lxxv
Universitas Sumatera Utara
Dalam proses wawancara, peneliti terlebih dahulunya menjelaskan topik, permasalahan dan tujuan dilaksanakannya penelitian ini. Selain mengajukan
pertanyaan penelitian berdasarkan panduan wawancara yang sudah ditetapkan, peneliti juga berusaha untuk mengenal lebih dalam latar belakang kewartawanan,
keorganisasian dan aspek-aspek penting dalam undang-undang keterbukaan informasi publik pada masing-masing informan. Hal ini bertujuan untuk mempertemukan garis
tengah antara pernyataan peneliti dengan informan dan untuk melihat kapasitas informan dalam menjawab permasalahan penelitian ini.
Selanjutnya, studi kepustakaan menjadi referensi penting dalam penelitian ini. Data-data berupa buku, koran, majalah, arsip, berita dan artikel yang peneliti
dapatkan melalui berbagai cara merupakan kontribusi besar dalam memperkuat faktualitas, validitas dan interpretasi peneliti yang menjadi tanggung jawab tersendiri
dalam mewujudkan penelitian ini.
4.2 Hasil Penelitian
Keran informasi disetiap badan publik sudah terbuka ketika undang-undang keterbukaan informasi publik UU KIP disahkan pada tanggal 30 April 2008.
Tepatnya, undang-undang ini berlaku setelah dua tahun diundangkan 30 April 2010. Dengan dibukanya keran informasi disetiap badan publik, wartawan selaku profesi
yang bertujuan untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang kerap berurusan dengan badan publik mendapat dukungan atas hadirnya UU KIP.
Oleh karena kontribusi penting dari UU KIP terhadap kerja jurnalistik yang menjadi salah satu syarat penting dalam membuka arsip-arsip publik, wartawan perlu
memahami bagaimana dan seperti apa undang-undang ini. Berangkat dari hal itu, penelitian ini dilakukan guna menjawab pokok permasalahan tadi. Adapun hasil
penelitiannya sebagai berikut : Informan Pertama : Herman
Universitas Sumatera Utara
lxxvi
Universitas Sumatera Utara
Herman merupakan informan pertama dalam penelitian ini. Awalnya, peneliti mengirim pesan singkat SMS guna menjelaskan niat peneliti. Selain itu, peneliti
juga memberikan surat izin penelitian kepadanya pada tanggal 23 April 2015 di depan kantor Medan Bisnis. Pada saat pertama kalinya bertemu dengan Herman,
peneliti meminta data dan nomor telepon anggota AJI Medan dan kemudian memintanya untuk menjadi informan dalam penelitian ini. Herman meminta peneliti
untuk bersabar atas waktunya yang padat sebagai jurmalis. Setelah itu, kesepakatan waktu dan tempat wawancara disetujui antara peneliti dengan Herman pada tanggal
29 April 2015 pukul 13:00 di kantor Medan Bisnis. Kegiatan jurnalistik sudah dijalani Herman semenjak mahasiswa di
universitas Sumatera Utara yaitu dengan bergabung di pers mahasiswa Suara USU. Akan tetapi, wartawan profesional baru ia mulai sejak tahun 2007 di Medan Bisnis.
Hingga saat ini, Herman masih bekerja di media tersebut dengan menduduki jabatan redaktur perdagangan dan politik. Selama hampir satu dekade berkarir dalam
jurnalistik, Herman bergabung dengan organisasi Aliansi Jurnalis Independen AJI Medan pada tahun 2007. Ia melihat AJI sebagai wadah perlindungan bagi jurnalis
yang rentan terhadap pelbagai resiko pada saat meliput peristiwa di lapangan : “Begini ya, kitakan orang di lapangan. Pasti adalah masalah, kendala
dan pasti butuh perlindungan. Jadi, untuk meminimalisir kemungkinan buruk itu kita harus berserikat. Intinya itu. Jadi, setelah berproses, apa
yang kita dapatkan setelah masuk organisasi ? jadi, mungkin disetiap organisasi itu punya program
‘capacity building’ peningkatan kapasitas. Bagaimana sih menulis isu-isu itu. Di AJI itu kan isu yang
diangkat isu lingkungan, jaminan sosial, isu perburuhan. Mulai tahun 2000, AJI itu menyatakan bahwa jurnalis itu adalah buruh”.
Menurut Herman, isu-isu yang diangkat AJI seperti isu lingkungan, jaminan sosial dan isu perburuhan merupakan capacity building peningkatan kapasitas bagi
seorang jurnalis yang bergabung dengan AJI. Proses seperti itu hanya dapat dipatri dengan cara berorganisasi, khususnya dalam organisasi AJI yang ia ikuti. Selain itu,
Herman menambahkan bahwa AJI sendiri pada tahun 2000 yang lalu mendeklarasikan jurnalis sebagai buruh.
Universitas Sumatera Utara
lxxvii
Universitas Sumatera Utara
Herman sendiri merupakan Pejabat Sementara Ketua di AJI Medan. Posisi itu ia duduki setelah ketua AJI tidak berdomisili di kota Medan lagi. Hal ini dikarenakan
anggaran dasar dan rumah tangga ADART organisasi yang mengatur tentang kepemimpinan AJI kota.
“Ketuanyakan lagi pindah ke Pontianak. Kalau di AJI itu anggotanya harus berdomisili di Kota. Kan dia sudah pindah, otomatis dia tidak
bisa lagi menjadi pengurus AJI Medan”.
Sebagai Pejabat Sementara Ketua AJI, Herman mengetahui undang-undang keterbukaan informasi publik pertama kalinya sejak tahun 2005. Pada saat ini,
kegiatan jurnalistik pun sidah ia geluti. Jadi, pembikinan rancangan untuk sebuah payung hukum agar
informasi ini bisa diserap semua orang, tidak hanya jurnalis dengan Undang-Undang Persnya, Inikan sudah dimulai sejak 2005-an, tapi
idenya itukan masih dari kawan-kawan di Jakarta. 2005-an inikan UU KIP sudah mulai digodok, didiskusikan, FGD focus group discussion
kan. Inikan masuknya ke DPR tahun 2007-an lalu disahkan tahun 2008 dan berlaku tahun 2010”.
Jika dilihat dari perjalanan panjang UU KIP, sebenarnya undang-undang tersebut memiliki dua fase pembahasan di DPR. Fase pertama terjadi ketika 40
Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang tergabung kedalam satu koalisi AJI merupakan salah satu dari koalisi itu merapatkan barisan untuk melahirkan sebuah
rancangan undang-undang kebebasan memperoleh informasi publik KMIP. Hasil rancangan tersebut resmi diajukan kepada DPR pada bulan Mei tahun 2000 yang
diadopsi sebagai RUU inisiatif DPR. Perjalanan UU KIP mengalami kemandekan pada tahap ini. Dipenghujung masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004 hanya
menghasilkan draft RUU kebebasan memperoleh informasi KMI yang disahkan menjadi draft DPR.
Fase kedua terjadi disaat usaha keras dari koalisi untuk meyakinkan anggota DPR periode 2004-2009 yang baru terpilih guna melakukan proses pembahasan draft
RUU KMI. Setelah disetujui DPR yang ditetapkan melalui sidang paripurna, koalisi
Universitas Sumatera Utara
lxxviii
Universitas Sumatera Utara
terus berupaya melakukan pembahasan, pengawasan dan kampanye gagasan atas pentingnya kebebasan informasi. Pada fase kedua inilah Herman mengetahui
rancangan undang-undang kebebasan memperoleh informasi melalui anggota AJI lainnya.
Pada saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP, Herman memandang bagus atas hadirnya undang-undang itu. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban yang
diamanatkan oleh undang-undang tersebut kepada badan publik dalam meyampaikan informasi.
Jadi, ketika itu yan g saya lihat ini UU KIP bagus”. Jadikan, selama
ini kewajiban informasi tidak kepada publik, itukan disampaikan secara satu arah. Misalkan ada program dari Pemko Pemerintah
Kota, Humas menyampaikan melalui media, sebelum ada KIP ini, informasi disampaikan kepada jurnalis, dan jurnalislah yang
menyampaikannya kepada masyarakat. Artinya, tidak ada semacam interaksi ketika kita butuh informasi seperti dana BOS. Jadi dulunya
ketika kita butuh informasi, kita harus nunggu koran, nunggu media. Jadi, kita tidak bisa meminta apa yang kita inginkan sebagai pembaca.
Jadi, kita hanya menunggu apa yang diberikan media massa karena ketika itu belum ada kewajiban, payung hukum ketika kita meminta
informasi itu caranya bagaimana ? be
gitu”. Herman juga memandang bahwa informasi yang disampaikan badan publik
secara satu arah melalui media massa merupakan tidak adanya interaksi dari publik ketika menginginkan suatu informasi. Hal ini menunjukkan bahwa publik berada
dalam keadaan yang pasif. Akibatnya, publik hanya bisa menunggu informasi dari media yang memiliki otoritas dalam hal informasi. Setelah itu, ia memandang bahwa
tidak adanya kewajiban dalam meyampaikan informasi merupakan masalah utama yang menjangkit badan publik sebelum UU KIP hadir. Dengan memanfaatkan
jurnalis sebagai pencari informasi, masyarakat tidak mengetahui bagaimana tata cara meminta informasi yang mereka butuhkan. Namun, dengan kehadiran UU KIP
problem-problem tadi dapat teratasi dengan dimanfaatkannya undang-undang itu oleh publik.
Universitas Sumatera Utara
lxxix
Universitas Sumatera Utara
Meskipun Herman memandang bagus UU KIP ini, ia menilai bahwa ada celah yang dapat menutup dalam kebebasan informasi itu sendiri.
“Kalau aku sih begini, yang terdetak pertama kali, sebenarnya ada enam hal pengecualian di dalam UU KIP. Jadi, UU KIP ini mulai
heboh lagi ketika masuk Undang-Undang Intelijen dan masuk lagi Undang-Undang ITE. Yang aku lihat, ada ketidakinginan sebenarnya
ketika misalkan Undang-Undang KIP ini membuka informasi sebesar- besarnya masih ada pasal pengecualian. Ditambah lagi dengan UU
ITE, UU Intelijen, UU Pornografi. Artinya begini, ada celah yang
menutup. Yang aku pikir begitu”. Menurutnya, ketika UU KIP membuka informasi yang sebesar-besarnya
masih ada pasal pengecualian di dalamnya. Kehebohan atau semacam wacana publik meningkat ketika Undang-Undang ITE, Undang-Undang Intelijen dan Undang-
Undang Pornografi masuk. Menurutnya, ketiga paket undang-undang tersebut bersama pasal pengecualian merupakan wujud ketidakinginan dalam membuka
informasi yang sebesar-besarnya. Maka dari itu, Herman memandang bahwa ketiga paket undang-undang itu dan pasal pengecualian adalah celah penutup dalam
kebebasan informasi publik. Selanjutnya, Herman memberikan pandangan terhadap pasal pengecualian ini.
Dalam pandangannya, hal-hal yang berkaitan dengan finansial nasional dan kebijakan strategis harus mempertemukan satu garis korelasi pemahaman dari masing-masing
anggota AJI. “Yang kami internal AJI perdebatkan itu. Semua sudah satu persepsi
belum dengan pengecualian itu ? inikan sudah Undang-Undang nih, sudah ada nih pasal pengecualian. Begini, kalau semua sudah satu
persepsi, pengecualian itu apa ?, mungkin ini bisa
‘clear’. Pertanyannya begini, PPID Panitia Penyedia Informasi dan Data
inikan bukan orang profesional. Misalnya, di Humas ada orang yang tidak punya struktural, dialah yang jadi PPID-
nya. Inikan ‘basic-nya’ apa ya ?. Artinya, kalau kepentingannya untuk si penyedia informasi
sepertinya bisa ditutup. Jadi ketika nanti itu dibutuhkan dia punya alasan ini dikecualikan. Artinya, ada hal-hal yang ketika terbuka
sendiri itu dikatakan terbuka. Dan ketika bisa ditutup, itu
dikecualikan”.
Universitas Sumatera Utara
lxxx
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya pasal pengecualian di dalam UU KIP menimbulkan perbedaan pendapat dalam internal AJI sendiri. Menurut Herman, apabila sudah ditemukannya
satu garis korelasi pemahaman atau persepsi yang sama terhadap pengecualian itu, masalah-masalah yang timbul dapat teratasi. Pada konteks ini, ia mempertanyakan
profesionalisme Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi PPID di setiap badan publik yang ditunjuk oleh pejabat fungsional sebagaimana yang diatur dalam
UU KIP. Selain kapasitas dan profesionalisme dari PPID, Herman menganggap dengan adanya pasal pengecualian dalam UU KIP, pasal tersebut menjadi alasan
strategis bagi kepentingan badan publik dalam melakukan buka tutup informasi. Mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP merupakan
aspek penting bagi publik ketika menginginkan informasi. Dalam hal ini, Herman memandang minimnya kesiapan PPID sebagai faktor sentral dalam menyediakan
informasi jika diminta. “Kesiapan orang itu belum ada. Itukan harus ada PPID, bisa kita
ceklah di Sumut berapa sih lembaga publik atau instansi pemerintah yang punya PPID ? belum semua. Di Pemko Pemerintah Kota Medan
itu baru satu. harusnyakan begini, kalau kita lihat KPID, dia itukan sendiri, ada staf-stafnya. KI pun ada stafnya. Kayak yang aku bilang
tadi, dia Humas, nganggur, gak ada kerja, karena ada UU KIP ini dibuatlah struktural, dia masuk PPID, ngerti gak dia dengan
kewajiban dia, ngerti gak dia dengan tugas dia ? Jadi, pernah kami buat diskusi dengan Komisi Informasi, ternyata orang-orang yang
ditugaskan di PPID itu pun belum tahu. Lebih parah lagi orang itu dari pada awak. Artinya, orang inikan PPID yang mengerjakan ini,
tapi gimana sih caranya mendapatkan informasi ? mereka pun tak tahu. Tahunya orang itu, datang surat, dibalas, tanya atasan, tanya ke
kabag Humas atau ke Sekda atau ke Wali Kota. Jadi, ini bisa gak di apain ? Seharusnyakan orang ini tahu, diproses dulu, jadi tinggal
mereka buat semacam permohonan untuk membuka informasi ini”. Meskipun prosedur mekanisme memperoleh informasi sudah ditetapkan
dalam UU KIP, Herman memandang bahwa PPID tidak perlu meminta klarifikasi dari atasan. Menurutnya, mereka seharusnya memproses setiap permohonan
permintaan informasi guna melahirkan permohonan informasi yang efektif kepada badan publik terkait. Namun, realitas ini sungguh berbeda disaat Herman ikut serta
Universitas Sumatera Utara
lxxxi
Universitas Sumatera Utara
dalam suatu acara diskusi bersama Komisi Informasi. Ia memandang PPID sebagai orang-orang yang diberi kewajiban dalam menentukan mekanisme memperoleh
informasi memiliki kapasitas dan kesiapan yang minim. Sebagai seorang jurnalis, Herman menilai mekanisme memperoleh informasi
yang diatur dalam UU KIP tidak sesuai dengan tuntutan deadline berita. Selain kesiapan yang minim dari PPID, ia memandang mekanisme itu terlalu lama.
“Jadi begini, di UU KIP ini memberikan tiga puluh hari kerja, ada yang empat belas hari kerja. Jadi ketika kita meminta itu, kita harus
buat surat lagi. Bayangkan misalkan media yang terbitnya harian, kita itu wartawan kerja dari jam tujuh sampai sepuluh malam. PNS kerja
jam berapa ? jam delapan sampai jam empat, kita masukkan surat, istirahat orang ini, nyari data lagi, gak bisa sehari dan di UU KIP pun
gak dibilang sehari, gak segera datanya. Kalau aku pribadi, jurnalis ngapain pakai UU KIP. Jadikan begini, semangatnya inikan membuka
informasi ke publik, apakah UU KIP ini harus dijadikan pegangan bagi jurnalis ? kalau aku bilang gak perlu, pakai UU Pers aja. Jadi,
kalau misalkan masyarakat, kalian pakai apa coba ? ya, harus pakai
UU KIP”. Prosedur dan waktu yang lama ketika meminta informasi menurutnya
menjadi penghambat bagi media yang terbitnya harian. Selain itu, PPID yang merupakan Pegawai Negeri Sipil PNS tidak memiliki pola waktu kerja yang sama
dengan wartawan. Jadi, setiap informasi yang diminta tidak up date lagi. Hal inilah yang menurutnya jurnalis tidak perlu memakai UU KIP ketika meminta informasi
kepada badan publik. Herman juga menambahkan meskipun semangat UU KIP adalah membuka informasi kepada publik, seyogiyanya publik yang harus memakai
undang-undang tersebut disaat meminta informasi kepada badan publik. Tugas dan peran Komisi Informasi menjadi lokomotif utama dalam
merealisasikan UU KIP. Dalam hal ini, Herman memandang tugas, pokok dan fungsi dari Komisi Informasi sudah berjalan. Ia menilai ini disebabkan oleh lahirnya
pelbagai putusan yang dikeluarkan Komisi Informasi itu sendiri. “Kalau aku lihat sih sudah jalan. Masalahnya begini, selain masalah
di organ penyelenggaranya misalkan KI, instansi pemerintah dan
Universitas Sumatera Utara
lxxxii
Universitas Sumatera Utara
badan publik, masalahnya di publiknya. Misalnya begini, pernah gak kita membuka informasi ? Masalahnya disitu. Jadi, kita publik inikan
punya hak untuk meminta informasi, pernah gak kita minta informasi itu ? KI Komisi Informasi ini hampir sama dengan pengadilan,
diakan hakim. Ada nih yang gak mau kasih informasi, apakah KI-nya salah ? kita lihat dulu ada gak pengaduan, karena mereka itu bekerja
berdasarkan pengaduan. Tapi, apakah UU KIP ini sudah berjalan ? sudah berjalan. Kalau kita lihat KI Sumut, sudah banyak putusan.
Artinya mereka itu bekerja dengan TUPOKSI-nya. Tapi, ketika informasi ini masih tertutup, kita butuh analisis lagi, karena mereka itu
KI pasif. Jadi, datang nih pengaduan, kita KI ambil, kita ajudikasi, mediasilah, gimana nih ? Nah, ketika keputusannya itu harus dibuka,
mereka KI buat rekomendasi itu harus dibuka. Ketika tidak ada pengaduan, kita gak bisa nilai kinerja KI ini. Kalau bisa dibilang ini
lembaga perdata. Tapi apakah itu sudah berjalan ? berjalan.
Meskipun Komisi Informasi sudah menjalankan tugasnya, Herman menganggap bahwa komisi ini bersifat pasif. Dengan menggunakan hak sebagai
warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP merupakan salah satu faktor penting dalam menilai Komisi Informasi secara objektif. Dengan kata lain, meskipun lembaga
ini bersifat pasif, publik harus tetap aktif dalam menganalisis dan meminta informasi kepada badan publik.
Pada konteks pidana yang diatur dalam UU KIP, Herman menilai bahwa semangat kebebasan informasi publik bukan terletak pada aturan pidana.
Disitukan UU KIP ada katanya kalau tidak menyampaikan kewajibannya, itu dua tahun atau lima ratus juta. Jadikan semangatnya
KIP itu bukan pidananya. Jadi, di keterbukaan informasi publiknya, makanya sebisa mungkin itu diselesaikan melalui persidangan di
Komisi Informasi. Kalau menurut aku, kurang suka juga aku pidana- pidana ini. Lebih sukanya bagaimana di Komisi Informasi ini betul-
betul final. Jadi, bisa memaksa karena itu sudah kewajiban, yang ada sanksi pidana dua tahun dan denda lima ratus juta. Lebih bagus sih di
mediasi aja. Jadi kalau masuk pidana, bahaya juga itu”.
Menurutnya, pidana tersebut membahayakan bagi semangat kebebasan informasi yang terkandung dalam UU KIP. Sebaiknya persengketaan informasi lewat
Universitas Sumatera Utara
lxxxiii
Universitas Sumatera Utara
mediasi saja di Komisi Informasi tanpa harus dilanjutkan kejenjang pengadilan. Persidangan di Komisi Informasi menurutnya harus betul-betul final dan mengikat.
Herman sendiri belum pernah memakai UU KIP selama ia menjalani tugas jurnalistik. Meskipun demikian, fungsi UU KIP dalam jurnalistik sangat membantu.
Hal ini ia utarakan bahwa UU KIP memberikan kontribusi penting dalam liputan depth news. Selain itu, UU KIP merupakan salah satu pendukung kebebasan pers di
tanah air. “Jadi kalau misalkan ini UU KIP dimanfaatkan publik, pers inikan
sekarang sudah jadi industri, UU Pers pun kadang sudah gak patuh lagi orang itu. Ini UU KIP bisa jadi kontrol atau semacam kritik
untuk kebebasan pers, UU KIP ini bisa dipakai oleh masyarakat pembaca. Maksudnya begini, ketika misalkan berita yang disajikan itu
tidak sesuai dengan yang kita harapkan atau ada bias disitu, kita bisa pakai UU KIP. Artinya begini, harapannya kalau semua orang baca
UU KIP seperti itu, pers ini akan berfikir ulang kembali ke ‘khittah- nya’, baliklah dia, kalian itu bukan alat penguasa, kalian itu bukan
industri, kalian itu alatnya massa, kalian itu media massa. Bisa balik kesitu. Bisa menjaga kehormatan pers bebas itulah jika UU KIP ini
dimanfaatkan oleh yang punya hak. Saya pikir itu kaitannya”.
Selain untuk menjaga kehormatan kebebasan pers, UU KIP bisa berubah menjadi alat kritik terhadap pers kontemporer yang bercorak industri. Menurut
Herman, hal itu bisa terwujud apabila publik memanfaatkan UU KIP dengan maksimal ketika pemberitaan media massa sudah tidak valid. Maka dari itu, pers akan
melakukan reformasi dalam dirinya sendiri. Hal inilah yang diungkapkan Herman pada akhir wawancara dengan peneliti.
Informan kedua : Agus Informan yang kedua ini peneliti jumpai setelah menerima nomor telepon
beliau dari Herman yang menjadi informan pertama. Setelah itu, peneliti mengirim pesan singkat SMS untuk menjelaskan niat dan tujuan peneliti kepada Agus. Pada
saat menjelaskan niat dan tujuan peneliti, tak lama kemudian kesepakatan waktu dan
Universitas Sumatera Utara
lxxxiv
Universitas Sumatera Utara
tempat wawancara disetujui yakni, di Dwi Kupe Uleekareng Jalan Ring Road pukul 19:30 WIB.
Pengalaman sebagai jurnalis sudah dimulai Agus pada tahun 2002 yang lalu. Dalam perkembangannya sebagai jurnalis profesional, saat ini Agus menjabat editor
in chief pemimpin redakasi di Kabar Medan.com. Beliau bergabung dengan organisasi AJI Medan pada tahun 2007. Ia memandang AJI sebagai salah satu
organisasi jurnalis yang memperjuangkan kebebasan pers, upah layak bagi jurnalis, kekerasan terhadap jurnalis dan masalah ketenagakerjaan serta pentingnya
independensi bagi seorang jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistik. “Dari sekian banyak organisasi pers yang ada di Indonesia memang
saya memilih AJI karena beberapa hal; pertama, dipilih dari sejarah berdirinya AJI. AJI itukan berdiri awalnya karena pembredelan
beberapa media di zaman rezim orde baru dan muncul disaat, waktu itu cuman ada satu organisasi pers di Indonesia. Nah, AJI muncul
sebagai satu organisasi wartawan atau jurnalis yang baru di Indonesia dan dalam definisinya perjuangannyakan lebih kearah kebebasan pers,
memperjuangkan hak-hak pekerja media dalam hal misalnya memperoleh upah layak, memperjuangkan jurnalis yang menjadi
korban kekerasan termasuk juga jurnalis yang harus berhadapan dengan masalah-masalah ketenagakerjaan. Itu makanya selain punya
divisi advokasi, tapi kita punya divisi serikat pekerja. Selain memang masalah independensi yang penting bagi seorang jurnalis untuk bisa
menghasilkan suatu karya jurnalistik yang tinggi. Nah, alasan ikut bergabung karena aku melihat AJI ini berbeda dengan organisasi pers
yang ada di dunia terutama misalnya dari masalah-masalah bagaimana roda organisasi ini berputar termasuk siapa-siapa orang
yang ada dibelakangnya, ‘track record’ orang-orang yang ada di AJI dan itu menjadi salah satu pertimbangan. Artinya memang, aku
memilih bukan karena dipaksa, diajak teman atau disuruh senior atau bagaimana gitu, tapi aku memang disini karena kemauanku sendiri,
gitu”. Selain latar belakang historis yang membuat Agus ikut bergabung, ia juga
memandang bahwa organisasi AJI memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan organisasi jurnalis yang lain. Pergerakan organisasi, integritas orang-orang yang
berada dibelakang AJI dan kapabilitas orang-orang di dalam tubuh organisasi menjadi pertimbangan kuat oleh Agus dalam memilih AJI. Beliau juga menambahkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
lxxxv
Universitas Sumatera Utara
pilihannya untuk bergabung bukan karena rekomendasi atau intervensi dari pihak manapun.
Dengan latar belakang sebagai jurnalis yang senantiasa mengetahui informasi- informasi terbaru, pertama kalinya Agus mengetahui undang-undang keterbukaan
informasi publik UU KIP ketika ia dan sesama anggota AJI lainnya ikut serta memberikan saran terhadap undang-undang itu.
“Ya, kitakan orang wartawan. Artinya, info-info terbaru harus kita tahu terutama di AJI itu sendiri ketika awal undang-undang KIP itu
masih berbentuk ‘draft’, belum disahkan jadi undang-undang kitakan anggota AJI sudah ikut memberikan masukan dan saran juga”.
Tak sekadar memberikan saran, ia juga menyambut baik kelahiran undang- undang ini. Agus memandang rezim orde baru yang tidak banyak diketahui publik
tentang informasi disetiap badan publiknya kini berubah total. Serba tertutup yang terjadi dalam rezim orde baru menjadi titik awal kemajuan dalam keterbukaan
informasi. Oleh karena itu, dengan hak yang dimiliki publik sebagaimana yang diatur dalam UU KIP, informasi itu boleh diminta atau diketahui oleh publik sepanjang
informasi itu tidak berada dalam kategori yang dirahasiakan. “Ya, tentunya kita menyambut baik munculnya undang-undang KIP
itu. Artinya, selama ini aktifitas informasi yang tidak bisa diketahui masyarakat, itu siapa saja boleh mengetahui apalagi itu berkaitan
dengan kepentingan publik dan aku pikir itu sejalan juga dengan perjuangan kebebasan pers. Bukan cuma media saja sekarang yang
butuh keterbukaan informasi publik, tapi masyarakat juga bisa mengakses. Artinya, masyarakat yang ingin mendapatkan suatu
informasi dari lembaga publik atau lembaga pemerintahan, mereka berhak untuk meminta dan lembaga itu berhak untuk memberikan
sepanjang apa yang diminta itu tidak termasuk kategori rahasia negara. Misalnya, masalah penggunaan anggaran, kita masih bisa
meminta dan bagi kita itu jadi salah satu kemajuan dari hak atas informasi yang dulunya ketika di rezim orde baru kita publik seperti
‘katak dalam tempurung’ sekarang kita sudah keluar tempurung. Artinya, undang-undang itu menjadi kekuasaan negara, berhak untuk
bisa mendapatkan informasi yang termasuk kate gori publik”.
Universitas Sumatera Utara
lxxxvi
Universitas Sumatera Utara
Agus juga menambahkan bahwasanya UU KIP sejalan dengan perjuangan kebebasan pers di tanah air. Keterbukaan informasi yang menjadi kebutuhan media
juga menjadi bagian kebutuhan masyarakat. Sebelum undang-undang keterbukaan informasi publik disahkan pada tahun
2008, informasi yang dimiliki setiap badan tidak memiliki orientasi kepada publik. Persisnya, informasi itu tertutup dan sulit diakses oleh publik.
“Ya, memang sebelum munculnya undang-undang KIP ini sendiri, kita publik agak susah untuk mendapatkan akses ke informasi publik
termasuk misalnya data-data pemberitaan. Terutama lembaga- lembaga negara, cenderung mereka berbentuk sifat tertutup. Bahkan
sekarang pun sebenarnya masih banyak juga lembaga-lembaga pemerintahan yang mereka sebenarnya tahu ada undang-undang KIP
itu. Tapi, ketika kita meminta informasi mereka enggan untuk memberikannya. Akhirnya, kita terpaksa mengadu ke Komisi Informasi
provinsi untuk mengeluarkan rekomendasi supaya dokumen itu
dibuka”. Menurut Agus, dengan kehadiran UU KIP yang mewajibkan setiap badan
publik untuk membuka informasi tidak dapat dipastikan. Hal ini disebabkan adanya sikap ketidaksungguhan dalam membuka keran informasi memaksa publik untuk
melakukan pengaduan kepada Komisi Informasi. Setelah UU KIP disahkan dan berlaku mulai tahun 2010, badan publik yang
semula cenderung tertutup berubah menjadi lebih terbuka. “Ya, sekarang lembaga-lembaga publik lebih terbuka. Cuman aku gak
tahu, terbukanya karena memang suka atau terpaksa membuka. Jadi, kita pun, kalau seandainya mereka tidak memberikan informasi itu,
kita bisa menempuh jalur-jalur mediasi dengan Komisi Informasi. Jadi, mau g
ak mau mereka harus buka”. Dengan adanya kewajiban badan publik meskipun dalam keadaan terpaksa
untuk memberikan informasi, setidaknya publik memiliki hak yang diakui undang- undang KIP ketika badan publik suka atau tidak dalam memberikan informasi.
Keadaan inilah menurut Agus yang terjadi setelah UU KIP efektif berlaku.
Universitas Sumatera Utara
lxxxvii
Universitas Sumatera Utara
Meskipun semangat keterbukaan informasi dikandung oleh UU KIP, pada aplikasinya undang-undang tersebut terdapat informasi yang dikecualikan. Informasi
yang dikecualikan seperti strategi militer, intelijen dan rahasia negara menurut Agus tidak menjadi masalah dengan mengambil sikap ditengah.
“Aku tergiur untuk memilih posisi ditengah. Artinya, dibilang setuju, ya setuju. Tapi, dibilang gak setuju, ya gak setuju karena kalau
misalnya ada kategori informasi yang dikecualikan tadi dibuka, kita harus tahu efeknya apa. Sepanjang efeknya tidak merusak
ketatanegaraan atau mengganggu kedaulatan negara, aku pikir gak
masalah. Jadi, harus ‘di-setting’ lagi dia. Rahasia negara itu seperti apa, begitu”.
Meskipun pengecualian informasi tidak menjadi masalah, Agus setuju apabila informasi yang dikecualikan itu dibuka dapat merusak ketatanegaraan dan
mengganggu kedaulatan negara. Akan tetapi, informasi yang menjadi rahasia itu pun perlu diatur kembali guna memperoleh definisi yang jelas.
Selain mengatur informasi, UU KIP pun mejelaskan bagaimana tata cara meminta informasi di badan publik. Tepatnya, tata cara itu adalah mekanisme untuk
memperoleh informasi. Dalam hal ini, Agus memandang bahwa mekanisme memperoleh informasi sudah jelas dan detail dalam mengatur permintaan informasi
oleh publik. “Mekanismekan sudah jelas. Artinya begini, ketika misalnya kita
sebagai jurnalis atau sebagai warga masyarakat ingin mendapatkan informasi dari sebuah lembaga publik, kitakan menyampaikan itu
harus kepada mereka, menyampaikan surat bahwasanya kita atas nama siapa, kita minta informasi untuk apa.
Mekanisme memperoleh informasi itu menurut Agus tidak sesuai dengan deadline berita. Proses yang lama seperti menunggu balasan badan publik dalam
jangka waktu sepuluh hari kerja menjadikan informasi tidak aktual lagi. “Tidak. Menurutku itu UU KIP terlalu lama. Artinya, butuh
beberapa hari kerja. Menurutku terlalu lama prosesnya. Walaupun KI sudah mengeluarkan rekomendasi untuk lembaga publik itu untuk
mengeluarkan informasinya, kita menunggu waktu juga dari mereka.
Universitas Sumatera Utara
lxxxviii
Universitas Sumatera Utara
Mereka taat gak dengan rekomendasi KI itu. Kalau sudah sampai di lapangan, kita semua ke pengadilan, panjang lagi ceritanyakan.
Bayangkan kita mau buat ‘deadline’ besoknya, terlalu lama menurutku”.
Meskipun Komisi Informasi telah mengeluarkan rekomendasi kepada badan publik yang tidak memberikan informasi, proses sengketa dan kepatuhan badan
publik atas rekomendasi itu membutuhkan tempo waktu yang cukup lama. Hal inilah menurut Agus yang tidak sesuai dengan deadline berita yang selalu menuntut
kesegeraan. Bertolak dari hal itu, Komisi Informasi yang dilahirkan oleh adanya UU KIP
merupakan peran strategis dalam menjalankan kebebasan informasi itu sendiri. Terkait komisi ini, Agus memandang bahwa Komisi Informasi khususnya Sumut
memiliki kinerja yang baik dalam menjalankan tugas-tugasnya. Hal itu ditandai dengan intensitas laporan pengaduan masyarakat.
“Memang KI Sumut secara garis besar, kinerja mereka masih baiklah. Artinya, mereka juga ‘intens’ dan laporan aduan masyarakat
yang masuk ke KI itu banyak jumlahnya. Bisa jadi kita memohon sekarang, bulan depan baru disidangkan karena antrian banyaknya itu
pengaduan tadi. Lalu, KI itukan cuma ada di ibu kota provinsi dan itu jadi masalah ketika ada masyarakat yang mengadu misalnya dari
Sibolga atau Mandailing Natal, mereka harus kesana. Jadi, itu proses lamanya waktu. Tapi, kalau kinerjanya KI sudah cukup baiklah.
Artinya, rekomendasi-rekomendasi yang mereka keluarkan juga,
sedikit banyak berpengaruh terhadap realisasi UU KIP itu sendiri”. Yang menjadi problem pada komisi ini menurut Agus adalah menumpuknya
pengaduan yang belum terselesaikan dengan cepat. Selain itu, terbatasnya akses masyarakat Sumut terhadap Komisi Informasi yang berdomisili di ibu kota
merupakan salah satu penghambat. Lagi-lagi Agus memandang hal tersebut merupakan waktu yang lama.
Pada aspek pidana yang diatur oleh UU KIP ini, implementasinya menurut Agus belum bisa dinilai secara objektif. Hal itu dikarenakan belum adanya kasus atau
sengketa informasi di Sumut yang berujung di pengadilan negeri atau pengadilan tata
Universitas Sumatera Utara
lxxxix
Universitas Sumatera Utara
usaha negara. Hingga kini, proses sengketa informasi masih tetap final di Komisi Informasi saja. Maka dari itu, ia belum bisa memastikan ketentuan pidana dalam UU
KIP efektif atau tidak. “Sampai sekarang, di Sumatera Utara sendiri belum ada kasusnya
yang sampai ke pengadilan. Jadi aku gak bisa mengatakan efektif atau tidak.
Sebagai seorang pemimpin redaksi, Agus sendiri belum pernah memakai UU KIP dalam kerja jurnalistik. Meskiun demikian, ia memandang UU KIP berfungsi
pada liputan indepth news. Meskipun pada dasarnya setiap berita menuntut kecepatan atau kesegeraan, proses yang lama dalam UU KIP tidak menjadi masalah dalam
liputan indepth news. Selain membutuhkan jangka waktu yang panjang, liputan ini menuntut kedalaman peristiwa.
Mungkin lebih masuk ke ‘indepth news’ dimana kita punya banyak waktu untuk mengerjakannya dan laporan lebih mendalam lebih baik
kan ? dan berita yang disampaikan lebih mendalam”. Selain memiliki fungsi terhadap liputan indepth news, UU KIP berperan
dalam mendukung kebebasan pers di tanah air. Setelah reformasi tahun 1998 meletus, ketatanegaraan banyak mengalami perubahan. Hal ini ditandai dengan lahirnya pers
bebas sebagai bentuk pengejewantahan kebebasan bersuara yang sebelumnya tidak ada pada orde baru.
“Indonesia ini unik. Unik dalam artian Indonesia adalah salah satu negara persnya yang paling bebas di Asia Tenggara. Dan cuma
Indonesia yang punya undang-undang keterbukaan informasi publik, negara-negara lain di Aisa Tenggara gak punya. Artinya apa,
semangat reformasi itu dibukanya kebebasan pers. Dengan adanya undang-undang KIP, semangat kebebsan pers itu juga sesuai dengan
undang-undang. Artinya, apa yang mau didapatkan yang tidak masuk dalam kategori pengecualian, bisa dapat. Kebebaan pers, UU KIP gak
bisa disampingkan, berjalan seiringan. UU KIP itu terlambat ya. Dia keluar sejak sembilan tahun UU Pers keluar, kan UU KIP dibuat tahun
2008. Menurutku ini sedikit terlambat keluarnya. Artinya, ada masa dimana kita tidak terlalu bebas untuk mendapatkan informasi”.
Universitas Sumatera Utara
xc
Universitas Sumatera Utara
Menurut Agus, kelahiran UU KIP mengalami keterlambatan jika dibandingkan dengan UU Pers. Ia menilai bahwa ada masa yang kurang bebas
mendapatkan informasi meskipun UU Pers sudah ada. Akan tetapi, UU KIP dan UU Pers tidak bisa dipisahkan diantara keduanya. Kedua undang-undang itu terdapat
koeksistensi dan saling mendukung. Dengan hadirnya UU KIP di tanah air dan kebebasan pers yang diperoleh setelah reformasi merupakan karakteristik tersendiri
yang tidak dimiliki negara lain di Asia Tenggara. Pandangan inilah yang diungkapkan Agus pada saat wawancara berakhir.
Informan ketiga : Liston Informan ketiga dalam penelitian ini bernama Liston. Sebelum melakukan
wawancara dengannya, peneliti terlebih dahulu menghubungi informan lewat pesan singkat SMS. Setelah menjelaskan niat dan tujuan peneliti, Liston bersedia untuk
diwawancarai dan menjadi informan ketiga dalam penelitian ini. Kesepakatan waktu dan tempat disetujui peneliti dengannya di Uleekareng jalan Dr Mansyur Padang
Bulan pukul 14:30 WIB. Sebelum mengajukan beberapa pertanyaan penelitian kepada informan ini,
terlebih dahulu peneliti berdiskusi dan menjelaskan relevansi UU KIP bagi wartawan, khususnya bagi anggota AJI sendiri. Setelah adanya pemahaman yang sama antara
peneliti dengan beliau, barulah kemudian peneliti mengajukan pertanyaan yang merujuk pada panduan wawancara yang sudah ditetapkan peneliti.
Terjun didunia jurnalistik sudah dimulai Liston semenjak di perguruan tinggi. Statusnya sebagai mahasiswa di universitas Sumatera Utara membawa dirinya untuk
bergabung dengan pers mahasiswa Suara USU. Meskipun demikian, jurnalistik profesional sudah ia geluti sejak tahun 2007 yang lalu. Pengalaman jurnalistik
tersebut membuat dirinya menekuni profesi itu dengan bergabung di Tribun Medan sebagai reporter.
Universitas Sumatera Utara
xci
Universitas Sumatera Utara
Tidak hanya berkutat di dalam organisasi media tempatnya bekerja, Liston juga bergabung dengan organisasi AJI. Langkah awalnya bergabung dengan AJI
dimulai pada tahun 2011 yang lalu di Siantar. Ketika mengetahui adanya rekrutmen anggota, beliau langsung ikut yang kemudian masuk menjadi anggota divisi advokasi
setelah menerima surat balasan dari AJI sendiri. Bergabungnya Liston dengan AJI bukan tanpa alasan, ia memandang bahwa dengan status wartawan yang baru dijalani
tersirat rasa ketidaknyamanan ketika melaksanakan tugas jurnalistik. Dengan cara bergabung di AJI, dukungan serta perlindungan akan diperoleh dari situ.
“Waktu itukan aku masih baru anggota AJI, wartawan baru. Jadi, mungkin ada perasaan kurang ‘confident’ begitu. Jadi, aku mikirnya
kita butuh dukungan teman-teman yang kita anggap satu pandanganlah, karena sejak awal aku sudah lihat wartawan ini ada
keluarga besarnya. Wartawan ini bermacam-macam, orientasinya berbeda-beda. Ada dia yang dari organisasi wartawan yang sudah
lama, sangkin besarnya tidak terurus, integritas anggotanya tidak diurusi lagi, ada organisasi wartawan yang baru, lebih bagus dari
AJI. Dilihat dari sejarah AJI, aku suka orang-orangnya yang ditingkat nasional, Goenawan Mohamad, Ayu Utami. Ya, sebenarnya gak terlalu
sulit sih untuk menentukan itu kalau kita mau bergabung di organisasi wartawan, pastinya aku milih AJI. Nah, belakangan harus aku akui
sebenarnya agak antara kecewa, atau mungkin aku berpikirnya terlalu
polos atau gimana ya. AJI ini kurang sesuai ekspektasiku, begitu”. Ia juga memandang latar belakang historis dan penggerak organisasi dari atas
sebagai salah satu faktor yang mendorongnya bergabung dengan AJI. Selain itu, wartawan-wartawan populer seperti Goenawan Mohamad dan Ayu Utami menjadi
daya tarik tersendiri bagi Liston. Akan tetapi, setelah bergabung di AJI ada rasa ketidakpuasan yang dialaminya. Hal ini terjadi ketika ekspektasi yang diidamkannya
tidak sesuai dengan realitas di AJI sendiri. Namun, keluhan itu bukan berarti membuatnya berpikir pendek. Buktinya, hingga kini Liston masih tetap bergabung
dengan AJI Medan. Selaku anggota divisi advokasi, Liston mengetahui undang-undang
keterbukaan informasi publik pertama kalinya ketika undang-undang tersebut berada dalam tahap rancangan dan pembahasan.
Universitas Sumatera Utara
xcii
Universitas Sumatera Utara
“Aku kurang tahu tahunnya. Pastinya sebelum tahun 2008, karena rancangannya UU KIP aku sudah dengar dari kawan-
kawan”. Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap data wawancara dan
diskusi, Liston mengetahui UU KIP melalui rekan kampus maupun jurnalis tempatnya bekerja. Pada saat UU KIP berada dalam tahap rancangan dan pembahasan
status beliau masih sebagai mahasiswa USU dan menggeluti dunia jurnalistik secara profesional.
Pada saat pertama kalinya mengetahui UU KIP, Liston memandang bahwa undang-undang itu melahirkan suatu komisi keterbukaan informasi.
“Undang-undang KIP ini seingatku membawa konsekuensi, dia melahirkan komisi keterbukaan informasi publik. Aku lebih
memandang itu karena aku percaya sebenarnya transparansi ini pasti akan mengalami banyak penolakan dari orang-orang yang memegang
informasi dan wartawan memerlukan komisi ini Komisi Informasi. Komisi ini setahuku dilengkapi juga dengan kewenangan membawa
orang-orang yang tidak menjalankan amanat undang-undang ini ke meja hukum. Se
tahuku itu”. Ia percaya bahwa dengan adanya UU KIP akan terjadi penolakan dari otoritas
badan publik terhadap informasi yang dimilikinya. Maka dari itu, dengan kehadiran Komisi Informasi yang diamanatkan oleh UU KIP, masyarakat dan jurnalis
memerlukan komisi tersebut. Hal ini dikarenakan, tugas dan hak yang dimiliki Komisi Informasi dapat membawa seseorang yang melanggar UU KIP ke pengadilan.
Sebelum UU KIP disahkan dan efektif berlaku tahun 2010, kewajiban badan publik untuk meberikan informasi belum ada. Keadaan dan akses informasi disetiap
badan publik menurut Liston sangat sulit. “Sebatas BIREK Biro Rektor USU sangat sulit. Karena mungkin kita
sebagai mahasiswa merasa subordinat. Maksudnya, tidak setara dengan pejabat-pejabat itu dalam artian mereka sepele. Aku gak tahu
kalau sama wartawan profesional. Aku sih ngerasainnya begitu”.
Dengan menganalogikan lembaga akademik sebagai badan publik yang berbasis dari pengalaman beliau sewaktu mahasiswa kesulitan untuk memperoleh
Universitas Sumatera Utara
xciii
Universitas Sumatera Utara
informasi yang dialaminya terjadi karena persepsi negatif dari pejabat publik kepada posisinya sebagai subordinat. Artinya, ada kesulitan terhadap akses informasi di
badan publik sebelum UU KIP lahir. Pada tahap ini, setelah UU KIP berlaku Liston memandang undang-undang
tersebut sebagai gambaran semangat zaman modern yang menuntut keterbukaan, transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, lahirnya UU KIP merupakan semangat
reformasi yang menginginkan adanya tanggung jawab pemerintahan terhadap publik. “Bagus, kemudian menggambarkan semangat zaman, semangat
reformasi, era keterbukaan, begitu”. Berangkat dari hal itu, semangat keterbukaan informasi yang menjadi motor
dalam UU KIP mengandung beberapa informasi yang dikecualikan. Informasi yang dikecualikan yang menjadi rahasia negara menurut Liston memang diperlukan.
“Kalau aku sih jujur merasa memang perlu ada yang dirahasiakan. Karena kita gak punya preseden mengenai sejarah dimana negara itu
semurninya membuka rahasia ke masyarakat. Kita tidak punya pengalaman bagaimana masyarakat menjalankan itu semua, menyikapi
informasi-informasi rahasia. Jadi, aku gak tahu gimana itu jadinya karena publik inikan beragam dan informasi itu digunakan untuk
sekian banyak hal kepentingan bukan cuma untuk kebutuhan kognisimu, pemahamanmu aja. Tapi, bisa untuk kepentingan-
kepentingan yang mengerikanlah kalau kubilang
”. Alasannya adalah goresan sejarah bangsa yang belum pernah membuka keran
informasi dan dinamisme masyarakat serta fakta empiris terkait informasi rahasia yang tidak pernah dirasakan langsung merupakan tolok ukur ketika informasi dibuka
tanpa ada batas. Realitas inilah menurut Liston yang bisa saja menimbulkan kepentingan mengerikan ketika informasi diakses sebebasnya oleh publik.
Pada aspek mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP, Liston memandang hal ini sebagai kompleksnya birokrasi di badan publik.
“Menurutku itu mempertimbangkan, mungkin karena kompleksnya birokrasi karena pejabat yang berwewenang itu Humas. Aku sih
inginnya lebih cepat lebih bagus. Cuma, yang membuat undang-
Universitas Sumatera Utara
xciv
Universitas Sumatera Utara
undang itu memperhatikan itu, bahwa kalau wartawan minta informasi yang lebih detail,
dia perlu diskusi”. Otorisasi informasi kepada Humas disetiap badan publik merupakan
penafsiran dari pembuat UU KIP. Kompleksnya birokrasi menuntut Humas untuk berdiskusi apabila informasi diminta oleh wartawan atau publik. Artinya, mekanisme
memperoleh informasi merupakan hal yang diperlukan mengingat kompleksnya birokrasi di badan publik.
Sebagai seorang jurnalis, Liston memandang mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP tidak sesuai dengan deadline berita. Rutinitas
harian seorang wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik tidak bisa menunggu waktu yang lama ketika menginginkan informasi. Pandangan itu ia bandingkan
dengan menceritakan pengalamannya yang kerap menghubungi narasumber guna berita yang ditulis bisa terbit.
“Ya gaklah, orang kerjanya perhari. Bayangkanlah, aku saja sering telepon orang jam sebelas malam supaya bisa informasinya naik
besok, ini mau nunggu lima belas hari kerja terpaksalah kita pakai strategi lain. Undang-undang ini mungkin bukan untuk wartawan saja.
Tapi, buat LSM, pegiat transparansi, informasi, kalau wartawan, gak praktis undang-undang ini. Cuman kalau kita memang sangat butuh,
mau gak
mau harus kita ikutin juga itu”. Menurut Liston, UU KIP ditujukan bukan untuk wartawan melainkan untuk
LSM, pegiat transparansi dan NGO lainnya. Selain itu, ia memandang bahwa UU KIP tidak praktis dalam mendukung kerja jurnalistik. Hal ini dapat dilihat pada
karakteristik pemberitaan yang menuntut aktualitas. Akan tetapi, ketika seorang jurnalis membutuhkan UU KIP guna memperoleh informasi dari badan publik
mekanisme memperoleh informasi harus dijalankan meskipun itu membutuhkan waktu yang relatif lama.
Hal yang paling nyata dari UU KIP adalah lahirnya Komisi Informasi sebagai wadah tunggal dalam menangani segala persengkataan informasi. Hal ini terlihat jelas
pada BAB VII dan BAB VIII UU KIP yang mengatur tugas, pokok dan fungsi
Universitas Sumatera Utara
xcv
Universitas Sumatera Utara
Komisi Informasi. Terkait hal tersebut Liston memandang bahwa Komisi Informasi belum terlihat manfaatnya secara nyata jika dibandingkan dengan komisi-komisi yang
lain. Menurut Liston, sejauh ini Komisi Informasi masih melakukan tahap sosialisasi saja.
“Menurutku, dibandingkan semua komisi, inilah yang paling belum kelihatan manfaatnya. Setahuku dia baru cuma sosialisasi.
Selain Komisi Informasi UU KIP mengatur pula tentang aspek pidana. Liston sendiri memandang pidana ini sebagai hal yang wajar dalam suatu undang-undang.
Ketentuan pidana yang berlaku bagi setiap orang apabila undang-undang yang menjadi perintah negara tidak dijalankan merupakan konsekuensi yang harus
diterima. “Itu wajar kalau menurutku. Setiap undang-undang dia ada pidananya
jugalah kalau tidak dipatuhi, perintah negara tidak dijalankan ya, pasti ada kons
ekuensinya”. Meskipun Liston belum pernah membaca UU KIP semenjak disahkan,
menurutnya UU KIP berfungsi dalam semua jenis berita bagi jurnalistik. Selain itu, UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers di tanah air.
“Ya, setuju. Seperti tadi yang kubilang. Jadi, wartawan punya landasan untuk pekerjaannya itu dalam menggali informasi ada
payung hukumnya”.
Dengan kehadiran UU KIP, wartawan memiliki payung hukung dalam menggali informasi. Meskipun UU Pers berperan penting dalam menjalankan
kebebasan pers di tanah air, UU KIP merupakan faktor kedua setelah UU Pers dalam menjalankan dan mewujudkan kebebasan pers. Hal inilah yang diungkapkan
Liston pada akhir wawancara dengan peneliti. Informan keempat : Tikwan
Yang menjadi informan keempat dalam penelitian ini adalah Tikwan. Untuk menghubungi beliau bukanlah perkara mudah. Hal ini disebabkan aktifitasnya yang
Universitas Sumatera Utara
xcvi
Universitas Sumatera Utara
padat sebagai jurnalis. Meskipun demikian, setelah peneliti mendapatkan nomor telepon Tikwan dari informan kedua adalah titik awal komunikasi peneliti dengannya.
Setelah menjelaskan niat dan tujuan peneliti, kesepakatan wawancara dapat disetujui dengan beliau. Waktu dan tempat wawancara dilakukan di kediaman beliau pada
pukul 16:50 WIB di komplek Bumi Serdang Damai Jalan Mambang Diawan No. 1 pasar 3 Mariendal.
Sebelum mengajukan pertanyaan penelitian kepada Tikwan, terlebih dahulu peneliti berdiskusi terkait undang-undang keterbukaan informasi publik UU KIP,
menggali latar belakang jurnalistiknya dan asal tempat tinggal beliau. Setelah peneliti mendapatkan informasi yang cukup terkait hal tadi, dengan sedikit bercengkerama
wawancara pun dimulai. Tikwan sendiri merupakan alumni pers mahasiswa Suara USU. Lembaga pers
akademik ini menempah beliau untuk melanjutkan kegiatan jurnalistik ketingkat yang lebih profesional. Dengan berbekal pengalaman dari pers kampus awalnya Tikwan
bekerja di Medan Pos pada tahun 2000 silam. Setelah merasa cukup dengan ilmu dan pengalaman jurnalistik beliau, kemudian ia mendirikan portal berita online yang
bernama Sumatera Beyond.com. Selaku pendiri portal berita online, kiprahnya dalam dunia jurnalistik
menghantarkan Tikwan untuk bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen AJI. Beliau sendiri memilih AJI sebagai organisasi jurnalis bukan tanpa alasan. Ketika
reformasi meletus tahun 1998, beliau ikut terlibat dalam menumbangkan rezim otoriter Orde Baru. Pada saat reformasi berlangsung, serikat jurnalis tanah air yang
signifikan waktu itu adalah AJI dan PWI Reformasi. Berdirinya AJI ditujukan untuk mengkonstruksi tatanan nilai-nilai baru jurnalistik. Sedangkan PWI Reformasi
terbentuk akibat resistensi terhadap PWI yang pada awalnya merupakan wadah tunggal jurnalis yang tak luput dari rentang kendali rezim Orde Baru.
“Pertama, AJI-kan produk dari reformasi dalam hal jurnalisme maka, yang lahir saat itu adalah AJI. Kebetulan saya juga, kalau boleh
dibilang ikut terlibat juga dalam aksi-aksi reformasi. Jadi, memang
Universitas Sumatera Utara
xcvii
Universitas Sumatera Utara
ada dua organisasi yang menonjol saat itu. Satu, AJI. Kedua adalah PWI Reformasi. PWI Reformasi ini menganggap bahwa PWI yang ada
perlu di reformasi. Kemudian ada AJI. Kalau AJI sama sekali ingin membuat suatu tatanan baru atau pun suatu nilai-nilai baru dalam hal
jurnalisme terutama dalam hal keindependenannya. Itu makanya saya masuk AJI, terutama ingin mendapatkan pers ya
ng independen”. Selain dari produk reformasi, orientasi AJI yang menginginkan nilai-nilai
jurnalistik baru dalam hal independensi adalah magnet tersendiri bagi Tikwan untuk memilih AJI dibanding organisasi pers yang lain. Alasan inilah yang menjadikan
Tikwan ikut aktif dalam AJI. Dalam hal kepengurusan organisasi saat ini Tikwan berada dalam posisi
koordinator badan pemeriksa keuangan BPK AJI. Selaku koordinator BPK, beliau mengetahui UU KIP pertama kalinya melalui media massa. Selain itu, Tikwan juga
menjelaskan wacana historis yang berkembang sebelum UU KIP ada. “Saya tahunya ini UU KIP dari media. Sebenarnyakan ini salah satu
undang-undang yang diperjuangkan. Itu dimulai ketika undang-undang pers tahun 1999 disahkan. Itu sebenarnya sudah dibuat juga sebagai
salah satu paket walaupun belum dapat direalisasikan. Kita sudah membicarakan hal-hal seperti ini. Tapi, tidak tahu dengan adanya
undang-undang pers kalau tanpa dibarengi dengan keterbukaan informasi publik terutama untuk mediapers itu agak sedih juga. Jadi,
kita melakukan kontrol agak sulit juga terutama dalam hal mendapatkan informasi yang objektif dan resmi
”. Pada saat UU Pers diperjuangkan dan disahkan pada tahun 1999, UU KIP
sudah inklusif waktu itu. Meskipun demikian, UU KIP gagal direalisasikan. Lahirnya UU Pers tanpa diiringi dengan keterbukaan informasi merupakan hal yang miris. Hal
ini menurut Tikwan, pers selaku wachdog tidak maksimal menjalankan fungsinya dalam memperoleh informasi objektif ketika keterbukaan informasi belum
didapatkan. Wacana itulah yang terus mereka kembangkan bersama rekan jurnalis lainnya.
Setelah Tiwan mengetahui UU KIP melalui media massa, beliau memandang undang-undang tersebut dapat mempermudah tugas seorang jurnalis dalam
Universitas Sumatera Utara
xcviii
Universitas Sumatera Utara
memperoleh informasi dari lembaga pemerintah. Kerja-kerja jurnalistik yang sebelumnya memiliki ruang terbatas dari badan publik dalam menggali informasi
sangat terbantu ketika UU KIP dilahirkan. Pandangan seperti itulah yang disampaikan Tikwan ketika pertama kalinya ia mengetahui UU KIP.
“Kemungkinan adalah kemudahan untuk mendapatkan informasi resmi yang tentunya dari lembaga pemerintah. Itulah bagi saya yang salah
satu memudahkan pekerjaan bagi wartawan. Jadi, bagi saya ini sangat membantu pekerjaan jurnalistik”.
Berangkat dari persoalan informasi disetiap badan publik sebelum UU KIP lahir, Tikwan melihat bahwasanya informasi yang bersifat sensitif sangat sulit
diminta atau diakses oleh publik. Terkait hal ini ia menjelaskan : “Sangat sulit, terutama informasi yang sifatnya sensitif. Misalnya
kalau menuntut kepentingan publik soal anggaranlah terutama, itukan kebijakan fiskal pemerintah. Itu dulu tertutup semua. Anggaran ini
mulai digodok dari Dewan DPR sampai kemudian pengelolaannya di dinas-
dinas, implementasinya itu semua tertutup”. Informasi yang berkaitan dengan kebijakan fiskal pemerintah seperti anggaran
merupakan informasi yang sensitif dan sulit diminta. Proses pengelolaan dan aplikasinya hingga ketingkat dinas, menurut Tikwan bersifat tertutup bagi publik.
Keadaan seperti ini yang terjadi dalam badan publik sebelum UU KIP lahir. Harapan Tikwan agar disahkannya UU KIP sebagai payung hukum informasi
mendapat jawaban pada tahun 2008 meskipun pada akhirnya undang-undang itu berlaku efektif pada tahun 2010. Semenjak disahkan, Tikwan memandang UU KIP
sepenuhnya belum bisa direalisasikan oleh pemerintah. “Yang terfikir waktu itu adalah ketika sudah disahkan,
pelaksanaannya seperti apa. Yang pertama waktu itu sebenarnya berat bagi pemerintah makanya setahun setelah disahkan belum juga
dibentuk-bentuk komisinya. Mungkin yang pertama kesiapan pemerintah, mereka tidak sanggup memenuhi itu pelaksanaan UU
KIP karena mereka juga harus menyediakan suatu prangkat prasarana yang bisa mensuplai informasi tersebut apabila diminta
orang karena nanti akan ada persoalan persidangan. Yang kedua mungkin kepentingan. Mereka tidak benar-benar ingin ini UU KIP
Universitas Sumatera Utara
xcix
Universitas Sumatera Utara
ada. Jadi, pelaksanaannya sangat dihambat. Bahkan ketika komisionernya pun sudah dibentuk, proses untuk mendapatkan
keadilan, hak informasi publik ini juga, seperti di Sumatera Utara wilayah jangkauannya luas sekali. Bagaimana mereka bisa
mendapatkan kalau harus lewat pengadilan ? banyak masyarakat ini malas sebenarnya berurusan dengan Komisi Informasi Publik karena
tidak mudah dijangkau. Disinikan Sumut komisionernya cuma lima, di Medan kedudukannya. Nah, kalau misalkan wartawan yang di
Sibolga bagaimana ? sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini salah satunya akses. Yang kedua, wilayah rentang kendali dari komisi ini.
Sebenarnya banyak masalah lagi yang harus dipercepat atau diperbaiki terutama dari pelaksanaan. Undang-undangnya ini okelah,
sudah bagus”. Meskipun pada dasarnya Tikwan memandang UU KIP sudah bagus tapi,
beliau memandang persoalan UU KIP dengan dua poin. Poin pertama adalah kurang maksimalnya pemerintah dalam menyediakan sarana atau prangkat informasi ketika
publik hendak menginginkannya. Poin yang kedua adalah adanya ketidakinginan pemerintah dalam membuka keran informasi kepada publik. Hal ini dapat dinilai pada
badan publik yang sebelumnya memiliki kultur tertutup terhadap informasi yang ditunjukkan pada lambatnya pelaksanaan UU KIP. Selain kedua poin tadi, apabila
akses informasi harus menempuh jalur dari Komisi Informasi, menurut Tikwan hal ini menjadikan publik menyimpan niatnya masing-masing karena jarak yang jauh
dengan Komisi Informasi jika dibandingkan dengan wilayah Sumut yang begitu luas. Dalam hal pengecualian informasi dalam UU KIP yang menjadi rahasia
negara seperti persenjataan, menurut Tikwan sah-sah saja. Akan tetapi, hal ini mengandung konflik jika dilihat dari aspek jurnalistik.
“Saya kira seluruh negara memiliki undang-undang kerahasiaan negara terutama soal persenjataan. Persenjataan inikan urusan
intelijen. Jadi, saya kira pada beberapa hal, iya silahkan saja. Tapi, kembali ke jurnalisme, tugas wartawan adalah memang mencari
rahasia itu. Jadi, ada konflik disini. Rahasia negara dengan pers. Undang-undang pers itu tidak menganut adanya kerahasiaan negara.
Dia justru, titik pencapaian yang paling tinggi adalah mendapatkan informasi yang akurat dan benar. Sementara ada rahasia negara. Ini
berlaga, sementara belum ada titik tengahnya. Jadi, kemampuan seorang wartawan menurut undang-undang pers bahkan mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
c
Universitas Sumatera Utara
satu rahasia apabila itu menyangkut kehidupan orang banyak adalah baik. Menurut undang-undang rahasia negara itu tidak baik. Disini
ada unsur independensi yang sifatnya universal yang dianut oleh AJI. Independensi ini sangat universal, sangat bebas, mungkin dengan PWI
tidak sama pandangan mereka tentang dua hal ini. Bagi kita di AJI, tidak ada rahasia negara bagi pers. Konflik d
ia disitu”. Menurut Tikwan, undang-undang pers sama sekali tidak memandang
kerahasiaan negara. Titik pencapaian maksimal seorang jurnalis menurut undang- undang pers adalah informasi yang valid meskipun itu kategori rahasia. Jika
informasi yang menjadi rahasia itu menyangkut hajat kehidupan orang banyak, menurut undang-undang pers adalah hal yang baik. Hal ini sama sekali bertolak
belakang dengan rahasia negara meskipun itu menyangkut hajat kehidupan orang banyak.
Dari perbedaan sudut pandang ini Tikwan menilai ada konflik diantara keduanya. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa AJI sendiri menganut independensi
yang bersifat universal terkait konflik tersebut. Bagi AJI, rahasia negara itu tidak ada dalam prinsip pers. Prinsip inilah yang menurut Tikwan sangat berbeda dengan
prinsip organisasi jurnalis lainnya seperti PWI. Pada aspek mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP,
Tikwan sendiri memandang bahwa mekanisme ini sama sekali tak berguna bagi jurnalis. Ini dikarenakan berita yang selalu menuntut aktualitas dan faktualitas.
“Bagi pers tidak ada gunanya itu. Seperti tadi, aktualitas kemudian faktualitas. Siapa yang menunggu berita kita lagi kalau menunggu lima
belas hari lagi ? justru menghambat, perlu dipercepat dan kalau bisa harus ada tempat bertanya di lembaga yang menyediakan data. Itu
lembaga publik pada saat itu juga mestinya kalau mereka
menggunakan pendataan yang baik untuk ‘me-record’ data itu. Tidak perlu harus lima belas ha
ri, wah, itu kurang kerjaan”. Menurut Tikwan, proses waktu yang lama menjadi penghambat bagi jurnalis
ketika menginginkan informasi dari badan publik. Dengan kesiapan badan publik menyediakan sarana informasi yang baik, jangka waktu yang lama itu bisa diatasi.
Universitas Sumatera Utara
ci
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan hal ini bahwa ada ketidaksesuaian antara tuntutan deadline berita wartawan dengan mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP.
“Ya, itu bermasalah tidak bagi media terutama wartawan. Wartawan ini dia tidak bersandar pada data, dia bersandar isu. Isu yang muncul
sudah diikuti dengan data. Bukan kita yang menunggu data”. Wartawan yang bersandar pada isu memang menginginkan informasi yang
bersifat kesegeraan. Setelah isu dikemas menjadi berita barulah kemudian data menyusul. Untuk memperoleh data-data dari badan publik jika ditempuh melalui UU
KIP memang membutuhkan proses waktu yang lama dan pada akhirnya menjadikan berita itu tidak aktual lagi. Proses inilah menurut Tikwan yang tidak sesuai dengan
tuntutan deadline berita. Pada konteks peran Komisi Informasi sebagaimana yang diatur dalam UU
KIP, Tikwan sendiri memandang bahwa Komisi Informasi sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Meski demikian, beliau tetap memandang masih tersirat
masalah pada sistem pelaksaannya. Dengan menceritakan pengalaman beliau ketika mengikuti proses persidangan di Komisi Informasi Provinsi Sumut bahwa yang kerap
menggunakan UU KIP adalah masyarakat yang sudah memiliki pendidikan yang cukup tinggi dan NGO.
“Kalau di Sumut, menurut apa yang mereka kerjakan dengan kedudukan mereka, mereka sudah mengerjakannya dengan baik.
Masalahnyakan sistem pelaksanaannya ini memang tidak memenuhi syarat, kalau mereka melaksanakan itu sudah oke. Di Sumut saya lihat
beberapa kali persidangan, tetapi wartawan tidak ada. Tapi, yang ada itu masyarakat yang terutama terdidik sebenarnya. Karena yang
menggunakan ini UU KIP kebanyakan masyarakat-masyarakat terdidik terutama dari lembaga-
lembaga NGO”. Pada tahap ketentuan pidana, Tikwan memandang bahwa terdapat konflik
ketika dianalisis dari perspektif jurnalistik. Ini dikarenakan undang-undang pers yang tidak memandang adanya persoalan pidana informasi meskipun itu bersifat rahasia.
“Ya, bagi jurnalismekan yang paling penting urusannya adalah memperoleh data itu. Di undang-undang pers yang kami wartawan
Universitas Sumatera Utara
cii
Universitas Sumatera Utara
jalankan, yang kami perjuangkan, tidak ada urusan itu. Prestasi kami terletak pada sejauh mana kami mendapatkan informasi yang lengkap
dan benar. Jadi, ketika masuk seperti ini berkonflik, gak mungkin kami mencari data kep
entingan publik”. Prestasi seorang jurnalis adalah mendapatkan informasi yang valid. Dengan
landasan pidana informasi seperti yang diatur dalam UU KIP bisa saja memungkinkan seorang jurnalis untuk tidak mencari informasi atau data publik.
Disinilah menurut Tikwan konflik yang terjadi ketika ketentuan pidana dilihat dari sudut pandang jurnalistik.
Meskipun Tikwan belum pernah memakai UU KIP dalam kegiatan jurnalistik, beliau sendiri memandang bahwa UU KIP berfungsi pada liputan investigasi dan
indepth news. Selain itu, UU KIP menurutnya berperan dalam mendukung kebebasan pers di tanah air.
“Terutama kita akan lebih mudah memiliki satu kekuatan hukum untuk mendapatkan hak informasi. Hak informasi itu melekat dalam tugas
jurnalistik. Jadi, salah satu kebebasan untuk mendapatkan informasi yang dimiliki masyarakat, itukan dijalankan oleh jurnalis, jurnalislah
yang melakukan itu karena masyarakat gak mau repot. Jadi, jurnalis merasa terdukung untuk menjalankan hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi. Dengan demikian, dulukan kalau kita datang kalau mereka tidak dikasih informasi tidak apa-apa. Jadi, sangat tidak
bebas, terhambat. Sekarang, kita memiliki paling tidak palu hukum walaupun pelaksanannya nanti belum tentu ya tapi, ada satu palu
hukum untuk mendukung kebebasan pers dalam kepentingan
informasi.” Dengan kehadiran UU KIP sebagai payung hukum informasi menurut Tikwan
jurnalis merasa terdukung dalam menjalankan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Selain hak mendapatkan informasi yang dimiliki masyarakat, jurnalistik
pun memiliki hak itu. Berkaca dari realitas yang dulunya jurnalis sangat tidak bebas dan dihambat dalam menjalankan tugasnya, hal ini berubah ketika UU KIP bisa
menjelma sebagai palu hukum informasi dalam mendukung kebebasan pers di tanah air. Pandangan itulah yang disampaikan Tikwan diakhir wawancara.
Universitas Sumatera Utara
ciii
Universitas Sumatera Utara
Informan kelima : Sahyan Informan kelima atau yang terkahir dalam penelitian ini adalah Sahyan.
Beliau sendiri merupakan salah satu komisioner Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara. Sebelumnya, ia pernah menjajaki karir jurnalistik di Harian Seputar Indonesia
sebagai kepala redaksi untuk wilayah Sumut. Tak hanya berkiprah di media, Sahyan juga bergabung dengan organisasi AJI Medan sebagai koordinator serikat pekerja.
Namun, setelah jabatan yang diemban sebagai komisioner Komisi Informasi, status beliau pada kedua wadah jurnalistik tadi sudah tidak aktif lagi. Meskipun demikian,
secara struktural Sahyan masih termasuk anggota di kedua wadah itu. Selain komisioner Komisi Informasi Sumut, hubungan organisatoris beliau
dengan AJI dan media tempatnya bekerja pada dasarnya menjadi pertimbangan peneliti untuk melakukan wawancara dengan Sahyan. Hal ini disebabkan kapasitas
informan sebagai komisioner Komisi Informasi, mantan kepala redaksi dan koordinator serikat pekerja AJI memungkinkan informasi yang diberikan dapat
menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini. Selain itu, beberapa informan sebelumnya merekomendasikan peneliti untuk mewawancarai Sahyan terkait
penelitian ini. Berangkat dari latar belakang itu, untuk menemui Sahyan bukan perkara
mudah. Aktifitas beliau sebagai komisioner Komisi Informasi yang padat menjadikan waktu luangnya sedikit berkurang. Namun, setelah menunggu beberapa minggu yang
pada awalnya peneliti menjelaskan niat dan tujuan penelitian ini melalui pesan singkat SMS, barulah kemudian kesepakatan waktu dan tempat wawancara
disetujui, yakni di kantor Komisi Informasi Sumatera Utara jalan Bilal nomor 105 pada pukul 10:00 WIB.
Seperti yang dilakukan peneliti kepada informan yang lainnya bahwa sebelum mengajukan pertanyaan terlebih dahulu peneliti melakukan diskusi. Tujuannya adalah
guna tercapainya persamaan asumsi antara peneliti dengan informan dalam
Universitas Sumatera Utara
civ
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan realitas undang-undang keterbukaan informasi publik ini. Setelah kegiatan ini dilakukan kepada Sahyan, wawancara pun dimulai.
Sahyan bergabung dengan organisasi AJI Medan memang sudah lama. Semenjak reformasi berlangsung tahun 1998 beliau sudah bergabung dan aktif
menjalankan kegiatan organisasi. Alasan beliau bergabung adalah komitmen AJI dalam memperjuangkan hak-hak wartawan dan nasib kesejahteraannya menjadi
magnet tersendiri bagi Sahyan. “Karena menurut saya AJI-lah organisasi wartawan yang masih
mempunyai komitmen memperjuangkan hak-hak wartawan. Kemudian saya melihat AJI peduli dengan nasib-
nasib kesejahteraan wartawan”. Sahyan membaca UU KIP pada tahun 2008 yang lalu. Waktu itu beliau belum
menjabat komisioner Komisi Informasi dan masih menyandang status wartawan. Maka dari itu, ia sendiri mengetahui UU KIP pertama kalinya sebelum undang-
undang ini disahkan oleh pemerintah. “Pada saat undang-undang ini mau disahkan dan tahun 2008 saya
sudah baca undang-undang ini UU KIP. Saya tahunya dari internet dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah”.
Persisnya, Sahyan mengetahui UU KIP melalui internet dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah sebelum UU KIP disahkan.
Pada saat pertama kali mengetahui UU KIP melalui internet dan sosialisasi dari pemerintah, Sahyan memandang undang-undang ini sebagai penutup alasan
badan publik untuk mengatakan informasi yang selama ini rahasia dapat dibuka. “Ketika undang-undang ini dilahirkan kita sangat senang. Selama ini
kita mendapatkan akses informasi banyak yang dihalang-halangi. Sebelum undang-undang ini lahir, pejabat-pejabat publik itu sering
mengatakan bahwa informasi yang kita minta itu merupakan informasi yang rahasia. Ketika itu kita tidak bisa memaksa karena belum ada
undang-undang yang mengatur itu. Tapi, dengan adanya undang- undang ini tidak ada lagi alasan bagi badan publik untuk mengatakan
informasi itu rahasia”.
Universitas Sumatera Utara
cv
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sahyan, akses informasi yang kerap dihalang-halangi dengan dalih informasi yang diminta bersifat rahasia merupakan dinamika kelam di badan publik
sebelum UU KIP disahkan. Hal ini membuatnya menerima alasan badan publik ketika mengatakan informasi yang diminta bersifat rahasia karena belum adanya
regulasi khusus terkait hal itu. Dinamika inilah yang membuat Sahyan merasa senang ketika UU KIP akan dilahirkan.
Dengan pandangan yang sama, sebelum UU KIP dilahirkan keadaan informasi disetiap badan publik menurut Sahyan memang bersifat rahasia. Artinya,
setiap permintaan informasi kepada badan publik mereka bisa mengatur kepada siapa saja informasi itu diberikan. Kewenangan seperti ini mereka bungkus dengan alasan
informasi rahasia meskipun pada dasarnya bisa dibuka dan diakses oleh publik. “Sebelum undang-undang ini ada keadaan badan publik seperti yang
saya katakan tadi, mestinya informasi itu bisa dibuka mereka sering mengatakan itu informasi rahasia. Jadi, kalau mereka tidak ingin
memberikan informasi mereka bilang rahasia”. Permasalahan tadi terjawab ketika UU KIP disahkan pada tahun 2008 dan
efektif berlaku tahun 2010. Setelah disahkannya undang-undang ini, Sahyan memandang bahwa jurnalis dan masyarakat akan mudah mendapatkan akses
informasi dari badan publik. “Kita sangat menginginkan adanya undang-undang KIP ini dan itu
sangat membantu sekali kepada masyarakat untuk mendapatkan akses informasi. Begitu juga untuk jurnalis, ketika jurnalis tidak bisa
menggunakan undang-undang 40 undang-undang pers dalam mencari berita maka mereka bisa menggunakan undang-undang 14
UU KIP untuk mengakses informasi. Karena kalau di undang-undang
pers itu, ketika pejabat bilang ‘no comment’ atau ‘off the record’ lepas mereka”.
Khususnya bagi kalangan jurnalis bahwa undang-undang pers sebagai payung hukum tidak dapat memaksa pejabat atau badan publik apabila tidak memberikan
informasi. Selain itu, ketika undang-undang pers mengalami batasan dalam mencari informasi jurnalis bisa menggunakan UU KIP guna mendukung liputan dan mencari
Universitas Sumatera Utara
cvi
Universitas Sumatera Utara
informasi yang dibutuhkan. Pandangan inilah yang mendorong beliau untuk menginginkan UU KIP lahir.
Berangkat dari hal itu, meskipun pada dasarnya UU KIP menjamin keterbukaan informasi namun dalam aplikasinya undang-undang tersebut mempunyai
informasi yang harus dirahasiakan. Sahyan memandang informasi yang dikecualikan seperti pertahanan negara dan proses penyelidikan adalah suatu keharusan yang wajib
dikecualikan. “Pertahanan negera dan proses penyelidikan. Itu begini, dalam
undang-undang ini pada prinsipnya semua informasi itu terbuka kecuali informasi yang dikecualikan. Informasi yang dikecualikan itu
pun sifatnya ketat dan terbatas. Artinya, harus benar-benar melakukan uji
konsekuensi tadi.
Dia dikecualikan
betul-betul melalui
pengkajianlah dan jika dibuka bisa membahayakan atau tidak. Jadi, memang harus ada yang dikecualikan tapi tidak boleh semua”.
Meskipun informasi yang dikecualikan memang diperlukan namun, pengecualian itu terlebih dahulunya harus melakukan uji konsekuensi apabila
informasi rahasia ingin dibuka. Proses seperti ini menurutnya harus dilakukan dengan cara pengkajian mendalam dengan menilai efek yang ditimbulkan. Sahyan juga
menambahkan meskipun informasi yang dikecualikan memang diharuskan sifatnya harus ketat dan terbatas. Artinya, pengecualian itu harus melakukan prosedur yang
digariskan UU KIP dan tidak bersifat permanen. Selain adanya pengecualian informasi, UU KIP pun mengatur mekanisme
memperoleh informasi itu sendiri. Terkait hal ini, Sahyan memandang dengan adanya mekanisme seperti itu badan publik memiliki waktu luang yang cukup dalam
mempersiapkan dan mencari informasi yang diinginkan publik. Kompleksnya birokrasi di badan publik menjadikan mereka memiliki waktu yang terbatas k etika
seseorang menginginkan informasi. Dengan waktu sepuluh hari kerja yang dimiliki badan publik dalam menyediakan informasi, menurut Sahyan waktu tersebut sudah
cukup dalam menanggapi permintaan informasi.
Universitas Sumatera Utara
cvii
Universitas Sumatera Utara
“Menurut saya itu memberikan kesempatan kepada badan publik untuk menyiapkan dan mencari informasi yang kita minta. Seandainya tidak
ada waktu yang diberikan sepuluh hari, kan gak mungkin kita minta informasi langsung diberi. Jadi, sepuluh hari itu sebenarnya menurut
saya waktu yang cukuplah untuk menj
awabnya”. Sepuluh hari kerja yang menjadi tenggat waktu dalam mekanisme
memperoleh informasi menurut Sahyan tidak sesuai dengan tuntutan deadline berita dengan menegaskan bahwa UU KIP bukan untuk jurnalis.
“Makanya harus dibedakan bahwa undang-undang 14 UU KIP ini bukan untuk wartawan. Kalau untuk wartawan itu ada undang-undang
40 undang-undang Pers tadi. Tapi, undang-undang ini bisa digunakan wartawan untuk mendapatkan berita terutama berita
invenstigasi. Kalau liputan yang sifatnya straigh news yang butuh
kecepatan mana cocok”. Meskipun UU KIP ini bukan untuk jurnalis tapi, undang-undang tersebut bisa
saja digunakan oleh mereka guna memperoleh data dan informasi. Terkait dengan deadline, Sahyan memandang bahwa berita yang menuntut kecepatan dan kesegeraan
tidak cocok memakai UU KIP dalam mendukung liputan. Akan tetapi, UU KIP berguna dalam liputan investigasi yang menuntut validitas informasi yang menjadi
berita. Bertolak dari hal ini, sebagai komisioner Komisi Informasi Provinsi Sumut
Sahyan menjelaskan kepada peneliti tentang kasus yang sudah ditangani dan diproses mulai dari tahun 2013 hingga sekarang. Jumlahnya mencapai 403 kasus. Pada tahun
2013, Komisi Informasi menangani 164 kasus, tahun 2014 sebanyak 106 kasus dan tahun 2015 hingga bulan Mei sebanyak 133 kasus. Tuntutan informasi yang paling
banyak dilakukan publik adalah Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Sosial dan Dinas Perhubungan. Penjelasan inilah yang diberikan Tikwan terkait
kinerja nyata dari Komisi Informasi Sumut. Selain kehadiran Komisi Informasi, UU KIP mengatur pula tentang ketentuan
pidana. Sahyan memandang hal ini sebagai bentuk keharusan dari sebuah aturan yang mewajibkan adanya konsekuensi.
Universitas Sumatera Utara
cviii
Universitas Sumatera Utara
“Ya, menurut saya satu tahun penjara itu sudah cukup bagi badan publik. Kan gak ada orang yang mau dihukum satu tahun ? tidak ada
aturan tanpa sanksi. Jadi, kalau aturan tanpa sanksi, itu namanya
bukan aturan. Saya kira sanksi itu harus ada pada setiap aturan”. Menurutnya, satu tahun penjara yang diatur dalam UU KIP sudah cukup
maksimal bagi badan publik atau pemohon yang melanggar segala ketentuan undang- undang ini. Dengan memandang bahwa seseorang yang tidak menginginkan penjara
satu tahun, hal ini menurutnya sudah cukup. Selain itu beliau memandang bahwa tidak ada aturan tanpa sanksi. Jika memang ada, itu bukan aturan.
Sebagai seorang yang berlatar belakang jurnalis sebelum menjabat komisioner Komisi Informasi Sumut, Sahyan memang belum pernah memakai UU KIP dalam
tugas jurnalistiknya. Meskipun demikian, ia memandang bahwa undang-undang ini berfungsi dalam liputan investigasi dan berperan penting dalam mendukung
kebebasan pers di tanah air. “Ya, setidaknya ada semacam payung hukum bagi wartawan ketika
badan publik mengatakan informasi yang diminta itu rahasia”. Menurutnya, dengan kehadiran UU KIP jurnalis memiliki payung hukum
informasi ketika badan publik tidak berkenan memberikannya. Meski pada dasarnya badan publik mengatakan informasi yang diminta jurnalis bersifat rahasia, setidaknya
payung hukum untuk itu sudah ditetapkan melalui UU KIP. Pandangan inilah menurut Sahyan yang dapat mendukung kebebasan pers diakhir wawancara dengan
peneliti.
4.3 Pembahasan