Latar Belakang Masalah Para Dosen Penguji Ujian Skripsi maupun para Dosen Penguji Seminar

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Jepang terdapat beberapa agama, seperti Shinto sebagai kepercayaan asli Jepang, Buddha dan Konfusianisme yang masuk dari Cina dan Korea, Katolik, Protestan dan Islam yang masuk kemudian pada masa prasejarah akhir dan pada masa sejarah. Shinto adalah yang tertua dan dianggap sebagai agama pribumi orang Jepang. Shinto dibangun oleh orang Jepang sendiri dan sudah menjadi dasar kehidupan orang Jepang sejak jaman dahulu. Dalam Genchi Kato 1971:88 disebutkan bahwa Shinto merupakan kepercayaan asli dari negri Jepang dan merupakan asal mula mental orang – orang Jepang, sehingga agama ini tidak memiliki pendiri individu, seperti yang dimiliki oleh Budha, Kristen atau pun Islam. Shinto lahir di Jepang oleh orang Jepang sendiri dan menjadi agama tertua Jepang, namun tidak diketahui kapan mulai muncul. Menurut Harumi Befu dalam Danandjaja 1997:164 walaupun mempunyai satu nama, agama ini Shinto sebenarnya merupakan gabungan dari kepercayaan “primitif” yang sukar untuk digolongkan menjadi satu agama, bahkan sebagai satu sistem kepercayaan. Oleh karenanya agama ini lebih tepat dianggap sebagai suatu gabungan dari kepercayaan “primitif” dan praktek – praktek yang berkaitan dengan jiwa – jiwa, roh – roh, dan sebagainya; sehingga Shinto dapat dikatakan sebagai Animisme. Menurut E.B Tylor dalam Dhavamony 1995:66 animisme dapat dipahami sebagai suatu sistem kepercayaaan dimana manusia religius, khususnya orang – orang primitif, membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua makhluk hidup dan benda mati. Itu jugalah Universitas Sumatera Utara sebabnya maka Shinto tidak memiliki pendiri individu seperti agama – agama lain. Memasuki periode Yamato, agama Budha kemudian mulai disebarkan. “The historical situation in the sixth and seventh centuries brought about a series of social, cultural, political, and religious changes in Japan under the influence of Chinese thought and institutions, and of Buddhism”.Kitagawa, 1966:22 Terjemahan: Situasi sejarah pada abad keenam dan ketujuh membawa serangkaian perubahan sosial, budaya, politik, dan agama di Jepang di bawah pengaruh lembaga dan pemikiran Cina serta Budha. Restorasi Meiji pada tahun 1868 membawa perubahan mendadak dalam iklim religius Jepang. Tujuannya adalah untuk memberikan landasan sakral dan alasan agama untuk Jepang baru dan etos nasional, dan untuk mendukung sistem administrasi pusat. Reorganisasi dilakukan pada Shinto agar benar – benar terpisah dari agama Budha, dan dibawa dalam susunan administrasi negara. Amaterasu, yang sampai saat itu belum menjadi keilahian besar, digunakan untuk mensyahkan peran kaisar, tidak hanya sebagai penguasa, tetapi sebagai imam besar dari Shinto. http:www.bbc.co.ukreligionreligionsshintohistory history1.shtml section4 Masa Restorasi Meiji yang dimulai pada tahun 1868 ketika kekuasaan samurai di Jepang digulingkan dan dikembalikannya Kekaisaran, terjadi sekitar akhir abad 19 hingga awal abad 20. Selama periode ini, untuk beberapa alasan politik, ekonomi, dan sosial, bagian – bagian tertentu dari masyarakat Jepang dianggap ‘asing’ atau ‘berbahaya’ bagi masyarakat luas. Dengan demikian, Budha, Universitas Sumatera Utara Kristen dan agama – agama lain dan kelompok – kelompok budaya dipinggirkan dan bahkan dihambat dalam upaya untuk membersihkan Jepang dari pengaruh mereka. Pada masa Meiji muncul istilah Kokka Shinto, yaitu suatu konsep agama negara yang bertujuan untuk mewujudkan penggabungan dari Shinto Kekaisaran dan Shinto Kuil Shinto Jinja. Kokka Shinto juga didefenisikan sebagai agama yang memberikan dasar bagi ideologi negara Jepang sejak restorasi Meiji 1868 hingga kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945. Dalam arti sempit, kokka Shinto mengacu ke kuil Shinto yang diawasi oleh negara sampai 1945. Dalam arti yang lebih luas, telah dikonseptualisasikan sebagai agama negara dalam mewujudkan penggabungan dari Shinto istana kekaisaran dan kuil Shinto. Sehingga Shinto dikatakan juga agama yang memberikan dasar bagi ideologi negara Jepang dari restorasi Meiji 1868 sampai kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II pada tahun 1945. Secara historis, istilah Kokka Shinto didapat dari Instruksi Shinto Shinto Shirei pada 15 Desember 1945. Kokka Shinto dirumuskan sebagai cabang Shinto yang dibedakan dari sekte Shinto dalam hukum negara. Konseptualisasi ini atau definisi Kokka Shinto sesuai dengan pemahaman pada masa pra-perang Jepang. Para fatwa dan pengaturan administrasi yang mendorong penciptaan Kokka Shinto adalah : 1 Pemisahan pada tahun 1882 dari peran penginjil negara dan imam kuil 2 Penciptaan Biro Kuil Jinja Kyoku pada tahun 1900 yang terpisah dari administrasi kuil maupun lembaga keagamaan lainnya. Sebagai konsekuensi dari dua inisiatif administrasi ini, Shinto Kuil dipahami sebagai Shinto Negara Kokka Shinto atau Shinto nasional, dan Universitas Sumatera Utara pengawasan dan administrasi kuil dan upacara suci menjadi dimensi penting dari urusan nasional. Tindakan administratif melibatkan antara lain pendanaan kuil nasional dan kuil istana Kankoku Heisha dari kas negara, penyajian persembahan Shinsen ke kota, prefektur dan kuil lainnya, serta sistematisasi ritus dan imam di kuil Shinto. Shinto sebagai sebuah kepercayaan yang setua negara Jepang itu sendiri dan yang keberadaannya sepanjang keberlangsungan negara, tentu mempengaruhi kebudayaan dalam kehidupan orang Jepang. Kebudayaan menurut ahli antropologi dalam Koentjaraningrat 2002:180 adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal – hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan Keesing 1999:68 membatasai istilah budaya sebagai suatu sistem pemikiran. Budaya dalam pemikiran ini mencakup sistem gagasan yang dimiliki bersama, sistem konsep, aturan serta makna yang mendasari dan diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia. Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan memiliki 3 wujud, yaitu: - Wujud pertama adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan dan sebagainya, disebut kebudayaan ideal. - Wujud kedua wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, disebut sistem sosial. Universitas Sumatera Utara - Wujud yang ketiga wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik. Dalam Koentjaraningrat 2002:108, kebudayaan ideal baik pikiran – pikiran dan ide – ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda – benda kebudayaan fisik, sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola – pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Cara berpikir tentunya tidak dapat dilepaskan dari ajaran – ajaran yang kemudian dijadikan falsafah hidup oleh suatu bangsa. Demikian pula halnya dengan alam pikiran bangsa Jepang yang dipengaruhi oleh ajaran Shintoisme sebagai ajaran asli. Dalam kepercayaan Shinto, meyakini adanya penyembahan terhadap berbagai objek di alam. Penyembahan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan cara mengikut sertakan objek – objek alam dalam sebuah acara ritual keagamaan maupun sebuah pemahaman yang diterapkan dalam kehidupan bangsa Jepang. Bukti bahwa Shinto melakukan penyembahan terhadap alam dapat dilihat dari adanya sebutan dewa bagi bermacam – macam hewan dan objek alam sekitar yang diyakini memiliki tugas – tugas tertentu. Sehingga dari sini dapat kita lihat bagaimana Jepang sangat menghargai alamnya. Hal ini juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat Jepang dalam kehidupannya. Diantara tujuh unsur kebudayaan, kepercayaan rakyat atau unsur religi adalah unsur yang paling sulit mengalami perubahan dan menjadi hal yang paling melekat dalam kebudayaan suatu bangsa. Shinto sebagai kepercayaan masyarakat Jepang telah menjadi dasar mentalitas orang Jepang, yakni kebiasaan atau Universitas Sumatera Utara karakteristik dari sikap mental yang menentukan bagaimana mengartikan ataupun merespon situasi, serta menjadi dasar kebudayaan Jepang. Dalam Burke 2001, sejarah mentalitas pada dasarnya adalah pendekatan aliran Durkheim Durkheimian terhadap ide – ide atau yang kadang – kadang menyebutnya dengan modus pemikiran modes of thought, sistem keyakinan believe systems, atau peta kognitif. Pandangan hidup merupakan bagian hidup manusia. Tidak ada seorang pun yang hidup tanpa pandangan hidup meskipun tingkatannya berbeda – beda. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang Konsep Shinto Negara pada Periode Meiji Kokka Shinto.

1.2 Rumusan Masalah