Intervensi Militer dalam Partai-Partai Politik Menjelang Pemilu

39

2.3.2 Intervensi Militer dalam Partai-Partai Politik Menjelang Pemilu

pada awalnya pemimpin-pemimpin Organisasi Induk Kino mempunyai pandangan yang berbeda mengenai strategi menghadapi Pemilu 1971. Ada yang berpendapat bahwa masing-masing Kino berdiri sendiri-sendiri dengan tanda gambar sendiri pula dan hasilnya digabung dalam satu fraksi di badan-badan perwakilan. Ada pula Pimpinan Kino yang menginginkan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Meskipun demikian, akhirnya Jenderal Soeharto sebagai Pembina Utama Sekber Golkar memutuskan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Dengan demikian konsolidasi organisasi menjelang Pemilu 1971 dapat berhasil dengan lancar. 33 Disamping melakukan usaha konsolidasi internal organisasi Sekber Golkar, Jenderal Soehatro juga melakukan operasi-operasi keluar yang yang ditujukan kepada partai-partai peserta pemilu tahun 1971. Dalam rangka usaha ini, Jenderal Soeharto menugaskan Ali Moertopo untuk melakukan tugas apa yang disebut dengan penggalangan dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan extrem manapun. Sejarah mencatat bahwa operasi Ali Moertopo melalui Operasi Khusus Opus memaikan peran yang sangat menonjol serta begitu disegani dan ditakuti, 33 Arif Yulianto. Opcit hal 266. 40 sekaligus dibenci karena dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak. 34 Peranan politik Ali Moertopo didasarkan pada pengalamanya di masa lalu yaitu masa orde lama, di mana negara tidak bisa melaksanakan pembanguna di bidang ekonomi dikarenakan terlalu sibuk mengurusi masalah-masalah politik, terutama dalam perebutan kekuasaan antara paratai politik. Berdasarkan pengalaman ini, maka orde baru berusaha untuk bagaimana membangun sistem politik yang dapat stabil sehingga menunjang pembangunan ekonomi. Operasi yang dilakukan seperti pelemahan partai politik dan di pihak lain memperkuat posisi Sekber Golkar. 35 Operasi tersebut dilakukan melalui intervensi pemerintah dan militer pada rapat-rapat dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong pemimpin yang akomodatif dengan pemerintah. Target utama Opsus adalah Partai nasionalis terbesar yaitu PNI. 36 Campur tangan militer terhadap PNI terjadi hampir di semua wilayah yang mempunyai basis massa pendukung kuat PNI. PNI mejadi sasaran disebabkan kedekatan yang sangat erat dengan Presiden Soekarno di masa lalu. PNI mempunyai basis massa besar, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para pengikut PNI diperkirakan akan mendapatkan dukungan besar dari bekas-bekas PKI yang telang 34 Ikrar Nusa Bhakti, Opcit hal 132 35 Arif Yulianto, Opcit hal 267 36 Harold Crouch, Militer dan politik di Indonesia.2000. hal 297. 41 menjadi partai terlarang. Oleh karena itu, bagi kalangan militer serta sekutunya menentang keras adanya PNI bahkan meminta untuk pemerintah melarangnya. Namun, Jenderal Soeharto berpandangan lain yaitu dengan cara tetap mempertahankan PNI untuk sementara waktu, dengan maksud menjadikannya sebagai penghubung antara pemerintah dan sebagian besar rakyat, juga sebagai penyeimbang terhadap partai-partai islam. 37 Langkah awal Soeharto tersebut dalam intervensi terhadap PNI adalah dengan mendesak PNI agar melakukan kongres. Dengan singkatnya kongres dapat dilakukan “Kongres Persatuan” tanggal 24-27 April 1966, dalam kongres tersebut pihak pemerintah melalui militernya berhasil memunculkan sosok atau pimpinan baru Osa Maliki Wangsadinata sebagai ketua umun dan Usep Ranuwidjajasebagai Sekretaris Jenderal yang sangat anti-komunis dan besebrangan dengan kubu Ali Sastromidjaja yang setuju tentang NASAKOM. 38 Intervensi pemerintah melalui militernya untuk mendapatkan pemimpin yang sejalan dengan konsep orde baru, dibarengi juga dengan langkah-langakh untuk mengawasi partai Islam yang didirikan tahun 1968, yaitu Partai Muslimin Indonesi Permusi. Tidaklah mengherankan jika pemerintah melalui Opusnya perlu mengintervensikan susunan personalia dalam kepengurusan partai Islam seperti 37 Ibid hal 186 38 Arif Yulianto, Opcit hal. 269 42 Parmusi, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama guna mendapatkan kepemimpinan yang pro terhadap pemerintah. 39 Dari ketidaksiapan pemerintah tersebut mengakibatkan pemilu tidak bisa dilakukan sesuai dengan TAP MPRS No. XIIIMPRS1966, sehingga pemerintah memperpanjangnya sampai tahun 1971. Ketakutan pemerintah Orde Baru dapat dilihat sampai bulan Oktober 1969 di mana pemerintah belum menjelaskan kepada Berbeda dengan PNI dan Parmusi, Nahdlatul Ulama tidak merasa direndajkan oleh adanya intervensi Opus kedalam urusan-urusan partainya. Dikarenakan pemimpin militer mengubah strateginya, yaitu dengan tidak lagi intervensi atau pembersihan partai pendukung Orde Lama, tetapi lebih menekankan menggalang kerjasama seperti militer memberikan bantuan dana untuk melakukan kegiatan- kegiatan keagamaan. Pada saat menjelang Pemilu partai-partai politik antusias menanggapinya, bahkan di tingkat elite partai politik seperti NU dan PNI menghendaki pemilu lebih dipercepat sehingga menghasilkan TAP MPRS No. XIIIMPRS1966 yang menyerukan pelaksanaan Pemilu dalam tempo 2 tahun selambat-lambatnya sebelum 5 Juli 1968. Pemerintah dan kalangan militer justru ragu-ragu dan khawatir apakah Sekber Golkar yang dibentuk dapat menang dalam pemilu. Masalah yang dihadapi pada waktu itu adalah masih rapuhnya kekuatan pendukung pemerintah Orde baru. 39 Paulus Widiyanto, Osa Maliki dan Tragedi PNI Konflik Intern Pra dan Pasca, Prisma. 1991 Hal 67 43 pemimpin-pemimpin partai apakah pemilu akan dilaksanankan. Maksud sebenarnya pemerintah mengadakan pemilu adalah memberikan rasa berperan serta kepada partai-partai di dalam sistem politik tanpa mengancam kekuasaan militer khususunya Angkatan Darat atas pemerintahan. 40 Pemerintah Orde Baru semakin ragu memutuskan untuk mengadakan pemilu karena ada masukan bahwa hasil pemilihan umum nanti hanya akan memperkuat status quo parlemen yang kira-kira 60 kursinya diduduki oleh wakil-wakil partai. Meskipun pemerintah telah membentuk dan mengembangkan Sekber Golkar menjadi partainya, begitu juga melalui intervensi dalam Operasi Khusus terhadap partai lain, seperti NU, PNI dan Parmusi. Namun, tampaknya pemerintah tidak begitu berharap dapat menciptakan mesin pemilihan umum yang benar-benar mampu menyusutkan arti partai-partai yang telah mapan. 41 Disamping melalui Operasi Khusus atau intervensi terhadap partai-partai politik dalam mendapatkan kepemimpinan partai yang pro-pemerintah, berbagai usaha lain juga dilaksanakan untuk memenangkan Sekber Golkar. Sekber Golkar menggunakan cara yang berbeda-beda dalam menanggapi setiap lawannya. Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Kokarmendagri, suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, dari mana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970 rupannya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan 40 Harold Crouch, Opcit hal 196 41 Ibid hal 295. 44 bahwa departemen akan menjadi tulaang punggung Sekber Golkar, sehingga perwujudannya PNS ditekan untuk mendatangi loyalitas tunggal kepada pemerintah yaitu Sekber Golkar. Walaupun Menteri selalu mengatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan keanggotaan partai menjadi penghambat kenaikan pangkat. 42 Usaha pemerintah untuk memenangkan pemilu ditujukan juga kepada partai- partai islam. Dalam tahun 1970, pemerintah dan militer melakukan usaha untuk menarik simpati para kyai-kyai yang berpengaruh dengan membiayai perjalanan- perjalanan keluar negeri dan menyediakan dana-dana untuk pesantren-pesantren mereka. Pada bulan Januari 1971 Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam GUPPI yang hampir mati dihidupkan kembali setelah lebih dari delapan ratus kyai diundang untuk menghadirin konfrensi yang menunjuk Mayjen Sudjono Humardani yang jelas “abangan” sebagai pelindung. Hal tersebut dilakukan untuk menarik dan merangkut umat islam untuk mendukung Golkar. 43 Tindakan-tindakan pemerintah dan kalangan militer untuk memperkuat Sekber Golkar ternyata sengat efektif dari perkiraan semula. Para pimpinan partai politik baru menyadari bahwa tindakan yang dilakukan Sekber Golkar menggunakan cara yang tidak fair dalam kampanyenya. Keadaan tersebut menjadi berubah di mana 42 Kompas, 29 september 1970, sebagaimana dikutip Arif Yulianto hal 278. 43 Arif Yulianto, Opcit hal 279. 45 munculkan perlawanan yang mengatasnamakan anti-Sekber Golkar dan menyerukan kepada umat islam untuk memilih partai islam saja. Berdasarkan UU No. 15 tahu 1969 akhirnya pemilu dapat dilaksanakan pada tanggal 3 juli 1971. Pemilu itu diadakan untuk mengisi kekosongan keanggotaan Badan-Badan PermusyawaratanPerwakilan Rakyat yang susunan dan kedudukannya diatur dalam UU No. 16 tahun 1969. Pemilihan ini mempunyai arti penting dalam pemerintahan orde baru yang menjadi tanggung jawab ABRI dan kekuatan-kekuatan sosial poltik pendukung Orde Baru lainnya. Dan akhirnya Sekber Golkar muncul sebagai pemenang yang meyakinkan dengan suara 62,8 atau 236 kursi yang diperebutkan sehingga memberikan mayoritas luarbiasa didalam DPR. Dari sembilan partai lainnya yang masih dapat bertahan adalah NU yang memperoleh 18,7 suara, PNI memperoleh 6,9 suara dan Parmusi 5,3. 44 44 Ibid hal 281 Terlepas dari kemenangan tersebut, Sekber Golkar pada dasarnya merupakan hasil bentukan atau ciptaan para penguasa militer dan tidak dapat terpisah dari identitas militernya. Sekber Golkar yang tidak berlandaskan suatu organisasi partai dan tidak memiliki akar sama sekali di masyarakat adalah sebuah federasi yang majemuk yang dimobilisasi oleh militer. 46

2.3.3 Difusi Partai-Partai Politik