No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama, sehingga penelitian ini asli, baik dari segi materi
maupun metode pendekatan dalam menganalisis bahan hukum primer, sekunder dan tertier, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
ilmiah dan terbuka untuk kritikan–kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Penyelesaian sengketa perselisihan secara damai musyawarah muakat sudah merupakan budaya dalam masyarakat adat tradisional di Indonesia.
Penyelesaian sengketa secara damai ini dikenal pada zaman Hindia Belanda, yang disebut dengan “Peradilan Desa” Dorpsjustitie, sebagaimana diatur dalam Pasal 3
RO.
11
Menurut Pasal tersebut dikatakan : 1.
Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan Hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil Hakim Desa tetap diadili oleh para Hakim
tersebut.
2. Ketentuan ayat di muka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara
untuk Setiap waktu mengajukan perkaranya kepada Hakim-Hakim yang lebih tinggi.
3. Hakim-Hakim yang dimaksud pada ayat 1 mengadili perkara Menurut
hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhi hukuman.
11
H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2003, h. 247.
Jika terjadi perselisihan di kampung, di dusun, di tempat pemukiman, maka untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga dan masyarakat bersangkutan
diselesaikan secara langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan, atau diselesaikan di rumah keluarga salah satu pihak yang bersangkutan, atau antara
tetangga daslam kesatuan rukun tetangga. Apabila pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga atau tetangga
tersebut tidak mencapai kesepakatan, atau karena satu dan lain hal tidak berkelanjutan, sehingga perkaranya perlu dilanjutkan kepada Kepala Kerabat atau
Kepala Adat. Di daerah Lampung misalnya, perselisihan “kawin lari” di antara sesama orang Lampung, harus diselesaikan oleh Kepala Kerabat atau Kepala Adat.
12
Penyelesaian perselisihan secara damai yang dilakukan oleh Kepala Desa dilaksanakan di Balai Desa, yang disebut dengan Peradilan Desa Doorpsjustitie,
sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan, Kepala Desa berusaha antara lain : a.
Menerima dan mempelajari pengaduan yang disampaikan kepadanya. b.
Memerintahkan Perangkat Desa atau Kepala Dusun untuk menyelidiki kasus perkara, dengan menghubungi para pihak yang bersangkutan.
c. Mengatur dan menetapkan waktu persidangan serta menyiapkan persidangan di
Balai Desa. d.
Mengundang para Sesepuh Desa yang akan mendampingi Kepala Desa memimpin persidangan, dan lainnya yang dianggap perlu.
12
Ibid, h. 243.
e. Mengundang para pihak yang berselisih, para saksi untuk di dengar
keterangannya. f.
Membuka persidangan dengan menawarkan perdamaian di antara kedua belah pihak.
g. Memeriksa perkara, mendengar keterangan saksi, pendapat para Sesepuh Desa,
Kepala Dusun yang bersangkutan dan lainnya. h.
Mempertimbangkan dan menetapkan keputusan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kepala Desa atau Kepala Adat bertujuan untuk mewujudkan perdamaian antara kedua belah pihak, bukan
mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, dengan demikian keseimbangan yang terganggu di antara para pihak dapat dipulihkan kembali, sebagaimana dikatakan Ter
Haar : “Hij moet trachten aan te sluiten op de roekoenanpraktijk der Indonesiers, hoe dmeer hoe beter”. Jadi Kepala Desa sebagai juru damai harus berusaha sebanyak
mungkin agar kebiasaan rukunan orang-orang Indonesia tetap dipertahankan.
13
Penyelesaian sengketa secara damai juga dikenal di kota-kota kecil, besar atau di daerah di mana penduduknya heterogen, di mana terdapat perkumpulan atau
organisasi kemasyarakatan, seperti halnya perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan masyarakat adat di perantauan, perkumpulan kepemudaan dan kewanitaan,
perkumpulan keagamaan dan lainnya. Apabila terjadi pertikaian di antara anggota, maka yang bertindak sebagai juru damai adalah ketua perkumpulan bersangkutan.
13
Ibid, h. 245
Begitu pula jika peristiwa yang terjadi itu bukan di antara sesama anggota, melainkan terjadi dengan orang luar perkumpulan atau perkumpulan lain, maka pimpinan
perkumpulan itu masing-masing mengadakan perundingan dan menyelesaikan perselisihan di antara perkumpulan mereka, dengan rukun dan damai.
Dengan meminjam istilah Koesnoe yasng disebutnya dengan Ajaran Menyelesaikan, sebagai lawan dari Ajaran Memutus. Ajaran Menyelesaikan
menitikberatkan pada penyelesaian sebuah sengketa dengan cara musyawarah mufakat, sehingga hasilnya dapat memulihkan kembali hubungan di antara para pihak
yang bersengketa seperti sebelum terjadinya sengketa.
14
Pada dasarnya perselisihan yang terjadi di masyarakat diselesaikan secara musyawarah mufakat. Penyelesaian melalui Litigasi sedapat mungkin dihindari.
Gagasan untuk menghindari penyelesaian secara litigasi dan anjuran berkompromi pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan :
“Discorage Litigation. Persuade your neighbors to compromise whenever you can. Point out to them how nominal winner is often a real loser in fees, expenses, and
waste of time”.
15
Apabila mengacu kepada penyelesaian sengketa atau masalah dengan cara musyawarah mufakat Seperti yang telah dikemukakan di atas, maka untuk mencapai
penyelesaian masalah atau sengketa harus dibangun paradigma baru, yaitu mengubah
14
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara 1 April 2006, h. 7.
15
Ibid.
paradigma mengadili menjadi menyelesaikan masalah atau sengketa. Paradigma baru ini akan mencakup empat strategi pokok, yaitu :
Pertama; revitalisasi fungsi Pengadilan untuk mendamaikan pihak-pihak yang menghadapi sengketa hukum. Fungsi ini terutama berkaitan dengan sengketa hukum
yang bukan perkara pidana. Sesuai dengan ketentuan yang sudah ada Hakim wajib berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempertemukan dan meyakinkan pihak-
pihak untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi secara damai menuju prinsip win-win solution. Pihak-pihak diwajibkan untuk secara sungguh-sungguh
compulsory dan di bawah supervisi Hakim untuk menyelesaikan sengketa hukum secara damai.
Kedua; revitalisasi pranata-pranata sosial dengan memberikan dasar-dasar yang lebih kuat bagi pengembangan lembaga penyelesaian ADR seperti arbitrase,
mediasi, maupun perdamaian di luar Pengadilan. Pada saat ini telah ada BANI dan BMN. Selain itu, perlu didorong peran-peran lain seperti lembaga bantuan hukum
untuk mediasi, dan lain-lain. Ketiga; menata kembali tata cara penyelesaian suatu perkara menjadi lebih
efisien, efektif, produktif, dan mencerminkan keterpaduan sistem diantara unsur- unsur penegak hukum dengan merinci pembagian tugas dan wewenang yang tegas
diantara para penegak hukum. Prinsip sistem peradilan terpadu dalam perkara pidana integrated criminal justice system, tidak cukup mengatur hubungan koordinasi
diantara para penegak hukum. Tanpa mengurangi maksud membangun kemandirian dan tanggung jawab masing-masing penegak hukum seperti “hubungan
pertimbangan” atau “hubungan supervisi” agar suatu proses perkara tidak terhenti akibat suatu formalitas yang kurang atau tidak dipenuhi secara sempurna.
Keempat; menata kembali hak-hak berperkara yang menyebabkan penyelesaian yang berlarut-larut, dan mengandung berbagai potensi konflik
“permanen” diantara pihak-pihak atau mereka yang terkena perkara. Strategi ini berkaitan dengan pembatasan hak kasasi yang dapat didasarkan kepada nilai perkara,
ancaman pidana, atau sifat perkara. Yang terakhir ini berkaitan dengan perkara- perkara di bidang hukum kekeluargaan perceraian, pemeliharaan anak,
pengangkatan anak, harga perkawinan dan lain-lain. pembatasan hak kasasi pada perkara-perkara hukum kekeluargaan dimaksudkan agar dapat tuntas secepat
mungkin mengingat kepentingan-kepentingan dari pihak dan orang ketiga seperti anak yang bersangkutan dalam perkara tersebut.
16
Rumusan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke sembilan dari Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian
16
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, Yogyakarta : FH-UII Press, 2004, h. 25-26.
sengketa di luar Pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
17
Alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan tersebut akan segera diuraikan di bawah ini :
1. Konsultasi
Meskipun konsultasi alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, namun tidak ada satu Pasal-pun yang menjelaskannya. Dengan mengutip Black’s Law Dictionary, Gunawan Widjaya dan Ahmad
Yani menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien”
dengan pihak lain yang merupakan “konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya
tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah
memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil
sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan
17
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek Peradilan Perdata dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Jurnal Ilmiah, dapat dilihat di situs :
www.pemantauperadilan.com, diakses terakhir tanggal 07 Desember 2005.
kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.
18
2. Negosiasi dan Perdamaian
Menurut Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang
timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi
adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sd 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan diantara kedua
belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya
suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu negosisasi diberikan
tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan di antara
para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga
alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar Pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan Pengadilan
18
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta : Rajawali Press, 2000, h. 10.
dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
19
3. Mediasi
Berdasarkan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui
bantuan “seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Hal tersebut sesuai dengan azas iktikad baik di mana setiap orang yang membuat suatu
perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik. Maksudnya, bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan
keadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.
20
Demikian juga halnya dalam melakukan proses mediasi di Pengadilan sesuai dengan Perma No. 2 Tahun 2003 berdasarkan azas pacta sunt servanda
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam proses mediasi adalah bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan menjadi undang-undang bagi
para pihak. Hal tersebut adalah untuk mendapatkan kepastian hukum. Menurut Subekti, tujuan azas pacta sunt servanda adalah untuk memberikan perlindungan
kepada para pihak agar tidak khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu
19
Agnes M. Toor, dkk, Arbitrase di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995, h. 10.
20
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1983, h. 139.
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
21
Dengan demikian suatu perjanjian harus ada suatu kata sepakat dari mereka yang
membuat perjanjian sesuai dengan syarat sah suatu perjanjian yang dianut dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mempunyai azas konsensualitas. Maka,
dalam proses mediasi yang memuat perjanjian perdamaian diantara para pihak harus sesuai dengan ketentuan azas konsensualitas berdasarkan ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata tersebut.
22
Kemudian kesepakatan tertulis yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama
30 tiga puluh hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu selama 30 tiga puluh hari sejak pendaftaran.
23
4. Konsiliasi dan perdamaian
Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar
Pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses ligitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar
21
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1985, h. 20.
22
Ibid.
23
Lihat ketentuan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa di mana telah diperoleh suatu putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
24
Penyelesaian perkara melalui mediasi mengandung berbagai keuntungan substansial dan psikologis yang terpenting diantaranya, yakni :
a. Penyelesaian bersifat informal.
Penyelesaian melalui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum dari kedua belah pihak yang melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum legal term
kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhkan doktrin dan azas pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan.
b. Menyelesaikan sengketa para pihak secara tersendiri.
Penyelesaian ini tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak Hakim ataupun arbiter tetapi diselesaikan para pihak tersendiri sesuai dengan kemauan
mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal-hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalahkan.
c. Jangka waktu penyelesaian pendek
Pada umumnya jangka waktunya relatif singkat atau pendek berdasarkan ketulusan dan kerendahan hati para pihak oleh karenanya bersifat speedy cepat.
d. Biaya ringan
Perdamaian tidak memerlukan biaya yang mahal very expensive.
24
Agnes M. Toor, dkk, Loc.cit.
e. Aturan pembuktian tidak perlu
Prinsip pembuktian yang formil dan teknis tidak esensil jikalau terjadi perdamaian.
f. Proses penyelesaian bersifat confidential
Penyelesaian perdamaian benar-benar bersifat rahasia confidential yakni: penyelesaiannya tertutup untuk umum, yang mengetahui hanya mediator,
konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu proses perdamaian, oleh karenanya nama baik para pihak dalam lingkungan masyarakat
dan bisnis tetap terjaga. g.
Hubungan para pihak bersifat cooperative Dalam proses perdamaian tidak terjadi suatu permusuhan atau
antagonisme, tetapi persaudaraan dan kerjasama para pihak menjauhkan dari rasa dendam dan permusuhan.
h. Komunikasi dan fokus penyelesaian
Dalam proses perdamaian terwujud komunikasi aktif diantara para pihak yang berkeinginan memperbaiki perselisihan ataupun kesalahan masa lalu menuju
hubungan yang lebih baik untuk masa depan. i.
Hasil yang dituju sama menang Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam perdamaian dapat dikatakan
luhur, yakni sama-sama menang atau disebut konsep win-win solution dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan serakah atau menang sendiri, dengan
demikian tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or losing seperti penyelesaian melalui Pengadilan ataupun arbitrase.
j. Bebas emosi dan dendam
Perdamaian meredam sikap emosional yang tinggi dan bergejolak.ke arah suasana bebas emosi, oleh karenanya tujuan yang akan dicapai dapat terlaksana
dengan baik.
25
Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 130 maupun Pasal 154 RBg pada asasnya mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai.
Adapun isi ketentuan Pasal 130 ayat 1 HIR berbunyi : Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan
negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, Selanjutnya ayat 2 mengatakan :
Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak
dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
26
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal tersebut, sistem yang diatur dalam hukum
acara perdata tentang penyelesaian perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri hampir sama dengan court connection arbitration system, dengan alasan sebagai
berikut :
25
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Op.cit., h. 293.
26
R. Susilo, RBgHIR Dengan Penjelasan, Bogor : Politea, 1985, h. 88.
1. Hakim membantu atau menolong para pihak yang berperkara untuk
menyelesaikan sengketa dengan perdamaian, 2.
Selanjutnya apabila tercapai kesepakatan diantara para pihak, kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditandatangani
para pihak dan terhadap perjanjian perdamaian tersebut dibuat suatu akta berupa putusan yang dijatuhkan Pengadilan yang mencantumkan amar, menghukum para
pihak menepati perjanjian perdamaian, oleh karenanya hampir sama dengan court connection arbitration system.
Berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg pada prinsipnya lebih menghendaki penerapan konsep win-win solution yaitu sama-sama menang
daripada penerapan winning or loosing yaitu menang atau kalah. Kemudian berdasarkan Pasal 131 ayat 1 HIR menyatakan upaya Hakim
untuk mendamaikan adalah bersifat inperatif yakni Hakim wajib berupaya untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, maka oleh karenanya jika Hakim tidak
dapat mendamaikan para pihak harus disebut didalam Berita Acara Sidang. Apabila didalam berita acara persidangan tidak mencantumkan upaya perdamaian yang
dilakukan oleh Majelis Hakim maka proses pemeriksaan perkara tersebut mengandung cacat formil dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum serta
melanggar tata tertib beracara yang dikualifikasikan undue process.
27
27
Siti Magadianti Adam, dan Clarita Degrantini, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Indonesian Institute for Conflict Transformation, Jakarta : MaPPI FHUI,
www.pemantauperadilan.com. Diakses terakhir tanggal 7 Desember 2005
Bertitik tolak dari pendekatan strict law, menyatakan : pemeriksaan yang sama sekali tidak memberi ruang terhadap perdamaian atau lalai mencantumkan
tahap tersebut dalam berita acara, proses pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil, akibatnya pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum.
Kemudian penyelesaian melalui perdamaian diatur dalam Pasal 6 Perma yang berbunyi : Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara
dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
28
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Perma dimaksud, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Hakim wajib mendamaikan.
Penerapan kewajiban mendamaikan yang diatur dalam Pasal 6 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yaitu :
a. Kewenangannya berupa tindakan, yakni mendorong para pihak untuk
menyelesaikan perkara melalui perdamaian, yang mana perdamaian tersebut diserahkan kepada keinginan para pihak dan Hakim tidak dapat memaksa
para pihak untuk berdamai. b.
Berlangsungnya kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan Hakim, mulai dari saat awal persidangan maupun selama proses pemeriksaan
berlangsung sebelum sampai putusan dijatuhkan.
28
Lihat Ketentuan Pasal 6 Perma No. 2 Tahun 2003.
Dengan diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang efektif berlaku mulai sejak 11 September 2003,
memaksakan secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti terlebih dahulu ditempuh melalui proses mediasi, dan apabila proses mediasi gagal, maka proses
litigasi dapat dilanjutkan.
29
2. Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tata cara pemeriksaaan perdamaian yang diatur dalam
Pasal 6 tunduk kepada Pasal 130 HIR, dengan acuan sebagai berikut : a.
Para pihak menyepakati sendiri materi perdamaian. b.
Kesepakatan agreement dibuat dan dirumuskan di luar persidangan tanpa campur tangan Hakim.
c. Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak
dengan memakai kertas bermaterai. d.
Selanjutnya para pihak meminta kepada Hakim agar terhadap kesempatan itu dijatuhkan putusan perdamaian. Maka berdasarkan permintaan para pihak,
Hakim menjatuhkan putusan yang memuat Diktum : “Menghukum para pihak memenuhi dan melaksanakan isi perdamaian”. Putusan demikian disebut
dengan putusan acte van vergelijk atau acte van dading.
30
29
Lihat ketentuan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan
30
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1988, h. 83.
Putusan perdamaian menurut Pasal 130 HIR dianggap sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, yakni :
1. Tertutup terhadap upaya banding dan kasasi.
2. Langsung final dan mengikat final and binding kepada para pihak.
3. Serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial executorial kracht
sehingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela dapat dijalankan eksekusi melalui Pengadilan Negeri.
31
2. Kerangka Konsep