75
3.2 Kontrol Pemerintah Terhadap Militer Pasca Orde
3.2.1 Masa Pemerintahan B. J. Habibie
Pada waktu gelombang reformasi digulirkan oleh kalangan sipil seperti mahasiswa, LSM, tokoh masyarakat dll, militer merupakan sasaran utamanya. Pada
dasarnya gerakan tersebut diarahkan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya, akan tetapi dalam perjalannya menuntut juga untuk militer
melakukan perombakan internal terkhusus dalam konsepsi dwifungsi ABRI yang dijalankan di masa orde baru.
Hilangnya legitimasi kekuasaan Soeharto ke pemerintahan sipil dibawah presiden B.J Habibie diharapkan terwujudnya supremasi sipil yang menjadi pedoman
dalam demokrasi. Dalam pemerintahan presiden B.J Habibie kebijakan yang ditempuh untuk memulihkan keadaan yang telah terjadi di masa orde baru lebih
mengarah kepada pengelolaan hubungan sipil-militer seperti manajerial internal ABRI dan restrukturisasi sistem politik sebagaimana yang dituntun oleh kaum
reformis. Militer pada masa B.J Habibie merupakan warisan dari presiden Soeharto
yang peran politiknya hanya pada tingkat doktrin dan militer sudah mendarah daging untuk tunduk dan patuh terhadap Soeharto. Jadi tidak mengherankan pemerintah baru
itu didukung dan disambut oleh militer walaupun berasal dari kalangan sipil. Dalam
76
pemerintahan Presiden B.J Habibie relatif tidak banyak kebijakan yang dilakukan pada masa transisi ini untuk dapat menunjukkan adanya kontrol sipil terhadap militer.
Mempertahankan kedudukan strategis pejabat militer di masa orde baru masih dilakukan oleh pemerintah B.J Habibie, seperti memberikan kepercayaan kepada
Jenderal TNI Wiranto untuk tetap memegang jabatan sebagai Panglima ABRI. Padahal sudah jelas adanya kedekatan hubungan antara Soeharto dengan Jenderal
Wiranto. Hal tersebut memberikan kesan bahwa pemerintahan baru setengah hati untuk memutus rantai kekuasaan Soeharto.
Berdasarkan penjelasan ABRI terhadap paradigma baru yang dilakukan bukan menyangkut pada menghilangkan peran sosial politik, melainkan pada tahap
penyesuaian peran sosial politik seperti mengubah posisi dan metode bahwa ABRI tidak harus di depan, konsepsi tentang menduduki menjadi mempengaruhi dan
adanya kebersamaan dalam pengambilan keputusan kenegaraan yang lebih konstruktif.
Jika dikaji secara komperhensif tentang paradigma baru ABRI yang berisi tentang Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi mempunyai arti bahwa militer berbeda
dengan militer di masa orde baru, jika pada masa orde baru militer menempatkan posisi sentral, maka pasca orde baru militer rela memberi jalan bagi instansi
fungsional terkait pelaksanaan tugas-tugas sesuai bidangnya. Kemudian mengandung
77
makna mempengaruhi bukanlah sebagai mana yang dimaksudkan dengan intervensi melainkan adanya kontribusi pemikiran yang konstruktif, menghindari keterlibatan
yang berlebihan terhadap bidang yang bukan keahlian militer dan adanya pembagian peran dengan sipil yang lebih bersifat fungsional.
Sebagai mana realisasi dari paradigma baru ABRI dengan melakukan langkah-langkah perubahan internal yang telah digambarkan sebelumnya setidaknya
mengurangi akses penerapan doktrinisasi dari Dwi Fungsi ABRI. Perubahan- perubahan tersebut di pandang positif oleh kalangan sipil, di mana lebih
mengedepankan fungsi teritorial ABRI yang lebih terfokus pada fungsi yang seharusnya yaitu sebagai aparat pertahanan dan keamanan nasional bukan pada fungsi
sosial politik lagi. Demiliterisasi jabatan birokrasi atau dengan kata lain penghapusan kebijakan
penugaskaryaan ABRI dimaksudkan untuk merealisasi pengurangan secara sistematis dan bertahap dalam jumlah karyawan ABRI yang kurang strategis pada lembaga-
lembaga departemen dan non departemen. Implementasi reposisi ABRI dengan adanya pemisahan POLRI dari tubuh ABRI dimaksudkan untuk postur
keprofesionalan militer itu sendiri, di mana POLRI diharapkan mampu memberikan pelayanan masyarakat serta berperan aktif dalam proses penegakan hukum.
78
Upaya reposisi lainnya adalah perubahan nama ABRI menjadi TNI yang didasari proses menuju profesionalitas militer itu sendiri. Dengan demikian, efek dari
perubahan nama tersebut juga harus menuntut adanya perubahan tugas dan fungsi masing-masing. TNI berfokus dan berkaitan dengan urusan pertahanan negara,
sedangkan POLRI bertanggung jawab terhadap urusan penegakan hukum, ketertiban dan keamanan masyarakat.
Perubahan kelembagaan internal tersebut dimaksudkan sebagai perubahan citra ABRI yang selama orde baru sebagai alat penguasa untuk melakukan represif
terhadap masyarakat. Disamping perubahan-perubahan internal tersebut ABRI tetap harus menjunjung tinggi supermasi hukum yaitu dengan penegakan hukum terhadap
beberapa kasus penculikan para aktifis yang pro terhadap demokrasi. Bagaimanapun kejadian tersebut haruslah menjadi tanggungjawab ABRI karena dilandasi oleh
paradigma baru. perubahan-perubahan ini merunut beberapa kalangan bukanlah didasari oleh kesadaran yang penuh dari internal ABRI, melainkan dari desakan dan
tuntutan yang ada. Memasuki masa transisi dengan euforia kebebasan dan demokrasi, maka
muncullah partai-partai politik baru dengan berbagai flat pfom yang menempel pada diri partai-partai tersebut. Ada partai yang berdasarkan agama, suku, daerah, bahasa,
79
jenis kelamin, dan sebagainya.
85
Meskipun pada saat itu sistem pemerintahannya adalah sistem presidensial, akan tetapi cara yang dipakai dalam pemilu di Indonesia tidak seperti cara yang
dilakukan oleh negara-negara liberal di mana pemilu dilaksanakan langsung untuk Hal ini dapat dikatakan sebagai hidup kembali
wacana kebebasan dan demokrasi seperti yang tersirat di pasal 28 UUD 1945 di mana negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan
menyatakan pendapat. Pada masa Orde baru organisasi sosial dan politik seperti partai politik PPP,
Golkar dan PDI hanyalah berperan sebagai mesin politik elit penguasa pada saat itu. Partai politik dianggap sebagai lembaga yang mandul dalam praktek politik dan
kebijakan karena telah ditentukan oleh elit penguasa. Sebagai akibatnya fungsi-fungsi dari partai politik yang ada cenderung menjadi terhambat.
Kehadiran partai-partai politik di masa transisi ini menghadirkan 48 partai politik peserta pemilu, yang dapat dikatakan sebagai euforia panggung demokrasi dan
munculnya kekuatan sipil. Namun, jumlah partai yang sedemikian banyaknya bukan langkah yang baik untuk perubahan Indonesia, melainkan dapat memunculkan
instabilitas politik di masyarakat. Dampak lainya adalah tidak terciptanya suasana yang kondusif di Dewan Perwakilan Rakyat DPR dalam pengambilan kebijakan.
85
Al Chaidar, Pemilu 1999 : pertarungan ideologis partai-partai islam versus partai-partai sekuler, penerbit Darul Falah, Jakarta, 2000. Hal 13
80
memilih presiden, melainkan memilih wakil rakyat yang direpresentatifkan dalam lembaga perwakilan rakyat yaitu DPRMPR.
Hasil pemilu 1999 tidaklah menghasilkan mayoritas tunggal. Hal yang menjadi permasalahan bagi kalangan partai politik adalah bagaimana sikap TNI-Polri
dalam menentukan keputusannya di parlemen. Kekuatan fraksi TNI-Polri cukup signifikan dalam menentukan suara yang mayoritas karena faksi tersebut berjumlah
38 kursi. Namun, berdasarkan paradigma baru ABRI yang melakukan perubahan- perubahan menuju militer yang profesional tetap konsisten dalam melakukan pola
hubungan sipil-militer yang kondusif. Kenyataan tersebut terlihat dari sikap fraksi TNI-Polri yang memilih untuk bersikap netral atau abstain.
Semua partai pemenang yang memiliki kemampuan berkoalisi akhirnya sepakat menjadi satu dalam membentuk pemerintahan, tanpa adanya partai oposisi
untuk mencegah terjadinya instabilitas nasional. Dengan kata lain, hal tersebut dilakukan dengan pembagian jatah-jatah kekuasaan, pada dasarnya kondisi itu
membuat keaadaan makin tidak sehat karena tanpa adanya pengontrol pemerintah yaitu kelompok oposisi.
81
Konsistensi TNI dalam menyongsong demokrasi yang lebih sehat dilakukan dalam sikap netral pada pemilu 1999. Sikap netral ini ditunjukkan dalam bentuk
sebagai berikut :
86
1. TNI tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan upaya-upaya guna
memenangkan salah satu partai politik peserta pemilu tertentu. 2.
TNI tidak berpihak kepada partai politik peserta pemilu manapun juga. 3.
TNI memberikan perlakukan yang ama secara adil dan proporsional kepada seluruh partai politik peserta pemilu.
Sedangkan perannya mengamankan dan menyukseskan pemilihan umum 1999, TNI mempunyai tugas sebagai berikut :
87
1. Memberikan jaminan keamanan dan rasa aman bagi seluruh masyarakat
Indonesia untuk melaksanakan pemilu dan sidang umum MPR 1999. 2.
Memelihara dan meningkatkan kewaspadaan serta kesiapan operasional seluruh unsur TNI dan Polri dalam menangkal setiap hakikat ancaman yang timbul.
3. Memproses dan menyelesaikan masalah-masalah yang masih mengambang
selama ini sampai tuntas, secara tegas, persuasif, sesuai dengan rambu-rambu hukum, dan diupayakan bebas ekses.
86
Mabes TNI, Buku Pemilu tentang Netralitas TNI dan Polri, Mabes TNI, Jakarta, hal 27
87
Ibid hal 26
82
4. Mewujudkan sikap dan komitmen netralitas TNI secara nyata dan bertanggung
jawab kepada pelaksanaan pemilu 1999. 5.
Melaksanakan sosialisasi dan penciptaan kondisi sesuai dengan kewenangan dan tugas masing-masing.
6. Melaksanakan pengamanan fisik selama kampanye pemungutan suara dan
penghitungan suara. 7.
Meningkatkan pengamanan pada daerah yang rawan keamanan. Disamping mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan keluarga besar
TNI, institusi tersebut juga mengeluarkan kebijakan yang melarang setiap prajuritnya untuk, seperti di bawah ini :
88
1. Memberikan bantuan dan fasilitas diluar fasilitas keamanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. 2.
Menjadi anggota, aktivis dan pengurus partai politik peserta pemilu. 3.
Ikut campur dalam kegiatan politik praktis partai politik peserta pemilu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Menerima bantuan dalam bentuk apapun dari partai politik peserta pemilu.
5. Mempengaruhi anggota masyarakat dalam seluruh proses tahapan pemilu.
TNI telah membuktikan diri dalam pemilu 1999 untuk bersikap netral yang sesuai dengan konsep paradigma baru yang menjadi landasannya. Dari sekian
88
Ibid hal 31
83
banyaknya intervensi yang dilakukan masa orde baru terhadap partai politik, dalam dinilai bahwa TNI memang relatif netral dalam pemilu 1999. Akan tetapi, netralitas
tersebut hanya tercermin dari pusat saja, ternyata pelanggaran netralitas TNI dan birokrasi terjadi di kabupaten, kotamadya dan sampai tingkat desa dalam proses
kampanye dan pencoblosan. Pelanggaran ini banyak terjadi di daerah-daerah yang diklaim sebagai basis
Partai Golkar yang menjadi poros kekuatan dimasa orde baru sedangkan pelanggaran birokrasi juga dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan pengamatan bahwa
TNI relatif telah melakukan atau mengimplementasinya tentang paradigma baru TNI. Meskipun pelanggaran-pelanggaran masih ada terjadi, namun yang harus disadari
adalah keseriusan TNI dalam menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik peserta pemilu.
TNI semasa pemerintahan Presiden B.J Habibie telah banyak melakukan reformasi internal, dan telah membuktikan komitmennya dalam menjaga netralitas
dalam pemilu baik itu yang sifatnya pengamanan maupun tidak memihak kepada organisasi politik manapun. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemilu yang
dilaksanakan 7 Juni 1999 relatif lancar dan terwujudnya tatanan yang lebih demokratis dari sebelumnya.
84
Namun demikian, tataran konsep reformasi internal tersebut bukan akhir dari sebuah perubahan menuju militer yang profesional dan terwujudnya iklim demokrasi
yang baik. Maka dari itu, setelah pemilu 1999 yang menghasilkan Presiden baru setelah B.J Habibie yaitu Abdurrahman Wahid, TNI pada prinsipnya tetap akan
melakukan perubahan-perubahan sesuai paradigma barunya terutama keterlibatan TNI doktrinasi Dwi Fungsi ABRI.
3.2.2 Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid