Uji kombinasi EEABS-Doksorubisin pada T47D

doksorubisin. Perlakuan uji sitotoksik juga dilakukan terhadap sel Vero Normal dengan menggunakan EEABS menggunakan metode MTT. Hasil pengujian sitotoksik larutan uji terhadap sel Vero memberikan nilai IC 50 untuk EEABS 3.903,254 µgml. 4.6 Indek Selectivitas Untuk mengetahui nilai indeks selektivitas IS, perlu diketahui IC 50 sel vero dan IC 50 sel T47D dengan menggunakan metode MTT. Indek selektivitas dihitung menggunakan persamaan di bawah ini: IS mengindikasikan selektivitas sitotoksik keamanan dari ekstrak terhadap sel kanker versus sel normal, yang dihitung dengan membandingkan IC 50 ekstrak terhadap sel normal dan IC 50 ekstrak terhadap sel kanker. Nilai IC 50 EEABS terhadap sel vero adalah 3.903,254 µgmL sedangkan nilai IC 50 EEABS terhadap sel T47D adalah 147,124 µgmL, sehingga diperoleh nilai IS 26,53. Ekstrak dikatakan memiliki selektivitas yang tinggi apabila nilai IS 3 Machana, et. al, 2011. Dengan demikian, EEABS selektif terhadap sel kanker T47D.

4.7 Uji kombinasi EEABS-Doksorubisin pada T47D

Perlakuan ekstrak bawang sabrang menghambat pertumbuhan sel T47D dengan efek yang bergantung pada konsentrasi. Ekstrak bawang sabrang yang paling aktif adalah ekstrak etil asetat EEABS dengan nilai IC 50 147,124 μgmL sedangkan perlakuan dengan doksorubisin menghasilkan penghambatan pertumbuhan sel sebesar 50 dengan IC 50 1,8 μgmL. Data tersebut memperlihatkan efikasi EEABS dan doksorubisin sebagai agen tunggal. Universitas Sumatera Utara Efikasi kombinasi EEABS dan doksorubisin terhadap pertumbuhan sel T47D dianalisis untuk mengetahui kemungkinan efek kombinasinya, yaitu apakah sinergis, aditif atau antagonis. Seri kadar EEABS-doksorubisin secara berturut- turut adalah 73,5; 55,125; 36,75; 18,38 µgml ekstrak dengan 1 2 ; 3 8 ; 1 4 ; 1 8 IC 50 dan 1; 0,75; 0,5; dan 0,25 µgml doksorubisin dengan 1 2 ; 3 8 ; 1 4 ; 1 8 IC 50 . Kombinasi doksorubisin dengan ekstrak uji memberikan indeks kombinasi seperti yang tercantum pada Tabel 4.5. Hasil menunjukkan perlakuan kombinasi ekstrak- doksorubisin memberikan efek sinergis kuat terhadap sel T47D dengan konsentrasi optimum ekstrak-doksorubisin 36,75 µgml – 1,0 µgml 1 4 IC 50 - 1 2 IC 50 . Pada pengamatan morfologi sel T47D dapat diamati morfologi sel yang mati akibat perlakuan tunggal ekstrak dan doksorubisin serta kombinasi keduanya. Hasil indek kombinasi dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Nilai indeks kombinasi IK doksorubisin dan EEABS EEABS µgml Doksorubisin µgml 1 0,75 0,5 0,25 73,5 0,78 0,76 0,75 0,74 55,125 0,62 0,58 0,59 0,55 36,75 0,16 0,43 0,57 0,46 18,38 0,83 0,28 0,38 0,49 Indeks Kombinasi optimal perlakuan kombinasi EEABS dengan doksorubisin terhadap sel T47D. Dihitung menggunakan persamaan Notarbartolo sesuai metodologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi EEABS doksorubisin mampu memberikan efek sinergis kuat IK= 0,1 - 0,3 pada sel T47D dengan konsentrasi kombinasi optimum EEABS-doksorubisin sebesar 36,75 µgml – 1 µgml 1 4 IC 50 – 1 2 IC 50 . Meskipun doksorubisin digunakan secara luas untuk terapi berbagai jenis kanker namun penggunaannya dalam klinik dibatasi oleh timbulnya efek samping Universitas Sumatera Utara Tyagi, et al., 2004. Efek samping yang timbul segera setelah pengobatan dengan doksorubisin adalah mual, imunosupresi dan aritmia yang sifatnya reversibel serta dapat dikontrol dengan obat-obat lain. Efek samping yang paling serius akibat pengobatan dengan doksorubisin dalam jangka waktu yang lama adalah cardiomyopathy yang diikuti dengan gagal jantung Singal dan Iliskovic, 1998. Mekanisme yang memperantarai toksisitas kardiak tersebut diduga disebabkan oleh terbentuknya spesies oksigen reaktif, meningkatnya kadar anion superoksida dan pengurasan ATP yang kemudian menyebabkan perlukaan jaringan kardiak. Berdasarkan hasil penelitian restrospektif diketahui bahwa toksisitas kardiak akibat pemberian doksorubisin merupakan efek samping yang bergantung pada konsentrasi Wattanapitayakul, et al., 2005. Melalui penelitian ini tampak bahwa EEABS sinergis kuat dengan doksorubisin IK = 0,16, sehingga diharapkan aplikasi EEABS sebagai ko-kemoterapi akan mampu menurunkan konsentrasi doksorubisin yang diperlukan dalam terapi kanker payudara. Selain toksik terhadap jaringan normal, doksorubisin juga diketahui mampu menyebabkan timbulnya resistensi sel tumor terhadap obat. Berbagai mekanisme yang memperantarainya antara lain adalah inaktivasi obat, pengeluaran obat oleh pompa pada membran sel, mutasi pada target obat serta kegagalan inisiasi apoptosis Davis, et al., 2003, Notarbartolo, et al., 2005. Ekspresi berlebihan dari P-gp, suatu transporter membran plasma yang mengantarkan agen kemoterapi keluar dari sel, diduga berperan dalam timbulnya resistensi sel kanker terhadap agen kemoterapi Kitagawa, 2005. Flavonoid suatu senyawa polifenol yang banyak terdapat dalam buah dan sayuran, dilaporkan mampu menghambat P-gp. Mekanismenya antara lain dengan jalan menghambat ikatan antara substrat Universitas Sumatera Utara dengan P-gp dan menghambat aktivitas ATPase Kitagawa, 2005. Selain interaksi langsung dengan P-gp, flavonoid juga dapat menurunan ekspresi gen MDR multi drug resistance. Efek sinergisme aplikasi ko-kemoterapi EEABS dengan doksorubisin diduga tidak lepas dari peran flavonoid dan senyawa naphtoquinon yang terkandung di dalamnya, sehingga efikasi doksorubisin meningkat. Untuk itu masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. 4.8 Uji Penghambatan Siklus Sel Data flowsitometri dianalisis untuk melihat distribusi sel pada fase-fase daur sel sub G1, S, G2M dan sel yang mengalami poliploidi. flowsitometri dilakukan dengan pancaran cahaya 488 nm dan dengan kecepatan medium 500 seldetik Akumulasi sel pada siklus sel merupakan salah satu target utama agen antikanker. Pada penelitian ini pengamatan siklus sel dilakukan dengan metode flowsitometri. Dengan metode ini, dapat dilihat distribusi sel pada masing-masing fase dalam siklus sel setelah perlakuan, sehingga dapat diperkirakan jalur penghambatan EEABS serta kombinasinya dengan doksorubisin dalam menghambat siklus sel. Fase-fase dalam siklus sel normal memiliki perbedaan pada jumlah set kromosom yaitu fase G1 jumlah set kromosomnya adalah 2n. Berlanjut pada fase S, jumlah set kromosomnya antara 2n dan 4n karena terjadi proses replikasi, sedangkan pada fase G2 dan M, replikasi telah sempurna membentuk set kromosom 4n. Dengan adanya fluorochrome yang memiliki kemampuan berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti propidium iodide maka tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom yang berbeda akan memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom maka Universitas Sumatera Utara intensitas fluoresensi akan semakin besar. Alat yang digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi tiap sel pada penelitian ini adalah FACS Fluorescence Activated Cell Sorting atau flowsitometer Givan, 2001. Pengujian siklus sel dilakukan dengan berbagai perlakuan. Diantaranya adalah kontrol ditunjukkan pada Gambar 4.1, EEABS pada konsentrasi 147 µgmL ditunjukkan pada Gambar 4.2, EEABS-doksorubisin 1 4 IC 50 EEABS dan 1 2 IC 50 doksorubisin yaitu 36,75 µgmL dan 1 µgmL ditunjukkan pada Gambar 4.3 dan doksorubisin pada konsentrasi ½ IC 50 yaitu 1 µgmL ditunjukkan pada Gambar 4.4. Profil siklus sel T47D setelah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan Gambar dibawah ini. Tabel 4.6 Distribusi sel T47D setelah perlakuan dengan EEABS, doksorubisin dan kombinasi keduanya Jenis perlakuan Kadar Fase sel G - G 1 S G 2 - M Kontrol 51,69 20,97 25,96 EEABS IC 50 49,35 25,77 15,08 Kb EEABS - Dox ¼ IC 50 - ½ IC 50 54,74 24,99 13,08 Doksorubisin ½ IC 50 58,77 19,13 3,06 M arker E vents G ated Total M ean C V M edian A ll 11683 100.00 58.41 272.28 29.82 231.00 G O -G 1 6039 51.69 30.20 206.38 6.14 205.00 S -phase 2450 20.97 12.25 280.40 11.23 277.00 G 2-M 3033 25.96 15.17 384.32 6.07 384.00 S am ple ID : K O N TR O L S E L T47D Total E vents: 20000 X P aram eter: FL2-A FL2-A rea Linear M 5 6494 32.47 32.47 812.22 25.80 853.00 G O -G 1 S -phase G 2-M Gambar 4.1 Gambaran siklus sel T47D kontrol Universitas Sumatera Utara M arker Events G ated Total M ean C V M edian All 8430 100.00 42.15 248.78 32.47 220.00 G O -G 1 4160 49.35 20.80 197.68 10.24 199.00 S-phase 2172 25.77 10.86 281.51 10.76 280.00 G 2-M 1271 15.08 6.35 382.80 6.94 383.00 Sam ple ID : BS 1X T47D Total Events: 20000 X Param eter: FL2-A FL2-Area Linear G O -G 1 S-phase G 2-M Gambar 4.2 Gambaran siklus sel T47D yang diberi 1x IC 50 EEABS M arker E vents G ated Total M ean C V M edian A ll 7490 100.00 37.45 243.57 29.56 216.00 G O -G 1 4100 54.74 20.50 202.44 8.73 206.00 S -phase 1872 24.99 9.36 276.24 9.97 273.00 G 2-M 980 13.08 4.90 383.56 5.81 386.00 S am ple ID : K B S T47D Total E vents: 20000 X P aram eter: FL2-A FL2-A rea Linear G O -G 1 S -phase G 2-M Gambar 4.3 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ¼ IC 50 EEABS dan ½ IC 50 doksorubisin M arker E vents G ated Total M ean C V M edian A ll 4026 100.00 20.13 206.39 26.74 191.00 G O -G 1 2366 58.77 11.83 191.83 10.66 189.00 S -phase 770 19.13 3.85 270.83 10.29 263.00 G 2-M 123 3.06 0.61 372.86 7.16 368.00 S am ple ID : D X 12 T47D Total E vents: 20000 X P aram eter: FL2-A FL2-A rea Linear G O -G 1 S -phase G 2-M Gambar 4.4 Gambaran siklus sel T47D yang diberi ½ IC 50 doksorubisin Universitas Sumatera Utara Akumulasi sel terbesar pada perlakuan EEABS konsentrasi 147,124 μgml IC 50 adalah pada fase S sebesar 25,77. Pada perlakuan EEABS dan kombinasinya dengan doksorubisin EEABS ¼ IC 50 dan doksorubisin ½ IC 50 akumulasi terbesar juga terjadi pada fase S yaitu sebesar 24,99 dan pada fase G -G1 yaitu sebesar 54,74 sedangkan pada perlakuan dengan doksorubisin doksorubisin ½ IC 50 akumulasi terbesar juga terjadi pada fase G -G1 yaitu sebesar 58,77. Apabila dibandingkan dengan kontrol akumulasi pada fase G - G1 yaitu sebesar 51,69 dan pada fase S yaitu sebesar 20,97, efek perlakuan ekstrak dengan 1x IC 50 dan kombinasinya dengan doksorubisin pada fase G -G1 dan S jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa EEABS pada konsentrasi IC 50 dan kombinasinya EEABS ¼ IC 50 dan doksorubisin ½ IC 50 menunjukkan pengaruh pada siklus sel T47D. Hambatan regulasi daur sel pada siklus G -G 1 oleh kombinasi EEABS dan doksorubisin terjadi melalui penurunan level ekspresi Siklin D1 berdasarkan pengujian imunositokimia sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan CDK6 yang berakibat pada penghambatan fosforilasi pRb protein retinoblastoma, Rb yang tidak terfosforilasi akan berikatan dengan faktor transkripsi E2F mengikat DNA dan menghambat transkripsi gen yang produknya diperlukan untuk fase S siklus sel sehingga sel tertahan di fase G 1 atau terjadi G 1 arrest Kumar, et al., 2005. Penghambatan daur sel ini kemungkinan dapat juga disebabkan oleh kemampuan senyawa yang terkandung dari EEABS meningkatkan ekspresi Protein p21 dan p27 akan membentuk ikatan kompleks dengan Siklin D dan Cyclin Dependent Kinase 46 Cdk, sehingga akan menghambat posporilasi pRb protein retinoblastoma. Hal ini mengakibatkan E2F inaktif, hal ini berakibat pada Universitas Sumatera Utara terhentinya daur sel Foster, et al., 2001; King, 2000. Penghentian siklus sel pada fase G -G 1 memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki DNA yang rusak apabila tidak bisa diperbaiki lanjut ke proses apoptosis. Hambatan siklus sel pada fase S oleh EEABS dengan konsentrasi 147,124 µgmL, menurut kumar, et al., 2006 hambatan siklus sel pada fase S karena terjadi penurunan level ekspresi siklin A sehingga tidak terjadi aktivasi siklin A dengan CDK21 sehingga siklus sel tertahan di fase S sehingga tidak terjadi regulasi ke fase G 2 -M. Kontrol checkpoint sangat penting untuk menjaga stabilitas genomik. Kesalahan pada checkpoint akan meloloskan sel untuk berkembang biak meskipun terdapat kerusakan DNA atau replikasi yang tidak lengkap atau kromosom tidak terpisah sempurna sehingga akan menghasilkan kerusakan genetik. Hal ini kritis bagi timbulnya kanker. Oleh karena itu, proses regulasi siklus sel mampu berperan dalam pencegahan kanker Ruddon, 2007.

4.9 Uji apoptosis