Analisis Ekonomi Sharecropping Pengaruh penerapan teknologi dan kelembagaan terhadap efisiensi dan pendapatan usahatani padi di Provinsi Sulawesi Selatan

3.2. Analisis Ekonomi Sharecropping

Perkembangan teknologi akan meningkatkan produktivitas lahan dan biasanya menyebabkan timpangnya distribusi pemilikan lahan. Perubahan distribusi pemilikan lahan tersebut sebagai akibat dari akumulasi lahan pertanian pada golongan elite atau pemilik modal di pedesaan. Dengan modal yang cukup bisa membeli lahan dari petani yang sewaktu-waktu menjual lahannya. Di sisi lain petani yang hidupnya terbatas dengan lahan yang semakin sempit biasa menjual lahannya karena ada kebutuhan keluarga yang mendesak. Hal ini terus berlangsung sehingga jumlah rumah tangga tidak berlahan land less semakin meningkat. Kondisi ini akan diikuti oleh meningkatnya jumlah petani yang menggarap lahan orang lain dengan status penyakap Suryana 1989; Erwidodo et al . 1993; Saleh et al. 1997; Susilowati 1997. Menurut Ellis 1988 salah satu bentuk penyakapan adalah Sharecropping atau bagi hasil dimana sewa lahan atau biaya pemakaian lahan diwujudkan dalam persentase total produksi yang diperoleh pada satu musim. Lanjut dikatakan bahwa menurut pendapat ekonom neoklasik penyakapan merupakan suatu konsep teoritis yang menarik untuk dikaji sedangkan menururt pendapat ekonom Marxian bahwa penyakapan merupakan bentuk eksploitasi pemilik lahan terhadap petani kecil. Menurut ekonom neoklasik menariknya untuk dikaji dari penyakapan ini karena merupakan suatu teka teki, karena analisis ekonomi yang sudah ada tidak mampu untuk menjelaskan aspek tertentu dari penyakapan ini sebagai suatu bentuk kelembagaan yang ada Ellis, 1988, karena: 1. Sistem penyakapan dianggap kurang efisien serta tidak terbuka terhadap informasi. 2 Pada Sistem penyakapan terdapat koeksistensi historis antara bagi hasil pada lokasi yang sama dengan penyakapan tunai dan pertanian sistim kapitalis. 3 Aturan yang berlaku antara pemilik lahan dan penyakap pada bagi hasil terkadang tidak dapat dijelaskan dengan kriteria optimasi saja. Lanjut dikatakan bahwa ada pendapat lain yang menyatakan penyakapan sebagai salah satu bentuk eksploitasi berdasarkan pada pemikiran bahwa pada kenyataannya pada kelompok pemilik lahan terjadi pemusatan kekuatan ekonomi dan memiliki kontrol yang kuat terhadap petani penyakap dan tunakisma. Dari kedua pendapat tersebut di atas dapat dilhat hubungannya pada konsep keterkaitan pasar input. Kebebasan tidak ada antar pasar input yang bebeda seperti tanah, tenaga kerja, pinjaman konsumsi dan biaya input terkait dengan kontrak penyakapan tunggal. Ada dua model utama analisis ekonomi sharecropping dengan asumsi kompetitif Ellis 1988 : 1 Model Marshallian adalah model yang menggambarkan perilaku produksi petani penyakap. 2 Model Cheung adalah model yang menggambarkan perilaku produksi pemilik lahan.

1. Model Penyakap

Secara teoritis model penyakap ini menggunakan assumsi maksimum profit dengan pendekatan pasar persaingan dan dapat dijelaskan seperti pada Gambar 6 dan 7 Ellis 1988. Misalkan dalam sistem bagi hasil S adalah bagian pemilik lahan dari output yang dihasilkan pada suatu lahan, maka bagian dari penyakap adalah 1-S. Jika aturan bagi hasil yang berlaku adalah 50 - 50 maka nilai S = 0.50 dan 1-S = 0.50. Jika dilihat pada gambar 6, TVP adalah total output usahatani terhadap input tenaga kerja, karena sesuai aturan bagi hasil penyakap menerima 1-S maka respon output yang relevan secara ekonomi pada penyakap adalah 1-STVP. Pada pasar kompetitif tingkat upah yang mencerminkan opportunity cost waktu keluarga petani penyakap, maka posisi maksimasi profit dapat ditetapkan pada titik A dengan penggunaan tenaga kerja sebesar L 1 . Hal itu Gambar 6. Model Sharecropping Penyakapan Sumber : Ellis 1988 TVP 1-STVP L1 Tota l Output R p B C A E L2 L Input Tenaga Kerja L D TC Y2 Y1 dapat dijelaskan bahwa dengan penggunaan teknologi yang ada menggunakan tenaga kerja sebesar L 1 dan keuntungan yang diperoleh sebesar EC dan output sebesar Y 1 dan keuntungan yang diperoleh lebih rendah dari BD yang menggunakan tenaga kerja optimal sebesar L 2 pada saat TVP maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem bagi hasil petani penyakap tidak menggunakan tenaga kerja secara optimal sehingga tidak efisien. Pada Gambar 7 dapat juga dijelaskan hal yang sama pada Gambar 6 dengan menggunakan pendekatan nilai marjinal produksi Ellis 1988. Kurva 1-S MVP merupakan kurva nilai marjinal produksi petani penyakap. Petani penyakap bersedia beroperasi pada titik A dengan tenaga kerja sebesar L 1 , dimana upah w adalah sama dengan kurva 1-S. Hal ini menyebabkan penggunaan tenaga kerja tidak optimal sehingga terjadi kehilangan output sebesar AEB. Petani penyakap memperoleh keuntungan sebesar OGA L 1 , lebih besar dari area 0FAL 1 yang seharusnya diaperoleh sebagai upah tenaga kerja yang dicurahkan pada usahatani. Pemilik lahan, disisi lain hanya memperoleh sebesar GHEA, dan kehilangan pendapatan sebesar FGA yang dialihkan kepada petani penyakap sebagai surplus atas nilai tenaga kerja yang digunakannya. Adanya surplus pendapatan yang diperoleh petani penyakap menunjukkan bahwa pasar tidak efisien dan titik keseimbangan tidak stabil. Menurut Hsiao 1975 dalam Ellis 1-SMVP penyakap L1 Nil ai Prod uk Marj in al Rp B C A MVP pemilik L2 D E H G F w w’ Input Tenaga Kerja L Gambar 7. Produk Marjinal Tenaga Kerja dalam Model Penyakapan Sumber : Ellis 1988 1988, bahwa pada kondisi tidak efisien tersebut dapat diatasi dengan saling tawar menawar antara pemilik lahan dengan petani penyakap agar penyakap mau beroperasi pada penggunaan tenaga kerja sebesar L 2 yang dapat memberikan TVP maksimum pada usahatani. Pada kondisi ini pemilik lahan akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar AEB dan sebagai imbalannya pemilik lahan memberikan pendapatan kepada penyakap sebesar tambahan ABC hingga total pendapatan petani penyakap sebesar OFBL 2 . Namun menurut Hayami dan Kikchi 1987, bahwa jika pasar tenaga kerja berada dalam persaingan sempurna dan tidak ada biaya transaksi, maka persaingan ini akan menghasilkan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar OL 2 , dan penyakap akan menerima kenyataan ini jika dan hanya jika luas areal ABC yang ia korbankan lebih kecil atau sama dengan luas FGA yang diperoleh sebagai kelebihan yang didapat karena status sebagai penyakap dibanding sebagai buruh tani.

2. Model Petani Pemilik Lahan.

Pada model petani pemilik lahan ini secara teoritis diasumsikan pemilik lahan memaksimumkan keuntungan yang dapat diperolehnya dan dapat dijelaskan melalui Gambar 6 dan 7 Ellis, 1988. Pemilik lahan lahan dengan kemampuannya dapat menentukan aturan penyakapan sesuai yang dia inginkan yaitu memilih petani yang akan dijadikan sebagai penyakap serta aturan bagi hasilnya, kecuali upah pasar yang berlaku tidak bisa diaturnya. Pada Gambar 6 dan 7, petani pemilik akan memperoleh pendapatan sebesar GHEA jika usahatani dioperasikan pada L 2 , yaitu pendapatan yang diperoleh sama jika dia mengusahakan lahannya sendiri dengan menggunakan tenaga kerja upahan dikurangi FGA. Petani penyakap memperoleh surplus bagi hasil sebesar FGA. Namun demikian hal tersebut kurang tepat karena seakan-akan pemilik lahan dapat mengatur semua kegiatan petani penyakap Jaynes 1982 dalam Ellis 1988, dan sistem bagi hasil umumnya ditentukan oleh tradisi masyarakat. Walaupun demikian penyakapan lebih baik dari pada pemilik lahan mengusahakan lahannya sendiri dengan tenaga kerja upahan karena ketersediaan tenaga kerja bisa terjamin. Dengan sistem bagi hasil maka biaya produksi dapat ditanggung bersama antara pemilik dan penyakap sehingga bisa efisien dalam penggunaan input.

3.3. Konsep dan Pengukuran Efisiensi