BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gejolak krisis moneter dan perekonomian yang terjadi pada pertengahan bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang
sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia. Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di
Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang umumnya dilakukan dalam bentuk dolar. Akibatnya banyak perusahaan di Indonesia mengalami
kebangkrutan.
1
Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan keuangannya sudah
sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif, efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk
menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus
melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat “nakal” untuk menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu
menghindari penagihan.
1
Sunarmi, Hukum Kepailitan Medan: Sofmedia, 2010, hal. 2.
1
Universitas Sumatera Utara
hutang-hutangnya. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu
perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan untung, perusahaan berkembang dan berkembang terus, sehingga menjadi
perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila kondisi perusahaan menderita rugi, maka garis hidupnya menurun.
Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya.
Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar hutang atau
hutang-hutangnya. Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut
manakala perusahaan atau orang pribadi tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur
ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat
dibayar secara tertib dan adil. Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua
kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya
yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan
Universitas Sumatera Utara
dan PKPU menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila
perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu, sementara Abdul R. Sulaiman mengatakan pailit adalah suatu usaha bersama
untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang
masing-masing dengan tidak berebutan.
2
Pemberlakuan lembaga paksa badan dibentuk sebagai upaya pembaharuan dari lembaga penyanderaan gijzeling yang pernah berlaku di Indonesia dengan
tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa
badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang
mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha
menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus
memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2000
2
Abdul R. Sulaiman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Praktek, Jakarta :Prenada Media 2004, hal.1.
Universitas Sumatera Utara
kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan
keseimbangan hukum dapat tercapai.
3
Pada dasarnya bahwa menurut Perma No. 1 Tahun 2000 penerjemahan istilah gijzeling dengan kata penyanderaan dan kemudian seiring perkembangan
waktu diubah menjadi paksa badan. Namun keberadaan lembaga ini Sebagai perbandingan, selain terhadap debitur yang memiliki keengganan
dalam melunasi hutangnya, ketentuan lembaga paksa badan nantinya juga akan ditetapkan kepada wajib pajak yang memiliki kesengajaan atau keengganan untuk
membayar pajak. Sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu
tantangan tersendiri. Pemerintah mencoba menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan sanksi bagi wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu
mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan, namun keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan,
pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang
potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. Hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya
pemaksa bagi para wajib pajak yang memenuhi kewajibannya, dan mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan.
3
Tanpa nama, Penyelesaian Hutang Piutang dengan Paksa Badan, http: advokatku.blogspot.com 2008 04 penyelesaian-hutang-piutang-dengan.html., akses tanggal 30
Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
mengundang kontroversial, terdapat beberapa kalangan yang beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan.
4
Pendapat lainnya mengatakan bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang
berusaha untuk melalaikan kewajibannya. Pemungutan pajak didasarkan kepada Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 UUD 1945, yang kemudian dalam
Amandemen Keempat diganti menjadi Pasal 23a UUD 1945, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa segala pajak dan pungutan untuk negara itu harus didasarkan
kepada Undang-Undang. Hal yang perlu diketahui bahwa paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya
berlaku bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat
kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- satu miliar rupiah, dapat mengajukan permohonan penetapan
paksa badan.
5
4
Kemal Fasya, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak,
Penelitian ini dilandasi oleh keadaan sering adanya debitur yang beritikad tidak baik dalam pemenuhan kewajibannya atau debitur tersebut tidak kooperatif
dalam melaksanakan pembayaran utang kepada kreditur. Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis
dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Keberadaan Lembaga Paksa Badan Dalam Kepailitan”
http:kemalfasya.blogspot.com201102normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html .,
akses tanggal 1 Juli 2011.
5
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Bab VIII Pasal 23.
Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan