Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sosial budaya , politik, ekonomi, teknologi serta pertumbuhan penduduk yang cukup cepat, langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tatanan sistem nilai dan budaya suatu bangsa. Arus perkembangan dan pertumbuhan tersebut seolah-olah berjalan dengan mulus dan menjadi kebanggaan suatu Negara. Kenyataan sebenarnya telah terjadi kesenjangan yang sangat mencolok. Di satu pihak telah terwujud bangunan-bangunan mewah yang dapat dibanggakan dan menjadi pusat perhatian. Tetapi di pihak lain, tidak jauh dari area tersebut tumbuh perkampungan kumuh yang sangat menyedihkan dan perlu mendapat perhatian khusus. Dalam perkampungan kumuh di Indonesia hampir 23 jumlah penduduknya adalah anak-anak, mereka pada umumnya tergolong anak-anak yang rentan permasalahan sosial dan perlu mendapat perlindungan khusus untuk menyelamatkannya Prijono Tjiptoherijanto, 2003;15. Anak jalanan adalah istilah yang sudah sangat akrab bagi kita. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan, keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan, hingga kini merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah kumuh atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat Universitas Sumatera Utara 2 terhadapnya sangat rendah. Ironisnya lagi, masyarakat bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia lazimnya. Sebab dalam anggapan mereka, anak jalanan adalah sampah yang tidak lagi mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan sebagai generasi penerus pembangunan dan tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat Frans van Dijk, 1993;11. Statusnya sebagai anak jalanan, menyebabkan anak-anak itu harus rela dengan berbagai hinaan, cacian, makian, kekejaman, kekerasan dan image-image buruk masyarakat. Itu artinya ketika permasalahan sosial menimpa keluarga dan dirinya, dengan sendirinya ia mengalami penghilangan hak sebagai manusia dan hak sebagai anak oleh masyarakat. Anak jalanan merupakan anak-anak marginal yang terpaksa atau dipaksa mencari nafkah bagi diri, keluarga atau orang lain dengan berjualan koran, menyemir sepatu, pemulung, tukang sapu atau lap mobil, pedagang asongan, pengemis dan berbagai pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lainnya. Perampasan terhadap hak-hak anak ini tanpa disadari telah terjadi secara besar-besaran, dimana anak-anak yang tengah menikmati pendidikan di sekolah-sekolah formal pun; mulai terancam dan bahkan tidak sedikit yang droup out . Kesempatan untuk bermain dan tumbuh kembang sudah mulai hilang. Kondisi seperti itu, merupakan akibat dari ketidakberdayaan orang tua untuk melindungi anaknya, sehingga anak-anak dijadikan tumpuan untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga Frans van Dijk, 1999;12. Sejak krisis ekonomi tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia diperkirakan meningkat 85 persen menurut data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik BPS pada tahun 2002, dan anak jalanan tercatat ada 9.674 anak. Masalah anak di Indonesia seperti kekerasan pada anak, anak jalanan, anak terlantar dan sebagainya masih cukup tinggi. Menurut hasil ekspos Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 ada 86.000 Universitas Sumatera Utara 3 anak usia 7-15 tahun putus sekolah, hasil ekspos Kepala BKKBN kota Medan terdapat 3.600 anak usia 7-15 tahun. Menurut ekspos Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara terdapat 60.000 anak jalanan, 4.200 anak terlantar dan 2.600 anak tertinggal. Menurut Sartono Mukaddis data-data di atas hanyalah fenomena secara fisik child abuse. Ada eksploitasi lain yang tidak kalah bahayanya, yaitu eksploitasi dan pengabaian secara psikologi. Eksploitasi dan pengabaian ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Bentuknya bisa pemakaian labeling atau pencitraan buruk, memarahi anak dengan kata-kata yang tidak pantas, bisa pula memperlakukan anak sebagai unwanted child anak yang tidak diinginkan kelahirannya dengan menitipkannya di panti asuhan. Dan menurut perkiraan dalam setiap 1-2 menit terjadi kekerasan pada anak di Indonesia. Jelas anak-anak yang berada dalam lingkungan seperti ini sangat rawan tindak kekerasan, pengabaian, dan eksploitasi. Bila hal ini terus dibiarkan, maka akibatnya akan sangat fatal, yaitu hilangnya generasi beradab di Indonesia. Masa depan bangsa kita dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun Mukkadis, 2007, http:www.republika co id.htm Anak-anak adalah masa depan. Dengan demikian, upaya mewujudkan masyarakat yang madani dan beradab haruslah mempertimbangkan keberadaan anak dengan segala persoalan yang melingkupinya. Sebab jika tidak, akan sukarlah diproyeksikan masyarakat macam apa yang akan lahir kelak. Masyarakat yang sakit, yang mentolerir kekerasan . Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia yang berkualitas, kelangsungan hidup dan pengembangan fisik, mental serta perlindungan dari berbagai marabahaya yang dapat mengancam integritas dan masa depan mereka, perlu adanya upaya pembinaan yang berkesinambungan dan terpadu. Universitas Sumatera Utara 4 terhadap anak-anaknya sendiri, sang generasi pewaris, besar kemungkinan akan melahirkan masyarakat bar-bar Frans van Dijk,1999;19. Faktor utama yang menyebabkan munculnya anak jalanan adalah kemiskinan. Keadaan masyarakat yang miskin akan sangat menunjang banyaknya anak yang lebih memilih untuk hidup di jalan Fanggidae, 1993:117. Begitu juga halnya dengan masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan berusaha untuk memperbaiki hidupnya dengan cara pindah ke kota, dengan harapan sesampainya di kota mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Akan tetapi, karena mereka ke kota dengan tidak berbekal pendidikan dan hanya berbekal semangat maka pekerjaaan yang dapat mereka lakukan seperti menjadi buruh kasar, pemulung, penjual koran, pengemis dan sebagainya. Selain faktor ekonomi keluarga seperti yang dijelaskan di atas, anak-anak tersebut turun kejalan juga bisa disebabkan oleh tidak betah di rumah, karena broken home, pertengkaran dalam keluarga, kekerasan fisik yang dialami anak, terpengaruh oleh teman atau lingkungannya, dan ingin merasakan hidup yang bebas tanpa ada aturan atau perintah. Penyalahgunaan hak dan proses perkembangan anak pun sering terjadi terhadap mereka. Penyalahgunaan hak oleh orang tua di lingkungan keluarga akan sangat merugikan bagi kehidupan masyarakat. Banyak sekali didapati anak yang berusia di bawah 18 tahun yang semestinya berada di lingkungan keluarganya terlihat di pojok-pojok gang, di pinggiran jalan ataupun tempat-tempat umum lainnya, bergelut dengan nasibnya sendiri, dengan menyemir sepatu, menjajakan Koran atau rokok, menyapu mobil, menjajakan minuman ringan dan sebagainya. Dengan pekerjaan tersebut, tentu saja akan menimbulkan permasalahan pada hubungan antara anak-anak dengan keluarga lainnya. Selain itu perlindungan keluarga Universitas Sumatera Utara 5 terhadap anak akan semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap orang tua yang mengharuskan anak-anaknya bekerja di jalanan yang kita ketahui akan sering berhubungan dengan tindak kekerasan. Anak-anak tersebut akan memperoleh pengaruh atau perlakuan yang buruk, seperti diperas, dicabuli ataupun tindak kekerasan lainnya, Robinson dkk,2003; 62. Hal ini merupakan suatu keadaan yang tidak selayaknya terjadi di Indonesia, karena Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak oleh PBB melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Apabila ada Negara yang melanggar konvensi ini maka Negara tersebut akan mendapat sanksi moral. Konvensi Hak Anak tersebut menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak yaitu: hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk memperoleh perlindungan, hak untuk berpartisipasi Konvensi Hak Anak, 1999. Dengan adanya penjelasan tentang hak-hak anak oleh konvensi hak anak, maka masalah yang bertentangan dengan pelanggaran hak anak sudah seharusnya dihapuskan. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi anak jalanan ini membutuhkan berbagai strategi pendekatan yang sesuai dan efektif untuk menjangkau akar permasalahannya. Pendekatan yang selama ini dipakai oleh LSM-LSM untuk menjangkau kelompok sasaran antara lain: Community-based, Street based, Centre based, Family based dan kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut. Masing-masing pendekatan mewakili sifat penanganan seperti Community based yang lebih bersifat preventif, Street based bersifat kuratif, Centre based bersifat rehabilitatif dan Family based dapat bersifat ketiga-tiganya, Robinson dkk,2003;62. Universitas Sumatera Utara 6 Lemahnya posisi anak dan tingginya resiko eksploitasi terhadap mereka mendorong dilaksanakannya program pemberdayaan empowerment yaitu mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya. Upaya pemberdayaan ini menjadi agenda LSM-LSM untuk program-program penanganan anak jalanan dan pekerja anak dewasa ini. Proses pemberdayaan mengutamakan partisipasi aktif orang untuk meraih keberdayaannya sendiri. Agar proses ini terlaksana ada tiga kondisi yang harus dipenuhi yaitu: pertemanan, kesetaraan dan partisipasi. Prinsip kesetaraan sangat penting karena dengan sendirinya dapat membebaskan buruh anak dari dominasi orang dewasa. Perwujudan prinsip kesetaraan melalui pertemanan ini terbukti efektif untuk menarik anak-anak agar terlibat dalam kegiatan ini. Tata Sudrajat menjabarkan wujud kegiatan pemberdayaan yang banyak dilakukan LSM yaitu: bimbingan sosial, pendidikan jalanan, ekonomi jalanan, bimbingan keluarga, kesenian dan advokasi. Kesemuanya ini bertujuan untuk membentuk rasa percaya diri anak. Berkaitan dengan program penanganan anak jalanan dan pekerja anak, Indrasari Tjandraningsih 1998 mengatakan kegiatan pendampingan dengan metode pendekatan Top Down , seperti program-program pemerintah, seringkali tidak menampakkan hasil nyata. Beberapa kegiatan yang semula dianggap dapat bermanfaat bagi buruh anak ternyata justru mereka tolak karena mereka dipandang kurang relevan dengan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya keterampilan kerja menjahit, bertenun, pertukangan dan lain- lain. Anak-anak yang sudah jenuh dengan kehidupan kerja menganggap kegiatan ini tidak menarik, karena itu program-program yang berisi pendidikan formal maupun keterampilan kurang diminati oleh mereka. Di sini kemudian diketahui kegiatan yang mereka minati yaitu kegiatan yang menyediakan kebutuhan untuk mengekspresikan diri dan kebutuhan Universitas Sumatera Utara 7 untuk didengar, sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Program-program seperti kesenian, rekreasi, bercerita dan lain-lain lebih banyak mengundang minat mereka untuk berpartisipasi di dalamnya. Jenis kegiatan kesenian dan berunsur ekspresi kemudian diterapkan oleh banyak LSM karena telah dapat diidentifikasikan manfaatnya untuk mengukur tingkat keberdayaan kelompok sasaran, terutama dari daya kritis yang terus berkembang. Dalam hal aktivitasnya di jalanan, anak memerlukan keterampilan khusus guna menyambung roda kehidupan. Untuk itulah diperlukan relawan-relawan atau pekerja- pekerja sosial untuk membimbing dan mendidik anak jalanan, agar anak jalanan dapat mengaktualisasikan diri dalam lingkungan masyarakat luas. Keterampilan yang umumnya digemari oleh anak jalanan seperti bermain musik guitar, drum, dll, olah raga sepak bola, dll bagi anak laki-laki dan bagi anak perempuan keterampilan yang cocok seperti kursus menjahit, bercocok tanam bunga, tenun, dan salon kecantikan. Berkaitan dengan usia minimal anak bekerja, ada tiga metode pendekatan yang dianggap sebagai solusi menangani masalah anak jalanan, yaitu: pertama, open house system yaitu rumah singgah yang sifatnya sementara. Di sini anak-anak dibina, dikenalkan dengan moral yang baik, menjadi anak yang sehat, beriman, disiplin, bersih. Kedua, Rumah singgah , anak yang ingin sekolah dicarikan sekolah dan dirumah ini ia tinggal hanya singgah, lalu kembali ke orang tuanya. Fungsinya untuk kembali kemasyarakat. Sedangkan yang ketiga, Boarding house system adalah rumah tunggu sementara, misalnya panti sosial remaja, selama 6 bulan dia diberi makan, diberi tempat tinggal, diberikan latihan sampai ia mendapat pekerjaan. Universitas Sumatera Utara 8 Rumah singgah sebagai salah satu metode pendekatan terhadap anak jalanan menjalankan berbagai macam program pelayanan untuk anak jalanan. Setiap program yang dilaksanakan haruslah mendatangkan manfaat dan kebutuhan anak jalanan itu sendiri. Rumah singgah yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini adalah Rumah singgah AGAPE, yang merupakan salah satu dari beberapa lembaga sosial yang ada di kota Medan. Yayasan AGAPE sebagai lembaga sosial non pemerintahan yang bergerak melakukan pembinaan terhadap anak jalanan serta memonitoring perkembangan dan hambatan- hambatan yang dialami mereka. Selanjutnya yayasan AGAPE juga memberikan pelayanan sosial melalui open house Rumah singgah. Dan masih ada kegiatan yang lain yaitu menangani dan membina anak miskin kota, anak-anak putus sekolah dengan menyediakan pendidikan luar sekolah melalui pusat kegiatan belajar masyarakatPKBM setara SD, setara SLTP dan setara SMU, menyelenggarakan kegiatan pelatihan ketrampilan, pembinaan ekonomi produktif dan taman bacaan seputar di kota Medan khususnya di kecamatan Medan Amplas. Dengan melihat program pelayanan yang diberikan kepada anak jalanan menunjukkan bahwa rumah singgah AGAPE cukup layak dijadikan tempat untuk melihat keefektifan pelayanan suatu rumah singgah. Adapun anak-anak yang menjadi tanggungan rumah singgah ini berada di seputaran Terminal Terpadu Amplas dan sekitar jalan Panglima Denai Medan, Sumatera Utara. Keberhasilan suatu rumah singgah dapat dilihat dari keberhasilan program-program yang dilaksanakan. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui pelayanan suatu rumah singgah dalam melaksanakan programnya terhadap keterampilan individu anak jalanan. Maka untuk mengetahui sejauh mana pelayanan yayasan AGAPE dalam menangani anak jalanan ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Universitas Sumatera Utara 9 “Pelayanan Sosial Rumah Singgah AGAPE Medan dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan”. B.Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan langkah penting untuk membatasi masalah yang akan diteliti. Masalah adalah bagian pokok dari kegiatan penelitian Arikunto, 1992;47. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas yang menyangkut kehidupan anak jalanan, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pelayanan yang diberikan oleh Rumah singgah AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan di kawasan kecamatan Medan Amplas”. C.Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sejauh mana pelayanan rumah singgah AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan.

2. Untuk mengetahui manfaat pelayanan rumah singgah AGAPE Medan terhadap

keterampilan anak jalanan. C.2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Secara akademis, dapat menjadi bahan bagi pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial secara nyata dalam mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan sosial, baik Universitas Sumatera Utara 10 dalam lembaga-lembaga tertentu maupun dalam masyarakat luas, khususnya mengenai pentingnya pelayanan sosial bagi anak jalanan sehingga dapat menjalankan fungsi sosialnya secara nyata di masyarakat. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Yayasan AGAPE secara khusus dan bagi instansi terkait, pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum dalam hal menangani permasalahan yang dihadapi dalam proses penigkatan keterampilan anak jalanan. 3. Secara teoritis, melatih diri dan mengembangkan pemahaman kemampuan berfikir penulis melalui penulisan karya ilmiah mengenai pelayanan sosial bagi anak jalanan di Yayasan AGAPE Medan dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama belajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial USU.

D. Sistematika Penulisan