Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926

45 Setelah beberapa kali Muslimat mengadakan pertemuan tertutup, tepat pada 12-26 Robiul Akhir 1365 atau pada tanggal 26-29 Maret 1946 digelar Kongres NU yang ke 16 bertempat di Purwokerto-Jawa Tengah. Pada Kongres ini kaum Muslimat memenuhi Kogres lebih banyak dari biasanya. Dalam kongres ini merupakan terakhirkalinya Muslimat duduk hanya sebagai peninjau, melalui perjuangan dan kegigihan para Muslimat, dengan suara aklamasi suara bulat para utusan Kongres NU menyetujui dan memutuskan bahwa 31 : “Menerima baik usul untuk menjadikan Muslimat sebagai bagian dari NU yang kemudian disahkan dan diresmikan dalam rapat pleno pada tanggal 26 Robiul Akhir 1365 atau tanggal 29 Maret 1946 suatu organisasi Nahdlatul Ulama Muslimat dengan singkatan NUM.” Dalam putusan ini disahkan pula kepengurusan Muslimat NU yang pertama dengan diketua oleh Ny. Chadidjah Dahlan. Kelahiran Muslimat NU ini tidak lain atas budi baik dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhamad Dahlan, atas ketekunan dan dorongan merekalah Muslimat dapat berdiri di samping NU. 32

C. Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926

Setelah melewati perjalanan yang sangat panjang dengan berbagai macam persoalan yang menghadang, organisai NU telah melewati pengalaman luar biasa dalam perjalanan hidupnya. Lahir sebagai organisasi Islam yang aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial keagamaan di tahun 1926, di era kolonial NU juga ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan, hingga era reformasi NU tertarik untuk berjihad dalam plolitik praktis bahkan sempat bertransformasi menjadi 31 Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 46. 32 Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 46. 46 partai politik sampai pada akhirnya NU lelah dan kembali pada khittahnya sebagai organisasi massa Islam. Perjalanan panjang itu telah membuktikan bahwa NU, berbeda dengan organisasi besar lainnya. Pergulatan politik dalam NU sudah lama dirasakan oleh orang-orang NU sendiri. Hal ini pernah diungkapkan pada Muktamar ke-22 di Jakarta pada 13-18 Desember 1959. Pada saat itu muncul gagasan dari K.H. Achyat Chalimi selaku juru bicara Cabang Mojokerto yang mengatakan bahwa : “Peranan partai politik oleh NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang. Oleh karena itu, diusulkan ag ar NU kembali pada tahun 1926.” Gagasan ini didasari oleh pertimbangan bahwa selama ini NU terlalu mengedepankan kegiatan politik yang sebenarnya bukan inti dari kepentingan organisasi, melainkan kepentingan para individu di dalamnya. Sedangkan kegiatan sosial keagamaan yang pada awal berdirinya NU menjadi tugas yang dominan justru semakin terabaikan. Gagasan demikian ternyata belum dapat diterima oleh banyak kalangan NU, bahkan dari sekian banyak cabang NU yang hadir pada Muktamar ini, hanya ada orang dari Cabang Ngawi yang mendukung gagasan tersebut. 33 Setelah gagasan kembalinya NU pada khittah 1926 tidak menarik dukungan, ternyata pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya gagasan tersebut muncul kembali. 33 Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 132. 47 Rois Aam PB NU K.H. Wahab Hasbullah dalam pidatonya kala itu mengajak para muktamirin untuk kembali pada khittah 1926. Lebih lanjut ia mengatakan 34 : Kaum Nahdliyyin-Nahdliyyat agar kembali kepada Nahdlatul Ulama tahun 1926. Tentulah yang dimaksud bahwa sekalipun kita berjuang di tahun 1971, namun kita harus tetap berjiwa NU tahun 1926. Kita akan selamanya tetap setia kepada Aqidah dan Himmah Ahlussunnah wal Jamaah. Pada Muktamar kali ini gagasan tersebut memperoleh sambutan lebih banyak dari sebelumnya. Hal ini terlihat bahwa salah satu dari tiga persoalan yang diperdebatkan secara sengit ialah kehendak agar NU kembali kepada garis perjuangan seperti di tahun 1926 ketika didirikan, yaitu berfokus dalam mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan saja. 35 Ide khittah 1926 semakin kuat pada Muktamar ke-26 di Semarang pada 5-11 Juni 1979. Hal ini didasari oleh adanya perubahan ADART dari partai politik ke organsasi kemasyarakatan biasa. NU mau tidak mau harus kembali menjadi organisasi biasa setelah dipaksa untuk berfusi ke dalam PPP. Proses restrukturisasi organisasi politik yang dilakukan Orde Baru menjadi alasan kuat untuk kembali ke khittah 1926. Namun dalam Muktamar ini belum mendapat kepastian kembalinya NU ke khittah 1926. Baru pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 diputuskan bahwa NU 34 Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 134. 35 Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 134-136 48 kembali ke khittah 1926 dalam artian bahwa NU sudah tidak lagi bermain dalam politik praktis serta dipertegas bahwa NU netral-politik. 36 Sebagai Badan Otonom, Muslimat NU terus mengikuti alur politik Organisasi induknya. Sepak terjang perpolitikan NU ternyata berpengaruh besar terhadap keterlibatan Muslimat NU dalam politik. Bermula pada tahun 1954 dalam Kongres Muslimat yang pertama sebagai Badan Otonom NU, kaum perempuan NU mulai menyadari akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam kepemerintahan. Mengingat banyak keputusan pemerintah yang kadang kala merugikan kaum perempuan, sehingga demi memperjuangkan hal tersebut perempuan wajib masuk dalam pemerintahan. Oleh karena itu, dalam kongres tersebut menghasilkan keputusan yang antara lain sebagai berikut 37 : “memajukan pernyataan kepada PBNU LAPUNU agar Muslimat dicalonkan menjadi anggot DPR – DPRD – KONSTITUANTE dengan calon prioritas”. Setelah Muslimat NU sadar akan pentingnya posisi dalam DPR, pada pemilu tahun 1955 yang merupakan Pemilu bersejarah bagi NU, Muslimat NU memiliki kesempatan lebih besar untuk duduk di dalam posisi DPR. Kemenangan Partai NU yang hampir enam kali lipat dari keterwakilannya dalam DPRS, perempuan NU dengan sendirinya terpilih mencapai 10 dari seluruh jumlah. 38 Anggota yang terpilih pada Pemilu 1955 antara lain : 36 Kacung Marijan, Quo Vadis NU, h. 136. 37 Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 64. 38 Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 66. 49 1. Ny. H. Machmudah Mawardi – wakil dari Jawa Tengah 2. Ny. H. Maryam Kantasupena – wakil dari Jawa Tengah 3. Ny. Maryama Djunaidi – wakil dari Jawa Timur 4. Ny. Hadiniyah Hadi – wakil dari Jawa Timur 5. Ny. Asmah Sjachruni – wakil dari Kalimantan Selatan Melihat data di atas, keterlibatan NU dalam politik juga mampu diikuti oleh Muslimat. Langkah politik Muslimat NU kemudian terhenti dengan adanya keputusan kembali pada khittah 1926. Sehingga Muslimat NU mulai menarik mundur kader-kadernya yang ingin tetap berorganisasi dan melepaskan kader-kader terbaiknya dari organisasi yang menginginkan untuk tetap berpolitik. Pada kenyataannya di era reformasi ini, kembalinya NU dalam politik ternyata diikuti pula oleh Muslimat NU. Tidak sedikit ibu-ibu Muslimat NU yang kemudian tampil kembali di pangung politik baik tingkat daerah maupun nasional. Bahkan beberapa kasus di daerah tingkat Wilayah dan Cabang, banyak Ketua Pimpinan Muslimat NU yang duduk dalam pemerintahan, dari anggota DPR, DPRD, Gubernur, Bupati maupun Wakil Bupati. Dalam tingkat Pusat bahkan Ketua PP Muslimat saat ini sedang menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial di Era kekuasaan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala yang akan dibahas lebih mendalam di bab selanjutnya. 50

BAB IV IMPLEMENTASI