62 mereka mendukung khofifah atas dasar latar belakang tersebut. Artinya bahwa
posisi khofifah sebagai ketua PP Muslimat NU menjadi salah satu kekuatan penentu dalam pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Meskipun
pada saat pencalonannya, ia menon-aktifkan diri sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU dan berangkat sebagai individu politik, dan tidak membawa
organisasi manapun.
2. Implementasi Khittah 1926 dalam Muslimat NU Periode tahun 2011-
2014
Pembahasan ini menjelaskan mengenai seperti apa implementasi khittah 1926 dalam Muslimat NU Periode tahun 2011-2014. Melalui perjalanan politik
Khofifah Indar Parawansa dalam kurun waktu tahun 2011-2014 sebagai berikut:
Tampilnya Khofifah Indar Parawansa sebagai Calon Gubernur Jawa Timur tahun 2013
Dalam praktik politik Muslimat NU periode 2011-2014 yang menyatakan masih berkhittah dapat dilihat melalui rekam jejak perjalanan Ketua Umum PP
Muslimat NU periode 20011-2014 yaitu Khofifah Indar Parawansa. Setelah berjuang di tahun 2008, semangat Khofifah untuk menjadi orang pertama di Jawa
Timur masih membara dengan mencoba kembali keberuntungannya pada periode ketiga kepemimpinan Khofifah di PP Muslimat NU tahun 2013.
Pada periode ini Khofifah kembali menggunakan kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Timur periode 2013-2018
berpasangan dengan Herman Suryadi. Berbeda dengan pencalonan Khofifah
63 sebelumnya, jika pencalonan tahun 2008 Khofifah didukung penuh oleh PPP
maka ditahun 2013 Khofifah tampil melalui dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa PKB dan lima partai lainnya yaitu Partai Karya Peduli Bangsa PKPB,
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia PKPI, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia PPNUI, Partai Kedaulatan PK, dan Partai Matahari Bangsa
PMB serta dorongan besar dari para Kiai NU. Mengingat lawan Khofifah dalam Pilkada ini tidak berbeda dengan periode sebelumny2008-2013, Khofifah lebih
serius dalam melakukan proses kampanye politik ini. Hampir setiap hari Khofifah turun ke jalan, mendatangi satu-
persatu majlis ta’lim di Jawa Timur untuk memperoleh dukungan. Namun keberuntungan belum memihak Khofifah untuk
menepati posisi Gubernur dengan hasil suara yang kalah tipis dari pasangan Soekarwo dan Saefullah Yusuf.
21
Keterlibatan Khofifah dalam pencalonan Gubernur Jawa Timur ternyata didukung penuh oleh jajaran Pengurus Pusat Muslimat NU. Sebagai bentuk
dukungan terhadap pencalonan ini, para kader Muslimat NU turun ke jalan sebagai tim sukses dari Khofifah.
22
Bahkan dari Cabang Muslimat NU melihat realita ini sebagai sebuah prestasi Muslimat NU dalam mengawal kadernya untuk
mencapai prestasi politik. Tampilnya Ketua Umum Muslimat NU sebagai Calon Gubernur merupakan bukti bahwa perempuan NU mampu memperjuangkan
kepentingan perempuan dalam politik dan dapat membawa Muslimat NU untuk
21
A ggi Kusu adewi, dkk., Ro de Kedua Duel Khofifah-“oekarwo di Pilkada Jati . Diakses pada 17 Mei 2015 http:politik.news.viva.co.idnewsread434044-ronde-kedua-duel-
khofifah-soekarwo-di-pilkada-jatim.
22
Wawancara dengan Ketua VI PP Muslimat NU, Yani ’ah Wardha i.
64 bersaing dengan organisasi lainnya dalam persaingan politik.
23
Bukan malah menjaga khittah 1926, para kader Muslimat NU justru membanggakan Ketua
Umumnya untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur.
Bersedia Menjadi Juru Bicara Calon Presiden dan Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla 2014-2019
Kekalahan dua kali dalam pencalonan Gubernur tidak menyurutkan semangat Khofifah untuk terus berjuang. Tahun 2014 Khofifah kembali
melibatkan diri dalam uforia Pemilu Presiden periode tahun 2014-2019 dengan memposisikan diri sebagai Juru Bicara salah satu pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla. Peran serta Khofifah dalam Pemilihan Presiden sangat menguntungkan bagi calon pasangan Presiden yang
didukungnya.
24
Kesediaan Khofifah menjadi Juru Bicara Calon Presiden ini dikarenakan adanya Jusuf Kalla sebagai orang NU yang menjadi Calon Wakil
Presiden. Melalui keterlibatan Khofifah, Jokowi dan Jusuf Kalla mendapatkan dukungan penuh dari banom-banom NU, khusunya Muslimat NU hingga
mengantarkan Jokowidodo dan Jusuf Kalla pada kursi kepresidenan sampai saat ini.
25
Sama dengan sebelumnya, kader Muslimat NU menganggap bahwa keputusan Khofifah menjadi Juru Bicara Calon Presiden mempermudah
23
Wawancara dengan Ketua Cabang Muslimat NU Kabupaten Tegal, Umi Azizah.
24
“u dari, Khofifah Jadi Ju ir Jokowi Mulai Mei. Diakses pada 7 Mei http:www.tempo.coreadnews20140507269576083khofifah-jadi-jubir-jokowi-mulai-24-
mei.
25
Wawa ara de ga Ketua VI PP Musli at NU, Ya i’ah Wardha i.
65 masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politik kepada Calon Presiden dan Wakil
Presiden tersebut.
26
Keberadaan khittah 1926 yang semakin tidak terlihat menjadikan para kader Muslimat NU lupa dengan garis perjuangan tersebut.
Sehingga setiap kader Muslimat NU tampil dalam kompetisi politik menjadi sebuah kebanggan tersendiri. Meskipun masih ada beberapa kader yang memang
sadar bahwa khittah 1926 tetap sebagai garis perjuangan yang sudah diputuskan NU, sehingga perjalanan politik Khofifah merupakan sebuah pelanggaran Khittah
1926.
27
Kembali Menjadi Menteri Negara Republik Indonesia
Prestasi khofifah memenangkan Jokowidodo dan Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden tahun 2014 tidak berhenti begitu saja. Melalui loyalitasnya dalam
mendukung Calon Presiden hingga menjadi Presiden membuahkan hasil dengan diangkatnya Khofifah menjadi Menteri Sosial di pemerintahan Presiden
Jokowidodo. Keputusan Jokowi memilih Khofifah sebagai Menteri Sosial dikarenakan Khofifah memiliki pengalaman di bidang tersebut.
28
Hingga saat ini Khofifah masih aktif sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU periode ketiga
sekaligus menjabat Menteri Sosial Republik Indonesia. Muslimat NU sebagai sebuah lembaga organisasi berusaha untuk tidak
berpihak terhadap salah satu partai politik manapun dengan tetap menjaga hak
26
Wawancara dengan Ketua Muslimat NU Wilayah Jawa Tengah, Ismawati. Pada Senin, 23 Maret 2015 di UIN Semarang.
27
Wawancara dengan Aisyah Hamid Baidlowi.
28
Efendi Ari Wibowo, “Khofifah Indar Parawansa dari Jubir Jokowi Jadi Menteri Sosial.” Diakses pada 17 Mei 2015 http:www.merdeka.comperistiwakhofifah-indar-parawansa-dari-
jubir-jokowi-jadi-menteri-sosial.html
66 politik setiap individu di dalam organisasi. Namun jika dilihat kembali praktik
politik yang diklaim sebagai pilihan individu para kader Muslimat khususnya Ketua Umum Muslimat NU Periode 2011-2014 yaitu Khofifah Indar Parawansa,
tidak lagi mencerminkan sebuah pilihan individu. Pilihan politik Khofifah menjadi Menteri Sosial secara tidak langsung berpengaruh kuat terhadap
organisasi, sehingga mengakibatkan tidak efektifnya aturan khittah 1926. Dalam pengimplementasian khittah 1926 di Muslimat NU periode 2011-
2014 memiliki banyak pengaruh untuk organisasi maupun orang-orang di dalam organisasi itu sendiri. Aturan khittah yang tidak tampil dalam ADART namun
masih diyakini sebagai aturan tidak tertulis dan tetap menjunjung tinggi koridor Muslimat NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki pengaruh positif
terhadap Muslimat NU periode 2011-2014. Khittah 1926 membantu Muslimat NU menjalankan programnya dengan baik sesuai dengan tujuan Muslimat NU sebagai
organisasi sosial keagamaan. Adanya nilai khittah 1926 menjadi salah satu pengontrol organisasi dalam politik agar tidak disalahgunakan oleh individu yang
tidak bertanggung jawab. Karena organisasi merupakan sebuah wadah berkumpulnya masa, menjadi rentan untuk digunakan sebagai alat politik. Oleh
karena itu, aturan khittah 1926 untuk membatasi organisasi untuk tidak berpihak pada salah satu partai politik dapat mengontrol adanya hal tersebut.
Namun sebaliknya, dengan sistem demokrasi yang digunakan sekarang ini memberikan peluang penuh kepada semua lapisan masyarakat untuk tampil aktif
dalam publik, salah satunya partai politik. Hal ini membuat keputusan NU untuk
67 kembali ke khittah 1926 kembali dipertanyakan. Pembatasan ruang politik kader
Muslimat NU menjadi tidak relevan dengan sistem pemerintahan yang digunakan. Oleh karena itu, para kader Muslimat NU menjadi terbatas dalam menggunakan
hak politiknya sebagai warga Negara. Apalagi aturan khittah yang tidak terimplementasikan dengan benar seperti
penjelasan diatas membawa pengaruh yang kurang baik dalam organisasi. Pemaparan praktik politik Khofifah Indar Parawansa yang sebelumnya
menunjukkan bahwa tidak terimplementasinya nilai khittah 1926 yang menyatakan organisasi Muslimat NU tidak berpolitik. Sehingga Muslimat NU
sebagai lembaga organisasi menjadi tidak konsisten dalam mengimplementasikan keputusan khittah 1926.
Civil society merupakan salah satu pilar demokrasi, untuk mengisi demokrasi maka civil society ikut mengambil peran. Muslimat NU merupakan
salah satu bagian dari civil society yang ada di Indonesia, sehingga Muslimat NU ingin ikut serta mengambil peran untuk mengisi peluang demokrasi. Peran yang
diinginkan Muslimat NU yaitu berpartisipasi dalam pemerintahan menduduki jabatan-jabatan politik, seperti anggota DPRD, DPR, Mentri maupun Kepala
Daerah. Teori manajemen organisasi menjelaskan bahwa di dalam organisasi
terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan yang di dalamnya terdapat sub sistem tertinggi yaitu itu yang disebut sebagai manajer. Manajer disini merupakan
pengontrol utama dari sebuah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Oleh
68 karena itu, dalam organisasi posisi manajer memiliki peran terpenting dari sub-
sub lainnya yang pada Muslimat NU disebut sebagai Ketua Umum. Secara tidak langsung jabatan Ketua Umum yang dimiliki Khofifah memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap anggota lain seklaipun itu merupakan hak pilihan individu masing-masing. Jadi praktik politik Khofifah yang dijelaskan
sebelumnya tidak dapat dikatakan sebagai perilaku individu saja, melainkan perilaku individu yang berdampak pada organisasi. Posisi ini yang kemudian
mampu membawa bagian-bagian lainnya dalam organisasi untuk mendukung penuh dirinya dalam panggung politik. melalui pemaparan ini kemudian
menunjukkan bahwa praktik politik Khofifah yang menduduki jabatan sebagai pengelola sebuah organisasi menjadi salah satu alasan mengapa khittah 1926 tidak
terimplementasikan. Selain itu, keberadaan khittah 1926 sebagai garis perjuangan organisasi
dalam manajemen organisasi khittah perjuangan itu adalah sebuah jalan pedoman yang harus diikuti, tetapi kenyataannya garis perjuangan kembali ke khittah 1926
yang ditetapkan oleh organisasi NU pada tahun 1948 tidak dapat diimplementasikans secara baik oleh Badan Otonom yang berada di bawahnya
sepeti muslimat NU, baik pada periode Asamah Sjachruni, Aisyah Hamid Baidlowi, maupun pada masa Khofifah Indar Parawansa. Karena hal ini
ditunjukkan dengan keterlibatan pemimimpin Muslimat NU sebagai pucuk pimpinnan Muslimat ke dalam politik khususnya yang dilakukan oleh Khofifah
Indar Parawansa Ketua Umum Muslimat NU periode 2011-2014 yaitu
69 mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur, Juru Bicara Calon Presiden dan
Wakil Presiden Jokowidodo dan Jusuf Kalla 2014, dan menjadi Menteri Sosial 2014-2019.
Seperti halnya teori manajemen organisasi, teori kekuasaan juga digunakan sebagai tolak ukur seberapa jauh Khofifah menggunakan posisinya dalam politik
yang tidak lain dilatarbelakangi oleh faktor kekuasaan. Melalui kekuasaannya di Muslimat NU yang sudah tidak diragukan lagi, sehingga ia mampu menjabat
selama tiga periode berturut-turut, Khofifah menggali kekuasaan yang lebih luas lagi dengan ikut berkompetisi dalam politik praktis. Kompetisi ini tidak lain untuk
mendapatkan kembali kekuasaan, bahkan lebih luas dari porsi kekuasaan yang ia miliki saat ini. Melalui perspektif kekuasaan, keterlibatan pengurus Muslimat NU
dalam politik yang bertentangan dengan khittah 1926 merupakan hal yang sah-sah saja mengingat kekuasaan adalah sebagai jembatan keterlibatan atau partisipasi
politik civil society Muslimat NU dalam mengisi demokrasi di indonesia. Hal ini yang membuat tidak tepatnya keputusan khittah 1926 diterapkan di era
demokratisasi. Melalui tiga teori tersebut dapat disimpulkan bahwa Muslimat NU periode
2011-2014 berusaha untuk berkembang dengan tetap konsisten sebagai organisasi sosial keagamaan dan tidak berpolitik. Namun dalam praktik politiknya Muslimat
NU tidak mampu membendung keinginan kader organisasi untuk berpolitik yang dipengaruhi oleh perkembangan sistem demokrasi. Dilema dalam Muslimat NU
dikarenakan aturan khittah 1926 menjadi kendala dalam berpolitik sehingga kader
70 Muslimat NU berpolitik atas nama individu bukan organisasi. Jika seperti ini,
maka praktik politik Khofifah yang telah dijelaskan sebelumnya dan kaitannya dengan teori-teori yang ada menunjukkan bahwa khittah 1926 tidak
terimplementasikan dengan baik di Muslimat NU periode 2011-2014.
71
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
Melalui pemaparan skripsi ini dapat disimpulkan bahwa khittah 1926 yang diputuskan pada tahun 1984 menyatakan NU sudah tidak menjadi partai politik
dan netral-politik. Oleh karena itu, demi kemaslahatan bersama semua pihak akhirnya dapat menerima dengan lapang dada. Keputusan tersebut hingga saat ini
masih berlaku, walaupun secara implementatif nilai khittah 1926 yang menyatakan netral-politik sudah mulai ditinggalkan oleh orang-orang NU.
Muslimat sebagai Badan Otonom NU terus mengikuti jejak para kiainya. Sama halnya dengan NU, kader-kader Muslimat NU juga mulai meninggalkan
komitmen khittah 1926. Keterlibatan dalam kancah politik sudah menjadi hal biasa baik bagi anggota, pengurus, bahkan Ketua Umum. Keterlibatan Ketua
Umum PP Muslimat NU periode 2011-2014 dalam mencalonkan diri sebagai Gubernur di Jawa Timur pada tahun 2013, menjadi Juru Bicara Calon Presiden
dan Wakil Presiden 2014 hingga saat menjadi Menteri Sosial menjadi lumrah, bahkan dianggap sebuah prestasi dalam pengurusan Muslimat NU. Khittah 1926
menjadi sebuah simbol yang tidak terimplementasi dengan baik, bahkan orang- orang dalam NU sendiri sudah pesimis dengan komitmen khittah 1926.
Suburnya demokrasi di Indonesia mendorong kader-kader Muslimat NU untuk ikut berkompetisi dalam politik. Keberadaan Khittah 1926 menjadi sebuah
batas bagi kader Muslimat NU untuk ambil peran dalam demokrasi. Apalagi