Harta Bersama Menurut Kesetaraan Sosial
73
Kedua, bila dilihat secara budaya culture, yaitu perbedaan antara laki- laki dan perempuan dikonstruksikan mempunyai atau kedudukan bukan
disebabkan karena perbedaan jenis kelamin, melainkan merupakan suatu bangunan sosial Social Construct yang mengatur hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang selanjutnya dapat melahirkan peranan, kedudukan, hak dan tanggung jawab, serta
kewajiban antara laki-laki dan perempuan dilihat dari realita sosial dimana mereka berada.
19
Diakui atau tidak, bahwa selama ini banyak ketimpangan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Persoalan ini bukanlah persoalan
yang disebut mengada-ada.
20
Persoalan itu bukan isu tetapi adalah sebuah realitas di masyarakat kita. Oleh karena itu, bila kita mau membuka mata dan
juga hati kita, kita baru bisa melihat bagaimana realitas kaum perempuan sebagai akibat dari ketidakadilan gender.
Tetapi di zaman sekarang dimana konsep hukumnya berbeda. dimana perempuan tidak lagi di rumah saja. Sekarang perempuan sudah keluar rumah
untuk mencari nafkah keluarga. Sekarang banyak wanita bahkan telah bekerja pada waktu malam hari dengan bekerja di pabrik-pabrik dan dengan resiko
yang sama besarnya. Maka sudah sepantasnya antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Dengan melihat kenyataan yang telah berubah
maka aturanya sebaiknya juga berubah pula walaupun tatap tidak meniggalkan
19
Akbar, Wanita dalam Pandangan Masyarakat, Jakarta: Grafindo Persada, 2000, h. 56
20
Junis, Pusat Kajian Analisis Gender Sebuah Pengantar, 19 Juni 2004, h.16
74
norma agama yang menjadi aturan pokoknya. Yang penting tidak meniggalkan tujuan agama yaitu untuk kemaslahatan Umat.
21
Dengan membuka mata untuk melihat dan menganalisis masalah kaum perempuan berkaitan dengan peran sosialnya di dalam membangun kehidupan
yang setara antara laki-laki dan perempuan itu, maka sebenarnya sangat banyak persoalan yang menghimpit dan memarginalkan kaum perempuan selama ini.
Dengan mencoba mengindentifikasi serta menganalisis realisasi kehidupan kaum perempuan di muka bumi ini, maka di sanalah kita menemukan bahwa
selama ini perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Pandangan, perlakuan atau tindakan diskriminatif terhadap perempuan
yang menghantam kaum perempuan selama berabad-abad ini telah membangkitkan kesadaran terutama kaum perempuan yang mulai terasa bahwa
selama ini mereka ditindas. Ditindas secara sosial, budaya, agama dan lain-lain. Penindasan itu berbentuk sebuah kontruksi sosial, pengkondisian yang
melemahkan kaum perempuan di dalam masyarakat. Dengan pelemahan dan penindasan secara sosial, budaya, agama dan lain-lain, membuat posisi
perempuan dalam segala sektor kehidupan menjadi sangat terbatas. Keterbatasan ini sering dikatakan karena memang sudah kodratnya kaum
perempuan. Sebagai contoh, kodrat kaum perempuan adalah mengurus suami, anak dan semua urusan rumah tangga. Kodrat laki-laki adalah sebagai kepala
keluarga dan sebagainya. Inilah salah satu bentuk kontruksi sosial dan
21
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001, h. 10
75
pengkondisian sosial yang memposisikan perempuan pada posisi yang terpinggirkan. Inilah yang disebut dengan persoalan gender.
22
Padahal, bila kita mau jujur dan ikhlas melihat hal-hal yang bernama kodrrat dan non kodrat, kita bakal berkata ternyata, yang membedakan antara
kaum laki-laki dengan kaum perempuan hanyalah pada hal-hal yang kodrati yang memang tidak dapat dipertukarkan, seperti mengalami menstruasi haid,
melahirkan dan menyusui yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Sementara peran-peran sosial baik itu peran domestik rumah tangga maupun
peran di sektor publik dapat dipertukarkan. Inilah apa yang disebut dengan ketidakadilan gender gender injustice.
Ketidakadilan tersebut seperti masalah beban ganda double burden yang harus diemban oleh perempuan, penomorduaan subordination terhadap
perempuan, pelebelan stereotype, kekerasan violence serta marginalisasi peminggiran yang menyebabkan kemiskinan yang parah di kalangan kaum
perempuan seperti yang terjadi pada zaman dimulainya revolusi hijau. Bentuk bentuk ketidakadilan ini hingga saat ini masih terus berlangsung. Kita bisa
melihat realitas di sekitar kita. Kita bisa melihat bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil.
Ketidak adilan itu justru dipengaruhi oleh cara pandang, sikap dan perbuatan kita terhadap kaum perempuan dengan cara pelebelan dan
sebagainya. Dan satu hal yang sangat sering mempurukkan perempuan ke
22
Herry Santoso, Idiologi Patriarki dalan Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta: Proyek Penelitian Penelitan PSW UGM, 2001, h. 78
76
dalam lembah yang melemahkan perempuan adalah karena persepsi kita tentang apa yang dikatakan kodrat dan non kodrati.
Tersadar dari kondisi buruk yang melanda kaum perempuan, belakangan ini muncul sebuah keprihatinan yang melahirkan keinginan dan
komitmen untuk memberdayakan dan menguatkan kaum perempuan, baik secara individu maupun dalam bentuk kelompok yang akhirnya membangun
sebuah gerakan bersama. Apabila dilihat pada tingkat global pada dasawarsa tahun 1990-an
konsep gender dan pembangunan diperkenalkan dan dengan cepat menjadi populer. Ciri-ciri utama wawasan gender dan pembangunan adalah sebagai
berikut:
23
a. Wawasan gender dan pembangunan melihat hubungan antara laki-laki dan
perempuan secara holistik dan komprehensif, yaitu mengkaji bagaimana masyarakat terorganisir dalam hubungan gender dalam berbagai
dimensinya, seperti dimensi ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan dan pembangunan dalam arti luas.
b. Wawasan gender dan pembangunan tidak hanya menaruh perhatian pada
fungsi reproduksi perempuan, tetapi pada keterkaitan antara fungsi produksi baik dalam rumah tangga maupun dalam pasar dengan fungsi reproduksi
biologis maupun sosial pola arah.
23
Fakih Mansor, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 50
77
c. Pertanyaan mendasar yang ingin dipecahkan adalah mengapa perempuan
secara sistematik cenderung ditempatkan pada posisi lebih rendah atau sekunder dalam hubungan dependensi terhadap pria.
d. Karenanya wawasan gender dan pembangunan melihat peningkatan peranan
perempuan sebagai upaya, mengubah hubungan gender yang selaras, seimbang dan serasi.
e. Sehubungan dengan itu, intervensi kebijaksanaan dalam meningkatkan
peranan perempuan tidak hanya ditujukan kepada kebutuhan praktis perempuan yang berorientasi kepada kesejahteraan lahiriah semata-
mata,tetapi pada pemenuhan kebutuhan strategik gender perempuan, kebutuhan mengaktualisasikan diri, kebutuhan untuk memiliki akses dan
penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan dan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
24
Pada umumnya masyarakat berasumsi bahwa bila hukum diterapkan menurut apa yang terumus di dalamnya, maka akan tercipta keadilan. Terdapat
pula persepsi yang luas bahwa hukum mengatur hubungan-hubungan antar manusia secara adil dan tidak memihak. Bila hukum ditinjau melalui
paradigma kritis maka persepsi arus umum main stream yang cukup lama bertahan tanpa digoyang-goyangkan ini akan dipertanyakan, malahan akan
ditolak. Di kalangan kaum perempuan sendiri karena terlalu lama dikungkung
dalam budaya patriarkhis, kaum perempuan sendiri tidak percaya terhadap
24
Bainar dan Aichi Halik, Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2009, h. 15
78
kemampuannya dalam memimpin. Untuk itulah dalam usaha mencapai hukum yang adil dan menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam
hubungan kemanusiaan, perlu dilakukan upaya-upaya mempercepat kesetaraan gender di masyarakat kita.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembagian harta bersama perlu didasarkan pada aspek keadilan untuk semua pihak yang terkait. Keadilan yang
dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak.
Kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasi asalkan sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Dalam realitas kehidupan bermasyarakat,
pembagian harta bersama kerap menimbulkan persengketaan diaantara pasangan suami istri yang telah bercerai, terutama apabila disebabkan adanya
salah satu di antara kedua pasangan yang tidak mempunyai penghasilan, baik istri maupun suami.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam
sebagaimana yang telah dijelaskan, maka masing-masing dari pasangan tersebut mendapat bagian yang sama. Artinya, pasangan yang tidak bekerja
tetap mendapatkan bagian. Meskipun demikian, pembagian dengan persentase 50:50 tidaklah mutlak, bisa juga didasarkan pada siapa yang paling besar
penghasilannya.
25
25
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. h. 44
79