yakni “kuli disket”. Perubahan julukan bagi wartawan tersebut didasari dengan pemanfaatan perkembangan teknologi dalam tugasnya. Jika dulunya wartawan menulis berita dengan tinta atau pena, hal itu berubah setelah penerapan teknologi komputerisasi. Namun, meskipun istilah-istilah tersebut berubah, tugas dari wartawan tetap sama, yakni memberikan informasi yang benar bagi masyarakat.

Pada prinsipnya wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Ini berarti wartawan tidak identik dengan orang yang memiliki kartu pers. Walaupun seseorang memiliki seribu kartu pers, tetapi jika dia tidak melakukan kegiatan jurnalistik, dia bukanlah wartawan (Sukardi, 2012:92). Definisi ini pun sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers seperti yang termaktub dalam pasal 1 ayat 4, menyatakan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Sedangkan menurut Atmadi (1985), wartawan adalah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan secara berkesinambungan. Sedangkan kewartawanan adalah pekerjaan/kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lainnya untuk perusahaan pers, radio, TV dan film (Atmadi, 1985:52).


(51)

Dalam Anggaran Rumah Tangga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) BAB I pasal 2 tentang pengertian jurnalis/wartawan adalah orang yang melakukan semua pekerjaan sah yang berhubungan dengan kegiatan jurnalistik seperti pengumpulan, pengolahan dan penyiaran berita opini, ulasan, gambar/ilustrasi, karikatur dan sebagainya dalam bidang komunikasi. Menurut Sukardi (2012:93), meskipun pada prinsipnya semua orang berhak menjadi wartawan, tidaklah berarti pula semua orang otomatis dapat melakukan profesi wartawan. Maka dari itu, profesi warta wan adalah profesi yang honorable (terhormat), mengabdi kepada kepentingan umum dan tunduk kepada hukum dibidang profesinya. Pertama, untuk menjalankan profesi wartawan yang honorable (terhormat) seseorang secara teoritis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Mencapai standar kompetensi yang sangat tinggi dibidangnya b. Menyangkut kepentingan publik

c. Mengandung trust atau kepercayaan tinggi dalam relasi pekerja d. Tingkat independensinya tinggi

e. Penghasilan berdasarkan kinerja f. Memiliki kode etik

Kedua, profesi wartawan yang mengabdi kepada kepentingan umum, memerlukan keterampilan teknis, pengetahuan umum dan kesadaran filosofis mengenai pers. Tanpa itu, seseorang akan sulit menjalankan profesi wartawan yang mengabdi kepada kepentingan publik. Ketiga, pers memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap masyarakat. Jika pers diselenggarakan dengan baik, maka pers akan memberikan pengaruh yang baik pula. Pada akhirnya pers juga sangat berhubungan dengan pelaksanaan hukum. Maka seorang wartawan setidaknya harus patuh dan taat kepada prinsip hukum dan keadilan terutama yang berhubungan dengan kemerdekaan berekspresi (Sukardi, 2012:93-94).


(52)

2.3.1 Standar Kompetensi Wartawan

Peraturan Dewan Pers (dalam Sukardi, 2012:94), tentang standar kompetensi wartawan yang telah dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan standar kompetensi wartawan (SKW) adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keteranpilan/keahlian dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Standar kompetensi wartawan mengikuti piramida sebagai berikut ini :

Gambar : 1

Model dan Kategori Kompetensi

Sumber : Sukardi, 2012 : 95 Kesadaran atau awarenes

Dalam melaksanakan pekerjannya wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan yang diperlukan bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme wartawan adalah kesadaran etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, jejaring dan lobi.

Pengetahuan atau knowledge

Kesadaran Etika dan Hukum

Kepekaan Jurnalistik, jejaring dan lobi

Pengetahuan

Peliputan umum, teori dan prinsip jurnalistik Pengetahuan khusus

Keterampilan

Peliputan (6M), Riset/Investigasi, Penggunaan alat dan teknologi, informasi, analisis/arah pemberitaan


(53)

Wartawan dituntut untuk memiliki teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, serta pengetahuan khsusu. Wartawan juga perlu mengetahui berbagai perkembangan informasi mutakhir dibidangnya termasuk pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik.

Keterampilan atau skill

Wartawan mutlak harus menguasai keterampilan jurnalistik. Selain itu, wartawan juga harus mampu melakukan riset, investigasi, analisis dan penentuan arah pemberitaan serta keterampilan, menggunakan alat kerjanya termasuk teknologi informasi (Sukardi, 2012:97-98).

Jenjang kompetensi wartawan terdiri dari tiga tingkatan, yakni wartawan muda, wartawan madya dan wartawan utama. Diantara tingkatan kompetensi tersebut, ketiganya dituntut memiliki kompetensi masing-masing, yakni wartawan muda harus melakukan kegiatan (tugas jurnalisitk), wartawan madya mengelola kegiatan dan wartawan utama mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan. Dalam standar kompetensi wartawan di atas, terdapat elemen kompetensi di dalamnya. Yang dimaksud dengan elemen kompetensi adalah bagian kecil unit kompetensi yang mengidentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Dalam setiap elemen kompetensi setiap unit harus mencerminkan unsur 6M. Adapun elemen kompetensi wartawan terdiri atas :

a. Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai wartawan.

b. Kompetensi inti, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas umum jurnalistik.

c. Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas khusus jurnalistik (Sukardi, 2012:96-97).

Dalam standar kompetensi wartawan terdapat kompetensi kunci. Yang dimaksud dengan kompetensi kunci adalah kemampuan yang harus dimiliki


(54)

wartawan untuk mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas unit kompetensi tertentu. Kompetensi kunci terdiri atas sebelas kategori kemampuan, yakni :

a. Memahami dan menaati etika jurnalistik

b. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita c. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi

d. Menguasai bahasa

e. Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita

f. Menyajikan berita g. Menyunting berita

h. Merancang rubrik atau halaman pemberitaan dan atau slot program pemberitaan

i. Manajemen redaksi

j. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan

k. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan (Sukardi, 2012:98).

Konsekuensi diberlakukannya standar kompetensi wartawan bagi wartawan adalah, bagi narasumber berhak melakukan penolakan ketika wartawan yang melakukan wawancara tidak memiliki kompetensi. Selain itu untuk jabatan pemimpin redaksi dan penanggung jawab hanya dapat dipegang oleh wartawan yang memiliki jenjang kompetensi wartawan utama (Sukardi, 2012:99).

2.4 Jurnalistik dan Berita

Dalam buku “pengantar jurnalistik” oleh Suhandang (2010), Praktik jurnalistik pada awalnya dikembangkan oleh para budak belian orang-orang Romawi kaya yang diberi tugas mengumpulkan berita setiap hari. Pada masa itu (60 SM), Julius Caesar menghasilkan persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis


(1)

bertemu dengan peneliti meskipun tanpa perkenalan. Sambil menyambut kedatangan peneliti, Liston menceritakan beberapa mahasiswa yang pernah mewawancarainya guna penelitian dan tugas kuliah.

Dengan sedikit cengkrama dan mengenang kembali memori kampus, wawancara pun dimulai. Selama proses wawancara, peneliti menjelaskan asumsi dasar dari pertanyaan. Hal ini disebabkan rasa keingintahuan informan dalam membuat pertanyaan-pertanyaan itu. Meskipun terlihat sulit oleh Liston dalam menjawab pertanyaan karena kurang memperhatikan UU KIP, proses wawancara tetap berjalan baik. Setidaknya, inilah yang dapat dilihat peneliti selama proses wawancara.

Informan keempat : Tikwan

Setelah bersusah payah menempuh akses ke kediaman Tikwan, peneliti akhirnya bertemu dengannya di sore hari yang cukup sejuk. Tempat wawancara memang atas dasar permintaan beliau kepada peneliti yang dilakukan di kediamannya sendiri. Meski demikian, peneliti awalnya kurang percaya berhasil mendapatkan kediaman beliau karena minimnya pengetahuan peneliti akan daerah kota Medan.

Berjumpa dengan Tikwan adalah tongkat semangat bagi peneliti mengingat jauhnya akses kediaman beliau. Kehadiran peneliti memang disambut dan dijamu baik oleh informan ini. Tanpa memperpanjang waktu, peneliti langsung meminta informan untuk sedikit berdiskusi terkait permasalahan penelitian guna memperoleh garis pemahaman yang sama. Disela-sela diskusi singkat itu, peneliti memperkenalkan diri yang disambut oleh Tikwan dengan semangat karena memiliki kesamaan adat istiadat, kebudayaan dan daerah yang sama dengan peneliti. Setelah diskusi peneliti akhiri, wawancara pun dimulai.

Selama proses wawancara dengan informan ini, peneliti melihat antusiasme yang tinggi darinya. Selain itu, tidak ada kesulitan bagi Tikwan dalam menjawab dan menjelaskan pertanyaan penelitian. Menurut peneliti, pengalaman beliau selama


(2)

menggeluti jurnalistik telah membangun basis analisis tersendiri dalam memaknai suatu realitas. Hal ini terlihat ketika jawabannya cukup mengejutkan peneliti. Pada akhir wawancara, Tikwan sedikit memberikan penjelasan yang cukup komprehensif dalam membangun lahirnya penelitian ini. Setidaknya, inilah yang peneliti lihat ketika proses wawancara berlangsung lancar.

Informan kelima : Sahyan

Wawancara dengan Sahyan berlangsung disuatu pagi di kantor Komisi Informasi Sumut. Tempat wawancara ini memang atas permintaan beliau kepada peneliti yang sudah disepakati. Ketika peneliti mendatangi kantor tersebut, seorang petugas satpam langsung membawa peneliti menuju ruang kerja Sahyan. Beliau menyarankan peneliti untuk menduduki salah satu kursi diruangan itu guna kenyamanan wawancara.

Demi menghemat waktu yang mendekati shalat jumat, wawancara pun dimulai dengan suasana yang tenang dan sedikit candaan. Awalnya Sahyan menjelaskan sejarah singkat undang-undang keterbukaan informasi publik dan peranan Komisi Informasi tempatnya bekerja. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan penelitian, informan ini cukup bagus dalam menjawab. Hal ini terlihat pada penjelasan yang diberikan informan kepada peneliti. Selain itu, Sahyan menunjukkan beberapa dokumen dan arsip penting kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. Setidaknya, inilah yang peneliti lihat ketika proses wawancara berlangsung.


(3)

Struktur AJI Kota Medan

KETUA

SEKRETARIS BENDAHARA

DIV. ADVOKASI

DIV. SP DIV.

ORGANISASI DIV.

USAHA

BPK MAJELIS ETIK

A N G G O T A

DIV. PEREMPUAN


(4)

Dokumentasi Penelitian

(Wawancara Agus pada tanggal 1 Mei 2015 pukul 20:13 di Kedai Kupee Uleekareng Jl Ring Road)

(Wawancara Liston pada tanggal 2 Mei 2015 pukul 15:11 di Uleekareng Jl Dr Mansyur)


(5)

BIODATA PENELITI

Nama : Mhd Hadis Saleh

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Tempat/Tanggal Lahir : Pancinaran, 11 Januari 1989

Agama : Islam

Anak Ke : Satu dari lima bersaudara

Alamat : Jalan Abd Hakim Nomor 35 Kp Susuk Padang Bulan

No Telepon : 0877 6774 6025

Email : mhdhadissaleh@gmail.com

Blog : www.mediacybercommunity.blogspot.com

Nama Ayah : Ahmad Yani Matondang

Nama Ibu : Kholilah Nasution

Alamat Orang Tua : Pancinaran Kec Hutabargot Kab Mandailing Natal

Pendidikan :

SD Negeri Pancinaran 1997-2003

Madrasah Tsanawiyah Guppi Malintang 2003-2006

SMA Muhammadiyah 13 Mandailing Natal 2006-2009

Pengalaman & Ekstrakurikuler :

Staf web master persma Pijar USU 2012

Staf promosi persma Pijar USU 2013


(6)

Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) oleh Dewan Pers 2013


Dokumen yang terkait

Kompensasi Wartawan Dan Independensi (Studi Deskriptif Tentang Peranan Kompensasi Wartawan Terhadap Independensi Anggota Aliansi Jurnalis Independen cabang Medan)

0 58 125

Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP): Dampaknya Terhadap Informasi Medical Record

0 18 10

Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik - [PERATURAN]

0 3 53

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

0 2 80

Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik

0 0 38

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

0 0 36

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme - Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 T

0 0 9

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

0 0 14

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

0 0 14