1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wacana mengenai hubungan sipil dengan militer di Indonesia selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Argumentasi itu mengacu pada kenyataan
bahwa sudah dari awal kemerdekaan, keberadaan militer di indonesia sebagai kekuatan sosial politik telah menjadi penopang keberlangsungan sistem kenegaaraan
dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Lahirnya peran militer Indonesia tidak terlepas dari masa perang perjuangan
kemerdekaan Indonesia melawan Belanda di mana fungsi militer dan politik tidak mempunyai batasan yang jelas, bahkan kedua fungsi tersebut berjalan bersama-sama
dan tidak bisa dipisahkan. Sifat perjuangan itu sendiri bersifat politik tetapi juga bersifat militer. Perjuangan para pemuda mengangkat senjata melawan Belanda pada
waktu itu di dorong oleh motivasi patriotik untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh para politisi kalangan nasionalis.
Karekter tersebut mendorong kecenderungan kalangan militer terjun dalam masalah-masalah politik. Sebagian besar kalangan militer yang berorientasi politik
semasa revolusi merasa mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan sehingga mereka merasa juga memiliki kepentingan politik sendiri. Keadaan tersebut
2
memunculkan perbedaan seperti perundingan-perundingan dengan Belanda yang disetujui oleh pemerintah sipil namun tidak dengan pihak milter pada saat itu
1
Perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar sementara 1950 yang berasaskan demokrasi liberal sangat berdampak kepada
menurunnya peran militer bahkan menghendaki militer tidak boleh campur tangan dalam urusan politik. Peran militer tentang kekuatan non-politik tidak bertahan lama
dan segera ditarik kembali ke arena politik. Hal tersebut dikarenakan adanya krisis politik yang harus melibatkan militer kedalamanya yaitu peristiwa 17 oktober 1952,
di mana terjadi perselisihan antara perwira teknokrat dengan perwira bekas Pembela Tanah Air PETA yang juga berimbas kepada perselisihan di parlemen antara oposisi
dengan koalisi. Perkembangan politik tersebut semakin mengacaukan stabilitas politik di Indonesia yang diakibatkan pertentangan keras antar partai politik dalam
parlemen .
2
1
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta. 2002, hal. 215
2
Ibid hal. 223
. TNI Angkatan Darat yang sebelumnya terpecah belah dan saling bertentangan
mulai menyadari kepentingannya untuk bersatu dikarenakan selama sistem parlementer masih berlangsung pihak militer banyak dirugikan dan diabaikan
terutama masalah pembagian dana. Rekonsiliasi formal terwujud dari semua kelompok-kelompok militer yang bertentangan sepakat dan bersumpah untuk
menjaga persatuan dan kesatuan.
3
Kepercayaan diri di kalangan militer yang begitu tertuang dalam masa Orde Baru, di mana tentara sendiri ABRI yang seharusnya merupakan alat negara yang
bertugas menjaga pertahanan dan keamanan, memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menjamin hak-hak politik masyarakat, justru terjebak dalam
permainan politik orde baru dengan tidak malu-malu menghalau para perwira potensialnya untuk terlibat dalam jabatan politis seperti menjadi gubernur, bupati atau
menjadi kepala desa dengan tujuan untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945, menjaga stabilitas politik dan mengawasi jalannya pembangunan sesuai dengan
intruksi soeharto sebagai komandernya. Orde baru adalah tonggak sejarah baru setelah periode pemerintahan
Soekarno. Diawali dengan adanya pemberontakan G 30 SPKI yang secara cepat dapat diatasi oleh ABRI dan rakyat, kemudian diperburuk lagi dengan adanya krisis
politik yang tidak menentu akibat keengganan Soekarno untuk menyelesaikan kasus G 30 SPKI, krisis ekonomi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan akhirnya
terjadilah demonstrasi besar-besaran yang mengajukan 3 tuntutan atau yang sering dikenal dengan aksi Tritura Tri Tuntutan Rakyat.
Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 presiden memerintahkan kepada menteriPANGAD Letjen
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat perintah tersebut
4
di manfaatkan oleh Soeharto untuk tidak ada alasan lagi untuk membubarkan PKI karena dianggap sebagai sumber ketidakamanan serta ketidaktentraman masyarakat
3
Militerisasi atau Tentaraisasi politik adalah suatu langkah yang digunakan dalam usaha menjadikan tentara atau militer sebagai instrumen politik penguasa pada
masa orde baru. Strategi yang digunakan biasanya dengan memberikan porsi wilayah dan keterlibatan tentara yang besar dalam dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat
. Pelimpahan kekuasaan tersebut menjadikan Jendral Soeharto sebagai presiden
yang sah dengan dilakukannya sesuai mekanisme konsitusional. Diangkatnya Soeharto sebagai presiden penuh tahun 1968 oleh MPRS membawa militer ke posisi
yang dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan baru ini disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politisi, sedangkan sebagian besar menerimanya
dengan terpaksa karena memang militerlah yang paling kuat pada waktu itu. Namun langkah apa yang akan dilakukan militer sebagai pemegang kekuasaan dalam
menjaga stabilitas politik belum jelas khususnya yang menyangkut partisipasi rakyat dalam politik.
Soeharto merupakan orang kuat yang berdiri di atas tiga pilar utama dalam garis kekuasaannya yaitu : tentara, birokrasi dan golkar sebagai istitusi yang secara
politik telah digunakan sebagai mesin penindas dan alat bagi kekuasaan Soeharto yang memiliki aneka fungsi dan peran sesuai dengan garis komando di mana soeharto
merupakan panglima tertinggi.
3
Gregorius Bahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Bantul, 2004. hal 112
5
dan turut mengambil bagian yang dominan dalam membuat keputusan-keputusan politik diluar wilayah pertahanan, seperti dalam kabinet, partai politik atau kelompok
kepentingan yang bukan wilayah tugasnya, politisasi tentata sendiri diterjemahkan sebagai usaha tentara atau militer untuk menciptakan kepatuhan, loyalitas dan
ketundukan pada keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh penguasa negara pemerintah melalui serangkaian tindakan intimidasi, teror dan represi atas
kepentingan kekuasaan
4
Di bawah payung Soeharto, Tentara Nasional Indonesia tidak saja menjadi pagar pengaman dan tameng pelindung Pancasila, tetapi juga menjadi pilar penggerak
pembangunan nasional, baik dalam pembangunan ekonomi maupun pembangunan politik yang di letakkan pada usaha penciptaan stabilitas politik yang sehat dan
dinamis, guna melindungi patron-patron bisnis, modal dan mengantisipasi amukan massa yang bisa muncul sewaktu-waktu. Meluasnya pengaruh militer mulai nampak
dalam pembentukan kabinet pertama pada tahun 1968 yang mengisi kursi departemen pemerintahan dan juga dalam UU Pemilu No 161969 Pasal 10 yang memberikan
porsi 75 kursi kepada ABRI untuk duduk di DPRD dan MPR .
5
Meluasnya militerisasi politik juga menembus batas dunia bisnis yang menciptakan kelanggengan pemeliharaan kekuasaan dengan dukungan material yang
begitu besar, tercipta melalui kerjasama pribumi dan non-pribumi yang menjalani .
4
Ibid hal 198.
5
Arif Yulianto, Opcit hal 248.
6
pola hubungan saling menguntungkan dengan militer. Militer di satu sisi berperan sebagai penjaga malama bagi kelestarian usaha para pengusaha dengan menghalau
gerakan buruh di sektor massa yang dapat mengancam keberlangsungan perusahaan, di sisi lain juga menerima sejumlah kompensasi dari kerjanya disamping turut
menikmati usaha bisnis bersama antara pengusaha dengan militer tersebut. Pemerintahan orde baru yang mampu mempertahankan kekuasaan selama
lebih dari tiga dekade pada akhirnya jatuh pada Mei 1998. Runtuhnya pemerintahan tersebut tidak terlepas dari krisis moneter yang terjadi pada waktu itu, kegagalan
pemerintah dalam menanganin krisis ekonomi telah membuat legitimasi pemerintahan hancur sehingga tidak lagi mendapat kepercayaan dari rakyat. Karena
di dasari alasan tersebut dan tindakan repfesif militer yang berutal pada masa orde baru muncullah perlawanan terhadap pemerintah yang semakin masif terutama
dikalangan mahasiswa seperti demonstrasi dengan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI
6
Sejak jatuhnya pmerintahan orde baru pada tanggal 21 mei 1998 oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan reformasi, maka posisi
ABRI dalam peta perpolitikan di Indonesia ikut jatuh pula. Pada masa transisi tersebut banyak perubahan penting dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran
konsep dan organisatoris. Seiring dengan arus deras demokratisasi dan dengan melihat keadaan lingkungan strategis dalam negeri yang menghendaki adanya
.
6
Eric A Nordling, Militer Dalam Politik. 1994. Jakarta, hal 20.
7
berbagai tuntutan tersebut, akhirnya ABRI menyadari untuk segera melakukan reformasi internal seperti yang diamanatkan dalam ketetapan MPR NO. XMPR1998
Tentang pokok-pokok reformasi pembangunan nasional sebagai haluan negara, utamanya tentang agenda penyesuaian implementasi Dwi Fungsi ini dengan
paradigma baru dan sipil menjadi kekuatannya. Istilah masyarakat sipil sering kali dipersepsikan kurang tepat. Pengertian
masyarakat sipil terkadang dipertentangkan dengan komunitas militer. Di zaman Orde Baru pandangan seperti itulah yang mendominasi. Masyarakat sipil selalu
dikotomikan dengan kelompok militer. Pendikotomian itu telah mereduksi makna sesungguhnya dari istilah Civil Society yang menjadi padanan kata masyarakat sipil
7
7
. Term masyarakat sipil sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah
lain dalam mengindonesiakan kata Civil Society. Di samping masyarakat sipil, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat beradab atau
masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dan masyarakat madani. Perubahan pola hubungan sipil-militer mengarah pada perubahan sistem politik di Indonesia
yang menghendaki adanya sistem pemerintahan yang demokratis sehingga pengawasan terhadapat militer di bawah masyarakat sipil yang direpresentatifkan
oleh pemerintahan dapat terlaksana demi terwujudnya supremasi sipil.
http:www.referensimakalah.com201212pengertian-masyarakat-sipil-civil-society.html di akses tgl 6 februari 2015
8
Supremasi sipil merupakan supremasi hukum yang menjadi jawaban dari kegelisahan masyarakat terkait tindakan represif aparat militer. Dengan adanya
supremasi sipil tersebut militer terpaksa harus menerima kedudukannya yang lebih rendah, tunduk terhadap supremasi sipil tersebut dan patuh terhadap perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah sipil sehingga aparat militer tidak dapat mencampuri urusan di luar bidang keamanan dan pertahanan nasional.
Dalam konteks reformasi politik, pembongkaran wacana hubungan sipil- militer merupakan hukum besi perubahan sosial ke arah terbentuknya tatanan politik
demokratis. Inilah keharusan dari proses transisi otoritarian menuju demokrasi yang seharusnya makin disadari oleh setiap elemen militer dan para politisi di Indonesia.
Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat posisi dan peran militer militer yang lebih kondusif bagi perwujudan demokrasi.
Di alam demokrasi sekarang ini hal yang terpenting adalah bagaimana masyarakat sipil dapat menjalankan perannya yang diwakilkan pemerintahan sipil
dalam mengontrol peran militer demi terwujudnya militer yang lebih profesional. Maka untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis mencoba mengangkat dalam
tulisan ini yang semoga dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi masyarakat dengan judul Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru.
9
1.2 Rumusan Masalah