Masa Pemerintahan Megawati Kontrol Pemerintah Terhadap Militer Pasca Orde

88 Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, masalah pengangkatan dan pemberhentian pejabat militer, cenderung dibawah kendali presiden. Pemerintahan tersebut benar- benar berani untuk mengontol militer dengan alasan penegakan supermasi sipil. Puncak kebijakan supermasi sipil itu terlihat ketika Jenderal Wiranto di ganti dari jabatan Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan. Inilah langkah berani pemerintahan yang pada saat itu Jenderal Wiranto sangat berkuasa dalam militer. Dalam kalkulasi politik, kebijakan tersebut dapat berimbas buruk pada roda pemerintah dan dapat memunculkan sifat kontestasi militer terhadap pemerintah, sehingga akibat dari itulah salah satu alasan atau faktor dari kejatuhan Abdurrahman Wahid.

3.2.3 Masa Pemerintahan Megawati

Sejak kejatuhan Abdurrahman Wahid ada ketakutan akan melemahnya supermasi sipil yang telah dirintis dari pemerintahan B. J. Habibie. Pemerintahan Megawati tidak tampak antusias dalam melakukan reformasi militer, hal ini terlihat dari tidak berdayanya pemerintah untuk menghempang hasrat militer untuk tetap terlibat dalam lingkaran politik nasional. Pola hubungan sipil-militer pada masa pemerintahan Megawati menggambarkan kelemahannya dalam menghadapi hasrat militer. Perkembangan militer pada masa itu bukan demiliterisasi sebagai desakan kalangan sipil, walaupun 89 secara simbolis Megawati merupakan perwakilan sipil akan tetapi yang dilakukannya lebih ke arah remiliterisasi. Kenyataan yang mengindikasikan adanya remiliterisasi pada masa pemerintahan Megawati terlihat pada munculnya kepercayaan diri pengusaha- pengusaha untuk berafiliasi pada militer. Munculnya perlawanan yang dilakukan oleh pihak militer terhadap usaha menegakkan ketaatan pada hak asasi manusia melalui lembaga peradilan dan memberikan pembenaran sendiri terhadap militer yang menggunakan senjata untuk mematikan seseorang seperti kasus terdakwa Tanjung Priok. Munculnya 7 RUU yang telah disahkan oleh parlemen sangat mengindikasikan adanya konsolidasi kekuasaan militer dalam bidang politik dan ekonomi. Mulai dari UU No. 16 Tahun 2001 tentang yayasan, UU No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, UU No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme, RUU Intelijen dan RUU tentang TNI. Kesemua itu mempunyai titik rawan dikarenakan dapat membuat militer kembali kuat untuk kekuasaan politik. Di samping itu masuk sejumlah purnawirawan ke dalam partai politik bahkan ada yang menjadi capres dan cawapres membuat ketakutan akan kembalinya militer dalam lingkup politik. 90 90 http:nithaw.blogspot.com201207peran-tni.html di akses tanggal 16 Agustus 2015 90 Di tengah lemahnya kontrol sipil atas militer di masa pemerintahan Megawati, maka pemerintahan tersebut mengesahkan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI yang di dalamnya berisi tentang profesionalisme militer yaitu Pasal 2 ayat e yang menyatakan bahwa tentara profesional sebagai tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supermasi sipil dan hak asasi manusia. Jika di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid berani menghempang tradisi lama yang selama 32 tahun militer mendominasi tidak demikian dengan pemerintahan Megawati yang lebih menjaga kehamonisan diantara keduanya. Kenyatan itu terlihat dari adanya Undang-Undang Darurat Perang yang memberikan kewenangan terhadap operasi militer di Aceh pada Mei 2003. Darurat militer tersebut membuat kontroversi karena pada masa itu pengerahan kekuatan militer dalam keadaan darurat bisa tanpa menunggu izin Presiden dan DPR. 91 Akan tetapi, pada masa pemerintahan Megawati representatif TNI dan Polri di lembaga perwakilan MPRDPR ditiadakan. Jabatan Menteri, Gubernur dan Bupati tidak ada lagi dari kalangan militer. Militer telah kembali kebarak dan tidak lagi bermain dalam politik praktis nasional. Keamanan dalam negeri diberikan tugas kepada Polri sedangkan peran militer hanya sebatas sebagai alat untuk pertahanan 91 https:nainah93.wordpress.com di akses tanggal 17 Agustus 2015 91 negara, dengan harapan tidak terulang kembali dominasi militer seperti pada orde baru. Pemerintahan pada waktu itu tidak antusias untuk mendorong penegakan reformasi militer demi tegaknya supermasi sipil. Hal ini disebabkan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid ada anggapan bahwa jatuhnya pemerintahan tersebut terjadi karena hubungan yang tidak baik antara pemerintahan sipil dengan militer. Oleh karena itu pemerintahan Megawati cenderung berhati-hati dalam membuat kebijakan yang menyangkut eksistensi dan kepentingan militer.

3.2.4 Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono