ABRI dan Birokrasi Praktek Dwi Fungsi ABRI

61 7. Hubungan kerja anggota ABRI dan sipil di mana anggota ABRI ditempatkan tidak harmonis karena perbedaan karekter dan terlalu dominasi.

2.3.7 ABRI dan Birokrasi

Pada awal Orde Baru, pemerintah di bawah Presiden Soeharto segera melakukan usaha-usaha pemulihan dengan melakukan pembangunan di segala bidang. Model pembangunan pada masa oede baru cenderung bercorak teknokratis dan birokratis. Kecenderungan ini tampaknya dibentuk secara sekaligus oleh kebutuhan objektif berupa krisis ekonomi, politik, sosial dan kebutuhan subjektif penguasa untuk melanggengkan rezim berkuasa. 69 Salah satu konsekuensi dari penciptaan model pembangunan tersebut adalah terjadinya pembesaran birokrasi, birokrasi menjadi alat pembangunan yang sangatlah penting untuk tujuan teknis membantu formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan pemerintah. Akan tetapi hal ini, juga bertujuan untuk menjaga stabilitas kekuasaan negara secara internal dan melakukan penguasaan masyarakat secara eksternal. 70 Terdapat sekurang-kurangnya tiga ciri khas birokrasi orde baru yaitu : 71 69 R. Eep saefulloh Fattah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal 133. 70 Hans-Dieter dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis, terjemahan dari Aan Affendi, Yayasan Obor Indonesia. Hal 63. 71 R. Eep Saefulloh Fattah, Opcit hal 133-134 62 1. Melakukan pembesaran jumlah anggota birokrasi secra kuantitatif, seperti dalam dua puluh tahun jumlah anggota birokrasi bertambah menjadi lima kali lipat dari 393.000 orang menjadi 2.047.000 orang 2. Memberikan kewenangan besar kepada birokrasi untuk menjadi perpanjangan tangan negara dalam mengontrol masyarakat, dan 3. Memasukkan kekuatan militer dalam birokrasi, baik pusat maupun daerah. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada masa orde baru terjadi pemebesaran peran birokrasi terutama militer. hal ini dikarenakan penguasaan militer terhadap birokrasi dianggap sebagai strategi yang paling tepat dalam rangka mengamankan pembangunan dan kelangsungan kekuasaan. Di awal masa orde baru, dari 27 anggota kabinet yang diangkat pada bualan Juli 1966, terdapat 12 atau 44 menteri yang merupakan anggota ABRI, yaitu 6 berasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya merupakan panglima-panglima dari angkatan lain. Meskipun wakil-wakil sipil lebih banyak 53 yang duduk di kabinet tetapi penempatannya tidak dalam posisi yang strategis. Pada tahun 1968, komposisi anggota ABRI yang duduk dalam kabinet berubah, dari 23 anggota kabinet, 4 anggota berasal TNI AD dan dua angkatan lainnya TNI AL dan TNI AU mendapatkan jatah masing-masing satu orang. Setelah Pemilihan Umum 1971 63 komposisi berubah lagi turun dari 4 anggota kabinet TNI AD menjadi 3 anggota, walaupun kemudian pada tahun 1973 ditambah 1 orang lagi. 72 Kedudukan kekuasaan para menteri sipil dalam departemen semakin dibatasi pula dengan diangkatnya para perwira militer untuk menduduki birokrasi sipil tingkat Sekertaris Jenderal dalam Departemen. Tahun 1966, posisi sekjen yang berurusan dengan sipil ini, dari 20 separtemen terdapat 11 angota ABRI yang menduduki Sekretaris Jenderal. Sementara pada tingkat lokal atau daerah tingkat I pada tahun 1966, dari 24 Gubernur terdapat 12 50 di daerah tingkat I berasal dari militer. Pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang bersal dari kalangan militer berubah naik daari 12 menjadi 17 Gubernur. Begitu juga pada tingkat Kabupaten, jumlah Bupati yang dulu diduduki oleh orang sipil telah banyak diganti oleh kalangan militer. Pada dasarnya komposisi jumlah anggota kabinet mayoritas orang sipil, tetapi mereka tidaklah mendapatkan dukungan politik yang cukup untuk melaksananakn kekuasaan yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena mayoritas sipil yang diangkat menjadi menteri tersebut bukanlah orang-orang yang mewaliki partai melainkan orang-orang teknokrat yang tidak berafiliasi kepada partai manapun. 73 72 Harold Crouch. Opcit hal 269 73 Ibid hal 272. Hal ini disebabkan sebagai langkah pembersihan dari keterkaitan dengan PKI yang ada di daerah. 64 Keterlibatan militer dalam birokeasi lokal yang lebih menonjol lagi selain jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Musyawarah Pimpinan Daerah Muspida di tingkat Kabupaten dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan Muspika di tingkat kecamatan. Pimpinan militer terlibat banyak dalam pengendalian kehidupan masyarakat di daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik. Meskipun secara umum posisi kekuasaan dibagi dengan orang-orang sipil, namun sipil harus menyesuaikan diri dengan sistem di mana kekuasaan terletak di tangan militer. Meskipun pemerintah mengklaim menganut sistem demokrasi namun yang terjadi malah sebaliknya, pola hubungan sipil-militer menganut kontrol militer terhadap sipil dengan alasan stabilitas politik dan keamanan untuk suksesnya pembangunan ekonomi. 65 BAB III ANALISIS KONTROL SIPIL TERHADAP MILITER PASCA ORDE BARU

3.1 Militer Pasca Orde Baru