tidak ada. Keluarga Nakatomi dibuat sebagai kepala pendeta Shinto istana dan imam – imam kepala di Ise Daijingu yang berlangsung hingga 1892. Juga praktik
pengiriman putri kekaisaran ke Kuil Ise dimulai. Hal ini menandai kebangkitan Ise Daijingu sebagai kuil kekaisaran utama dalam sejarah. Karena meningkatnya
pengaruh dari Budha dan pemikiran daratan Asia, penyusunan sistem jalan religi Jepang The Japanese way of religion dan hukum dimulai dengan sungguh –
sungguh. Hal ini menghasilkan tiga hal, yakni: Kitab Undang – Undang Taiho 701, Kojiki 712 dan Nihon Shoki 720.
Kitab Undang – Undang Taiho atau yang disebut juga Ritsury ō 律令
merupakan upaya untuk menciptakan bentuk terhadap pengaruh luar dan menstabilkan masyarakat melalui kekuasaan Kekaisaran. Hal ini merupakan
liturgi kekuasaan dan penyusunan sistem undang – undang, terutama difokuskan pada peraturan agama, susunan pemerintahan, undang – undang pertanahan,
pidana dan hukum perdata. Semua imam, biarawan, dan biarawati harus terdaftar. Ritual Shinto dari garis kekaisaran disusun secara sistematis, terutama siklus
musiman, ritual kalender lunar, festival panen, dan upacara penyucian. Pembuatan Jingi-kan kekaisaran atau kantor Kuil Shinto selesai pada masa ini.
f. Periode Nara
Periode ini mengalami banyak perubahan bagi negara, pemerintah, dan agama. Pada masa ini ibukotanya pindah lagi ke Heijyokyo atau Nara tahun 710
oleh Ratu Gemmei karena kematian Kaisar. Praktek ini diperlukan karena bagi kepercayaan Shinto, kematian termasuk hal kotor atau kecemaran sehingga perlu
untuk menghindari pencemaran ini. Namun, kegiatan pemindahan ibukota karena “pencemaran kematian” ini kemudian dihapus oleh Undang – Undang Taiho dan
Universitas Sumatera Utara
naiknya pengaruh Budha. Pembentukan kota Kekaisaran dalam hubungannya dengan Undang – Undang Taiho dianggap penting untuk Shinto sebagaimana
kantor ritual Shinto menjadi lebih kuat dalam asimilasi kuil klan lokal ke dalam pengawasan kekaisaran. Kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota
tersebut akan dipindahkan. Semua kuil besar diatur dalam Taiho dan diharuskan untuk memperhitungkan pendapatan, imam, dan praktek karena konstribusi
nasional. Selama masa ini, Buddhisme menjadi dibentuk secara tersusun di Jepang oleh Kaisar Shomu pemerintahan 723-749, dan melakukan beberapa proyek
bangunan besar. Kaisar menyusun rencana untuk Dainichi Budha Great Sun Budha, di Todaiji dibantu oleh Pendeta Gyogi atau Gyoki Bosatsu. Pendeta
Gyogi pergi ke kuil Ise Daijingu atas restu untuk membangun Dainichi Budha. Mereka mengidentifikasikan patung Viarocana dalam Budha dengan Amaterasu
dewi matahari dalam Shinto sebagai perwujudan lambang tertinggi semesta. Pada reformasi Taika 646 M, Shinto dijadikan agama negara dengan
memasukkannya dalam satu departemen dalam pemerintahan yang disebut dengan jingikan dan kuil Ise Ise Jingu dijadikan kuil utama untuk menjalankan ritual
dan perayaan Shinto secara nasional. Pada abad 7-8 M, sementara ajaran Budha dan Konfusianisme mendominasi Jepang, Shinto menjadi agama masyarakat.
PDF:shintobagibangsajepang:478 Memasuki zaman Meiji 1868-1912 ketika pemerintahan yang dari tangan
shogun kembali kepada Kaisar, Shinto kembali mendapat perhatian oleh pemerintah. Pada zaman ini didirikan Kokugakuin university yakni tempat para
pendeta Shinto dididik dan agama Shinto dijadikan sebagai agama negara dengan dibentuknya departemen Shinto.
Universitas Sumatera Utara
Setelah Jepang kalah dalam perang dunia dua dan diubahnya undang – undang dasar negara Jepang tahun 1947, Shinto tidak lagi dijadikan sebagai
agama negara. Sejak saat itu setiap warga negara Jepang memiliki kebebasan dalam memillih agama dan menjalankan ritual keagamaan.
- bangunan permanen kuil shinto diperkirakan adalah hasil pengaruh agama Budha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.
2.3.2 Ryoubu Shinto
Dalam Canter 2011:33 menuliskan :
“It should be noted that the syncretism resulted in a form of Buddhism that is totally unique to Japan. The uniqueness of the Japanese
Buddhism came from the adapting Shintō rites. Even though a Japanese
Buddhist can relate to another countries’ Buddhism, the Japanese Buddhism has become “something different from every other form of
the faith in Asia.”
91
The resulting syncretism is called 神 仏 習 合 , S
hinbutsu Shūgō 神仏混淆, Shinbutsu Konkō “mixture of Buddhism and
Shintō” or 両部神道, Ryōbu Shintō 両部習合神道, Ryōbu Shūgō Shintō “two-sided Shintō.”
Menurut kutipan di atas, dikatakan bahwa Ryōbu Shintō merupakan hasil
dari perpaduan paham sinkretisme Buddhisme dengan Shintō. Buddhisme
masuk dan diterima di Jepang tanpa menggantikan keberadaan kepercayaan asli Jepang yaitu
Shintō, melainkan beradaptasi dengan kepercayaan rakyat Jepang. Adanya adaptasi upacara
Shintō ke dalam Buddhisme menjadikan Buddhisme Jepang memiliki keunikan dan sedikit perbedaan dengan Buddhisme di daerah
lain di Asia. Hasil perpaduan agama melembaga seperti Buddhisme dengan Shinto itulah disebut
Ryōbu Shintō atau dapat dipahami seperti Shintō yang memiliki 2 sisi.
Menurut Danandjaja 1997:165, karakteristik orientasi agama orang Jepang tidak sama dengan cara berpikir orang Barat terhadap agama, karena orang
Universitas Sumatera Utara
Jepang tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang eksklusif. Sikap ini mempunyai beberapa arti, yaitu:
- Seorang Jepang yang sama akan menyembah dewa – dewa dari agama yang
berbeda tanpa perasaan yang bertentangan. Misalnya orang Jepang akan bersembahyang di altar agama Budha yang ada di rumahnya pada pagi hari,
dan pada sorenya akan pergi bersembahyang ke tempat pemujaan Shinto;
-
Ada tempat pemujaan yang menyemayamkan patung – patung dewa dari berbagai agama yang berbeda. Contohnya di Jepang ada klenteng Budha di
dalam kompleks pemujaan Shinto dan demikian sebaliknya;
- Konsep religi orang Jepang mengenai seorang dewa dapat mencakup unsur –
unsur yang berasal dari agama – agama berbeda;
- Seorang pendeta dari suatu agama boleh memimpin upacara keagamaan dari
agama lain. Terdapat perbedaan yang tidak jelas diantara agama Budha dan Shinto.
Tetapi bagi penduduk Jepang, kebanyakan perbedaan – perbedan itu tidak penting, sehingga mereka tidak terlalu peduli. Jika mereka mengetahuinya, hal itu adalah
berkat upaya pemerintahan Meiji untuk membedakannya dan berusaha memisahkan dua agama itu dalam usahanya untuk membuat Shintoisme menjadi
agama negara, dengan menjadikan Kaisar sebagai pendeta tertingginya. Namun pemisahan tersebut tidak pernah tuntas di dalam pemikiran rakyat, sehingga unsur
– unsur dari penyatuan Shinto-Buddhis masih tampak hingga kini. Kendati demikian, pemisahan secara organisasi jelas ada diantara kedua agama tersebut
jika dipandang dari sudut struktur serta peraturan kelompok kependetaan ecclesia resmi dan doktrin Danandjaja, 1997:166.
Universitas Sumatera Utara
Pada reformasi Taika 646 M, agama Budha dan Konfusianisme yang diterima melalui China dijalankan secara berdampingan dengan Shinto . Dalam
kehidupan masyarakat Jepang pada zaman Heian 794-1185, Shinto dan Budha tumbuh berdampingan dan ritual keagamaannya dijalankan sekaligus keduanya
oleh rakyat Jepang. Tidak ada pertentangan antara Shinto dan Budha karena dianggap dewa – dewa yang dipuja dalam Shinto terutama dewa matahari juga
penjelmaan dari Budha. Ryobu Shinto tidak berarti penyatuan dari agama melainkan melaksanakan peran masing – masing dalam kehidupan, contohnya
dalam hal pemujaan kepada kami adalah tanggung jawab pendeta Shinto sementara penyelenggaraan ritual kematian adalah tanggung jawab pendeta Budha.
Dapat dikatakan hal ini semacam pembagian tugas. Semasa pemerintahan Ashikaga 1333-1568 agama Shinto terlupakan,
demikian juga ketika zaman Tokugawa 1615-1868. Pada dua zaman tersebut agama Budha lebih mendapat tempat dalam pemerintahan .
Untuk memahami perpaduan Buddhisme dan Shintoisme, perlu diketahui sekte – sekte yang muncul dan berpadu ke dalam Shintoisme. Terdapat 6 sekte
Buddhisme yang dinamai Nantorokushu untuk mencegah Konfusion dengan sekte – sekte yang muncul di Kyoto dan Kamakura. Dua dari sekte tersebut adalah
Tendai dan Shingon, muncul selama periode Heian. Buddha meluas dengan baik oleh sekte Tendai dan Shingon. Sekte Shingon
datang ke Jepang oleh Kōbō Daishi 774-
835 atau dikenal dengan nama Kūkai, seorang Jepang yang belajar Buddhisme di Cina dan tertarik pada doktrin sekte mistik Mikkyo yang disebut
Shingon, yang berarti “perkataan kebenaran”.
Universitas Sumatera Utara
Perpaduan paham antara Buddhisme dan Shintoisme berkaitan erat dengan Kōbō Daishi. Ajaran Shingon Kōbō Daishi meyakini bahwa dewa-dewa Shintō
adalah perwujudan duniawi dari dewa – dewa Buddha. Kepada merekalah Amaterasu merupakan penjelmaan duniawi dari Vairochana atau dalam bahasa
Jepang disebut Biroshana nama dari cahaya Buddha Mahayana. Daishi mengokohkan pemikiran yang telah ada dengan memadukan identitas dari
banyak dewa – dewa Shintō dengan Buddhisme,
Perpaduan teologi ini memiliki hubungan dengan politik, juga telah berperan dalam pertumbuhan Buddhisme dan perlindungan kerajaan untuk waktu
yang lama. Ayat – ayat Buddha dibacakan di istana kekaisaran dan kepada orang – orang di bawah pimpinan pemerintah. Surat keputusan Kekaisaran mengatur
urusan - urusan Buddha dan festival – festival Budda menjadi upacara negara. Ritual – ritual Buddha dilakukan di Kuil – kuil
Shintō. Sampai 1868, Ryōbu Shintō mendominasi semua bentuk – bentuk ritual Shintō.
Setelah masuknya kebudayaan dari Cina, kepercayaan dan praktek – praktek Konfusius, Tao dan Budha berlangsung sepanjang waktu dan bercampur
dengan Shinto. Hubungan ini sangat jelas terutama antara Budha dan Shinto. Dalam hal yang lebih khusus bahwa peranan Shinto kami dalam sistem kosmologi
Budha. Pada satu sisi dalam sejarah, kami dianggap sebagai sang Budha, di sisi lain kami dianggap semangat yang dibutuhkan dalam pencerahan. Sebuah contoh
kekeliruan yang terlihat dalam praktek di dalam kuil Budha dan kuil Shinto yang dikutip dari sebuah hasil penelitian.
“…two of Reader’s invited a two-stop visit to a local Shinto shrine and a local Buddhist temple. At the shrine, the two men did not clap twice
and ring the bell, as is formal Shinto custom in order ‘summon the kami’, but simply bowed their heads in prayer, which is the standard Buddhist
Universitas Sumatera Utara
procedure. Subsequently, when they arrived at the Buddhist temple, the two clapped before praying – Shinto style.” Shaw, 2005:5
Dari kutipan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa ketika berada di kuil Shinto, pendatang tidak menepuk tangan dua kali dan membunyikan bel
sebagaimana kebiasaan formal Shinto dalam tata tertib “memanggil kami”, tetapi menundukkan kepala mereka dengan sungguh – sungguh dalam berdoa yang
mana merupakan prosedur standard Budha. Kemudian ketika berada di kuil Budha, pendatang menepuk tangan sebelum berdoa, yang merupakan gaya Shinto.
Contoh seperti ini adalah satu dari banyak contoh yang dapat menunjukkan bahwa bahkan dalam praktek sehari – hari, batas defenisi antara Shinto dan Budha sangat
tidak jelas.
2.3.3 Shinto Dalam Masyarakat Jepang
Masyarakat Jepang percaya bahwa meyakini keberadaan kami dan melakukan upacara persembahan kepada kami akan mendapatkan perlindungan
dari kami tersebut dan akan terbebas dari bencana dan ketidakberuntungan. Sehingga banyak sekali kami yang disembah berkaitan dengan alam seperti dewa
matahari, dewa pohon, dewa air dan lain sebagainya. Kuil tempat beribadah para penganut Shinto adalah jinja yang tersebar di seluruh negera Jepang. Selain di
jinja, ritual penyembahan dewa dan arwah leluhur dapat dilakukan di rumah. Tiap – tiap keluarga di dalam rumahnya terdapat kamidana yaitu semacam miniatur
jinja Sebagimana Shinto adalah kepercayaan warisan dari nenek moyang
bangsa Jepang dan sampai sekarang ritual – ritual Shinto masih dijalankan oleh
Universitas Sumatera Utara
sebagian besar masyarakat Jepang. Diantara ritual atau upacara Shinto tersebut antara lain:
1. Ritual yang berkaitan dengan kehidupan individu
tsukagirei
Dalam perjalanan kehidupan orang Jepang akan menjalani ritual – ritual keagamaan yang terkait dengan Shinto. Diawali pada saat berumur lima bulam
dalam kandungan ibunya, diadakan upacara yang disebut obi iwai. Ssetelah bayi lahir sebagai anggota baru dalam keluarga maka ketika bayi berumur tujuh hari
diadakan upacara yang disebut dengan oshichiya. Kemudian ketika bayi dibawa ke jinja untuk pertama kali pada umur 32 hari bagi bayi laki – laki dan umur 33
hari bagi bayi perempuan untuk mengikuti upacara yang disebut dengan hatsumiyamairi. Setelah anak berumur 3, 5 atau 7 tahun maka dibawa ke jinja
pada setiap tanggal 15November untuk mengikuti perayaan sichigosan, untuk didoakan agar mendapatkan perlindungan dari dewa. Ketika anak beranjak
dewasa dan berumur 20 tahun maka diadakan upacara seijinshiki yang dilaksanakan serentak di seluruh Jepang. Dan bila sudah mendapatkan jodoh maka
diadakan upacara pernikahan yang disebut kekkon shiki. Kemudian pada usia tua diadakan acara syukuran bagi usia lanjut yang disebut dengan toshi iwai. Toshi
iwai ini dilakukan pada usia – usia tertentu yakni pada usia 61 tahun disebut 還暦 kanrek, kemudian usia 70 tahun disebut 古暦 koreki, kemudian upacara untuk
usia 77 tahun disebut 喜寿 kiju, untuk usia 80 tahun disebut 傘寿 sanju, dan untuk usia 88 tahun disebut 米寿 beiju, kemudian acara untuk usia 90 tahun
disebut 卒寿 sotsuju, dan terakhir adalah acara untuk yang berusia 99 tahun disebut 白寿 hakuju. Setelah itu tidak ada lagi acara bagi orang yang masih
Universitas Sumatera Utara