20
F. Kerangka Teori
Harta bersama adalah kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan diluar hadiah atau warisan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pasal 35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing masing suami istri berhak
terhadap harta yang diperoleh masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama
tersebut diatur menurut hukum masing-masing. Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. Pasa 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri memepunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuiatan hukum terhadap
harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau
mnegagunkan.
16
Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai akibat dari perceraian dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya
menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian
16
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 104-105
21
maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya
pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara laki-
laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta
yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim
yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu
bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan
justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana diatur dalam Al-
Qur‟an.
17
Kadang kala istri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah bahkan sebagai pencari nafkah utama dan jug dibebani dengan pekerjaan rumah
tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya enggan melakukan pekerjaan
rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja diluar rumah. Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika
aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada
17
Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: Puskumham UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 72-73