Konsep Kebijakan Desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara (Studi kasus kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur)
mengoperasionalkan rencana tata ruang wilayah kabupatenkota untuk bidang permukiman. Model dan perencanaan kebijakan dan strategi pengembangan
permukiman ini telah mulai dikembangkan di beberapa negara termasuk Indonesia khususnya untuk menjawab kebutuhan mendesak permintaan pembangunan
permukiman. Healey 2004 menjelaskan tentang new strategic spatial planning in
Europe, suatu bahasan pengelolaan ruang dan lokasi permukiman yang optimal dalam jurnal internasional Urban and Regional Research Healey 2004. Ada
beberapa alasan perlunya langkah operasionalisasi rencana pengembangan permukiman, tetapi kenyataannya masih sulit untuk dilaksanakan dan bahkan
menjadi perdebatan para planners Eropa. Alasannya masih diperlukan adanya arahan kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan pembangunan permukiman
antara lain karena masih adanya permasalahan koordinasi kebijakan khususnya dengan pemerintahan lokal dalam mencari cara bagaimana membuat wilayah
kabupatenkota lebih ekonomis dan kompetitif dalam mengembangkan kawasan permukimannya.
Pengembangan kawasan permukiman dengan memanfaatkan asset base-nya, perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumber daya alam dan lahan yang
optimal. Hal ini untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi ketidakseimbangan akses distribusi penduduk lokal untuk berinteraksi
dengan wilayah pusat pertumbuhan perkotaan. Untuk itu Healey 2004 menetapkan kriteria dalam kebijakan dan strategisnya, yaitu 1 skala pengelolaan,
2 skala posisi kota dan wilayahnya, 3 regionalisasi, 4 kelayakan material dan identitas, 5 konsep pengembangannya, dan 6 bentuk-bentuk representasi
hubungan integrasi fungsional. Semua kriteria ini selanjutnya dijabarkan dalam langkah kebijakan dan strategi untuk mengoperasionalkan perspektif
pengembangan ruang kawasan permukiman. Kebijakan atau policy pada hakikatnya merupakan suatu tindakan yang diambil
oleh suatu pihak menanggapi persoalan tertentu. Tindakan tersebut dapat berupa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu Partowidagdo 2004. Adapun
yang menjadi pendekatan dalam proses pengambilan kebijakan berdasarkan perkembangan keilmuan, kebijakan tersebut sangat bermacam-macam. Akan
tetapi, pada bagian ini hendak dikaji dua model pendekatan pengambilan kebijakan yakni pendekatan partisipatif dan pendekatan sistem.
1 Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan
Dalam pengambilan keputusan, partisipasi merupakan wujud keterlibatan secara aktif suatu pihak terhadap suatu hal, permasalahan, atau aktivitas kegiatan
dengan menyumbangkan sesuatu yang dimilikinya baik fisik maupun nonfisik dengan tujuan-tujuan tertentu. Berbagai definisi mengenai partisipasi mengacu
pada suatu kompleksitas bahwa “partisipasi” dipandang secara bermacam-macam tergantung pada siapa objek pelaku dan siapa yang mendefinisikannya. Dalam hal
ini, partisipasi dapat berarti partisipasi sosial, partisipasi ekonomi, partisipasi politik, partisipasi keilmuan, dan lain sebagainya.
“Partisipasi” itu sendiri berbeda dari intervensi karena partisipasi lebih cenderung diartikan sebagai sumbangan keterlibatan dari suatu pihak pada suatu
hal di antara banyak pihak lainnya. “Partisipasi” dapat membatasi kualitas tujuan dari hal yang dilibatkannya tersebut pada masa depan. Di Indonesia, “partisipasi”
didefinisikan sebagai prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap kegiatan salah satunya kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan. Proses pengambilan keputusan adalah suatu mekanisme tahap demi tahap
bagaimana suatu keputusan dari berbagai alternatif yang ada akhirnya dapat terpilih. Pengambilan keputusan pada dasarnya terbagi atas pengambilan
keputusan normatif dan pengambilan keputusan deskriptif. Proses pengambilan keputusan normatif dalam kasus ini merupakan suatu tahapan atau langkah-
langkah bagaimana sebuah keputusan seharusnya dibuat. Adapun proses pengambilan keputusan deskriptif adalah suatu tahapan atau langkah mengenai
keputusan pada saat ini dibuat dan bekerja Hansen 1994. Oleh karena itu, selain sebagai pihak yang dipertimbangkan kepentingannya
dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan, masyarakat publik berhak berpartisipasi aktif dalam pembangunan itu sendiri untuk menentukan
bagaimana seharusnya pembangunan yang tepat guna dan tepat sasaran sesuai dengan harapan mereka. Dengan kata lain, dalam rangkaian proses pengambilan
keputusan publik pada kegiatan pembangunan, “partisipasi” dapat dikatakan
sebagai sarana atau alat bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan tersebut. Hal ini demi menjaga agar fungsi-fungsi pembangunan dapat
menguntungkan dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Konsep partisipatif dalam pengambilan keputusan pada kegiatan pembangunan
sangat erat dengan konsep bottom-up planning. Suatu konsep yang mengangkat arah dan kebijakan pembangunan dari aspirasi masyarakat dan stakeholder
pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah hanya menjadi penyeimbang dan pelaksana serta penyempurna dari aspirasi-aspirasi yang berkembang tersebut. Hal inilah
yang membedakan konsep partisipatif bottom-up approach dengan konsep otoritas sentralistik pemerintah top-down approach dalam proses pengambilan
keputusan. Desentralisasi, secara konseptual merupakan salah satu wujud pendekatan
partisipatif dalam pembangunan. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai stakeholder tunggal penentu arah kebijakan pembangunan di mana pemerintah
sebagai institusi mempunyai otoritas top-down dalam menentukan setiap keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik masyarakatnya. Akan
tetapi, dengan adanya konsep desentralisasi, pemerintah dengan terbuka membagi kewenangannya pada masyarakat untuk dapat menentukan arah dan kebijakan
pembangunan daerahnya masing-masing pada taraf yang lebih rendah. Artinya, keberadaan desentralisasi dapat membuat masyarakat terlibat secara aktif
sehingga melahirkan pengambilan keputusan-keputusan secara bottom-up pada rangkaian kegiatan pembangunan. Bahkan menurut Poteete 2002, desentralisasi
merupakan sarana membagi konsentrasi otoritas dan kewenangan pengambilan keputusan yang terkait dengan pembangunan suatu wilayah negara pada institusi
pemerintah yang lebih rendah daripada institusi nasionalnya. Artinya, dengan adanya desentralisasi, telah terjadi suatu upaya mendekati masyarakat untuk
berpartisipasi dengan aktif melibatkan diri untuk menyampaikan aspirasinya pada pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah mengumpulkan aspirasi-
aspirasi tersebut dan menyampaikannya pada pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti sebagai suatu kebijakan yang berwawasan kemasyarakatan.
2 Pendekatan Sistem Penyusunan Kebijakan
Sistem adalah gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan Marimin 2004. Sistem itu
kompleks, dinamik, dan probabilistik stokastik, sedangkan falsafah sistem adalah sibernetik, holistik, dan efektif Eriyatno 2003.
Selanjutnya, Aminullah 2004 menyatakan bahwa berpikir sistemik adalah berpikir yang menekankan keseluruhan rangkaian bagian secara terpadu.
Menurutnya, ada enam langkah proses berpikir sistemik untuk pemecahan masalah, yaitu pengungkapan kejadian nyata, penentuan kejadian yang
diinginkan, penetapan kesenjangan, pembuatan analisis, penyusunan kebijakan, dan pemerkirakan dampak.
Berpikir sistem merupakan reaksi terhadap kegagalan ilmu pengetahuan alam ketika dihadapkan kepada masalah dunia nyata yang sangat kompleks dalam
sistem sosial Jackson 2000. Dalam menghadapi masalah yang kompleks ini, pendekatan ’holism’ lebih diutamakan dibandingkan dengan pada ’reductionism’.
Pada pendekatan ’holism’, interkoneksitas beragam bagian dikenali dan hubungan antarbagian diperhatikan, bahkan sampai pada outcome yang tidak
diduga. Metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan melalui pendekatan sistem terdiri atas tahapan proses sebagai berikut: analisis, rekayasa model,
implementasi rancangan, dan implementasi dan operasi sistem. Adapun metodologi sistem pada prinsipnya adalah: analisis kebutuhan, identifikasi sistem,
formulasi masalah, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik, dan penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan Eriyatno 2003.
Perkembangan terakhir dalam pendekatan sistem adalah pengadopsian pendekatan transdisiplin. Bila tim multidisiplin menjamin terjaganya
komplementaritas sistem pengetahuan yang berbeda, interdisiplin menjembatani perbedaan pandangan disiplin. Adapun transdisiplin adalah sebuah proses yang
melampaui perspektif disiplin Attwater 2005. Hal yang kurang lebih sama seperti dikemukan oleh Meppem 1998 yang menemukan bahwa pendekatan
transdisiplin sangat penting untuk mengarahkan kegiatan perencanaan dan pengelolaan berkelanjutan. Cara berpikir disiplin konvensional yang sempit dalam
lingkaran kebijakan membatasi kapasitas pengambil keputusan untuk mengurai kompleksitas masalah kebijakan dan manajemen lingkungan di dunia nyata.
Perumusan kebijakan perlu memperhatikan kompleksitas itu dan mendorong fleksibilitas pembelajaran perubahan yang berlangsung secara terus-menerus.
Sementara konstruksi kerangka konseptual multidisiplin mengenai kualitas lingkungan dan kualitas hidup diperlukan untuk mendorong kemajuan di bidang
pengembangan kota, kualitas lingkungan, dan kesejahteraan manusia. Lebih jauh lagi, McIntyre dan Mills, 2008 menyatakan bahwa pendekatan transdisiplin
sangat penting untuk memperoleh kesadaran atau jalan yang lebih besar menembus domain pengetahuan yang kita miliki. Selain itu, yang lebih penting, ia
akan membantu politisi membuat keputusan kebijakan yang lebih baik. Intervensi sistemik telah dikenalkan oleh Midgley 2000 yang telah
mempraktikkannya dalam sejumlah bidang, yaitu pengembangan layanan perumahan untuk orang tua, perencanaan penanganan bencana, perencanaan dan
evaluasi pengawasan khusus bagi penderita gangguan mental mentally disorder, dan pengembangan penanganan remaja yang kabur dari rumah atau pusat
perawatan. Dalam semua kegiatan ini, Midgley melaksanakan penetapan batas boundary critique dan keberagaman metodologi methodological pluralism,
yaitu menggabungkan berbagai metoda secara kreatif. Dengan mengaplikasikan soft system methodology, baik tanpa maupun dengan disertai penggunaan metode
kuantitatif. Perbedaan antara pendekatan statistik dengan pendekatan sistem dijelaskan
oleh Eriyatno dan Sofyar 2007 bahwa pendekatan statistik adalah tata cara riset yang mapan dan dapat diandalkan terutama dalam lingkungan penelitian yang
terkendali ataupun terisolasi ceteris paribus. Akan tetapi, keandalannya menjadi berkurang bilamana wahana penelitian merambah ke dunia nyata real world
yang merupakan kombinasi kompleks dari faktor-faktor sosial, kultural, ekonomi, psikologis, legal, dan komunikasi. Di sinilah diperlukan pendekatan sistem.
Pengertian model kebijakan adalah rekonstruksi buatan untuk menata secara imajinatif dan mengintepretasikan pengalaman tentang keadaan bermasalah
problematic situation dalam rangka mendeskripsikan, menjelaskan, dan meramalkan aspek-aspek terpilih dari keadaan bermasalah tersebut dengan
maksud memecahkan permasalahannya Partowidagdo 2004. Klasifikasi model kebijakan berdasarkan tujuannya dapat dibagi atas model deskriptif dan model
normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan alasan pemilihan dan atau
meramalkan akibat alternatif kebijakan. Tujuan model normatif selain menjelaskan dan atau meramalkan juga memberikan aturan dan rekomendasi
untuk mendapatkan penyelesaian yang optimal. Model rekomendasi terdiri atas analisis manfaat biaya, analisis keefektifan biaya, dan analisis multitujuan.
Menurut Eriyatno dan Sofyar 2007, pada prinsipnya, analisis dan sintesis terlibat dalam setiap langkah untuk mewujudkan pikiran menjadi substansi.
Keduanya saling melengkapi karena untuk mengidentifikasi aktivitas yang murni, analisissintesis memerlukan prinsip analisissintesis mutu tertentu. Analisis
mendominasi studi dan pengetahuan mengenai substansi alamiah dan sistem, sedangkan sintesis mendominasi dalam pengembangan substansi yang konseptual
atau artificial. Pendekatan sintesis harus menggunakan pendekatan sistem yang mempunyai karakteristik integration, interdisciplinarity, interconnectivity,
imaginative, dan holistic. GDM Group Decision Making dan FGD Focus Group Discussion sudah
menjadi prosedur riset yang dapat diandalkan guna mengkaji perihal yang kompleks dan dinamik tanpa harus melakukan reduksi faktor. Penelitian ilmiah
yang menggunakan kelompok group sebagai sumber ilmiah sekaligus untuk pengembang konsep Eriyatno dan Sofyar 2007.
Penyusunan kebijakan secara kuantitatif dan kualitatif di antaranya dapat dikonstruksikan melalui pendekatan sistem dengan metode perbandingan
eksponensial MPE, interpretative structural modelling ISM, dan analytical hierarchy process AHP.
a Metode MPE
Metode perbandingan eksponensial MPE merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak Eriyatno
dan Sofyar 2007. Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah
terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. MPE akan menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras.
Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu 1 menyusun alternatif-alternatif keputusan
yang akan dipilih, 2 menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan
yang penting untuk dievaluasi, 3 menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, 4 melakukan penilaian terhadap
semua alternatif pada setiap kriteria, 5 menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan 6 menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor
atau nilai total masing-masing alternatif. Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah
pendapat. Penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai
alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi
eksponensial. Metode perbandingan eksponensial mempunyai keuntungan dalam mengurangi
bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor yang menggambarkan urutan prioritas menjadi besar fungsi eksponensial ini mengakibatkan urutan prioritas
alternatif keputusan lebih nyata.
b Metode ISM
Untuk mempelajari sistem sosial secara menyeluruh dan historis, analisis kebijakan mempunyai kekurangan dalam menetapkan dasar metodologinya.
Kebijakan yang dihasilkan masih kurang mendalam untuk menganalisis prediksi dan penyelesaian permasalahan sosial, seperti kemiskinan, huru-hara, SARA, dan
polusi. Hal ini karena tidak adanya metodologi penelitian sistem yang menyeluruh di mana komponen-komponennya tidak dapat dipisah-pisahkan Eriyatno 2003.
Berbagai teori kemudian dikembangkan untuk perencanaan strategis di mana informasi kualitatif dan normatif mendominasi input kebijakan. Teori integratif
dan interdisiplin ini banyak timbul dari ilmu sistem system science. Pada tahun 1990-an yang telah dikenal adalah sistem ahli expert system, total system
intervention TSI, soft system methodology SSM, decision matrix ECM dan MICMAC, viable system models VSM, serta interpretative structural modelling
ISM sebagai permodelan struktural. Permodelan struktural mencakup dua tahap. Pada tahap pertama, diterapkan
suatu alat pembangkit dari sejumlah daftar elemen yang berhubungan dengan perihal yang ditelaah. Tahap kedua terdiri atas pemilihan hubungan-hubungan
yang relevan dan suatu alat strukturisasi yang tepat sehingga elemen-elemen tersebut dapat diformasikan.
Alat pembangkit generating tool yang dapat digunakan adalah Eriyatno 2003: 1 Diskusi Ahli, di mana melalui proses musyawarah dan brainstroming,
ditetapkan daftar elemen oleh para panelis yang terpilih dengan ketat. 2 Expert Survey, melalui in-depth interview dari berbagai pakar lintas disiplin,
didapatkan kesimpulan tentang daftar elemen Brainwriting atau Clinical Interviewing.
3 Metode DELPHI, dengan pengumpulan informasi terkendali, iteratif dan berumpan balik. Teknik ini merupakan yang terbaik untuk pembangkitan
pendapat, tetapi prosesnya sangat mahal dan memerlukan waktu lama. 4 Media Elektronik, seperti computerized conferencing, generating graphics
atau tele-conference. Sejak tahun 1980-an, telah berkembang metodologi holistik untuk penelitian
sistem sosial, yang lebih berorintasi terhadap metode penelusuran daripada teknik penguraian. Metodologi holistik cenderung pada penyusunan konsep dasar dan
definisi persoalan, khususnya pada nonlinear multi-feedback loop system, yang mempersyaratkan tindakan policy action. Metodologi ini dimulai dengan
mendefinisikan elemen dari sistem total, struktur, batasannya dan keterkaitannya dengan sistem lainnya.
Struktur menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dan hubungan antarelemen dalam membentuk suatu sistem. Struktur adalah dasar dari setiap
sistem sebab istilah sistem itu sendiri diturunkan dari dua kata Yunani yang artinya ”menyebabkan tegak bersama” atau ”menempatkan kebersamaan”.
Permodelan struktural menghasilkan bentuk grafis dengan mengalokasikan kompleksitas permasalahan dalam tingkatanlevel. Model struktur menjabarkan
format dan struktur terhadap pengukuran hasil kuantitatif sehingga dapat dipandang sebagai proses permodelan deskriptif dan holistik di mana para
pengguna mendapatkan apresiasi menyeluruh terhadap sistem tersebut the whole greater than just sum of this parts. Setelah dilakukan identifikasi dari hubungan
satu sama lain, kemudian model yang terbentuk dikaji secara keseluruhan guna
mengembangkan pemahaman total. Oleh karena itu, melalui permodelan struktural, para pengguna model mampu meningkatkan pendalaman yang lebih
baik terhadap perilaku sistem secara utuh sehingga akan dihasilkan penetapan prioritas pada tahap kesisteman. Alat strukturisasi structuring tool yang populer
untuk hubungan tak langsung digunakan teknik interpretative structural modelling ISM Eriyatno 2003.
c Metode AHP
Analytical Hierarchy Process selanjutnya disebut AHP adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi
semua kekurangan dari model-model sebelumnya. Alat utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia.
Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah ke dalam kelompok-kelompoknya dan kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur
menjadi suatu bentuk hirarki. Perbedaan mencolok antara model AHP dengan model pengambilan keputusan
lainnya terletak pada jenis inputnya. Model-model yang sudah ada umumnya memakai input yang kuantitatif atau berasal dari data sekunder. Otomatis, model tersebut hanya
dapat mengolah hal-hal kuantitatif pula. Model AHP memakai persepsi manusia yang dianggap ‘expert’ sebagai input utamanya. Kriteria ‘expert’ di sini bukan berarti
bahwa orang tersebut haruslah jenius, pintar, bergelar doktor, dan sebagainya, tetapi lebih mengacu pada orang yang mengerti benar permasalahan yang diajukan,
merasakan akibat suatu masalah atau punya kepentingan terhadap masalah tersebut. Karena menggunakan input yang kualitatif persepsi manusia, model ini dapat
mengolah juga hal-hal kualitatif di samping hal-hal yang kuantitatif. Pengukuran hal-hal kualitatif, seperti telah dijelaskan di atas, menjadi hal yang sangat penting
mengingat makin kompleksnya permasalahan di dunia dan tingkat ketidakpastian yang makin tinggi.
III METODOLOGI PENELITIAN