Analisis Yuridis Terhadap Keberadaan Lembaga Paksa Badan Dalam Kepailitan

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEBERADAAN

LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM

KEPAILITAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DITA AMELIA DISLAN NIM: 070200377

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEBERADAAN

LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM

KEPAILITAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DITA AMELIA DISLAN NIM: 070200377

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI DIKETAHUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Windha SH, M.Hum NIP: 197501122005012002

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Ramli Siregar, SH, M.Hum Windha, SH, M.Hum


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya atas kehadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat dan hidayah-NYA maka skripsi saya yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN” ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini disadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun selepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, atau tidak terle[as dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu diucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum , sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum , sebagai Pembantu Umum Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM , sebagai Pembantu Umum Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum , sebagai Pembantu Umum Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

5. Ibu Windha, SH, M.Hum , sebagai Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus juga sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

6. Bapak Ramli Siregar, SH, M.hum , sebagai Sekretariat Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, sebagai Penasehat Akademik selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH,

M.Hum., Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., Ibu Ningrum Natasya Sirait, SH, MLI., Ibu Dr. T Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, para dosen dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Kepada Keluarga juga diucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua. Kepada ayah Drs. Surya Dislan dan ibu Aniar Rahman yang telah sabar dan mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya dan segala pengorbanannya serta doanya sehingga dapat mencapai pendidikan tinggi ini. Dan juga terima kasih kepada abang tersayang Adhi Pradana Dislan, Arief Rezana Dislan, SH., serta adik Dhinda Hafidzah Dislan;


(5)

10.Teristimewa kepada Alky Reby Hasibuan , terima kasih atas bantuan, dukungan dan kesabarannya untuk setia mendampingi dalam keadaan apapun.

11.Untuk Sahabat-sahabat, Fella Eldyah, SH., Khairunnisa Lubis, B.Mm. (Hons) FA., Drg. Shelly Mayvira, Dwi Rizky Prasetyo, B.Mm. (Hons) VR., Mila Sari Lubis, SE., Tiffany Bella, Tasha Citra, Skg., MESS SQUAD ( bg Tema Laoly, bg Bana, bg Ojong, bg Regen, bg Hengky, Harry Tobing, Delon Sitanggang );

12.Untuk semua pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada orang-orang yang selalu memberikan inspirasi dan inovasi-inovasinya yang brilian, dan terima kasih untuk semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum wr.wb.

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan... 9

F. Metode Penelitian ... 24

G. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Yuridis Lembaga Paksa Badan ... 31

B. Lembaga Paksa Badan Berdasarkan HIR dan RBG ... 35

C. Perbedaan Lembaga Paksa Badan dan Lembaga Penyanderaan ... 38

BAB III LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN A. Syarat-Syarat Kepailitan ... 42

B. Proses dan Akibat Hukum dalam Kepailitan ... 47

C. Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan ... 65

D. Syarat-Syarat Pelaksanaan Lembaga Paksa Badan ... 69


(7)

BAB IV PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN DEBITUR PAILIT

A. Pelaksanaan Lembaga Paksa Badan Berdasarkan UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PERMA No 1

Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan ... 78 B. Pelaksanaan Paksa Badan Dipandang dari Segi

Hak Azasi Manusia (HAM) ... 80 C. Efektifitas Lembaga Paksa Badan Dalam Penagihan

Kewajiban Debitur Pailit ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92


(8)

ABSTRAKSI

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN

*) Ramli Siregar **) Windha ***) Dita Amelia Dislan

Krisis ekonomi maupun kondisi perekonomian global mengakibatkan dunia usaha mengalami berbagai tekanan, salah satu diantaranya banyak pengusaha yang gulung tikar karena tidak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya sehingga diperlukan mekanisme hukum yang mengatur kepailitan agar setiap kreditur memiliki hak yang sama akan pembagian harta debitur. Disisi lain kondisi tersebut juga dimanfaatkan oleh para debitur nakal yang enggan dalam melunasi kewajiban dengan berlindung pada UU Kepailitan. Oleh karena itu regulator telah mengatur kembali terbentuknya lembaga paksa badan sebagai upaya memaksa debitur melunasi kewajibannya sekaligus menghindarkan debitur melarikan diri berikut harta kekayaannya

Permasalahan dalam penulisan ini adalah tentang pengaturan mengenai lembaga paksa badan di Indonesia dan mengenai keberadaan lembaga paksa badan didalam kepailitan serta sejauh mana efektifitas lembaga paksa badan tersebut dalam pemenuhan kewajiban debitur pailit.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini yaitu dengan meniliti subjek dan objek dari paksa badan tersebut. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis empiris, dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu buku-buku, artikel, majalah dan internet, yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari penulisan skripsi ini.

*) Dosen pembimbing I **) Dosen pembimbing II ***) Mahasiswa Fakultas Hukum


(9)

Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah bahwa pelaksanaan lembaga paksa badan bertujuan untuk mencegah debitur melarikan diri maupun melarikan seluruh atau sebagaian harta kekayaannya dan menghindari kewajiban pembayaran hutang. Pelaksanaan lembaga paksa badan dapat menimbulkan pro dan kontra karena dipandang merugikan hak azasi manusia terutama kebebasan karena berada dalam lapangan hukum privat. Pengaturan lembaga paksa badan diatur didalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Perma No. 1 Tahun 2000, Peraturan Bersama Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan HAM No. 53/PMK.06/2009, KEP-030/A/JA/03/2009, 4, M.HH-01.KU.03.01 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK/01/2000 tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara. Pelaksanaan lembaga tersebut hendaknya dilakukan dengan pertimbangan bahwa benar-benar adanya kekhawatiran bahwa debitur sengaja menghindari kewajiban ataupun melakukan tindakan-tindakan terhadap harta kekayaannya.


(10)

ABSTRAKSI

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN

*) Ramli Siregar **) Windha ***) Dita Amelia Dislan

Krisis ekonomi maupun kondisi perekonomian global mengakibatkan dunia usaha mengalami berbagai tekanan, salah satu diantaranya banyak pengusaha yang gulung tikar karena tidak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya sehingga diperlukan mekanisme hukum yang mengatur kepailitan agar setiap kreditur memiliki hak yang sama akan pembagian harta debitur. Disisi lain kondisi tersebut juga dimanfaatkan oleh para debitur nakal yang enggan dalam melunasi kewajiban dengan berlindung pada UU Kepailitan. Oleh karena itu regulator telah mengatur kembali terbentuknya lembaga paksa badan sebagai upaya memaksa debitur melunasi kewajibannya sekaligus menghindarkan debitur melarikan diri berikut harta kekayaannya

Permasalahan dalam penulisan ini adalah tentang pengaturan mengenai lembaga paksa badan di Indonesia dan mengenai keberadaan lembaga paksa badan didalam kepailitan serta sejauh mana efektifitas lembaga paksa badan tersebut dalam pemenuhan kewajiban debitur pailit.

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini yaitu dengan meniliti subjek dan objek dari paksa badan tersebut. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis empiris, dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Alat pengumpulan data yaitu buku-buku, artikel, majalah dan internet, yang erat kaitannya dengan maksud tujuan dari penulisan skripsi ini.

*) Dosen pembimbing I **) Dosen pembimbing II ***) Mahasiswa Fakultas Hukum


(11)

Adapun kesimpulan dari penulisan ini adalah bahwa pelaksanaan lembaga paksa badan bertujuan untuk mencegah debitur melarikan diri maupun melarikan seluruh atau sebagaian harta kekayaannya dan menghindari kewajiban pembayaran hutang. Pelaksanaan lembaga paksa badan dapat menimbulkan pro dan kontra karena dipandang merugikan hak azasi manusia terutama kebebasan karena berada dalam lapangan hukum privat. Pengaturan lembaga paksa badan diatur didalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Perma No. 1 Tahun 2000, Peraturan Bersama Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan HAM No. 53/PMK.06/2009, KEP-030/A/JA/03/2009, 4, M.HH-01.KU.03.01 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK/01/2000 tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara. Pelaksanaan lembaga tersebut hendaknya dilakukan dengan pertimbangan bahwa benar-benar adanya kekhawatiran bahwa debitur sengaja menghindari kewajiban ataupun melakukan tindakan-tindakan terhadap harta kekayaannya.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gejolak krisis moneter dan perekonomian yang terjadi pada pertengahan bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia. Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang umumnya dilakukan dalam bentuk dolar. Akibatnya banyak perusahaan di Indonesia mengalami kebangkrutan.1

Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif, efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat “nakal” untuk menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu menghindari penagihan.

1


(13)

hutang-hutangnya. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan untung, perusahaan berkembang dan berkembang terus, sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila kondisi perusahaan menderita rugi, maka garis hidupnya menurun.

Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar hutang (atau hutang-hutangnya).

Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan adil. Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan


(14)

dan PKPU) menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu, sementara Abdul R. Sulaiman mengatakan pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.2

Pemberlakuan lembaga paksa badan dibentuk sebagai upaya pembaharuan dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2000)

2

Abdul R. Sulaiman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Praktek, (Jakarta :Prenada Media 2004), hal.1.


(15)

kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan keseimbangan hukum dapat tercapai.3

Pada dasarnya bahwa menurut Perma No. 1 Tahun 2000 penerjemahan istilah gijzeling dengan kata "penyanderaan" dan kemudian seiring perkembangan waktu diubah menjadi "paksa badan". Namun keberadaan lembaga ini

Sebagai perbandingan, selain terhadap debitur yang memiliki keengganan dalam melunasi hutangnya, ketentuan lembaga paksa badan nantinya juga akan ditetapkan kepada wajib pajak yang memiliki kesengajaan atau keengganan untuk membayar pajak. Sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah mencoba menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan sanksi bagi wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan, namun keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. Hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang memenuhi kewajibannya, dan mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan.

3

Tanpa nama, Penyelesaian Hutang Piutang dengan Paksa Badan, http:// advokatku.blogspot.com/ 2008 /04/ penyelesaian-hutang-piutang-dengan.html., akses tanggal 30 Juni 2011.


(16)

mengundang kontroversial, terdapat beberapa kalangan yang beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan.4

Pendapat lainnya mengatakan bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang berusaha untuk melalaikan kewajibannya. Pemungutan pajak didasarkan kepada Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), yang kemudian dalam Amandemen Keempat diganti menjadi Pasal 23a UUD 1945, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa segala pajak dan pungutan untuk negara itu harus didasarkan kepada Undang-Undang.

Hal yang perlu diketahui bahwa paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.

5

4

Kemal Fasya, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak,

Penelitian ini dilandasi oleh keadaan sering adanya debitur yang beritikad tidak baik dalam pemenuhan kewajibannya atau debitur tersebut tidak kooperatif dalam melaksanakan pembayaran utang kepada kreditur.

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Keberadaan Lembaga Paksa Badan Dalam Kepailitan”

akses

tanggal 1 Juli 2011.

5


(17)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan lembaga paksa badan di Indonesia ? 2. Bagaimana keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan ?

3. Bagaimana pelaksanaan dan efektifitas lembaga paksa badan dalam pemenuhan kewajiban debitur pailit ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan dengan metode ilmiah serta bertujuan untuk mendapatkan data baru. Pengertian dari penelitian itu sendiri adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul.6

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 6.

Tujuan penelitian lainnya secara praktis merupakan usaha untuk menjawab berbagai pertanyaan ilmiah seputar permasalahan hukum.

Tujuan penulisan skripsi ini pada khususnya adalah untuk memenuhi persyaratan agar memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun secara umum pembahasan mengenai aspek hukum lembaga paksa badan dalam kepailitan seperti yang dibahas dalam skripsi ini mempunyai tujuan yaitu :


(18)

1. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang aspek hukum termasuk dasar hukum pelaksanaan lembaga paksa badan dalam hukum kepailitan di Indonesia

2. Untuk menguraikan dan membahas lebih lanjut mengenai

eksistensi/keberadaan lembaga paksa badan dalam hukum kepailitan di Indonesia di Indonesia.

3. Untuk memberikan gambaran yang lebih lanjut mengenai sejauh mana efektifitas lembaga paksa badan sebagai upaya untuk penagihan dan pelunasan pembayaran utang oleh debitur di Indonesia.

Suatu penelitian pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk mencari jawaban secara ilmiah terhadap persoalan-persolan yang timbul. Calire setz7

1. Manfaat Teoritis

dalam bukunya menyatakan bahwa titik tolak dari suatu penulisan/karya ilmiah adalah “….to discover answers to questions through the application of scientific procedures…” yang berarti untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang prosedur penerapan ilmu. Sehingga melalui penulisan suatu karya ilmiah diharapkan dapat menjawab setiap pertanyaan yang ada atas suatu permasalahan.

Adapun dalam penulisan skripsi ini nantinya dapat memberikan beberapa manfaat yaitu :

7


(19)

a. Memberikan pengertian dan pendalaman lebih luas kepada masyarakat tentang pengertian dari lembaga paksa badan dan hukum kepailitan termasuk aspek-aspek hukumnya

b. Memberikan gambaran umum dalam kaitan dengan manfaatnya secara praktis tentang keberadaan, tata cara pengajuan dan pelaksanaan lembaga paksa badan di Indonesia

c. Menumbuhkan sikap kritis dari masyarakat akan keberadaan lembaga paksa badan dan efektifitas lembaga paksa badan dalam penyelesaian masalah kepailitan di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Manfaat penelitian lainnya secara praktis diharapkan dapat menjadi rujukan ataupun referensi bagi para praktisi hukum maupun praktisi perbankan dalam hal menjadi rujukan dalam proses penyelesaian kewajiban pembayaran utang melalui lembaga paksa badan. Manfaat praktis lainnya juga dapat sebagai informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang syarat-syarat pengajuan lembaga paksa badan di Indonesia termasuk penyelesaian masalah kepailitan.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini adalah murni hasil karya ilmiah penulis sendiri yang belum pernah dipublikasikan dimanapun juga, meskipun terdapat beberapa karya tulisan lain yang hampir serupa memuat permasalahan kepailitan. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli dan apabila ditemukan karya ilmiah lainnya


(20)

yang memiliki kesamaan satu sama lainnya maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E.Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan Kepustakaan atau kepustakaan studi adalah suatu studi terdahulu yang berkenaan atau memiliki hubungan dengan topik yang ada secara relevan dengan menggunakan berbagai literatur atau bacaan dalam studinya. Adapun tinjauan kepustakaan ini mempunyai beberapa tujuan yaitu: 8

1. Memberitahu khalayak/pembaca tentang studi-studi atau penelitian terkait berkenaan dengan studi/ topik yang sedang dilaporkan.

2. Menghubungkan suatu studi dengan dialog yang lebih luas dan berkesinambungan tentang suatu topik dalam pustaka yang diperuntukkan untuk mengisi kekurangan dan memperluas studi-studi sebelumnya.

3. Memberikan kerangka bagi suatu studi dalam pembahasan ataupun penjelasannya secara ilmiah.

4. Sebagai landasan untuk membandingkan suatu studi dengan temuan-temuan lain.

Adapun kini yang menjadi kerangka studi atau tinjauan kepustakaan tentang karya ilmiah Analisis Yuridis Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam Kepailitan ini terbagi dalam 2 sub bagian yaitu:

1. Pengertian Lembaga Paksa Badan 8

Achmad Djunaedi dalam karya ilmiah Penulisan,

http://www.mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjauan-pustaka.pdf , akses tangal 06 Mei 2011.


(21)

Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-undangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.

Paksa badan (Lifsdwang) adalah upaya penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu disuatu tempat tertentu terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik.9

Lembaga paksa badan oleh berbagai peraturan perundang-undangan diartikan bermacam-macam. Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa mengartikan paksa badan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya ditempat tertentu, undang-undang ini.10

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK/01/2000 Tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara mengartikan paksa badan (lifsdwang) sebagai upaya penagihan dalam rangka menyelamatkan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu di suatu tempat tertentu, terhadap debitur yang tergolong mampu namun beritikad tidak baik (Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 336/KMK/01/2000 Tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara) jelas dalam keputusan

9

Andryawal Simanjuntak, Gizeling/Lembaga Paksa Badan,

http://andryawal.blogspot.com/2010/07/gizeling-lembaga-paksa-badan.html, akses tanggal 28 Juli 2011.

10

Republik Indonesia, Udang-Undang No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pasal 1 angka 21.


(22)

menteri ini penyanderaan dikaitkan dengan upaya untuk memperoleh pemenuhan utang pajak oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Penyanderaan menurut keputusan menteri ini merupakan salah satu upaya paksa dan merupakan upaya terakhir dalam penagihan dengan surat paksa agar wajib pajak atau penanggung pajak melunasi utang pajaknya.

Penyanderaan ini merupakan salah satu penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama. maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif yakni harus memenuhiutang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik penanggung pajak. Indikasi itikad tidak baik tersebut antara lain penanggung pajak diduga menyembunyikan harta kekayaannya sehingga tidak ada atau tidak cukup barang yang disita untuk jaminan pelunasan utang- utang pajak, atau terdapat dugaan yang kuat bahwa penanggung pajak akan melarikan diri (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1998 tentang Penyanderaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa).

2. Pengertian Kepailitan

Kata pailit berasal dari bahasa Prancis failite yang berarti kemacetan pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk


(23)

membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.11 Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya.12

Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika debitur tersebut hanya memiliki satu orang kreditur dan debitur tidak mau membayar utangnya secara sukarela, maka kreditur dapat menggugat debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditur. Namun, dalam hal debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum13

11

Imran Nating, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: Raja Grafindo. 2004), hal. 2.

12

Tanpa Nama, Hukum Kepailitan, http:// clickgtg. wordpress.com /2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/ , akses tanggal 2 Juli 2011.

13

Dadang Sukandar, Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang,

http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, akses tanggal 12 Agustus 2011.


(24)

Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur dengan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), terutama Pasal 1131 dan 1132 tentang piutang-piutang yang diistimewakan, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.

Pasal 1131 KUHPerdata:

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”

Pasal 1132 KUHPerdata:

“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU, mengatur bahwa:

Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Sebelum dibentuknya Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, undang-undang yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Namun ternyata Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan juga ada kelemahan


(25)

sehingga perlu dibentuk undang-undang baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat maka diundangkanlah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) yang pada tanggal 18 Oktober 2004, dengan didasarkan pada pasal 307 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tersebut maka Undang-Undang Kepailitan yang lama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku:

Pada saat undang-undang tersebut mulai berlaku, Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissementsverordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.14

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata berlaku sebagai jaminan pelunasan utang kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada

14

Disriani, Hukum Kepailitan, http://disriani.multiply.com/journal, akses tanggal 20 Juli 2011.


(26)

pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar debitur. 15

a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut:

Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPerdata yang merupakan jaminan pemenuhan pelunasan utang kepada para kreditur, maka Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih kreditur. Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan debitur pailit dapat diajukan sebagai jaminan pelunasan piutang semua kreditur, sehingga semua kreditur memperoleh pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara

Pari passu dan Prorata16

15

Dadang Sukandar, Hukum Kepailitan, http://

dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, akses tanggal 15Juli 2011.

16

Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitor. http://diaz_fhuns.staff.uns.ac.id/files/2010/07/prinsip-prinsip-hukum-kepailitan.pdf., akses tanggal 30 Juli 2011.

. Pari Passu berarti harta kekayaan debitur dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan.


(27)

Dengan dinyatakannya pailit seorang debitur, sesuai Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan pengadilan, pengadilan melakukan penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur \pailit, yang selanjutnya akan dilakukan pengurusan oleh kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPerdata tentang hapusnya perikatan, maka hubungan hukum utang-piutang antara debitur dan kreditur itu hapus dengan dilakukannya “pembayaran” utang melalui lembaga kepailitan.

b. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Gugatan pailit dapat diajukan apabila debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal satu orang kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPerdata tentang perikatan-perikatan untuk memberikan sesuatu mengatur sebagai berikut:

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”


(28)

Berdasarkan pasal tersebut, mengenai utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih adalah ketika debitur melakukan kelalaian dalam perjanjian, dan berdasarkan ketepatan waktu kelalaian tersebut dapat dibedakan atas:

1) Dalam hal terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian

Jika dalam perjanjian telah ditetapkan suatu waktu tertentu tentang kapan debitur harus melaksanakan kewajibannya melunasi utang, maka dengan lewatnya jangka waktu tersebut dan debitur tidak melaksanakan kewajiban utangnya, debitur sudah dapat dianggap lalai. Mulai sejak saat itu debitur dianggap lalai karena tidak melaksanakan kewajibannya, dan sejak saat itu pula muncul hak kreditur untuk melakukan penagihan pelunasan utang melalui lembaga kepailitan.

2) Dalam hal tidak terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian

Kepailitan, pada mulanya diatur dalam Failliessement Verordening, Staatsblad 1905-217 juncto 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesaikan masalah utang-piutang dikarenakan memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan yang terdapat dalam

Failliessement verordening tersebut adalah.17

17

Sunarmi, Op Cit, hal. 11.

:

a) Tidak jelasnya batasan waktu (time frame) yang diberikan dalam menyelesaikan kasus kepailitan sehingga akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama


(29)

b) Jangka waktu untuk menyelesaikan utang melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga butuh waktu yang sangat lama yaitu sekitar 18 bulan

c) Apabila pengadilan menolak PKPU, pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitur dalam keadaan pailit

d) Kedudukan kreditor masih dianggap lemah.

Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan Faillissement Verordening tersebut dengan ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 9 September 1998, dengan berlakunya ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh kreditur-kreditur luar negeri (Dana Moneter Internasional/

International Monetary Fund), agar para kreditur luar negeri memperoleh jaminan kepastian hukum.18

18

Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999), hal.1.

Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah

“the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againt whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntaru petition, or who has been adjudged a bankrupt.


(30)

"Kondisi atau status seseorang ( individu, persekutuan, korporasi, kotamadya) yang tidak mampu untuk membayar hutang nya sebagaimana adanya, atau jatuh tempo. Istilah meliputi seseorang againt yang suatu petisi tanpa disengaja telah disimpan, atau yang telah menyimpan suatu petisi, atau yang telah divonis bangkrut.”19

Pengertian kepailitan lain yang dikemukakan oleh para sarjana diantaranya adalah seperti yang dikatakan oleh Siti Soemarti Hartono bahwa kepailitan adalah mogok dalam melakukan pembayaran,

Dari pengertian tersebut maka pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

20

19

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2002), hal. 11.

20

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan, (Yogyakarta:Seksi Hukum Dagang FH UGM, 1981), hal. 1.


(31)

kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya.21

Sementara R Subekti menyatakan bahwa pailit berarti keadaan seorang debitur apabila ia telah menghentikan pembayaran hutang-hutangnya, suatu keadaan yang menghendaki campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya.

22

Sebagaimana diketahui, bahwasanya tujuan diaturnya kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah :23

a. Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya.

b. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

c. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur, atau debitur hanya menguntungkan kreditur tertentu.

d. Memberikan perlindungan kepada para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan e. Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding

membuat kesepakatan restrukturisasi hutang.

21

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hal. 13.

22

R Subekti dan R Tjitrosudibyo, Kamus Hukum (Jakarta:Pradnya Paramita, 1973), hal.40.

23

Tanpa nama, Permohonan Gizeling dalam perkara-perkara Kepailitan,

http://www.redgage.com/blogs/advokatku/permohonan-gijzeling-dalam-perkara-kepailitan.html, akses tanggal 27 Juli 2011.


(32)

Adapun menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan, tujuan semua Undang-undang Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitur yang tidak cukup nilainya ( "debt collection system"). Maka dari itu tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah: 24

a. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur” , yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan – tagihannya terhadap debitur. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para kreditur terhadap harta debitur berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya undang – undang kepailitan, maka akan terjadi kreditur yang lebih kuat akan mendapatkan bagan yang lebih banyak daripada kreditur yang lemah.

b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara pro-porsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unsecured creditors

berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditur

24


(33)

tersebut). Di dalam hukum Indonesia, asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUHPerdata.

c. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan seorang debitur pailit, maka debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan debitur menjadi harta pailit.

d. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang debitur perorangan (individual debitor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh Likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para krediturnya, tetapi debitur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada debitur tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitur tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. menurut US Bankruptcy Code, financial fresh start hanya diberikan bagi debitur pailit perorangan saja, sedangkan bagi debitur badan hukum financial fresh start tidak diberikan. Jalan keluar


(34)

yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan debitur yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.

e. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam undang-undang kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan KUHPidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu di muat di dalam undang-undang kepailitan (Bankruptcy Law) negara yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan dengan kepailitan ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency Act 1986.

f. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitur. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam undang-undang kepailitan Indonesia kesempatan bagi debitur untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para krediturnya diatur dalam BAB II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).


(35)

Menurut pendapat Koentjaraningrat, yang dinamakan metode penelitian adalah dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : "methods") adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek dari sasaran yang bersangkutan.25 Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.26

Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial process).27

Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas

25

Danang Ari. Study Tentang Perlindungan Dagang, (Surakarta:UMM,2008) , hal. 9.

26

Ibid,.

27

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:Gratifi Press,2006), hal.118.


(36)

pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.28

Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.29

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analis yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang keberadaan dan efektifitas pelaksanaan lembaga paksa badan di Indonesia. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literatur

28

Ronny Hanintijo Soemitro Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 9.

29


(37)

Metode penelitian juga menggabungkan dengan studi kepustakaan

(libraly research ) dengan menggunakan media literatur yang ada maupun jurnal ilmiah elektronik lainnya seperti internet dan tinjauan yuridis.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal. Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualitas keilmuan.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks


(38)

majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya, dan kedua bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

4. Analisa Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.


(39)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan pelaksanaan lembaga paksa badan.

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam usaha untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian dalam karya ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi kedalam susunan yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam setiap bab dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Didalam bab pertama yang berisi pendahuluan ini, dipaparkan pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada pembahasan karya ilmiah ini. Meliputi latar belakang permasalahan, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan-kepustakaan, metode penulisan dan pengumpulan data yang digunakan serta sistematika penulisannya sendiri.


(40)

BAB II : KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN DI INDONESIA Didalam bab kedua ini akan dibahas mengenai ketentuan-ketentuan

hukum dalam pelaksanaan lembaga paksa badan di Indonesia yang mencakup pengertian dan dasar yuridis keberadaan lembaga paksa badan, lembaga paksa badan berdasarkan peraturan HIR maupun RBG dan perbedaan lembaga paksa badan dan lembaga penyanderaan.

BAB III : LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN

Didalam bab ketiga ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai bagaimanakah keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan, mencakup syarat-syarat kepailitan, proses dan akibat hukum dalam kepailitan, lembaga paksa badan dalam kepailitan, syarat-syarat pelaksanaan lembaga paksa badan dan para pihak dalam lembaga paksa badan.

BAB IV :PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN DEBITUR PAILIT

Pembahasan dalam bab yang keempat ini adalah merupakan pembahasan yang bersumber dari penelitian ( research ). Aspek yang akan dibahas dalam bab ini adalah mengenai proses dan pelaksanaan lembaga paksa badan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Perma No. 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan, pelaksanaan lembaga paksa badan dipandang dari segi hak azasi


(41)

manusia, perpanjangan dalam pelaksanaan lembaga paksa badan dan efektifitas pelaksanaan lembaga paksa badan dalam penagihan kewajiban debitur pailit.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari kesimpulan berdasarkan hasil pembasan setiap bab dalam permasalahan tersebut. Bab ini juga akan memaparkan beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan pemaparan kesimpulan tersebut.


(42)

BAB II

KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (

GIJZELING/

IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS

) DI INDONESIA

A. Pengertian dan Dasar Yuridis Keberadaan Lembaga Paksa Badan

Secara konsepsional inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 30 Masalah penegakan hukum terletak pada faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana, masyarakat serta kebudayaan. Sedangkan mengenai apakah penegakan hukum tersebut dapat berjalan secara efektif atau tidak menurut Soerjono Soekanto tergantung dari beberapa hal yaitu : 31

1. Harapan masyarakat yaitu apakah penegakan hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.

2. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum, kepada organ-organ penegak hukum tersebut.

Sedangkan unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah unsur kepastian hukum (rechtssicherheit), unsur kemanfaatan (zweckmassigkeit)

30

Soerjono Soekanto II, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983), hal. 3.

31


(43)

serta unsur keadilan (gerechtigkeit).32 Lembaga sandera (gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang dikenal dalam hukum untuk proses penegakan hukum. Penegakan hukum melalui lembaga sandera secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di Perma No. 1 Tahun 2000 tanggal 30 Juni tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Ada dua hal yang patut dicermati dalam Perma No. 1 Tahun 2000 ini, yaitu : 33

1. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi hutang pokok;

2. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitur nakal ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan pengadilan. Debitur nakal dimaksud adalah penjamin utang yang dapat diperluas penunggak pajak yang mampu tetapi tidak mau membayar utangnya.

Putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara, demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Perma No.1 Tahun 2000. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan. Namun sepanjang kewajiban debitur didasarkan atas pengakuan utang, menurut Pasal 7 paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

32

Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Jogjakarta:Citra Aditya Bakxti, 1993), hal. 1.

33

Mulyasi W. Gizeling dalam Perkara Pajak, http://eprints.undip.ac.id /15739 /1 / Mulyatsih_Wahyumurti.pdf, akses tanggal 30 Juli 2011.


(44)

Lembaga paksa badan atau istilahnya disebut Gijzeling merupakan lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Gijzeling dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Paksa badan ditetapkan untuk enam bulan dan dapat diperpanjang setiap enam bulan dengan keseluruhan maksimum tiga tahun.

Perlu diketahui pula, paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat diperlakukan dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan paksa badan.

Penegakan hukum melalui lembaga sandera dapat juga dilihat di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang mana merupakan dasar hukum pelaksanaan sandera bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak.

Dalam hukum perpajakan pokok-pokok pengaturan penyanderaan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang tidak melunasi utang pajaknya setetah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada penanggung pajak.


(45)

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang- kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. 2. Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan surat perintah

penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat setelah izin tertulis Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

3. Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 336/KMK.01/2000 tentang Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara yang menjelaskan bahwa gijzeling merupakan suatu upaya penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk smeentara waktu disuatu tempat tertentu, terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik, pada Undang-Undang Kepailitan dan PKPU No. 37 Tahun 2004 yang juga mengatur mengenai paksa badan, dan juga dapat dilihat di Peraturan Bersama Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan HAM Nomor 53/PMK.06/2009 , KEP-030/A/JA/03/2009, 4, M.HM-01.KU.03.01 Tahun 2009, yang menjelaskan bahwa paksa badan adalah pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap objek pajak, yang mana dimaksud dengan objek pajak tersebut yaitu penanggung hutang, penjamin hutang, pemegang saham dan/atau ahli waris.


(46)

Lembaga paksa badan ini mengingatkan pada gijzeling/penyanderaan (semacam paksa badan) yang diatur Pasal 209-224 HIR, tetapi kemudian dibekukan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1964 dan No. 4 Tahun 1975. Alasan dibekukannya gijzeling adalah karena dinilai bertentangan dengan HAM. Saat itu gijzeling menjadi alat untuk memaksa secara fisik dan yang sering menjadi korban adalah debitur dari kalangan rakyat yang benar-benar tak mampu melunasi utangnya.

B. Lembaga Paksa Badan Berdasarkan HIR dan RBG

Lembaga paksa badan atau istilahnya disebut gijzeling dimuat dalam pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal 242 sampai dengan 258 RBg. Adapun penjabaran kedua pasal tersebut adalah:

1. Jika tidak ada atau tidak cukup barang guna menjalankan putusan maka atas permintaan pihak yang menang dalam perkara tersebut baik secara lisan maupun dengan surat kepada orang yang berwenang untuk menjalankan surat sita agar yang berhutang tersebut disanderakan

2. Lamanya orang yang berhutang dapat disanderakan dalam surat perintah itu mengenai lamanya waktu ia disandera.


(47)

Adapun penjabaran pasal-pasal lainnya dalam HIR dan RBG berkaitan dengan lembaga paksa badan atau penyanderaan adalah: 34

1. Pasal 210 HIR/Pasal 243 RBG

a. Penyanderaan dilakukan selama 6 bulan lamanya jika ia dihukum membayar sampai Rp 100 (Seratus rupiah) dan selama 1 tahun jika lebih dari Rp100 sampai dengan Rp 300 dan selama 2 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 300 sampai dengan Rp 500 dan selama 3 tahun jika ia dihukum membayar lebih dari Rp 500

b. Biaya perkara tidak termasuk dalam uraian jumlah tersebut diatas. Mengenai lama penyanderaan sebagaimana yang dimaksud dalam HIR/RBG demikian juga yang terdapat dalam Perma, Hakim Bismar Siregar berpendapat bahwa lama penyanderaan disesuaikan dengan besarnya kewajiban yang harus dilunasi pihak yang kalah.

2. Pasal 244 RBG

Penyanderaan terhadap orang-orang yang telah berumur lebih dari enam puluh lima tahun, hanya diperbolehkan menurut peraturan-peraturan yang ada atau yang akan dikeluarkan nanti

3. Pasal 211 HIR/Pasal 245 RBG

Anak dan turunan kebawah sekali-kali tidak dapat memerintahkan penyanderaan kepada keluarganya sedarah dan keluarga semenda dalam turunan keatas.

34

Tempo Online, Pelaksanaan Paksa Badan,

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1974/07/27/HK/mbm.19740727.HK65029.id.html, akses tanggal 29 Oktober 2011.


(48)

4. Pasal 212 HIR/Pasal 246 RBG

Terhadap orang yang berhutang yang tidak dapat disanderakan :

a. Di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan keagamaan selama ada kebaktian

b. Didalam tempat dimana kekuasaan umum bersidang dan selama ada persidangan

Pasal 212 HIR memberi batasan negatif, bahwa seseorang tidak dapat disanderakan di dalam rumah yang dipergunakan untuk melakukan ibadah agama, selama ada kebaktian dan pada tempat-tempat di mana kuasa umum bersidang. 5. Pasal 213 HIR/Pasal 247 RBG

a. Jika orang yang berhutang itu mengajukan perlawanan terhadap pelaksanaan penyanderaan itu berdasarkan pernyataan bahwa perbuatan itu melanggar hukum dan atas itu dia minta keputusan itu dengan segera, maka dia harus memasukkan surat kepada ketua pengadilan negeri yang memerintahkan penyanderaan itu atau jika orang itu menghendaki agar dia dibawa menghadap pegawai dalam kedua hal itu harus diputuskan dengan segera, layak tidaknya orang yang berhutang itu disanderakan dahulu sambil menunggu keputusan pengadilan negeri

b. Pasal 128 ayat ke 4, 6 dan 7 HIR dan Pasal 252 ayat 5, 7 dan 8 RBG berlaku pula dalam hal ini


(49)

c. Jika orang yang berhutang mengajukan perlawanan dengan surat maka dapatlah dia dijaga agar tidak melarikan diri sambil menunggu keputusan dari ketua

d. Jika jaksa yang dikuasakan telah memerintahkan penyanderaan, maka dia mengirimkan surat permohonan penyanderaan tersebut atau jika penyanderaan dimohonkan secara lisan maka catatan mengenai itu beserta penetapannya kepada ketua pengadilan negeri.

6. Pasal 214 HIR/Pasal 248 RBG

Orang yang berhutang yang tidak mengajukan perlawanan atau yang perlawanannya ditolak dengan segera harus dibawa kedalam penjara tempat penyanderaan.

7. Pasal 249 ayat (1) RBG

Pegawai yang melaksanakan putusan guna penyanderaan dapat menyandera setelah memperlihatkan surat perintah akan menyandera kepada jaksa dan menuliskan hal itu pada surat perintah itu.

C. Perbedaan Lembaga Paksa Badan dengan Lembaga Penyanderaan

Paksa badan yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2000 ini berbeda dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitur mampu, tetapi membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitor "kelas kakap" yang mempunyai utang sekurangnya Rp 1.000.000.000 (Satu miliar rupiah).


(50)

Perbedaan atas peristilahan tersebut juga dalam pertimbangan Perma No. 1 Tahun 2000 huruf b yang menyatakan bahwa bahwa penerjemahan istilah gijzeling dengan kata sandera atau penyanderaan sebagaimana terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975, dipandang tidak tepat karena tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya dalam membayar hutang, sehingga penerjemahannya perlu disempurnakan menjadi paksa badan, sebagaimana terkandung dalam pengertian Imprisonment for Civil Debts yang berlaku secara universal.

Pengertian Gijzeling lainnya menurut R. Susilo adalah menahan pihak yang kalah didalam lembaga permasyarakatan dengan maksud untuk memaksanya supaya memenuhi putusan hakim sementara Perma No. 1 Tahun 2000 Gijzeling /imprisonment for civil debt yg berlaku universal yakni tindakan yang ditimpakan kepada jasad atau tubuh debitur sebagai tekanan agar memenuhi kewajiban (liability) membayar hutang yang diperintahkan dalam putusan/penetapan.35

Menurut Rahadjeng Endah K Siradjoeddin, lembaga paksa badan yang hidup kembali adalah suatu lembaganya. Tidak berarti bahwa lembaga paksa badan produksi pemerintah Belanda dulu yang dihidupkan kembali, melainkan lembaga baru yang merupakan produksi Indonesia dengan jiwa dan badan yang sesuai dengan budaya nasional.36

35

Hafidz Akbar, pengertian Gizeling/paksa badan,

http://www.slideshare.net/HafidzAkbar/gijzeling-paksa-badan2-03, akses tanggal 30 Juli 2011.

36

Bambang Sutiyoso,, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 216-217.


(51)

terhadap debitur yang beritikad tidak baik, penanggung atau penjamin utang yang tidak memenuhi kewajiban dalam membayar utang-utangnya padahal ia mampu untuk melaksanakannya. Menurut Bambang Sutiyoso bahwa perbuatan debitur yang menghindari kewajiban tersebut sekaligus juga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).37

Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2000 menyatakan debitur yang dapat dikenakan paksa badan juga dibatasi berdasarkan jumlah hutang minimum sebesar

Perbedaan mendasar antara penyanderaan dengan paksa badan adalah bahwa setiap atau semua debitur dapat diperintahkan menjalani penyanderaan /paksa badan bila tidak memenuhi kewajiban yang diperintahkan dalam putusan pengadilan. Kriteria gijzeling apabila harta kekayaan tidak ada atau tidak cukup membayar kewajibannya.

Sementara dalam ketentuan paksa badan yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2000 tidak ditimpakan dan diterapkan terhadap setiap atau semua debitur tetapi hanya diperlakukan terhadap debitur tertentu sesuai dengan patokan dan tidak memenuhi kewajiban membayar kembali hutangnya padahal mampu untuk melakukannya.

Perbedaan lainnya antara gijzeling yang diatur dalam HIR dan RBG dengan yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2000 adalah bahwa adanya batasan umur yang dapat dikenakan yaitu maksimal harus berusia 75 tahun, sehingga debitur yang berusia diatas 75 tahun tidak dapat dikenakan meskipun beritikad buruk, sementara dalam HIR dan RBG tidak terdapat batasan umur.

37


(52)

Rp 1.000.000.00 (satu miliar rupiah), artinya hutang piutang yang dapat dimohonkan paksa badan harus berjumlah satu miliar keatas. Lamanya gijzeling

adalah minimal 6 bulan dan maksimal 3 tahun. Sementara dalam ketentuan HIR maupun RBG besar minimum hutang sangat berkaitan dengan lamanya waktu penyanderaan yaitu Rp.100 (seratus rupiah) sampai dengan Rp300 (tiga ratus rupiah) yaitu selama 1 tahun, Rp.300 (tiga ratus rupiah) sampai denga Rp.500 (lima ratus rupiah) yaitu selama 2 (dua) tahun lamanya dan lebih dari Rp.500 (lima ratus rupiah) selama 3 tahun lamanya.


(53)

BAB III

LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN

A. Syarat-Syarat Kepailitan

Masalah kepailitan selalu menimbulkan akibat yang panjang baik bagi debitur, kreditur maupun stake holder perusahaan terutama karyawan perusahaan karena bagaimanapun terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan membawa implikasi yang buruk terhadap karyawan perusahaan maupun keluarganya. Secara lebih luas, kepailitan perusahaan akan membawa pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian negara. Sementara itu saat ini banyak perusahaan-perusahaan yang senantiasa menghadapi ancaman permohonan kepailitan di Pengadilan Niaga karena kesulitan membayar utang perusahaan terhadap kreditur-krediturnya.

Secara esensial ditentukan bahwa kepailitan penerapannya harus dilakukan/diselesaikan secara adil dalam arti memperhatikan kepentingan perusahaan sebagai debitur atau kepentingan kreditur secara seimbang. Perlindungan kepentingan yang seimbang itu adalah sejalan dengan dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila bukan saja mengakui kepentingan seseorang, tetapi juga kepentingan orang banyak atau masyarakat. Pancasila bukan saja harus memperhatikan hak asasi, tetapi harus memperhatikan juga kewajiban asasi seseorang.


(54)

Berdasarkan sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" harus dikembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, lebih-lebih lagi terhadap orang banyak. Dalam peristiwa kepailitan terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para krediturnya juga kepentingan para

stakeholders yang lain dari debitur yang dinyatakan pailit, lebih-lebih apabila debitur itu adalah suatu perusahaan.

Syarat-syarat dalam kepailitan penting karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.38

1. Adanya utang;

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar seseorang atau badan hukum dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :

2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari utang dapat ditagih; 4. Adanya debitur;

5. Adanya kreditur; 6. Kreditur lebih dari satu;

38

UPN Jatim, Hukum Kepailitan, http:// docs.google.com

/viewer?a=v&q=cache:2DDvgTI4H5sJ:elearning.upnjatim.ac.id /courses /HKK4002 /document/ HUKUM_KEPAILITAN_DAN.ppt, akses tanggal 20 Juli 2011.


(55)

7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”;

8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;

Pengertian dari utang yang dimaksud dalam syarat-syarat diatas yaitu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur. Dan yang dimaksud dengan debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan pengertian dari kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

Kreditur itu sendiri mempunyai pembagian berdasarkan jenis-jenisnya yaitu sebagai berikut :

1. Kreditur secara teoritis dapat dibedakan menjadi 2 jenis :

a. kreditur dengan jaminan (secured creditor) yang terdiri dari pemegang hak gadai dan atau fidusia (jaminan benda bergerak), serta pemegang hak tanggungan dan atau hipotek (jaminan benda tidak bergerak)

b. kreditur tanpa jaminan (unsecured creditor) yang dapat memiliki hak istimewa (baik umum, maupun khusus) ataupun tidak.


(56)

2. Kreditur di dalam proses kepailitan dapat dibedakan dari 3 jenis :

a. kreditur separatis yaitu kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau disebut kreditur dengan jaminan

b. kreditur preferen yaitu kreditur yang mempunyai hak istimewa atau hak prioritas. Sebagaimana yang diatur di dalam KUHPerdata, hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya

c. kreditur konkuren atau kreditur biasa yaitu kreditur pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUHPerdata, kreditur ini adalah kreditur yang memiliki kedudukan setara dan memiliki hak yang seimbang atas piutang-piutang mereka.

Dan permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak yang berwenang, pihak-pihak berwenang yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu:

1. Kreditur

2. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan kepentingan umum, misalnya :

a. debitur melarikan diri

b. debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan

c. debitur berutang kepada BUMN/badan usaha lain penghimpun dana masyarakat


(57)

d. debitur berutang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas

e. debitur tidak beritikad baik dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh tempo

f. dalam hal lainnya menurut kejaksaan adalah kepentingan umum.

3. Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit apabila debitur tersebut adalah bank

4. Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) dapat mengajukan permohonan pailit dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian

5. Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan pailit dalam hal debitur adalah perusahaan asursansi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN dibidang kepentingan publik.

Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam undang- undang kepailitan yaitu apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim harus “menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya.39

Kepailitan berhubungan erat dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo sebagaimana yang sudah penulis sampaikan di atas tadi. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara

39

Tanpa Nama, Hukum Kepailitan di Indonesia: Syarat-syarat pailit,

http://clickgtg.wordpress.com/2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/, akses tanggal 30 Juli 2011.


(58)

sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan mengabulkan ataupun menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan.40

B. Proses dan Akibat Hukum Dalam Kepailitan

Dalam undang-undang kepailitan, persyaratan untuk dapat dipailitkan sungguh sangat sederhana. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa yang dapat dipailitkan adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.

Kreditur yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan debitur, tanpa melihat jumlah piutangnya. Undang-undang kepailitan memang sangat mempermudah proses kepailitan. Sebagai contoh, Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau

40


(1)

pelaksanaannya mengacu kepada Perma No. 1 Tahun 2000 dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan HAM No. 53/PMK.06/2009, KEP-030/A/JA/03/2009, 4, M.HH-01.KU.03.01 Tahun 2009 , yang mengatur lebih lanjut mengenai mengenai paksa badan.

3. Pelaksanaan lembaga paksa badan dalam pemenuhan kewajiban debitur pailit sejak adanya Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang merupakan undang-undang yang mengatur kepailitan lebih sempurna sampai dengan penelitian ini dilakukan, pelaksanaannya kurang dapat membuat debitur pailit memenuhi kewajiban untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditur. Hal ini dapat kita lihat sebagai ketidakefektifan lembaga paksa badan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan diatas adalah:

1. Pengaturan pelaksanaan lembaga paksa badan sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa dalam perkara kepailitan hendaknya diatur lebih jauh dalam bentuk suatu perundang-undangan agar pelaksanaan paksa badan yang dimaksudkan dapat memiliki legitimasi kuat dan dapat diselenggarakan secara optimal. Tidak hanya diatur dalam suatu Peraturan Mahkamah Agung. 2. Perlu adanya upaya pelaksanaan paksa badan dengan mekanisme yang jelas


(2)

debitur dapat sesegera mungkin melunasi kewajibanya dalam hal pembayaran hutang.

3. Perlu diadakannya penyempurnaan mengenai peraturan paksa badan yang tidak hanya tertuang dalam suatu Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) saja namum dalam bentuk peraturan perundang-undangan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU BACAAN

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan I, 2001.

Ari, Danang. Study Tentang Perlindungan Dagang. Surakarta: UMM, 2008. Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang FH UGM, 1981.

Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan, Yogyakarta:Seksi Hukum Dagang FH UGM. 1981.

Komaruddin, Kamus Perbankan, Jakarta: Grafindo, 1994.

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita. 1974.

Lontoh, Rudi A, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001.

Mertokusumo, Sudikno, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.

Nating, Imran, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta : Raja Grafindo, 2004.

Prodojhamidjojo, Martiman, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999.

Soemitro, Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Sjahdeini, Sutan Remi, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni,1999.


(4)

---, Hukum KepailitanMemahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002. Sulaiman, Abdul R., Dkk, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Praktek,

Jakarta : Prenada Media, 2004.

Sutiyoso, Bambang, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Simanjuntak, Ricardo, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam

Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan

Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005. Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan: Sofmedia, 2010.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986. Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang

terkait dengan Kepailitan, Bandung: Nuansa Aulia, 2006.

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Yani Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2002.

B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitan Undang-Undang Hukum Pidana

Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(5)

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 88/PMK.06/2009 tentang Pengurusan Piutang Negara

Peraturan Bersama Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Nomor 53/PMK.06/2009, KEP-030/A/JA/03/2009, 4, M.HH-01.KU.03.01 Tahun 2009

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan

Peraturan Bank Indonesia/ PBI No 5/8/PBI/2003 Tentang Manajemen Resiko Bagi Bank Umum

Peraturan Bank Indonesia/ PBI No 7/8/PBI/2005 Tentang Sistem Informasi Debitur

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 363.01/2000 Tentang Paksa Badan Dalam Pengurusan Piutang Negara

C.ARTIKEL/MAJALAH/INTERNET

Zulkarnain Sitompul, Prinsip Pemberian Kredit 5C, http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/biro-kredit.pdf, tanggal akses 20 Maret 2011.

Achmad Djunaedi dalam karya ilmiah Penulisan Tinjauan Pustaka dalam http://www.mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjauan-pustaka.pdf , akses tangal 06 Mei 2011.

Akhmad Fauzi Noor, Etika debt collector dalam dunia perbankan, http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/2011/4/16/81866/Etika-Debt-Collector-di-Dunia-Perbankan, akses tanggal 22 Juni 2011.

Tanpa nama, Penyelesaian Hutang Piutang dengan Paksa Badan, http:// advokatku.blogspot.com/ 2008 /04/ penyelesaian-hutang-piutang-dengan.html., akses tanggal 30 Juni 2011.

Kemal Fasya, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak artikel dalam akses tanggal 1 Juli 2011.

Tanpa Nama, Hukum Kepailitan, http:// clickgtg. wordpress.com /2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/ , akses tanggal 2 Juli 2011.


(6)

http://www.redgage.com/ blogs/ advokatku /permohonan –gijzeling –dalam perkara-kepailitan.html. , akses tanggal 20 Juli 2011.

Disriani, Hukum Kepailitan, artikel http://disriani.multiply.com/journal., akses tanggal 20 Juli 2011.

Tanpa nama, Permohonan Gizeling dalam perkara-perkara Kepailitan, http://www.redgage.com/blogs/advokatku/permohonan-gijzeling-dalam-perkara-kepailitan.html, akses tanggal 27 Juli 2011.

Andryawal Simanjuntak, Gizeling/Lembaga Paksa Badan,

http://andryawal.blogspot.com/2010/07/gizeling-lembaga-paksa-badan.html, akses tanggal 28 Juli 2011.

Hafidz Akbar, Pengertian Gizeling/paksa badan, http://www.slideshare.net/HafidzAkbar/gijzeling-paksa-badan2-03, akses

tanggal 30 Juli 2011.

Muladi, Analisis gijzeling: dari sisi hukum pidana dan HAM, http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tambil&id=34025&id c=21 , tanggal akses 30 Juli 2011.

Http://webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:C_AKYzcH1SIJ:i

lib.ugm.ac.id / jurnal /download.php?dataId%3D7027+syarat syarat +lembaga +paksa+ badan&hl=id&gl=id , akses tangal 30 Juli 2011. Muladi, Analisis Gijzeling dari Sisi I-lukurn Pidana dan HAM, Jurnal Hukum

Bisnis Vol.15, September 2001.

Dadang Sukandar, Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, akses tanggal 12 Agustus 2011.

Universitas Indonesia, Penerapan Gijzeling dalam perpajakan, artikel dalam

www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/124628-SK...Analisis.pdf., tanggal akses 29

September 2011.

Tempo Online, Pelaksanaan Paksa Badan, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/, akses tanggal 29 Oktober