14
BAB II KERANGKA TEORI
Dalam melihat implementasi khittah NU di era reformasi khususnya dalam organisasi muslimat NU ini penulis menggunakan beberapa teori, diantaranya
ialah teori civil society, teori kekuasaan, dan teori manajemen organisasi.
A. Teori Civil Society
Demokrasi sebagai sistem yang diagung-agungkan banyak negara membuktikan eksistensinya melalui pemberdayaan civil society yang dipengaruhi
oleh pergeseran-pergeseran shifting yang terjadi. Kenyataan runtuhnya rezim totaliter di Eropa Timur, dan surutnya legitimasi rezim-rezim otoriter di negara
berkembang yang kemudian disusul dengan merebaknya gerakan redemokratisasi menjadi bukti. Sebagai konsekuensinya wacana teoritik dalam ilmu-ilmu sosial,
khususnya ilmu politik, semakin diwarnai oleh pencarian yang lebih relevan dengan situasi yang baru yaitu tentang proses transisi menuju sistem politik
demokratis.
1
Para filusuf mulai mencari landasan filosofis melalui beberapa sumber, baik sumber klasik maupun modern tentang civil society. Walaupun secara konseptual
belum ditetapkan pemaknaannya, namun ada beberapa nilai dari civil society yang dapat diserap, antara lain: pertama, individu dan kelompok-kelompok mandiri
dalam masyarakat politik, ekonomi, kultur. Kedua, adanya ruang publik bebas
1
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Erlangga, 2000 h. ix.
15 sebagai tempat wacana dan kiprah politik bagi warga negara yang dapat menjamin
proses pengambilan keputusan berjalan secara demokratis. Ketiga, kemampuan masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara, walaupun tidak melenyapkan
secara total.
2
Para filusuf dalam lintas sejarah melihat civil society dengan pandangan yang berbeda-beda. Pemaknaan civil society melalui keragaman berfikir para
filusuf sesuai dengan konteks sejarah pada saat pemikiran tersebut diterapkan, dapat diklasifikasikan melalui lima kelompok, antara lain
3
: Pertama, civil society paling awal dipahami sebagai sistem kenegaraan yang
selalu diidentikan dengan negara state. Pemahaman ini dikembangkan oleh filusuf Yunani, Aristoteles 384-322 SM yang menyebut civil society dengan
istilah koinonie politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.
4
Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society itu muncul. Pemikiran Aristoteles kemudian
dikembangkan oleh Thomas Hobbes 1588-1679 M yang memandang civil society sebagai alat peredam konflik. Oleh karena itu, civil society harus memiliki
kekuatan yang mutlak, sehingga ia mampu mengawasi dan mengontrol pola-pola interaksi politik setiap warga negara. Berbeda dengan Hobbes, John Locke
1632-1704M berpandangan bahwa civil society ialah dilahirkan untuk
2
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. x.
3
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi,
Jakarta: Logos, 1999 h. 21.
4
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 21-22.
16 melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.
5
Oleh karena itu, civil society bukan kekuatan absolut seperti sebelumnya, sehingga masyarakat
memiliki ruang untuk memperoleh haknya. Kedua, makna ini muncul dari Adam Ferguson 1767 yang melihat civil
society melalui sejarah sosial-politik Skotlandia. Sejarah Skotlandia yang tengah menghadapi kemunculan kapitalisme dan pasar bebas sebagai peristiwa revolusi
industri membuat ia khawatir akan berkurangnya tanggung jawab sosial masyarakat serta menguatnya sikap individualisme. Oleh karena itu, Ferguson
lebih memaknai civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat untuk memelihara tanggung jawab sosial yang identik dengan solidaritas sosial
serta adanya sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah.
6
Ketiga, Thomas Paine 1792 memaknai civil society dalam posisi terpisah dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis dari negara. Karena
keberadaan negara menurut Paine hanyalah sebuah keniscayaan buruk necessary evil belaka, maka Civil society harus lebih kuat dan dapat mengontrol negara
demi keperluannya.
7
Keempat, mengkritisi civil society Thomas Paine, George Wilhelm Friedrich Hegel 1770-1831 mengembangkan civil society yang justru subordinatif
5
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan Civic Education: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani Jakarta: ICCE dan Perdana Media Grup,
2008, h. 193.
6
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 23.
7
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 24.
17 terhadap negara. Berangkat dari fenomena masyarakat borjuis Eropa yang
pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara, menurut Hegel, civil society merupakan tempat berlangsungnya konflik
pemenuhan kepentingan pribadi atau kelompok, terutama kepentingan ekonomi. Pandangan seperti ini dikembangkan pula oleh Karl Marx 1818-1883 yang
melihat “masyarakat borjuis” bahwa keberadaannya merupakan kendala bagi kebebasan manusia dari penindasan dan ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas. Sedangkan Antonio Gramsci w.1937 berbeda dengan Marx, ia tidak memaknai civil society dari segi produksi melainkan dari sisi
ideologis. Menurutnya civil society ialah tempat perebutan posisi hegemonik selain negara, yang kemudian dalam proses ini negara dapat terserap dalam civil
society hingga terbentuk sebuah masyarakat yang teratur regulated society.
8
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Hegel dan Marx tidak percaya dengan adanya civil society yang mandiri. Berbeda dengan Gramsci yang justru sangat
optimis bahwa civil society dapat berdiri sendiri tanpa intervensi dari negara. Kelima,
Sebagai reaksi terhadap model Hegelian, Alex „De Tocqueille mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas penyeimbang
kekuatan negara. Teori ini dikemukakan berdasar pada pengalaman demokrasi di Amerika yang dijalankan lewat civil society berupa pengelompokan sukarela
dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi profesional yang membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi dari negara. Civil society
8
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 25-28.
18 bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu
menjadi kekuatan pengimbang negara, bahakan menjadi sumber legitimasi negara untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat.
9
Paradigam civil society ini memberi sumbangan pemikiran yang besar dalam perjalanan demokrasi serta menjadi sumber inspirasi bagi pemberdayaan
rakyat di berbagai negara, khususnya di Indonesia. Civil society di Indonesia sesuai dengan yang didefinisikan oleh Dawam Rahardjo, ialah proses penciptaan
peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam civil society masyarakat akan bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan
produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara. Azyumardi Azra mengartikan civil society lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, tetapi
mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas. Menurut Nurcholis Majid makna civil society berasal dari kata civillity yang mengandung makna toleransi,
kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkahlaku sosial.
10
Karakter utama dari civil society ialah „keswadayaan’ dan „kesukarelaan’.
Artinya bahwa organisai memiliki tujuan untuk menyalurkan kepentingan bersama, satu visi, serta gagasan, dan tidak untuk kepentingan individu atau
perorangan saja. Civil society mampu melaksanakan kiprahnya sendiri dengan keterbukaan serta tanpa ada ketergantungan kepada negara.
11
9
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 29.
10
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan, h. 193-197.
11
Muhamad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 85.
19 Akar-akar sejarah civil society di Indonesia dapat diruntut semenjak
terjadinya perubahan keadaan sosial ekonomi pada masa kolonial, tepatnya ketika kapitalisme mulai diperkenalkan oleh Belanda. Civil society telah ikut mendorong
terjadinya pembentukan masyarakat lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Oleh karena itu, muncul kesadaran baru di kalangan elite
pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke-20.
12
Pertumbuhan civil society di Indonesia sempat mengalami kejayaan pasca revolusi tahun 1950-an, yaitu pada saat organisasi-organisasi sosial dan politik
dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari masyarakat yang baru saja merdeka. Namun sangat disayangkan, situasi seperti ini tidak
berlangsung lama sesuai dengan yang diharapkan. Civil society yang sedang berkembang di Indonesia mulai mengalami penyusutan terus menerus akibat dari
krisis-krisis politik pada level negara, ditambah dengan kebangkrutan ekonom. Hal ini kemudian menjadi penghalang untuk berlangsungnya perkembangan civil
society, bahkan ormas-ormas serta lembaga-lembaga sosial justru berubah menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan berbagai ideologi.
Pada era ini, sekitar tahun 1960-an civil society di Indonesia mengalami kemunduran yang sangat pesat.
13
12
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996 h. 4.
13
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 5.
20 Situasi terparah dari kemunduran civil society ialah munculnya rezim Orde
Baru dibawah kuasa Soeharto. Pada era ini, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi masa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya, setiap
usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai sebuah kemandirian akan dicurigai sebagai kontra-revolusi. Rezim Orde Baru berupaya untuk memperkuat
posisi negara dalam segala bidang, akibatnya kemandirian sosial serta partisipasi masyarakat dibungkam oleh negara.
14
Perkembangan LSM dan ormas di Indonesia saat ini tidak diragukan lagi, jumlahnya yang mencapai lebih dari 10.000 menjadi kegembiraan tersendiri.
Namun, LSM dan ormas yang begitu banyaknya dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi LSM dan ormas sangat lemah ketika harus berhadapan dengan
kekuatan negara. Karena berbagai hal, LSM dan ormas di Indonesia masih harus bergantung pada negara. Bagi orams-ormas sosial dan keagamaan adanya
campurtangan dan intervensi negara menjadi sebuah ancaman, namun ormas atau LSM yang ingin survive dengan cepat terpaksa harus masuk dalam jaringan
kooptasi negara.
15
Melihat kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa civil society di Indonesia sudah baik dari segi kuantitas namun msaih sangat jauh menuju
sempurna dari segi kualitasnya. Oleh karena itu, masih sulit kiranya civil society di Indonesia dijadikan sebagai kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara.
Muslimat NU sebagai civil society aktif dalam kegiatan demokrasi seperti pembangunan ikatan sosial Muslimat NU dapat dilihat melalui sifat organisasinya
14
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 4-5.
15
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 6.
21 sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat keagamaan. Jaringan-
jaringan produktif sudah mulai terbangun di era kepemimpinan Mahmudah Mawardi dengan membuka peluang kerjasama dengan banyak pihak khususnya
organisasi perempuan di Indonesia seperti KOWANI dan lain sebagainya, bahkan jaringan tersebut mampu menembus hingga kancah internasional PBB sampai
sekarang. Solidaritas kemanusiaan dalam Muslimat NU tertuang dalam berbagai perangkat Muslimat NU sebagai pelayanan langsung untuk masyarakat diluar
pemerintah. Selain itu, karakter utama dari civil society yang dipaparkan oleh Hikam
diterapkan dalam Muslimat NU melalui program maupun perangkat-perangkatnya seperti Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU YKM NU, Yayasan Pendidikan
Muslimat NU YPM NU, Yayasan Haji Muslimat NU YHM NU, Induk Koperasi An-Nisa Muslimat NU Inkopan MNU, Yayasan Himpunan
Da’iyah dan Majlis Ta’lim Muslimat NU HIDMAT, dan masih banyak lagi perangkat
Muslimat NU lainnya yang aktif bahkan tersebar luas ke seluruh penjuru baik kota maupun pelosok desa.
16
Seperti YKM NU saja saat ini telah berkembang menjadi 148 Wilayah Kerja yang terdiri dari 27 Wilayah Kerja I di tingkat Provinsi dan
121 Wilayah Kerja II pada tingkat KabupatenKota.
17
16
PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU, Jakarta: PP Muslimat NU, 2012, h. 13.
17
Laporan YKM NU Pusat Periode September 2014 – Maret 2015. Jakarta 1 April 2015, h.
2.
22
B. Teori Manajemen Organisasi