Anak Jalanan, Penyebab dan Permasalahannya

15 A.3. Kedudukan anak dalam aspek sosiologis Kedudukan anak dalam aspek sosiologis menunjukkan anak sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Menurut kodratnya anak manusia adalah mahkluk sosial, dapat dibuktikan dimana ketidakberdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak-kanak yang menuntut adanya perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna. Menurut Kartini Kartono 1998:125, anak manusia tidak mungkin hidup tanpa masyarakat, tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan cultural sekelompok manusia, tak dapat dibayangkan adanya anak tanpa sesuatu lingkungan tertentu, karena anak sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan orang lain. Kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Asosiasi dengan pendapat ini dikemukakan bahwa anak manusia itu bisa memasuki dunia manusia jika dibawa atau dimasukkan kedalam lingkungan manusia lain. Itulah sebabnya diperlukan pendidikan.

B. Anak Jalanan, Penyebab dan Permasalahannya

B.1. Anak Jalanan dan Pengelompokannya B.1.1. Anak Jalanan Bicara anak jalanan sudah merupakan kata yang biasa bagi kita. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan, Universitas Sumatera Utara 16 keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan, hingga kini merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah kumuh atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat terhadapnya sangat rendah. Ironisnya lagi, masyarakat bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia lazimnya. Sebab dalam anggapan mereka, anak jalanan adalah sampah yang tidak lagi mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan sebagai generasi penerus pembangunan dan tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat Frans van Dijk, 1993;11. Jadi, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan, masih berusia 5-18 tahun dan melakukan kegiatan di jalanan, pasar, terminal dan tempat-tempat umum lainnya. B.1.2. Pengelompokan Anak Jalanan Menurut yayasan kesejahteraan anak Indonesia 1999:22-24 anak jalanan dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: 1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya children of the street. Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali kerumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. Universitas Sumatera Utara 17 2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan children on the street. Mereka sering kali diidentikkan sebagai pekerja migrant kota, yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek, penyapu mobil dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. 3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, mereka berada di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka kejalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran. 4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa orang tua ataupun saudaranya kekota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus menyemir sepatu, membawa barang belanjaan kuli panggul, pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung. Berdasarkan kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibagi kedalam tiga kelompok Surbakti dalam Suyanto, 2001;41 yaitu : Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Anak jalanan pada kelompok ini membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan. Universitas Sumatera Utara 18 Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa anak masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Biasanya anak turun kejalanan disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh keluarga. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang pada kategori ini sangat rawan terhadap perilaku menyimpang, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, children from families on the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan segala resikonya. B.2. Penyebab Munculnya Anak Jalanan Faktor utama yang menyebabkan munculnya anak jalanan adalah kemiskinan. Keadaan ekonomi keluarga miskin akan menghasilkan daya beli keluarga yang lemah, kebutuhan pokoknya saja tidak dapat terpenuhi dengan baik. Kondisi seperti ini akan sangat rawan, terlebih jika keluarga tidak mampu mendiami rumah yang layak, bahkan hanya menempati gubuk darurat yang umumnya tersebar dalam kawasan daerah kumuh, maka hal ini sangat menunjang banyaknya anak yang lebih memilih untuk hidup di jalan Fanggidae, 1993:117. Kemiskinan keluarga telah mendorong orang tua untuk memaksa anak bekerja. Kurangnya keterampilan dan pendidikan merupakan alasan mengapa mereka kemudian terjun ke sektor informal yang seringkali menuntut mereka untuk bekerja tanpa batas waktu, sehingga keberadaan anak-anak di jalanan dalam jangka waktu yang lama menjadi Universitas Sumatera Utara 19 tidak terelakkan. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya masalah-masalah sosial yang akut diantaranya banyaknya anak yang putus sekolah atau sama sekali tidak sekolah. Pergaulan lingkungan jalanan juga membawa perubahan perilaku kearah pelecehan, pelanggaran norma dan hukum. Kemudian mulai terbentuknya komunitas sebaya Peer Group sebagai keluarga kedua yang seringkali dimanfaatkan oleh anak-anak itu sendiri atau oleh orang lain untuk tujuan kriminal atau asusila. Kemiskinan yang membuat masyarakat semakin terpuruk, juga disebabkan oleh pembangunan yang dilaksanakan tidak merata, yang semestinya ditujukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya yaitu masih banyaknya masyarakat yang tidak tersentuh dengan pembangunan dan sebagian masyarakat hanya menjadi “tumbal” dari pembangunan itu sendiri. Ini membuat masyarakat semakin tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini diperkirakan bertambah sangat besar dalam kurun waktu yang relatif singkat. Data terakhir BPS memperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada pertengahan tahun 1998 mencapai 79,4 juta jiwa yakni sekitar 39,1 dari jumlah penduduk miskin secara absolut di Indonesia meningkat sebanyak 56,9 juta jiwa sejak tahun 1996. Pada tahun 1996, jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan sebesar 22,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut 7,2 juta orang merupakan penduduk miskin di daerah perkotaan dan 15,3 juta jiwa tersebar di wilayah pedesaan. Pada tahun 1998 diperkirakan jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebanyak 22,6 juta jiwa dan di daerah pedesaan 56,8 juta jiwa Tambunan, 1999;78. Selain faktor ekonomi keluarga seperti yang dijelaskan di atas, anak-anak tersebut turun kejalan juga bisa disebabkan oleh tidak betah di rumah, karena broken home, Universitas Sumatera Utara 20 pertengkaran dalam keluarga, dan kekerasan fisik yang dialami anak. Anak jalanan murni yang sudah lepas dari keluarga, itu biasanya berawal dari kebiasaan “nongkrong” di jalanan. Akhirnya keterusan, lebih senang tidur di jalanan sehingga lama kelamaan lepas dari orang tuanya. Mereka masih anak-anak, masih butuh perlindungan. Mereka seharusnya menikmati masa kanak-kanak dengan bermain, belajar dan mengembangkan diri seperti yang dilakukan oleh teman-teman seusianya yang lebih beruntung Hariady, 2002:33. Faktor yang mendorong anak turun ke jalan juga dikemukakan oleh Surjana, dimana faktor tersebut terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut: a. Tingkatan mikro immediate causes, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasikan dari anak adalah lari dari rumah atau keluarga, disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh untuk putus sekolah. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis seperti ditolak orang tua, salah didikan dari orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah child abuse, kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari orang tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga ini, saling terkait satu sama lain. b. Tingkat Meso underlying causes, yaitu faktor agar berhubungan dengan struktur masyarakat. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah asset untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain. Pergi ke kota untuk bekerja adalah kebiasaan masyarakat dewasa dan anak-anak. Universitas Sumatera Utara 21 c. Tingkat makro basic causes, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat. Sebab yang dapat diidentifikasi secara ekonomi adalah membutuhkan modal dan keahlian besar. Untuk memperoleh uang yang lebih banyak mereka harus lama bekerja di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah. Secara ekonomi ketimpangan desa dan kota turut menyebabkan urbanisasi penduduknya yang mau tak mau diikuti oleh anak – anak mereka. Kesimpulannya, banyak faktor yang saling mempengaruhi dalam meningkatnya anak jalanan. Meningkatnya “gejala” masalah keluarga seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda serta kekerasan dalam keluarga sebagai akibat dari memburuknya kondisi ekonomi dan politik di Indonesia membuat keluarga tidak memiliki keberdayaan dalam melindungi anggota keluarganya. Semakin menyudutnya ketidakberdayaan masyarakat, kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanahrumah mereka dengan alasan “demi pembangunan” merupakan salah satu sebab meningkatnya jumlah anak yang turun ke jalan. B.3. Permasalahan Anak Jalanan Jalanan sebagai sebuah tempat bagi orang-orang “terbuang” adalah sebuah fakta sosial yang muncul sebagai akibat derasnya arus modernisasi yang menggilas mereka yang tidak mampu mengikutinya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, tentu memberikan kontribusi yang buruk pada hampir segala sektor kehidupan di Indonesia. Beberapa indikator yang dapat dilihat adalah menurunnya daya beli masyarakat. Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Universitas Sumatera Utara 22 Sedangkan orang tuanya tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja. Menurut Gosita, Arief 1985;34 permasalahan anak jalanan dapat dipetakan sebagai berikut: a. Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidakberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. b. Rumah atau tempat tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan. c. Rendahnya pendidikan orangtua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orangtua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak. d. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, pemda, maupun Departemen Sosial. e. Belum optimalnya sosial control di dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, anak jalanan ini awalnya tidak terjun begitu saja ke jalanan. Biasanya mereka melakukan proses pembelajaran secara bertahap. Awalnya mereka lari dari rumah, satu dua hari bahkan sampai seminggu kemudian pulang, lalu lari lagi selama dua minggu bahkan berbulan-bulan sampai akhirnya benar-benar lari, tidak lagi kembali selama setahun-dua tahun. Proses tahap kedua yang harus dijalani adalah proses “inisiasi”. Universitas Sumatera Utara 23 Biasanya anak-anak yang baru akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih dewasa Hariadi, 2001;213. Sejumlah studi menemukan, anak-anak jalanan yang kecil biasanya sering “ditampar” oleh yang lebih besar. Selain itu preman yang ada di sekitarnya tak segan merampas barang dagangan atau meminta uang. Intimidasi adalah peristiwa sehari-hari yang dapat kita lihat menjadi “makanan” anak jalanan. Dalam beberapa kasus dan kesempatan memang anak jalanan itu mampu mengembangkan mekanismenya sendiri guna menghindari intimidasi dan ancaman kekerasan. Tetapi yang sering terjadi mereka hanya pasrah terhadap ancaman kekerasan yang dialaminya Suyanto,2001;135. Marginal, rentan dan eksploitasi adalah istilah-istilah yang dapat menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, tidak dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun kemasa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang yang dilihat dari segi kesehatan maupun sosial sangatlah rawan. Eksploitasi karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar bargaining position yang sangat lemah, tersubordinasi cenderung menjadi objek perlakuan yang semena-mena dari ulah preman dan oknum-oknum lain yang tidak bertanggungjawab. Sebagai bagian dari pekerja anak child labour, anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam, dan dapat dibedakan atas pekerjaannya, hubungan dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan serta jenis kelaminnya. Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang mengalami penderitaan ganda. Bukan saja menjadi objek kekerasan otoritas, tetapi juga akses mereka untuk berkembang semakin tertutup seiring dengan penderitaan yang dialami orang tua mereka. Maka, dalam konteks Universitas Sumatera Utara 24 piramida penderitaan, anak-anak jalanan berada dilapisan terujungterendah. Anak jalanan bukanlah kriminal yang harus terus diburu. Mereka adalah anggota masyarakat yang mengalami korban keresahan dan kemiskinan keluarga yang perlu ditangani. Oleh karena itu security approach pendekatan keamanan tidak mencukupi lagi dan tidak akan pernah betul-betul menyapu anak di jalanan. Prosperity approach pendekatan kesejahteraan melalui kebijakan nasional dan lokal pemda hendaknya mulai dipikirkan ISJ,1997;29. Eksploitasi dan ancaman adalah dua hal yang sekaligus dialami oleh anak jalanan. Mereka sudah biasa mengalami tipuan oleh teman sendiri, caci maki bahkan menjadi korban pelecehan seksual oleh orang yang lebih dewasa, dipukuli petugas, barang dagangan dirampas oleh preman Irwanto,1998;120. Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang dihadapi anak jalanan justru mencerminkan adanya kecenderungan menjadikan anak-anak jalanan sebagai objek kekerasan dari pemegang otoritas, seperti orang tua, preman, orang yang lebih dewasa dan petugas keamanan. Rasa keadilan dan peri kemanusiaan apalagi kepastian hukum seakan enggan menjamah anak jalanan. Kekerasan yang sering terjadi pada anak jalanan akan memberikan dampak atau pengaruh dalam kehidupan anak jalanan tersebut. Maka tidak jarang anak jalanan cenderung untuk terjerumus dalam tindakan patologis, seperti studi yang dilakukan oleh Hadi Utomo pada tahun1998. salah satu perilaku yang popular menyimpang adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti mengisap lem. Diperkirakan sekitar 60-75 anak yang seharian hidup mencari nafkah di jalanan menggunakan zat ini Irwanto, dalam Adi, 2002;43. Anak jalanan merupakan salah satu potret penderitaan dan kemiskinan, sedang penderitaan dan kemiskinan adalah produk dari ketidakadilan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan selama ini dimulai dari rezim orde baru hanya menyentuh Universitas Sumatera Utara 25 warga perkotaan. Sementara warga desa terabaikan, dampaknya muncul kesenjangan sosial ekonomi atau labelisasi kaya-miskin atau maju-terbelakang. Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota ini, juga mengakibatkan banyak penduduk desa berduyun-duyun pergi ke kota untuk mengadu nasib, namun karena tidak cukupnya bekal pengetahuan serta keahlian membuat sebagian dari mereka terlempar dari persaingan dan dengan terpaksa hidup di tempat-tempat kumuh, bahkan di kolong-kolong jembatan untuk mempertahankan hidup. Buruknya lagi mereka datang dengan anak-anak mereka. Dengan kondisi mereka yang buruk, mengakibatkan anak-anak dipaksa untuk ikut menanggung beban hidup keluarga Fanggidae, 1993;104. Pembangunan juga telah mengorbankan ruang bermain bagi anak lapangan, taman dan lahan-lahan kosong. Dampaknya sangat terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja. Selain hal tersebut, meningkatnya angka anak putus sekolah juga telah mengakibatkan sebagian anak mencari pekerjaan, dan jalanan mereka jadikan sebagai salah satu tempat untuk mencari uang. Fenomena keberadaan mereka semakin dirasakan ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tahun 1997. Berdasarkan penelitian diperoleh gambaran umum yang menunjukkan 60 anak jalanan telah putus sekolah dan 80 anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka Depsos kerjasama YKAI, 1999;61.

C. Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan