UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rumah sakit dimana menurut PERMENKES RI No. 56 tahun 2014 izin operasional rumah sakit adalah izin yang diberikan oleh pejabat yang bernaung
sesuai kelas rumah sakit kepada penyelenggarapengelola rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan di rumah sakit setelah memenuhi
persyaratan dan standar yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Jadi berbeda dengan resep dokter yang membuka praktik sendiri di luar rumah sakit
dimana resep dokter yang membuka praktik sendiri harus mencantumkan Surat Izin Praktek SIP agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan
memberikan kepastian hukum serta jaminan kepada masyarakat bahwa dokter tersebut benar-benar layak dan telah memenuhi syarat untuk menjalankan praktik
seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Akan tetapi pada penelitian ini, paraf dokter dalam resep yang diterima di Apotek RUMKITAL Dr.
Mintohardjo diganti dengan stempel dokter dimana didalamnya terdapat nama dokter dan SIP.
Selanjutnya untuk hasil ketidakkesesuaian obat dengan formularium didapatkan sebanyak 11,8 47 lembar resep. Resep yang tidak sesuai dengan
formularium ini akhirnya dilakukan perubahan agar sesuai dengan formularium. Formularium dalam hal ini adalah formularium rumah sakit tempat dilakukannya
penelitian yang mengacu dari formularium nasional. Formularium disusun dengan tujuan untuk penyempurnaan efektifitas,
penurunan resiko, penurunan biaya, dan penyempurnaan pengadaan obat, sehingga formularium rumah sakit yang digunakan dengan baik dapat
membimbing dokter dalam peresepan obat yang paling aman dan paling efektif untuk mengobati masalah medis tertentu Siregar 2004.
Formularium rumah sakit yang telah disusun bersama harus dipatuhi oleh seluruh praktisi rumah sakit sebagai pedoman yang digunakan dalam pemberian
terapi, hal ini seperti dijelaskan oleh Menteri Kesehatan RI dalam buku Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, tercapainya suatu pelayanan farmasi rumah
sakit dapat dilihat dari penulisan resep yang sesuai dengan formularium, dimana standar kesesuaiannya adalah 100 Menteri Kesehatan RI, 2008.
Pada tabel 4.2 didapatkan hasil pengamatan terhadap legalitas narkotik 0. Hasil ini diperoleh karena dari jumlah 400 lembar resep yang digunakan tidak ada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
satu resep yang menggunakan atau mengandung obat narkotik. Sehingga untuk analisis legalitas narkotik tidak dapat dilakukan oleh peneliti. Legalitas terhadap
obat narkotik berperan penting dalam resep agar dapat menjamin keaslian resep tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan obat oleh
masyarakat. Untuk distribusi data kelengkapan resep selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran 3.
4.2.1.2 Analisis Penulisan Terkait Obat
Pada penelitian selanjutnya tabel 4.3, resep dianalisis terhadap kejelasan penulisan dosis sediaan dan ketepatan dosis serta kejelasan penulisan
frekwensi pemberian obat beserta ketepatan frekwensi pemberian obat. Analisis ketidakjelasan penulisan dosis sediaan pada resep didapatkan hasil sebanyak
32,8 131 lembar resep. Dengan ini, diketahui bahwa hanya 67,2 269 lembar resep yang ditulis dengan jelas. Dari 269 lembar resep yang ditulis dengan jelas
tersebut setelah dilakukan analisis berdasarkan literatur, dosis sediaan yang diberikan sudah tepat. Penulisan dosis sediaan obat harus ditulis dengan jelas agar
terhindar dari kesalahan pemberian jumlah dosis mengingat adanya obat-obat yang memiliki dosis lebih dari satu. Dimana dosis obat itu sendiri adalah jumlah
atau ukuran yang diharapkan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang mengalami gangguan. Misalnya Amoxan 500 mg dan Amoxan 250 mg,
maka dosis obat perlu ditulis dengan jelas dalam peresepan. Tetapi biasanya ada kesepakatan tidak tertulis dalam pelayanan obat tersebut bahwa jika kekuatan obat
tidak tertulis maka diberikan obat dengan kekuatan kecil. Oleh karena itu, dosis sediaan harus ditulis dengan jelas dan harus sesuaitepat. Hasil ketidakjelasan
penulisan kekuatan sediaan obat ini sesuai dengan penelitian Prawitosari 2009 yang mendapatkan hasil ketidakjelasan penulisan kekuatan sediaan sebanyak
50,8. Selanjutnya untuk hasil ketidakjelasan penulisan frekuensi obat didapatkan
hasil sebanyak 8,5 34 lembar resep. Hasil ketidakjelasan penulisan frekuensi pemberian obat ini sesuai dengan penelitian Octavia 2011 yang mendapatkan
hasil ketidakjelasan penulisan frekuensi pemberian obat sebanyak 75,5. Pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
resep seharusnya frekuensi pemberian ditulis dengan jelas dan lengkap. Penulisan frekuensi pemberian obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses
pelayanan tidak terjadi kesalahan informasi penggunaan obat, karena keadaan dan kondisi pasien menentukan frekuensi penggunaan obat yang tepat. Misalnya obat
diminum 3 kali 1sehari dan diminum 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan dan sebagainya. Dengan informasi tersebut, maka diharapkan pasien akan
dapat menggunakan obat dengan benar. Sedangkan untuk hasil ketepatan frekuensi pemberian obat berdasarkan literatur terhadap 91,5 366 lembar resep
yang ditulis dengan jelas, didapatkan hasil bahwa frekuensi pemberian obat sudah tepa.
Selanjutnya pada tabel 4.4, penulisan bentuk sediaan obat yang tidak jelas didapatkan hasil sebanyak 73 292 lembar resep. Pada resep, seharusnya
penulisan bentuk sediaan harus ditulis dengan jelas agar tidak memicu terjadinya kesalahan pemberian bentuk sediaan obat yang akan digunakan oleh pasien sesuai
dengan kebutuhan, keadaan dan kondisi pasien. Misalnya Paracetamol, dimana paracetamol memiliki bentuk sediaan lebih dari satu. Maka dalam resep perlu
dituliskan bentuk sediaan tablet atau syrup. Hasil ketidaklengkapan penulisan bentuk sediaan ini sesuai dengan penelitian Octavia 2011 yang mendapatkan
hasil ketidakjelasan penulisan bentuk sediaan sebanyak 60,2. Ketidakjelasan penulisan rute pemberian obat juga didapatkan sebanyak
68 272 lembar resep. Penulisan rute pemberian obat sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kekeliruan pemberian obat,
karena banyak sediaan obat yang memiliki beberapa bentuk rute pemberian. Untuk itu, dokter harus menuliskan nama obat dengan jelas sehingga terhindar
dari kesalahan rute pemberian obat. Hasil ketidaklengkapan penulisan rute pemberian obat ini sesuai dengan penelitian Octavia 2011 yang mendapatkan
hasil ketidakjelasan penulisan rute pemberian obat sebanyak 84,2. Analisis penulisan terkait obat selanjutnya adalah analisis terhadap
ketercampuran obat yang dibuat puyer tabel 4.5. Dimana pada profil resep terhadap ketercampuran obat yang dibuat puyer didapatkan hasil 3,5 14 lembar
resep. Penulisan nama obat racikancampuran sangat penting dalam resep agar ketika dalam proses pelayanan tidak terjadi kekeliruan atau kesalahan