Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid

84 Namun demikian, tataran konsep reformasi internal tersebut bukan akhir dari sebuah perubahan menuju militer yang profesional dan terwujudnya iklim demokrasi yang baik. Maka dari itu, setelah pemilu 1999 yang menghasilkan Presiden baru setelah B.J Habibie yaitu Abdurrahman Wahid, TNI pada prinsipnya tetap akan melakukan perubahan-perubahan sesuai paradigma barunya terutama keterlibatan TNI doktrinasi Dwi Fungsi ABRI.

3.2.2 Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid muncul kecenderungan adanya pola hubungan sipil-militer yang mengarah pada supermasi sipil. Kenyataan tersebut terlihat karena militer secara hukum telah kembali pada peran semula sebagai alat negara yang hanya berfokus pada bidang pertahanan, tidak terlibat politik dan arus gelombang demokrasi di seluruh dunia menghendaki sistem pemerintahan yang demokratis. Langkah-langkah awal yang dilakukan pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam membangun pola hubungan sipil-militer adalah menempatkan orang sipil di posisi Menteri Pertahanan dan menaruh posisi Panglima TNI dari Angkatan Laut yang selalu dipegang oleh Jenderal Angkatan Darat. Tidak hanya itu pemerintahan tersebut juga mendukung Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia KPP HAM untuk melakukan peradilan kepada perwira militer yang terlibat dalam kasus-kasus HAM. 85 Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid kecenderungan hubungan sipil- militer berdasarkan teori Samuel P.Hatington lebih mengarah pada Subjective civilian control pengendalian sipil subyektif dimana hubungan sipil-militer dalam hal ini dilakukan dengan cara meminimalisir kekuasaan militer. Hak-hak sipil diperbesar dan membuat militer menjadi terpolitisasi. Model ini merupakan bentuk ketidakharmonisan hubungan sipil dan militer, karena militer menjadi sangat terbatas ruang geraknya. Namun sebaliknya kekuasaan sipil menjadi sangat luas atau dengan kata lain maximizing civilian control. Kaum sipil menjadi suatu kekuatan yang menjadi pengontrol atas militer. Hal ini dapat terlihat dari keengganan di antara para petinggi militer untuk mengakui adanya supermasi sipil yang mengarah pada dikotomisasi sipil-militer. Para petinggi militer tersebut berpandangan bahwa supermasi sipil bukanlah sipil mengontrol militer, ataupun militer dibawah sipil melainkan supermasi sipil adalah supermasi hukum. Hubungan yang dimaksud adalah adanya saling percaya kedua belah pihak dimana militer mengelolah masalah operasional dan manajemen internal yang berpedoman pada Undang-Undang. Salah satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah menjauhkan kekuatan militer dari urusan-urusan politik, mengembalikannya ke barak, dan menjadikannya sebagai alat negara yang profesional. Tetapi, pada kenyataannya, upaya ini bukanlah sesuatu yang mudah. Terutama di negara-negara 86 sedang berkembang, militer menampakkan hasrat yang sangat kuat untuk tetap melakukan intervensi politik. Di Indonesia campur tangan politik militer ke dalam wilayah politik terjadi sudah sekian lama dan pada kenyataannya memang menyebabkan proses demokratisasi menjadi terhambat bahkan mati. Penataan peran militer sudah di mulai sejak masa presiden B.J Habibie yang telah melakukan perubahan dalam paradigma yang tertuang pada reposisi, redefenisi dan reaktualisasi. Namun, langkah-langkah tersebut masih relatif lebih banyak pada tataran konsep. Baru pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid langkah konkret dalam menata peran baru TNI mulai terlihat. Pemisahan jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI merupakan salah satu upaya dalam menegakkan supermasi sipil. Pengangkatan Prof. Dr. Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan yang berlatar belakang sipil, jelas sekali menunjukkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid ingin meminimalisir peran politik militer dan menghapuskan jejak politik militer yang selalu mendominasi selama orde baru. Kebijakan yang mengangkat Menteri Pertahanan dari kalangan sipil tetap dipertahankan, hal ini terlihat ketika terjadi perombakan kabinetnya. Prof. Dr. Mahmud MD, seorang Guru Besar Madya Universitas Islam Indonesia UII Yogyakarta di bidang Hukum Tata Negara dan juga Pembantu Rektor I UII, di 87 percayai untuk menggantikan Sudarsono menjadi Menteri Pertahanan. 89 Kebijakan Presiden lainnya dalam rangka meminimalisir keterlibatan militer dalam politik adalah menghapus Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Bakorstanas dan Lembaga Penelitian Khusus Litsus melalui keputusan presiden. Badan tersebut di masa orde baru merupakan wadah yang bertugas untuk menyimpan dan menguumpulkan arsip-arsip yang berkaitan dengan gerakan PKI. Selama Mahmud menjabat jadi menteri hasrat yang tinggi untuk melakukan perombakan di tubuh militer cukup terlihat, dimana adanya reksturisasi dalam Departemen Pertahanan yang diganti dengan orang-orang sipil dengan harapan terwujudnya hubungan yang baik antara militer dengan sipil. Pengangkatan Panglima TNI dari Angkatan Laut merupakan kebijakan yang sangat berani. Karena selama 32 tahun jabatan tersebut hanyalah dikuasai oleh Angkatan Darat. Oleh karena itu, perubahan dalam struktur kepemimpinan TNI yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid merupakan pendobrak mitos yang selalu diisi oleh Angkatan Darat. Pada dasarnya kebijakan tersebut mengacu pada kesetaraan di tubuh TNI yang secara undang-undang setiap prajurit TNI mempunyai kedudukan yang sama dalam struktur kepemimpinan TNI. Belum lagi adanya kebijaksanaan yang dilakukan Panglima TNI Wiranto yang memberlakukan pensiun dini bagi para TNI yang berdinas diluar struktur TNI. 89 Arif Yulianto, Opcit Hal 393. 88 Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, masalah pengangkatan dan pemberhentian pejabat militer, cenderung dibawah kendali presiden. Pemerintahan tersebut benar- benar berani untuk mengontol militer dengan alasan penegakan supermasi sipil. Puncak kebijakan supermasi sipil itu terlihat ketika Jenderal Wiranto di ganti dari jabatan Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan. Inilah langkah berani pemerintahan yang pada saat itu Jenderal Wiranto sangat berkuasa dalam militer. Dalam kalkulasi politik, kebijakan tersebut dapat berimbas buruk pada roda pemerintah dan dapat memunculkan sifat kontestasi militer terhadap pemerintah, sehingga akibat dari itulah salah satu alasan atau faktor dari kejatuhan Abdurrahman Wahid.

3.2.3 Masa Pemerintahan Megawati