Kokka Shinto 国家 伸道 Penyembahan arwah leluhur

dalam negeri yang muncul pada zaman Meiji. Isi pandangan Negara keluarga ada dua sisi: a. Semenjak zaman pra modern Meiji, Ie ditafsirkan secara luas sebagai sistem masyarakat, hubungan antara Tenno dan rakyat adalah seperti hubungan Honke dan Bunke, atau Tenno sebagai kepala Ie besar daikachō dan rakyat adalah sebagai anak akashi. b. Pemikiran perluasan pandangan leluhur Ie, di bawah payung mitologi leluhur Tenno, dapat dibuat struktur hirarki leluhur dalam model besar Negara

3.3 Kokka Shinto 国家 伸道

Menurut Suryohadiprojo 1982:11, dalam Shinto manusia adalah satu dengan alam semesta, dan karena itu manusia senantiasa mengusahakan harmoninya dengan alam semesta. Karena adanya kesatuan manusia dengan alam semesta, maka kepercayaan ini juga langsung masuk dalam pemerintahan. Akibatnya tidak ada pemisahan tegas antara istana dengan kuil dan para penguasa adalah sekaligus pemuka Shinto. Kokka Shinto atau Shinto Negara muncul sebagai akibat kekhawatiran para cendekiawan dari periode akhir pemerintahan Shogun Tokugawa, yang mencoba untuk menciptakan ideologi nasional yang berpusatkan kepada Kaisar. Gerakan yang dimulai sejak tahun – tahun terakhir dari periode Tokugawa ini telah mendapat pengesahan resmi dari pemerintahan Meiji, yang menghasilkan penyatuan Shinto Negara ke dalam politik nasional. Shintō Negara atau 国家神道 Kokka Shintō disebut sebagai agama negara oleh Kekaisaran Jepang, meskipun keberadaannya tidak sebagai satu lembaga dan Universitas Sumatera Utara tak ada Shintō yang pernah dinyatakan religi negara. Periode 1868 hingga 1945 dapat dikatakan sebagai periode Shintō Negara karena selama tahun – tahun ini unsur – unsur Shintō berada dibawah pengaruh negara dan pengawasan pemerintah Jepang, yang secara teratur memanfaatkan pemujaan kuil sebagai kekuatan utama untuk mengerahkan kesetiaan kepada Kerajaan atas nama pembangunan negara modern. Istilah Kokka Shintō muncul pertama kali dalam Instruksi Shintō pada 1945. Konsep Kokka Shinto sebenarnya telah ada bahkan sebelum pemerintahan Tokugawa, hanya saja pada saat itu tidak disebutkan sebagai Kokka Shinto. Pada zaman ketika pemerintahan Jepang berada di tangan Toyotomi Hideyoshi sekitar tahun 1587, Hideyoshi mengeluarkan undang – undang Bateren Tsuihorei yang berisikan 5 pasal tentang peraturan yang melarang agama Kristen di Jepang. Undang – undang tersebut berisikan: 1. Jepang adalah negara Shinto, tidak diizinkannya adanya agama kafir 2. Tidak diizinkannya merusak kuil Budha dan Shinto. Penguasa daerah diberi tanah hanya sementara. Hukum harus ditaati. 3. Para misionaris adalah perusak ajaran agama Budha. Mereka harus meninggalkan negara Jepang dalam 20 hari. 4. Kapal dagang Perancis diizinkan datang karena mereka bukan misionaris agama Katolik. 5. Barang siapa yang tidak merusak agama Budha boleh datang ke Jepang. Dalam kelima pasal tersebut, pasal yang pertama menegaskan bahwa Jepang adalah negara Shinto. Hal ini membuktikan bahwa konsep Kokka Shinto telah ada sebelum zaman Meiji. Universitas Sumatera Utara Dalam instruksi Shinto tahun 1945, Shinto Negara ditetapkan sebagai cabang Shinto, yang mana secara tindakan resminya telah dibedakan dari agama Sekte Shinto Shuha Shinto dan telah diklasifikasikan suatu pemujaan non religi yang umum dikenal sebagai Shinto Negara, Shinto Nasional atau Shinto Kuil. Jelaslah bahwa tidak ada istilah yang sepadan dengan Shinto Negara pada waktu instruksi dikeluarkan. Shinto Negara diperbuat dalam usaha pemerintah melalui pelaksanaan ritual Shinto di kuil – kuil, sekolah – sekolah dan di tempat lainnya, dan penyertaan ideologi pembangunan nasional dalam semua alat – alat negara seperti pemerintahan, pendidikan, dan militer yang mana diciptakan untuk mendukung Shinto Negara. Ideologi ini menekankan kesetiaan dan ketaatan pemujaan kepada Kaisar sebagai keturunan Amaterasu dan menegaskan bahwa Shinto bukan suatu agama shukyo tetapi merupakan suatu kewajiban utama dari setiap warga Kaisar. Kebijakan dalam Instruksi Shinto adalah untuk menghapus alat – alat negara dari apa yang disebut Shinto Negara supaya memperkenalkan kebebasan beragama dan pemisahan agama dan negara, mengikuti model Amerika. Pemimpin – pemimpin Shinto memberikan kesempatan untuk menetapkan rencana untuk administrasi kuil – kuil Shinto setelah pemerintah menarik diri dalam pengawasannya terhadap Shintō. Hasilnya adalah pendirian Jinja Honcho untuk mengelola Jinja Shinto. Gagasan Shintō Negara dipopulerkan pada tahun 1970 oleh seorang cendekiawan religi bernama Shigeyoshi Murakami yang tujuannya untuk menggolongkan gagasan tersebut, ritual – ritual dan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah mengangkat sifat kedewaan Kaisar dan keunikan Jepang. Buku Universitas Sumatera Utara Murakami merupakan salah satu buku yang paling terkenal tentang agama pada masa Jepang setelah perang. Pada akhir periode Edo, banyak para cendekiawan kokugaku yang meyakini bahwa Shintō dapat menjadi alat pemersatu untuk mengelilingi Kaisar sementara proses modernisasi dijalankan. Setelah Restorasi Meiji, pemerintahan kekaisaran yang baru perlu dengan cepat memodernisasikan politik dan ekonomi Jepang, dan oligarki Meiji merasa bahwa tujuan ini hanya dapat diselesaikan melalui rasa persatuan yang kuat dan identitas budaya. Pada tahun 1868, pemerintahan baru Meiji mendirikan suatu biro pemerintah, yaitu Biro pemujaan Shintō atau 神祇事務局 Jingi Jimukyoku untuk mengawasi urusan agama dan melaksanakan putusan pemerintah untuk memisahkan Buddhisme dari Shintō. Pada tahun 1871, semua kuil Shintō di seluruh Jepang dinyatakan menjadi milik pemerintah pusat. Hal ini mengangkat kedudukan pejabat dalam suatu hirarki dan masing – masing menerima tunjangan untuk pemeliharaan mereka. Hirarki dari kuil – kuil terdiri dari 12 tingkatan, dengan Kuil Ise diperuntukkan bagi Amaterasu dan simbol dari hak kekuasaan keluarga Kekaisaransebagai yang teratas. Selanjutnya, semua penduduk wajib mendaftar sebagai anggota jemaah dari kuil setempat mereka, dan setiap anggota secara otomatis juga anggota dari Kuil Ise. Hal ini kebalikan dari periode Edo, yang mana keluarga – keluarga diwajibkan untuk mendaftar pada klenteng – klenteng Buddha daripada kuil – kuil Shintō. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1872, sebuah Kantor Pemujaan Shintō atau 神祇官 Jingikan didirikan untuk mengembangkan dan memajukan pemerintahan baru yang berpusat pada upacara - upacara pemujaan, dan semua pendeta Shintō secara resmi menjadi pegawai pemerintah. Jadi, dari sudut pandang hukum, Shintō Negara adalah bukan suatu agama dan nilainya termasuk dalam ajaran moral daripada pengajaran agama. Sistem ini dipusatkan pada kuil – kuil yang lebih penting; kegiatan - kegiatan Shintō Rakyat kebanyakan ditinggalkan, dan berbagai gerakan Shintō pinggira sejak periode Edo diizinkan untuk melanjutkan kegiatannya di bawah Sekte Shintō. Pada tahun 1890 Keputusan Kerajaan tentang pendidikan dikeluarkan, dan para siswa diwajibkan secara ritual mendeklamasikan sumpahnya untuk “mempersembahkan dirinya dengan berani kepada negara” seperti melindunig keluarga Kerajaan. Pemujaan terhadap kekaisaran lebih lanjut disebarkan dengan pembagian gambar kekaisaran demi pemujaan esoterik. Segala kebiasaan ini digunakan untuk membangun solidaritas nasional melalui ketaatan patriotik yang dipusatkan pada kuil. Dalam pasal 28 Konstitusi Kekaisaran Jepang menegaskan kedudukan istimewa Shintō, tetapi juga menjamin kebebasan beragama “dalam batasan yang tidak merugikan demi perdamaian dan ketenteraman dan tidak bertentangan dengan kewajiban mereka sebagai warganegara. Dalam prakteknya, hal ini berarti bahwa kelompok – kelompok agama memerlukan izin pemerintah, doktrin – doktrin dan upacara keagamaan mereka diawasi pemerintah. Selama Perang Dunia II, pemerintah menggunakan Shintō Negara untuk mendorong patriotisme dan untuk mendukung upaya ke arah militerisme. Tokoh – Universitas Sumatera Utara tokoh dalam pemerintahan, termasuk Kuniaki Koiso, Heisuke Yanagawa, Kiichirō Hiranuma dan Pangeran Kan’in Kotohito, ikut serta dalam mempraktekkan ritual – ritual umum meniru upacara – upacara. Setalah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Panglima Tertinggi Negara Sekutu SCAP: Supreme Commander Allians Powers mengeluarkan Instruksi Shintō dan memerintahkan pemisahan pemerintahan dari urusan agama selama pendudukan Jepang, dan pemisahan gereja dan negara dimasukkan dalam Konstitusi Jepang 1947. Hal ini mengakhiri dukungan negara terhadap agama apa saja di Jepang. Pada tanggal 1 January 1946, Kaisar Shōwa mengeluarkan pernyataan Ningen Sengen, yang mana Ia mengutip Sumpah Lima Pasal dari Kaisar Meiji dan mengumumkan dirinya bukanlah akitsumikami penjelmaan dewa dan tidak memiliki sifat – sifat kedewaan. Dengan demikian berakhirlah Shintō Negara.

3.4. Kebijakan – Kebijakan dalam Pemanfaatan