Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

2 timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku. Secara yuridis formal, ketentuan tentang harta bersama sudah diatur dalam pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama istri diikat dalam suatu ikatan perkawinan. 2 Dalam praktek pengadilan, terdapat beberapa hal yang sejalan dengan perkembangan hukum dan kondisi sosial yang berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan hal-hal yang menyangkut ekonomi. Yang kesemuanya itu sangat mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian apabila terjadi sengketa di pengadilan. Dalam hal ini sangat diperlukan keterampilan dan kejelian hakim dalam menganalisis masalah harta bersama ini dengan penerapan prinsip-prinsip keadilan sesuai dengan kemajuan zaman, tanpa mengorbankan ketentuan agama yang dianut. Menurut M. Yahya Harahap bahwa sudut pandang hukum Islam terhadap harta bersama ini adalah sejalan dengan yang dikemukakan oleh Muhammad Syah bahwa perceraian bersama suami istri mestinya masuk dalam Rub’ul Muamalah, tetapi secara khusus tidak dibicarakan. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai perceraian bersama suami 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35 ayat 1 3 istri itu. Tetapi dibicarakan tentang perkongsian yang dalam Bahasa Arab disebut dengan syarikatsyirkah. Oleh karena masalah penceraian bersama suami istri adalah termasuk sirkah, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang macam- macam syirkah sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab fikih. Harta bersama dalam perkawinan masuk dalam bentuk syirkah abdan dan mufawadlah. 3 Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama. Sebagian mereka mengatakan bahwa Agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al- Qur‟an oleh karena itu terserah sepenuhnya kepada mereka untuk mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Arwan Harjono dan Abdoerauf serta diikuti oleh murid-muridnya. Sebagian pakar hukum Islam lain mengatakan bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang kecil saja diatur secara rinci oleh Agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak satupun yang tertinggal semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasaan hukum Islam. Jika tidak disebutkan dalam Al- Qur‟an maka ketentuan itu pasti dalam Al-Hadits pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham. 4 Di dalam kitab-kitab fikih bab khusus tentang pembahasan syarikat yang sah dan yang ti dak sah, Mazhab Syafi‟iyah membagi syarikat dalam 4 empat macam, yaitu : 3 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, H. 270 4 T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan: Mustika,1977, hlm.119 4 1. Syarikat „Inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, mislanya berserikat dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka. 2. Syarikat Abdan, yaitu dua orang atau lebih berserikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat. Misalnya, tukang kayu, tukang batu, nelayan dan lain sebagainya. 3. Syirkat Mufawadlah, yaitu dua orang atau lebih melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya yang masing-masing di antara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain. 4. Syarikat Wujuh, yaitu syarikat atas sesuatu tanpa pekerjaan ataupun harta yaitu pemodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka. 5 Akan tetapi terdapat pembahasan tentang perabotan rumah tangga di kalangan ulama mazhab. Menurut Maliki, istri wajib membeli perlengkapan rumah yang menuntut kebiasaan ditanggung oleh istri, dengan mahar yang diterimanya. Kalau dia tidak menerima mahar sama sekali, maka dia tidak berkewajiban menyediakan perlengkapan rumah tangga kecuali dalam dua kondisi. Pertama, manakala tradisi yang berlaku di daerahnya memang mengaharuskan seorang istri menyediakan perlengkapan rumah tangga, sekalipun dia tidak menerima mahar sama sekali. Kedua, manakala si suami 5 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006, h. 109-112 5 mensyaratkan dalam akad bahwa istrinyalah yang wajib menyediakan perlengkapan rumah tangga dari uang pribadinya. 6 Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang suatu perlengkapan rumah tangga, maka persoalannya harus diteliti terlebih dahulu apakah perlengkapan itu khusus untuk laki-laki, khusus wanita, atau bisa dipergunakan bersama. Dalam hal ini ada 3 tiga persoalan : 1. Kalau barang-barang itu hanya berguna bagi laki-laki pemilikannya ditentukan berdasarkan pernyataan klaim suami disertai dengan sumpah, kecuali terdapat bukti yang menyatakan bahwa peralatan tersebut betul-betul milik istri. Ini merupakan pendapat Imamiyah dan Hanafi. 2. Kalau perlengkapan itu cocok untuk kaum wanita maka yang dipegangi adalah klaim isteri disertai sumpah, kecuali terdapat bukti yang menyatakan bahwa perlengkapan tersebut betul-betul milik suami. Inipun merupakan pendapat Imamiyah dan Hanafi. 3. Bila barang-barang tersebut bisa dipergunakan bersama maka pemilikannya dengan pihak yang bias menunjukan bukti. Kalau kedua pihak tidak bisa menunjukan bukti maka masing-masing pihak diminta bersumpah, dan barang-barang itu dibagi dua. Kalau salah seorang bersedia bersumpah sedang yang seorang lagi tidak, maka barang-barang itu diberikan kepada pihak yang bersumpah. Ini merupakan pendapat Imamiyah. 4. Adapun Abu Hanifah dan salah seorang pengikutnya, Muhammad, berpendapat bahwa terhadap barang-barang yang bisa dipakai bersama, 6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2006, h. 111 6 maka yang dipegangi adalah klaim suami. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa apabila suami dan istri bersengketa tentang perabotan rumah tangga, maka barang-barang itu milik mereka berdua, baik barang-barang itu hanya bisa dipakai oleh salah satu pihak maupun yang bisa digunakan bersama- sama. 7 Dalam pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak ada ketentuan lain. Kemudian dalam pasal 128 - 129 KUH Perdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya tali perkawinan atara suami istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri tanpa memikirkan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu diperoleh sebelumnya. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 35-37 dikemukakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing masing suami istri berhak terhadap harta yang diperoleh masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing. 7 Muhammad Jawad M, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah: Maskur, Dkk, Jakarta : Lentera, 2001, h. 381-382 7 Menurut pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menetukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau mengagunkan. 8 Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat empat macam harta keluarga gezimsgood dalam perkawinan, yaitu: 1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka menjadi suami istri maupun setelah mereka melakukan perkawinan, harta ini di Jawa Tengah disebut dengan barang gawaan, di Betawi disebut barang usaha, di Banten disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha. 2. Harta yang diperoleh dari keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami istri. Di Sumatera Selatan, harta milik suami disebut harta pembunjangan, sedangkan harta milik istri disebut harta penantian. 3. Harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan. Di Aceh disebut harta seuhareukat, di Jawa disebut harta gonogini, di Minangkabau disebut harta surang. 4. Harta yang didapat pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami-istri selama perkawinan. 9 8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 104-105 9 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 106-107 8 Pembagian harta bersama merupakan perkara yang muncul sebagai akibat dari perceraian. Dalam persoalan ini para hakim pada dasarnya menggunakan ketentuan KHI, dimana harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan harus dibagi ketika pernikahan putus, baik karena perceraian maupun salah satu pihak meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar bagian untuk kedua pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya pandangan yang sama. Meskipun hukum materil seperti KHI sudah memberikan aturan yang berspektif kesetaraaan hak dan kewajiban antara laki- laki dan perempuan, dalam pelaksanaanya kerap muncul penafsiran yang berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat setengah dari harta yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia tidak bekerja di wilayah publik yang mengasilkan uang. Namun bukan tidak mungkin bila ada hakim yang menerapkan dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhitungan seperti itu, satu bagian bagi istri sudah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tidak jarang dicarikan justifikasinya dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana diatur dalam Al- Qur‟an. 10 Seringkali pihak istri dirugikan dan mengalami ketidak adilan dalam pembagian harta bersama. Ketidak adilan ini terkait dengan masalah pembakuan peran suami istri dalam Undag-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UUP yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan 10 Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, Jakarta: Puskumham UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 72-73 9 istri adalah ibu rumah tangga. UUP juga telah menetapkan istri sebatas pengelola rumah tangga domestik dengan aturan yang mewajibkan istri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dampaknya, banyak istri yang tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari nafkah sendiri sehingga tidak bisa mengelola keterampilan yang dimilikinya untuk memperoleh penghasilan. Dalam hal ini, para istri mengalami ketergantungan ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Istri yang telah “dirumahkan” tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara ekonomi. Beban istripun semakin berat jika dalam perkawinan anak-anak menjadi tanggungannya. Ketidak adilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda yang memberatkan pihak istri. Kadang kala istri bekerja di luar rumash sebagai pencari nafkah bahkan sebagai pencari nafkah utama dan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan istri saja, umumnya enggan melakukan pekerjaan rumah tangga meski istrinya sejak pagi bekerja di luar rumah. Seperti dalam kasus yang berada di Pengadilan Agama Rangkasbitung, yang membagi harta bersama tersebut sama rata. Padahal dalam kasus tersebut jelas sekali istri yang bekerja menjadi Tenaga Kerja Wanita TKW di Saudi Arabia selama 2 tahun sedangkan suami hanya di rumah saja. Bahkan sang suami tidak melakukan urusan rumah tangga dan tidak pula mengurus anaknya. Akan tetapi sang suami menikah kembali dengan perempuan lain dan 10 menempati rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya dengan istri dan anak-anaknya. Sedangkan anaknya di urus oleh orangtua sang istri. Sehingga sang istri meminta cerai kepada sang suami ke pihak Pengadilan Agama dan meminta pembagian harta bersama secara adil. Akan tetapi, hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama tersebut membaginya dengan bagian sama banyak separuh untuk istri dan separuh lagi untuk suami, sehingga muncul ketidak adilan gender dalam pembagian harta bersama tersebut. Contoh lain yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang presenter Made Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan komulasi perceraian dengan harta yang diajukannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dikabulkan oleh hakim dengan pembagian harta bersama adalah separuh-separuh. Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari harta bersama karena tidak sedikit istri yang berkontribusi lebih besar dari pada suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur scara profesiaonal dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing. Berangkat dari teori yang penulis paparkan di atas, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang pembagian harta bersama dan mengangkatnya ke dalam karya tulis dengan judul: PEMBAGIAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR 278Pdt. G2012PA Rks. 11

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan terarah dan lebih spesifik, maka perlu ditentukan batasan masalah yang akan dibahas. Adapun masalah dalam penelitian ini dibatasi seputar pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender yang dihubungkan dengan Putusan Perkara Nomor 278Pdt. G2012PA Rks.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian ini pokok masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha ? b. Bagaimanakah regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama ? c. Bagaimanakah analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278Pdt. G2012PA Rks. ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah untuk mengetahui : a. Ketentuan pembagian harta bersama menurut fuqaha. 12 d. Regulasi undang-undang tentang pembagian harta bersama. e. Analisis pembagian harta bersama ditinjau dari perspektif gender berdasarkan Putusan Perkara Nomor 278Pdt. G2012PA Rks.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian diantaranya adalah: a. Bagi Penulis 1 Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat memperluas pengetahuan khususnya dalam bidang pernikahan. 2 Mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan khusunya di dalam lingkup Pengadilan Agama. 3 Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan yang sebenarnya terjadi di masyarakat. b. Bagi Masyarakat 1 Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat tentang pembagian harta bersama dan akibat hukumnya.. 2 Memberikan informasi tentang analisa keputusan hakim Pengadilan Agama mengenai harta bersama akibat dari perceraian. c. Bagi Institusi 1 Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara harta bersama akibat dari perceraian.

Dokumen yang terkait

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

5 77 142

Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Setelah Terjadinya Perceraian Menurut...

1 25 5

Kajian Yuridis Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Putusan Mahkamah Agung Nomor : 255 K/Ag/2012)

0 6 10

Pembagian Harta Waris Bagi Penderita Cacat Mental Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif (Analisis Putusan Perkara No. 94/Pdt.P/2008/Pn.Jkt.Sel)

9 103 74

Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/Pa.Jp)

1 29 86

Penerapan Asas Contra Legem Dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/Pa.Bbs Di Pengadilan Agama Brebes

2 23 110

Penyelesaian Harta Bersama Dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)

2 18 0

Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

1 12 0

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

0 0 23

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

0 0 14