Karakteristik Realitas Sosial Realitas Sosial Bentukan Konstruksi Sosial

xxx Universitas Sumatera Utara subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat Veeger, 1993:171. Secara definitif, teori konstruksionisme sosial constructionism social menurut Denis McQuail adalah ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif yang lebih liberal bahwa struktur, kekuatan dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia secara terus menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah dan kritik. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa ada penekanan secara umum terhadap kemungkinan untuk tindakan dan juga pilihan dalam memahami realitas. Realitas sosial harus dibuat dan diberikan makna ditafsirkan oleh aktor manusia McQuail, 2011:110. Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik didalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya Bungin, 2008:82.

2.2.1 Karakteristik Realitas Sosial

Menurut Soetandyo Wingnyosoebroto 2004, bahwa realitas sosial itu memiliki realitas ganda double reality, di satu sisi memiliki realitas fakta sosial dan di sisi lain adalah sistem normatif. Realitas fakta sosial adalah sistem yang tersusun atas segala apa yang senyatanya di dalam kenyataan yang ada. Sistem normatif adalah sistem yang berada di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada. Dengan demikian, fakta sosial terdiri dari dua bentuk, yakni fakta sosial yang kentara dan fakta sosial yang abstrak atau tak kentara. Dengan kata lain, suatu fakta Universitas Sumatera Utara xxxi Universitas Sumatera Utara sosial merupakan cara berperilaku baik yang tetap maupun yang tidak tetap atau setiap cara bertingkah laku yang umum di dalam masyarakat, yang pada saat waktu bersamaan tidak bergantung pada manifes individual Bungin, 2008:83. Sztompka 2004 juga membagikan realitas sosial kedalam dua bagian, yakni realitas potensial dan realitas aktual. Realitas potensial adalah realitas yang secara potensial dapat diungkapkan oleh peneliti melalui pengamatan yang mendalam dan kajian yang panjang. Sedangkan realitas aktual adalah realitas yang dapat langsung diamati melalui pengindraan Bungin, 2008:83. Menurut Berger dan Lukcmann, realitas sosial ada tiga macam, yakni realitas objektif, realitas simbolis dan realitas intersubjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar individu dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi Subiakto, 1997:93.

2.2.2 Realitas Sosial Bentukan Konstruksi Sosial

Berger dan Luckmann memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan being yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata real dan memiliki karakteristik yang spesifik. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, Universitas Sumatera Utara xxxii Universitas Sumatera Utara yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Pendek kata, Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu Bungin, 2008:191. Menurut Berger dan Luckmann proses dialektika yang terjadi dalam masyarakat seperti yang sudah penulis jelaskan di atas berlangsung dalam tiga momen simultan. Pertama, eksternalisasi penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua, objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Ketiga, internalisasi yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya Bungin, 2008:193. Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturalnya. Dengan kata lain, eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola interaksi antara individu dengan produk- produk sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar. Menurut Berger dan Lukcmann yang perlu ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Dengan demikian, tahap eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat, kemudian individu mengeksternalisasikan penyesuaian diri ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia Bungin, 2008:194. Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Lukcmann dikatakan Universitas Sumatera Utara xxxiii Universitas Sumatera Utara memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung Bungin, 2008:194. Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial itu Bungin, 2008:195. Menurut Berger dan Lukcmann dalam Bungin, 2008:195, hal terpenting dalam objektivasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebuah tanda sign dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya keran tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi pemaknaan subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa sebuah wilayah penandaan signifikasi menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensendensi seperti itu dicapai, dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik terlepas secara maksimal dari “di sini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda- tanda dan bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priori yang berdasarkan kenyataan lain, tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari. Dengan demikian, yang terpenting dalam tahap objektivasi ini adalah melakukan signifikasi, memberikan tanda bahasa dan simbolisasi terhadap benda yang disignifikasi, melakukan tipifikasi terhadap kegiatan seseorang yang kemudian Universitas Sumatera Utara xxxiv Universitas Sumatera Utara menjadi objektivasi linguistik, yaitu pemberian tanda verbal maupun simbolisasi yang kompleks Bungin, 2008:196. Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya” yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia di mana sudah ada orang lain. Pada proses tersebut, individu dapat memodifikasi dunia dan bahkan dapat menciptakan kembali dunia kreatif. Dalam konteks seperti ini, Berger dan Luckmann mengatakan, bagaimanapun juga dalam bentuk internalisasi yang kompleks, individu tidak hanya “memahami” proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat. Individu juga “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia individu bagi dirinya. Ini menandai bahwa individu dan orang mengalami kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekadar sepintas lalu, dan juga suatu perspektif komprehensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya memahami definisi pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya bersama, namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-keyataan itu secara timbal balik Bungin, 2008:197-198. Individu menurut Berger dan Luckmann dalam Bungin, 2008:198 dikatakan, mengalami dua proses sosialisasi, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer merupakan proses, di mana individu terlibat dengan dunia sosial lebih dari sekadar belajar secara kognitif semata-mata. Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya role specific knowladge, di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja Bungin, 2008:198. Sifat sosialisasi primer juga dipengaruhi oleh berbagai persyaratan dalam pengalihan cadangan pengetahuan social stok of knowladge. Persyaratan tersebut oleh Berger dan Luckmann dikatakan, legitimasi tertentu menuntut tingkat Universitas Sumatera Utara xxxv Universitas Sumatera Utara kompleksitas linguistik yang lebih tinggi bagi pemahamannya dibandingkan dengan legitimasi lainnya. Sosialisasi primer akan berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya dan segala sesuatu yang menyertainya, telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik ini ia sudah menjadi anggota efektif masyarakat, dan secara subjektif memiliki suatu “diri” dan sebuah dunia Bungin, 2008:199. Dalam sosialisasi sekunder, telah terjadi internalisasi “subdunia” kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu, wilayah jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Dengan demikian, “subdunia” yang dijelaskan di atas adalah yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder dan pada umumnya merupakan kenyataan- kenyataan parsial, di mana kenyataan itu berbeda dengan “dunia dasar” yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Walaupun demikian “subdunia” itu merupakan kenyataan yang sedikit banyak kohesif, bercirikan komponen normatif, dan efektif maupun yang kognitif Bungin, 2008:200. Proses internalisasi juga melibatkan identifikasi subjektif dengan peran dan norma-normanya yang sesuai. Sifat sosialisasi sekunder, seperti bergantung kepada status prangkat pengetahuan yang bersangkutan di dalam universum simbolis secara keseluruhan. Bagunan sosialisasi sekunder selalu dibangun di atas dunia yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasi. Dalam kenyataannya, internalisasi memiliki konsistensi antara internalisasi pertama dengan yang baru. Dengan kata lain, sosialisasi memiliki konsistensi yang bergantung pada masalahnya Bungin, 2008:200-201. Dalam hal bagaimana individu belajar dalam sosialisasi sekunder, maka keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak dicapai, menuntut struktur landasan pengetahuan itu Bungin, 2008:200-201. Selanjutnya, Berger dan Luckmann mengatakan, sosialisasi tidak pernah lengkap karena selalu ada tantangan memelihara realitas itu, khususnya untuk Universitas Sumatera Utara xxxvi Universitas Sumatera Utara memelihara hubungan realitas subjektif dan realitas objektif. Sosialisasi yang tidak sempurna itu berakibat terbentuknya konstruksi sosial baru di masyarakat. Inilah proses eksternalisasi yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann. Di mana realitas sosial bisa saja menciptakan suatu realitas pencitraan kelas tertentu bagi kelompok - kelompok sosial dibawahnya melalui pemaknaan dalam interaksi simbolis maupun proses totemisme Bungin, 2008:201-202.

2.3 Wartawan

Dokumen yang terkait

Kompensasi Wartawan Dan Independensi (Studi Deskriptif Tentang Peranan Kompensasi Wartawan Terhadap Independensi Anggota Aliansi Jurnalis Independen cabang Medan)

0 58 125

Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP): Dampaknya Terhadap Informasi Medical Record

0 18 10

Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik - [PERATURAN]

0 3 53

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

0 2 80

Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik

0 0 38

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

0 0 36

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme - Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 T

0 0 9

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

0 0 14

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

0 0 14