Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Disamping wajib mengikuti ketentuan hukum syara’ sebagai seorang muslim sekaligus warga Negara Indonesia juga harus berpedoman pada norma
hukum yang bersumber pada undang-undang Negara. Adapun yang dimaksud dengan undang-undang adalah peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh
perlengkapan Negara yang mempunyai kewenangan membentuk undang- undang yakni presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia DPR-RI dimana diatur dalam pasal 5 ayat 1 Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi:
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Hal ini dapat dirartikan dengan diundangkannya undang-undang perkawinan, maka secara otomatis akan menjadi pedoman bagi seluruh warga
Negara Indonesia, baik muslim maupun non muslim. Undang-undang tersebut merupakan sumber hukum mengenai perkawinan berlaku dan mengikat untuk
seluruh warga Negara Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat memaksa dan ditetapkan dengan jelas sanksi bagi pelanggarnya.
Di dalam UU No. 1 tahun 1974 pada bab I tentang dasar perkawinan pasal 2 ayat 2 menegaskan bahwasannya “tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
6
Pencatatan perkawinan dan aktanya, bagi sebagian masyarakat tampaknya masih perlu
disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat pemahaman fikih sentris, yang mana didalam kitab fikih sejauh ini hampir tidak pernah dibicarakan, sejalan dengan
6
Tim penyusun, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, T.tp., Citra Umbara, 2007, h. 2.
situasi dan kondisi waktu fikih itu ditulis. Namun jika kita memperhatikan ayat mudayanah Qs. Al-Baqarah: 282 mengisyaratkan bahwa adanya bukti
otentik sangat diperlukan guna menjaga kepastian hukum. Bahkan, secara redaksional menunjukkan bahwa “pencatatan” kitabah didahulukan dari
pada kesaksian, yang mana dalam perkawinan persaksian menjadi salah satu rukun yang harus dilaksanakan.
7
Dalam kaidah
hukum islam,
pencatatan perkawinan
dan pembuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas dapat mendatangkan
maslahat bagi tegaknya mahligai rumah tangga. Hal ini sejalan dengan prinsip: “Menolak kemudaratan lebih didahulukan dari pada memperoleh
kemaslahatan” dan prinsip: “suatu tindakan peraturan pemerintah bertujuan untuk terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan masyarakat”.
8
Meski secara agama dan adat istiadat perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah, namun di mata hukum penguasa hukmu al –hakim
tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri, dan perempuan pada umumnya. Bagi istri dampak
hukumnya adalah tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki Akta Nikah sebagai bukti hukum yang otentik. Akibatnya istri tidak berhak
atas nafkah dan harta warisan suami jika ia meninggal dunia dan istri tidak
7
Muhammad Rasyid Ridha,Tafsir al-quran al-Hakim, Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr, TT, juz III, h. 117.
8
Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang- undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Leiden-Jakarta: INIS,
2002, h. 139.
berhak atas harta bersama jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
9
Oleh sebab itu pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang diatur dalam undang undang, untuk melindungi martabat dan kesucian
perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Dalam pelaksanaannya, pencatatan perkawinan diatur dengan PP No. 9 Tahun
1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Di dalam Bab II pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan bahwa
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang No. 32 Tahun 1945 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
10
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 5 ayat 1 dan 2 menyatakan:
a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat.
b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Menurut Abdurrahman Bilamana suatu perkawinan tidak dicatat
sekalipun perkawinan itu sah menurut hukum agama, perkawinan tersebut
9
Siti Musdah Mulia, pokok-pokok Pikiran Bagi Revisi KHI, Makalah Jakarta: Tidak Diterbitkan, 2003, h. 3.
10
Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Cet. II, Jakarta: Ind. Hii-Co, 1990, h. 131.
tidak diakui oleh Negara, begitu pula segala akibat hukum yang timbul dari perkawinan tersebut, dan bagi mereka dapat dikenakan sanksi pidana
sebagaimana tersebut dalam pasal 45 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Sedangkan bagi petugas agama yang melangsungkan perkawinan
itu dikenai pidana yang diatur dalam pasal 530 KUHP.
11
Maraknya praktek perkawinan dibawah tangan dikalangan masyarakat awam menuntut pemerintah untuk mensiasati permasalahan tersebut, salah
satunya dengan membuka peluang itsbat nikah bagi pasangan menikah dibawah tangan yang menginginkan pernikahannya diakui dan tercatat secara
resmi dalam administrasi negara sehingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Aturan pengesahan nikahitsbat nikah dibuat atas dasar adanya
perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.
Aturan pengesahan nikah tercantum dalam pasal 2 ayat 5 Undang- undang Nomor 22 Tahun 1946 jis. Pasal 49 angka 22 penjelasan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 dan pasal 7 ayat 2, 3 dan 4 Kompilasi
Hukum Islam. Dalam pasal 49 angka 22 penjelasan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan pasal 7 ayat 3 huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan
yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya
11
Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Agama, Suara Uldilag, Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI, 2006, Vol. III No.8 April, h. 37.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun pada prakteknya dilapangan Hakim Pengadilan Agama banyak mengabulkan permohonan itsbat nikah bagi
pasangan yang melangsungkan pernikahannya sesudah tahun 1974. Kemudian dalam pasal 7 ayat 3 huruf e Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan dengan tegas bahwasannya syarat dibolehkannya Itsbat Nikah adalah perkawinan yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini menjadi masalah jika perkawinan yang akan diitsbatkan tersebut dulunya dilakukan oleh para
pasangan berusia dibawah umur. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 secara tegas menyatakan “perkawinan hanya
diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 Sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 enam belas tahun”.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menganalisa permasalahan tentang Itsbat Nikah Masal yang dilakukan oleh Pengadilan
Agama Cibinong di Kelurahan Cintamanik Kec. Cigudeg Kab. Bogor, Penetapan Nomor: 499Pdt.P2014PA.Cbn.
Penulis ingin menggali lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya itsbat nikah bila perkawinannya terjadi sesudah munculnya Undang-undang Nomor.
1 Tahun 1974 dan Itsbat Nikah bagi para pasangan yang pada saat melangsungkan pernikahannya berusia dibawah umur. Apakah hal tersebut
telah sesuai dengan hukum posistif yang ada. Kemudian itsbat nikah yang dilakukan di Pengadilan Agama tentunya
akan melibatkan Kantor Urusan Agama KUA sebagai instansi dalam
pencatatan akta nikah, sehingga nantinya suami istri yang telah disahkan pernikahannya mendapat salinan akta nikah sebagai bukti sahnya pernikahan
mereka dimata Negara. Penulis akan membandingkan bagaimana proses pencatatan perkawinan antara pencatatan melalui itsbat nikah dengan
pencatatan nikah yang langsung dicatatkan di Kantor Urusan Agama KUA. Guna tersitematisnya materi penulisan skripsi ini maka penulis
mengemasnya dalam satu judul yaitu: “Itsbat Nikah Akibat Pernikahan di Bawah Tangan Bagi Pasangan Menikah di Bawah Umur Studi Analisis
Penetapan Pengadilan
Agama Cibinong
Nomor: 499Pdt.P2014PA.Cbn”.