Struktur Kristal Selulosa Alomorf

cm -1 dan 710 cm -1 . Perubahan sruktur kristal selulosa alomorf hanya tampak berdasarkan analisis XRD, tetapi tidak tampak pada analisis FTIR.

2.3.5 Pola Biodegradasi

Pola biodegradasi bambu selama pra-perlakuan biologis dengan TV dievaluasi dengan analisis FTIR berdasarkan analisis metoda Pandey Pandey dan Pitman 2003. Tabel 2.3 menunjukkan perubahan relatif dalam intensitas puncak lignin pada bilangan gelombang 1512 cm -1 terhadap puncak karbohidrat pada bilangan gelombang 1736, 1373, 1165, 897 cm -1 yang dihitung dari tinggi puncak dan luasnya. Empat puncak karbohidrat yang teridentifikasi tidak terkonjugasi dan gugus aromatik skeletal dalam lignin ditunjukkan pada Gambar 2.5. Empat puncak karbohidrat untuk ikatan tidak terkonjugasi yaitu C=O dalam xylan, deformasi C-H dalam hemiselulosa, vibrasi C-O-C dalam selulosa dan hemiselulosa dan deformasi C-H atau uluran C-O- C pada ikatan β glikosida yang merupakan karakteristik dalam selulosa Pandey dan Pitman 2003. Tabel 2.3 Nisbah intensitas antara lignin dan karbohidrat pada bambu setelah pra- perlakuan biologis. Inokulum Inkubasi hari Intensitas relatif a dari vibrasi gugus aromatik I 1512 terhadap tipe pita dari karbohidrat I 1512 I 1736 I 1512 I 1373 I 1512 I 1165 I 1512 I 897 45 1.020.91 1.051.15 1.021.20 1.331.25 5 15 1.141.02 0.890.98 0.800.94 8.001.25 30 1.251.03 1.001.05 0.831.00 5.001.29 45 1.421.06 1.111.00 1.001.03 1.431.24 10 15 1.041.08 1.021.08 0.980.96 1.281.3 30 1.671.08 1.671.00 0.830.96 5.001.29 45 0.970.26 0.781.00 0.700.97 7.001.25 a Intensitas relatif dihitung menggunakan tinggi puncak diluar tanda kurung dan luas dalam kurung Umumnya terdapat peningkatan nisbah ligninkarbohidrat dari bambu dengan pra-perlakuan TV dengan bertambahnya waktu inkubasi, yang mengindikasikan jamur kurang selektif mendegradasi lignin. Studi sebelumnya oleh Zhang et al. 2007 pada bambu dan Ferraz et al. 2000 pada Pinus radiata melaporkan bahwa TV G20 dan Gonoderma australe lebih bersifat mendegradasi lignin hanya pada tahap awal dan sektifitasnya menurun dengan bertambahnya waktu inkubasi. Namun, pra-perlakuan bambu dengan E.taxodii 2538 cenderung menurun nisbah ini secara signifikan dengan bertambahnya waktu. Hal ini mengindikasikan bahwa E.taxodii 2538 lebih selektif mendegradasi lignin. Dalam penelitian ini hanya nisbah I 1512 I 897 pada inokulum 5 yang mengindikasikan kecenderungan ini sedangkan nisbah intensitas relatif lain menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya. Peningkatan nisbah intensitas relatif lain mengindikasikan tingginya tingkat degradasi hemiselulosa dan selulosa. Gambar 2.5 Spektra FTIR bambu setelah pra-perlakuan biologis dengan TV A inokulum 5 dan B 10 pada berbagai waktu inkubasi 1 1736 cm -1 , 2 1512 cm -1 , 3 1373 cm -1 , 4 1165 cm -1 , 5 897 cm -1

2.3.6 Indeks Kristalinitas Bahan

Lateral order index LOI dan Indeks kristalinitas CI bambu sebelum dan setelah pra-perlakuan ditabulasikan pada Tabel 2.4. Secara alami rantai selulosa terdiri dari daerah kristalin dan amorf. Struktur kristalin selulosa dapat menghambat produksi gula dalam konversi lignoselulosa. Indeks kristalinitas menggambarkan jumlah relatif bagian kristalin dalam selulosa, yang merupakan parameter sangat penting, yang dapat diukur dengan XRD, solid-state 13 C NMR, spektroskopi IR dan raman spectroscopy. Intensitas minimum spektrum XRD dari pun cak bidang 101 pada 2θ sekitar 18 o yang mewakili bagian selulosa amorf dan intensitas maksimum puncak bidang 002 pada 2θ sekitar 22 mewakili daerah selulosa kristalin. Indeks kristalinitas meningkat dengan meningkatnya nisbah bagian kristalin terhadap bagian amorf. Perubahan indeks kristalinitas ini dapat disebabkan olehpra-perlakuan yang diberikan indeks Chang dan Holtzapple 2000. Indeks kristalinitas pada bambu setelah pra-perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Setelah pra-perlakuan indeks ini meningkat karena kemungkinan bambu kehilangan lebih banyak fraksi amorf seperti lignin dan hemiselulosa daripada kehilangan fraksi kristalin selulosa. Hasil serupa telah ditunjukkan oleh peneliti sebelumnya Evans et al.1995; Nazarphour et al.2013; Highley et al. 1989; Kleman-Leyer et al.1992.Kehilangan komponen lignin dan hemiselulosa dapat menyebabkan hornifikasi pada selulosa ketika dikeringkan dan pengujian kristalinitas dilakukan pada sampel yang kering. Hornifikasi meningkatkan indeks kristinitas lignoselulosa. Setelah inkubasi 30 hari, indeks kristalinitas mulai menurun pada inokulum 5, mungkin karena berlanjutnya serangan jamur pada bagian selulosa kristalin setelah mendegradasi bagian amorf yang lebih mudah terakses untuk digunakan sebagai nutrisi. Namun, fenomena ini tidak terjadi pada inokulum 10 dimana indeks kristalinitas cenderung meningkat setelah inkubasi 30 hari. Penyebab pasti perbedaan fenomena ini belum diketahui pasti. Tetapi indeks kristalinitas sampel setelah pra-perlakuan masih lebih tinggi daripada indeks kristalinitas kontrol. Tabel 2.4 Lateral order index LOI dan indeks kristalinitas CI bambu setelah pra-perlakuan biologis Inoku lum Inku basi hari CI LOI Fc Kristalin Fa Amorf CI A 1427 Kristalin A 897 Amorf LOI 45 0.662 1.513 30.43 0.42 0.33 1.27 5 15 0.759 1.437 34.57 0.60 0.48 1.25 30 0.982 1.575 38.39 0.38 0.31 1.23 45 0.471 1.002 32.00 0.31 0.25 1.24 10 15 0.991 1.715 36.62 0.50 0.40 1.25 30 0.698 1.567 30.83 0.27 0.21 1.29 45 0.926 1.545 37.48 0.59 0.48 1.23 Ketercernaan bambu setelah pra-perlakuan berkorelasi negatif dengan nilai LOI. Nilai LOI dari sampel setelah pra-perlakuan lebih rendah daripada kontrol kecuali pada inokulum 10 selama 30 hari Tabel 2.4. Pada kondisi inkubasi 30 hari terjadi perubahan fase kristal selulosa menjadi triklinik dari fase monoklinik pada kontrol dan perlakuan dengan inkubasi selama 15 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa pra-perlakuan jamur dapat memperbaiki aksesibilitas permukaan selulosa dan secara teori akan mendukung proses hidrolisis selulosa menjadi lebih efisien pada sampel setelah pra-perlakuan. Jamur lebih mudah mendegradasi hemiselulosa dan menyisakan lebih banyak selulosa Yu et al. 2009. Transformasi struktur kristalin selulosa menjadi bentuk amorf dapat meningkatkan nilai LOI. Kecenderungan yang sama juga terjadi dengan pra- perlakuan larutan ionik terhadap selulosa dimana perlakuan menyebabkan konversi struktur kristalin menjadi amorf Li et al. 2010. Selain melalui nilai LOI dan CI, perubahan kristalinitas dapat diduga melalui pendekatan nisbah antara A 3308 A 1330 , yang menunjukkan intensitas ikatan hidrogen HBI. Nilai ini dapat dihitung dari absorbansi IR Oh et al. 2005; Siroky et al. 2010. Tabel 2.5 dan Gambar 2.6 menunjukkan perubahan ukuran kristal bambu dan pola spektrum XRD setelah pra-perlakuan biologis.