Kualitas Data BTP DATABASE KONSENTRASI BTP HASIL MONITORING BADAN POM RI

mengingat warna sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi konsumen. Terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa warna menentukan kualitas suatu produk pangan dan hal ini dimanfaatkan para produsen pangan tanpa mempedulikan efeknya terhadap kesehatan Tjahjadi, 1986. Kedua pewarna ini telah dibuktikan dapat menyebabkan kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat langsung setelah mengkonsumsi, oleh karena itu dilarang digunakan dalam pangan walaupun dalam jumlah sedikit Rahayu et al., 2003. Harga yang relatif murah dan kemudahan untuk memperolehnya juga menjadi pertimbangan produsen untuk menggunakan pewarna ini. Badan POM RI sebagai leading sector dalam keamanan pangan bersama dengan stakeholder lainnya bertanggung jawab untuk terus meningkatkan pengawasan terhadap kelompok pangan yang telah terbukti mengandung aditif ilegal. Beberapa strategi yang sedang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM adalah peningkatan kerjasama dengan instansi terkait lainnya untuk melaksanakan pengawasan keamanan pangan, peningkatan pengawasan keamanan pangan dengan tindakan preventif, peningkatan kesadaran akan pentingnya keamanan pangan terhadap masyarakat, dan peningkatan tindakan hukum bagi mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan terutama mengenai keamanan pangan.

2. Kualitas Data BTP

Masalah utama berkaitan dengan data BTP ini adalah kualitas data yang tersedia masih sulit untuk dianalisis dengan pendekatan kajian risiko yang diawali dengan identifikasi bahaya hingga karakterisasi risiko. Beberapa kelemahan yang teridentifikasi diantaranya adalah data-data yang ada umumnya masih bersifat kualitatif. Data yang bersifat kualitatif hanya bisa digunakan untuk pendekatan identifikasi bahaya dalam rangka pengawasan pangan untuk penegakan hukum law enforcement, sedangkan untuk pendekatan kajian paparan dibutuhkan data yang bersifat kuantitatif Sparringa, personal communication. 2006. Kelemahan kedua adalah parameter analisis yang penting seperti nilai LOD dan LOQ tidak dicantumkan dalam laporan pengujian. Kedua nilai ini sangat penting untuk membuat asumsi hasil analisis yang kualitatif, misalnya hasil pengujian yang menunjukkan nilai ”tidak terdeteksi”. Hasil analisis ”tidak terdeteksi” bukan berarti dalam sampel benar-benar tidak terdapat BTP, bisa saja karena nilainya yang terlalu kecil sehingga tidak dapat dideteksi oleh alat yang digunakan dalam pengujian. Tanpa kedua nilai ini akan sulit memperkirakan rata-rata konsentrasi BTP dalam suatu produk pangan. Masalah lain berkaitan dengan kualitas data BTP yang telah terkumpul adalah masalah sampling yang masih belum seragam antar BalaiBalai Besar POM yang ada di Indonesia. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan tidak tercantumnya tempat dan tanggal sampling pada hasil pengujian di sebagian BalaiBalai Besar POM. Jumlah sampel yang dianalisis pada setiap bahan pangan sebagian besar masih belum cukup untuk menjamin validitas data, bahkan ada yang hanya menggunakan satu sampel saja sehingga menyulitkan dalam penentuan parameter statistik khususnya nilai percentile WHO, 2000 a . Dan yang terakhir adalah pelaksanaan survei dalam rangka monitoring terhadap BTP belum mempertimbangkan kerangka sampel. Hal ini ditunjukkan dengan masih belum seragamnya obyek yang disurvei di setiap BalaiBalai Besar POM. Tindak lanjut monitoring dapat diarahkan pada program surveilan yang akan dilakukan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI yang bekerjasama dengan unit terkait untuk mengetahui karakteristik risiko secara lebih komprehensif serta sebagai bahan pengambilan kebijakan selanjutnya dengan pendekatan analisis risiko. Badan POM saat ini mempunyai mekanisme surveilan dan tindak lanjutnya, namun belum diujicobakan. Salah satu elemen penting adalah perlu protokol survei yang memuat panduan berisi latar belakang survei; tujuan survei; keluaran dan manfaat; penetapan populasi survei; identifikasi kerangka sampel; alattools, metode pengambilan sampel dan penentuan besarnya sampel; penanganan sampel; preparasi sampel; analisis sampel; serta manajemen survei, sehingga kedepannya data yang terkumpul dari seluruh BalaiBalai Besar POM dapat diintegrasikan untuk selanjutnya dianalisis. Hasil analisis akan sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut dari permasalahan yang ada. Kegiatan tindak lanjut tersebut dapat berupa kegiatan inspeksi, public warning atau law enforcement tindakan pengawasan dalam rangka penegakan hukum dan kegiatan ini biasanya dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, sedangkan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan sendiri akan melakukan promosi keamanan pangan sebagai tidak lanjut hasil kajian risiko, sehingga program ini akan terus berkelanjutan dan ada interaksi antar kegiatan kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko dalam proses analisis risiko yang utuh Badan POM, 2005 c . Di Indonesia juga belum ada prioritas pangan dan BTP untuk monitoring keamanan pangan sehingga hasil pengujian selama ini masih bersifat acak dan masih terfokus pada pangan dan BTP yang sama dari tahun ke tahun tanpa diikuti intervensi yang sistematis. Padahal jika dilihat di GSFA yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, masih banyak pangan mengandung BTP yang belum dilakukan monitoring. Pelaksanaan kegiatan monitoring harus mempunyai prioritas. Hal ini didasarkan atas pertimbangan biaya, waktu dan tenaga Sparringa, 2002. Untuk menentukan prioritas tersebut maka terlebih dahulu dilakukan penyaringan atau seleksi asupan diet melalui metode budget. Dengan seleksi menggunakan metode budget ini, BTP yang dimonitor nantinya adalah BTP yang memang memerlukan informasi lebih rinci melalui kajian paparan WHO, 2001; Sparringa, et al., 2004.

B. DATABASE KONSENTRASI KONTAMINAN PANGAN HASIL

MONITORING BADAN POM RI 1. Database Kontaminan Pangan Data konsentrasi kontaminan pangan telah dihimpun dalam bentuk database. Database tersebut belum bersifat komprehensif karena hasil pengujian dalam rangka monitoring kontaminan pangan yang ada selama ini umumnya dikumpulkan dari pihak yang ingin menguji produknya ke Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional PPOMN. Idealnya data hasil monitoring dikumpulkan berdasarkan kegiatan sampling dan pemilihan metode sampling akan memegang peranan penting dalam hal menentukan representasi data. Pemilihan metode sampling tentunya harus didasarkan pada tujuan monitoring yang akan dilakukan. Jika kegiatan monitoring dilakukan dalam rangka penegakan hukum law enforcement maka tidak perlu menggunakan metode sampling secara acak. Akan tetapi jika kegiatan monitoring tersebut ditujukan untuk keperluan kajian paparan maka data harus bersifat representatif yang artinya mewakili karakteristik populasi, dan hal ini bisa diperoleh dengan menerapkan metode sampling secara acak. Selain itu jumlah sampel yang diambil harus cukup untuk menjamin validitas data, serta parameter-parameter analisis penting seperti nilai LOD dan LOQ harus dicantumkan secara jelas dalam laporan pengujian WHO, 2000 a ; Badan POM, 2005 b ; Badan POM, 2005 c . Nampaknya Badan POM RI hanya melakukan monitoring terhadap aflatoksin, sedangkan monitoring terhadap kontaminan lainnya masih melibatkan pihak ketiga yakni perusahaan yang ingin mengujikan produknya ke PPOMN. Berdasarkan hasil analisis terhadap parameter kontaminan pangan dari tahun 1999-2004, terdapat 927 data parameter kontaminan pada pangan segar dan pangan semi olahan dengan jenis kontaminan yang dianalisis meliputi logam berat, residu pestisida, aflatoksin, nitrit, dan dioksin 2,3,7,8 TCDD. Jenis dan jumlah kontaminan pada kelompok pangan yang dianalisis di Indonesia secara rinci disajikan pada Tabel 12.