Pelaksanaan Paksa Badan Dipandang dari Segi Hak Azasi Manusia HAM

yang Paksa Badan dapat ditetapkan untuk 6 enam bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 enam bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 tiga tahun. Berbeda dengan Peraturan Bersama yang dibuat oleh Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Hukum dan HAM nomor: 53PMK.062009, nomor: KEP-030AJA032009, Nomor: 4 Tahun 2009, dan nomor MHH01KU0301 tentang Petunjuk Pelaksanaan Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara, paksa badan hanya dikenakan maksimal 6 bulan dengan satu kali perpanjangan paling lama juga enam bulan yaitu terhadap debitur negara dengan tunggakan utang di atas Rp1.000.000.000 Satu miliar rupiah sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 88PMK.062009 tentang Pengurusan Piutang Negara.

B. Pelaksanaan Paksa Badan Dipandang dari Segi Hak Azasi Manusia HAM

Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa paksa badan adalah suatu pranata yang dikenal di bidang hukum acara perdata sebagai salah satu upaya untuk memaksa debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahansandera di suatu tempat tertentu. Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia lembaga paksa badan ini dikenal dengan istilah gijzeling. Hat Herziene Imionesisch Reglement HIR dan Rehctreglement Buitengewesten RBg yang merupakan sumber hukum acara perdata inilah yang mengatur rnengenai gijzeling. Seperti diketahui HIR merupakan hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah ]awa dan Madura, sedangkan RBg rnerupakan hukum acara untuk daerah luar jawa dan Madura. Universitas Sumatera Utara Mahkamah Agung dengan surat edaran SEMA No. 2 Tahun 1964, sejak tanggal 22 januari 1964 tentang Penghapusan Sandera Gijzeling, melarang para hakim rnenggunakan lembaga penyanderaangijzeling dalam penyelesaian perkara perdata dengan alasan tidak sesuai dengan perkemanusiaan. Perdebatan pro dan kontra sekitar penerapan lernbaga gijzeling semakin membesar setelah Hakim Bismar Siregar dari Pengadilan Jakarta Utara mengeluarkan penetapan gijzeling terhadap Mardjuki bin Dulkiran dalam perkara. Bahalludin melawan Mardjuki bin I-I. Dulkiran Putusan Pengadilan Iakarta Utara- Timur N0. 1 1974 gijz. tanggal 27 Mei 1974. Mahkamah Agung dalarn putusannya N0. 951kSip1974 tanggal 6 Februari Tahun 1975 yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan menyatakan bahwa hakim pengadilan tingkat pertarna telah salah menerapkan hukumnya. Putusan ini dikuatkan dengan dengan dikeluarkannya SEMA No. 4 Tahun 1975 yang pada prinsipnya menegaskan pelarangan bagi hakim untuk menerapkan gijzeling seperti yang diatur dalam Pasal 209 HIR 242 RBG dengan mendasarkan pada Pasal 33 ayat 4 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang rnenyatakan bahwa pelaksanaan putusan hakim itu tidak meninggalkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Padahal gijzeling itu merupakan suatu bentuk perampasan terhadap kebebasan bergerak seseorang. 52 Peraturan Mahkamah Agung Perma No 1 Tahun 2000 merupakan ketentuan Perma yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung Sema No. 2 52 http:webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:C_AKYzcH1SIJ:i lib.ugm.ac.id jurnal download.php?dataId3D7027 +syarat syarat +lembaga +paksa+ badanhl=idgl=id ,akses tangal 30 Juli 2011. Universitas Sumatera Utara Tahun 1964 dan Sema No. 4 Tahun 1975 mengartikan gijzeling dengan paksa badan Mahkamah Agung dalam Perma ini juga memberikan Penafsiran baru terhadap siapa pranata paksa badan dapat diterapkan yaitu terhadap debitur atau penjamin atau penanggung hutang yang beritikad tidak baik. Beritikad tidak baik diartikan dengan debitur tersebut sebenamya mampu memenuhi kewajibannya, tetapi dia tidak mau melaksanakannya. Seperti diketahui, perampasan terhadap kebebasan bergerak seseorang selarna ini merupakan bagian dari sanksi hukum pidana, tetapi dengan adanya paksa badan tersebut. perampasan kebebasan bergerak seseorang tidak lagi menjadi monopoli hukum pidana semata, sehingga menurut Muladi memberikan kesan bahwa terjadi intervensi hukum pidana terhadap masalah- masalah perdata dan menurut Muladi hal tersebut dapat dibenarkan. 53 53 Muladi, Analisis Gijzeling dari Sisi I-lukurn Pidana dan HAM, Jakarta:Jurnal Hukum Bisnis Vol.15, September 2001, hal. 40. Dan dikenakannya paksa badan pada debitur yang tidak beritikad baik merupakan hal yang melanggar hak asasi manusia, sebagaimana diketahui paksa badan adalah salah satu upaya untuk memaksa debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahansandera di suatu tempat tertentu, sedangkan jelas di uraikan dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 ayat 2 bahwa tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Universitas Sumatera Utara

C. Efektifitas Lembaga Paksa Badan Dalam Penagihan Kewajiban Debitur Pailit