Rumusan Masalah Pembatasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan

9

1.2 Rumusan Masalah

Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi ini, maka dirumuskan dahulu masalahnya. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah yaitu Bagaimana Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini hanya membahas : “Untuk melihat bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru yang dimulai dengan pemerintahan B.J Habibie sampai dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono’’.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan peran militer pasca orde baru 2. Untuk mengetahui bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan sipil-militer pasca orde baru 10

1.5 Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tentang kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru dan penelitian ini dilakukan guna memenuhi syarat memperoleh gelar Ilmu Politik S.IP di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Militer

Militer dalam bahasa Inggris military adalah the soldiers; the army, the armed forcec 8 Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Perlmutter membatasi konsep militer hanya ditekankan kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik, tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah atau pertama. . yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan prajurit atau tentara; angkatan bersenjata terdiri dari beberapa angkatan, yakni darat, laut dan atau mariner serta udara. 9 8 Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hal 536. 9 Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000, hal. 25 Pendapat 11 lainnya, Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa personal militer, lembaga militer atau hanya perwira senior. 10 Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri, seperti Letjen TNI Purn Sayidiman Suryohardiprojo 11 mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata, yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan Hardito, 12 Istilah sipil dalam bahasa Inggris civilian yakni person not serving with armed forces membatasi pihak militer ditekankan pada para perwira profesional. Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi yang bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu, yang menduduki posisi dalam organisasi militer.

1.6.2 Sipil dan Pemerintahan Sipil

13 seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata. Cohan 14 10 Elliot A. Cohan, “ Civil Military Relation in the Contemporary World”, sebagaimana dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999,hal 3 11 Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil – Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999,hal 5 12 Bagus A. Hardito, Faktor Militer dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta : CSIS, 1999, hal 144 13 AS. Hornby, Opcit hal 151 14 Elliot A. Cohan, Opcit hal 6 mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai 12 masyarakat politik yang diwakili oleh partai politik. Sayidiman Suryohardiprojo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua lapisan masyarakat 15 Secara teori menurut Eric Nordlinger, pemerintahan sipil terbagi dalam 3 model, yaitu : . Dari berbagai pengetian diatas maka dibuat suatu pengertian secara universal bahwa istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada diluar organisasi militer. Dalam kajian ini, pengertian sipil dibatasi hanya pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis dalam kajian ini adalah praktek- praktek politik kedua belah pihak dalam memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan dalam suatu negara. Istilah pemerintahan sipil digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer. Pemerintahan sipil merupakan pemerintahan di mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil. Proses administrasi keputusan politik dijalankan dengan mekanisme demokrasi, dimana keputusan itu dibicarakan terlebih dahulu. Jika dalam pemerintahan tersebut kalangan sipil mampu lebih dominan dalam masalah kemiliteran maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah pemerintahan sipil. 16 15 Sayidiman Suryohadiprojo, Opcit hal 7 16 Eric A. Nordlinger, Opcit, Hal 18-25 13 1. Model tradisional, campur tangan militer menggambarkan berlakunya konflik antara kelompok militer dengan pemerintahan sipil. Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer. Pemerintahan sipil tradisional ini, yang disimpulkan dari pemerintahan kerajaan Eropa abad ke 17, dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang jelas antara elit sipil dan militer. 2. Model liberal, model pemerintahan ini dengan jelas mendasarkan diri pada pemisahan para elit berkenaan dengan keahlian dan tanggung jawab masing- masing pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Model ini akan menutup kemungkinan militer untuk menekuni arena politik dan kegiatan politik. Model pemerintahan liberal juga didasari pada prinsip penting, yaitu pihak sipil harus menghormati pihak militer. Namun demikian, model liberal bukan merupakan dasar yang kokoh untuk pemerintahan sipil, karena tidak selamanya pihak sipil untuk mematuhi peraturan yang dianggap penting. 3. Model serapan, model pemerintahan sipil ini memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide dan para ahli politik kedalam tubuh angkatan bersenjata. Persamaan ide politik antara kedua belah pihak yang timbul kemudian akan menghapuskan gejala konflik diantara mereka. Bentuk serapan ini begitu berkesan dalam mempertahankan penguasaan sipil. 14 Seandainya timbul konflik kepentingan dan ide politik, pihak sipil mempunyai kemampuan yang lebih tinggi untuk melakukan penyelidikan dan pengawasan.

1.6.3 Hubungan Sipil – Militer

Dengan mengacu pada tulisan Cohan, Civil-Military Relation in Contemporary World, Susilo Bambang Yudhoyono dalam makalahnya Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer berpendapat bahwa hubungan sipil- militer dapat berupa: 1. hubungan militer dengan masyarakat secara keseluruhan 2. lembaga militer dengan lembaga lain baik pemerintahan maupun swasta 3. para perwira senior dengan politisi dan negarawan 17 Suhartono lebih menekankan bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer dengan masyarakat politik yang direpresentasikan partai politik . 18 Sedangkan Hardito berpendapat bahwa hubungan sipil-militer mencakup interaksi yang luas antara kalangan perwira professional dengan berbagai sekmen masyarakat. Hubungan antara sipil dan militer di setiap negara berbeda-beda, . Sedangkan Suryohardiprojo berpendapat bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer yang meliputi semua jenjang pangkat dalam organisasi tersebut dengan semua lapisan masyarakat tidak hanya dengan masyarakat politik. 17 Elliot A. Cohan, Opcit hal 8 18 Suhartono, Hubungan Sipil – Militer Tinjauan Histografis 1945 – 1998, Pola, Arah, dan Perspektif, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil – Militer, Jakarta FISIP UI, 1999 hal 3 15 tergantung pada sistem politik yang dianut negara tersebut. Misalnya di negara yang menganut sistem demokratik liberal dimana masyarakat cenderung memiliki kebebasan dalam politik, maka yang dianut adalah pola supremasi sipil, dimana sipil memiliki peran yang luas didalam politik dan pihak militer hanya merupakan pihak yang berfungsi sebagai alat negara untuk keamanan. Berbeda dengan yang terjadi dinegara yang menganut sistem otoriter, pola hubungan sipil-militer yang terjadi adalah supremasi militer. Militer memegang peranan penting dalam segala bidang kehidupan, hak-hak sipil dikekang dan hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam pemerintahan. Menurut pendapat Hardito bahwa pola hubungan sipil-militer dapat berupa dominasi sipil atas militer atau sebaliknya maupun kesejajaran antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu negara 19 Sedangkan Bakti yang mengartikan hubungan sipil-militer dalam dua model: . 20 19 Ibid hal 5 20 Ikrar Nusa Bakti, Tentara Mendambakan Mitra, Hasil Penelitian LIPI Tentang Pasang Surut Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia, Bandung : Penerbit Mirzan 1999.hal 11 Pertama, model negara-negara Barat, yaitu hubungan sipil yang menekankan “supremasi sipil atas militer” civilian supremacy upon the military atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Kedua, model negara-negara berkembang yang 16 menganggap bahwa hubungan sipil-militer tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Dalam negara berkembang, militer merupakan kekuatan sosial politik yang memegang peranan penting, hal ini dapat mengakibatkan konfrontasi keduanya dalam mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, yang terbaik adalah pola hubungan antara sipil dan militer yang saling sejajar dan harmoni. Militer tidak menguasai hak- hak sipil dan sipil juga tidak ikut campur dalam masalah internal militer, sehingga tidak terjadi ketidaksenangan diantara sebelah pihak. Cohan mengklasifikasikan pola hubungan sipil-militer kedalam empat model yaitu: 21 1. The traditional model. Militer merupakan kelompok yang dilatih untuk menjadi militer yang professional, tidak ikut campur dalam hal-hal yang bukan wilayahnya dan hanya terfokus pada bidang pertahanan dan keamanan. Militer dalam hal ini tidak berhubungan dengan kelompok sosial disekitarnya. 2. The constabulary model. Dalam model ini, fungsi tentara hampir sama dengan polisi yaitu sebagai pengatur ketertiban. Tentara seperti halnya polisi bersifat sebagai pengatur. Pengaturan yang dilakukan adalah demi ketertiban daripada berkonsentrasi pada peperangan. 3. The military as reflection of society. Sebuah sistem nasional dimana militer memainkan peran yang penting dalam membangun civil society yang 21 Elliot A. Cohan, Opcit Hal 14 17 dilaksanakan melalui dinas militer secara luas melalui pendidikan dan indoktrinasi yang positif. 4. The guardian military. Sebuah sintesa dimana militer berfungsi melindungi orde politik dan sosial namun tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Menurut Huntington 22 1. Subjective civilian control pengendalian sipil subyektif Hubungan sipil-militer dalam hal ini dilakukan dengan cara meminimalisir kekuasaan militer. Hak-hak sipil diperbesar dan membuat militer menjadi terpolitisasi. Model ini merupakan bentuk ketidakharmonisan hubungan sipil dan militer, karena militer menjadi sangat terbatas ruang geraknya. Namun sebaliknya kekuasaan sipil menjadi sangat luas atau dengan kata lain maximizing civilian control. Kaum sipil menjadi suatu kekuatan yang menjadi pengontrol atas militer. hubungan sipil-militer ditunjukkan melalui dua cara, yaitu: 2. Objective civilian control pengendalian sipil objektif Menurut Huntington istilah objective civilian control mengandung 4 unsur yaitu 1. Profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2 subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3 pengakuan dan persetujuan dari pihak 22 Samuel P. Hutington, The Soldier And The State : The Theory and Politict of Civil – Military Relations, Cambridge : Harvard University Press, 1957, hal 80-99 18 pemimpin politik tersebut atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer;dan 4. Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer. Hal ini dilakukan dengan cara memperbesar profesionalisme militer namun tidak sama sekali diminimkan kekuasaannya, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu yang hanya berhubungan dengan bidang militer. Hal ini diharapkan menjadi suatu model untuk pencapaian hubungan sipil- militer yang sehat atau dengan kata lain model ini dilakukan dengan cara militarizing the military atau memiliterkan militer.

1.6.4 Orientasi Militer

Tipe-tipe orientasi militer dari setiap negara berbeda satu sama lainnya. Hal ini tergantung pada bagaimana peran pihak militer didalam pemerintahan. selain itu juga tergantung pada system politik yang dianut oleh negara tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya. Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang dilembagakan, yakni: 23 23 Amos Perlmutter, Opcit, hal 14 1. Prajurit Profesional Perwira professional di zaman modern mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 19 a. keahlian manajemen kekerasan b. pertautan tanggung jawab kepada klien, masyarakat atau negara c. korporatisme kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi d. ideologi semangat militer. Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga militer baik di negara maju ataupun berkembang. Selain itu menurut Huntington militer yang professional mempunyai tiga ciri yaitu : Pertama, keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai. Kedua, militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain mempunyai nilai- nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional. Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang 20 disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan. Profesionalisme menyangkut keseimbangan antara keahlian dan tanggung jawab sebagai pelindung negara. Prajurit professional klasik timbul apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara. Prajurit dengan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Lembaga militer yang merupakan unit korporasi berjuang keras untuk menjaga hubungan ini. Dalam hal ini tentara telah mempercayakan pengelolaan negara kepada sipil. Tentara dalam hal ini hanya berkonsentrasi kepada tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. 2. Prajurit Pretorian Tentara pretorian adalah tentara yang timbul akibat dari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan sipil. Pretorian selalu diintervensi oleh kaum sipil. Oleh karena itu kemudian muncullah semacam pemberontakan dari pihak militer yang kemudian berujung pada penguasaan militer didalam segala bidang kehidupan. 21 Menurut Perlmutter 24 1. menolak orde yang berlaku dan menentang keabsahannya, kaum pretorian memang lebih sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecah-pecah. Intervensionisme atau kecenderungan tentara dalam hal ini bersifat permanen. Tentara dapat melakukan perubahan konstitusi dan menguasai negara. Hal ini dapat mengakibatkan pandangan yang negatif terhadap keprofesionalan tentara. Perlmutter membedakan tipe tentara pretorian dalam dua kategori yaitu tipe tentara pretorian yang paling ekstrim tipe penguasa dan tipe yang kurang ekstrim tipe penengah. Tentara pretorian penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Jenis tentara pretorian penguasa ini mempunyai ciri, yaitu: 2. tidak mempercayai pemerintahan sipil dan tidak mengharapkan akan kembali ke tangsi, 3. mempunyai organisasi politik dan cenderung memaksimumkan militer, 4. yakin bahwa pemerintahan militer merupakan satu-satunya alternatif yang dapat mengatasi kekacauan politik, 5. memvorpolitisir profesionalisme, 6. beroperasi secara terbuka dan tidak takut akan aksi pembalasan kaum sipil. 24 Ibid, hal 18 22 Sedangkan tentara pretorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak banyak menunjukkan minat dalam penciptaan ideologi politik. Jenis tentara ini mempunyai ciri, yaitu: 1. menerima orde sosial yang ada dan tidak mengadakan pembaharuan fundamental didalam rezim atau struktur eksekutif, 2. kesediaan untuk kembali ke tangsi setelah perdebatan dan konflik diselesaikan, 3. tidak mempunyai organisasi politik yang berdiri sendiri dan tidak berusaha memaksimumkan kekuasannya, 4. menentukan batas waktu bagi pemerintahan militer dan mengalihkan kepada pemerintahan sipil yang dapat diterima, karena mereka memandang pemerintahan tentara yang berkelamaann merugikan integritas profesinya, 5. keprihatinan pemikiran tentang peningkatan profesionalisme, 6. disebabkan karena ketakutannya terrhadap keterlibatan terbuka dalam politik, maka cenderung beroperasi dibelakang layar sebagai kelompok penekan yang mempengaruhi pemerintahan sipil untuk bereaksi terhadap tuntutan rakyat dan tidak perlu bagi militer untuk campur tangan secara terang-terangan, 7. takut terhadap pembalasan pihak politisi maupun penduduk sipil. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara pretorian modern jika militer telah menguasai bidang politik. Militer memegang peranan didalam eksekutif sebagai 23 pelaksana pemerintahan. Oleh karena itu, eksekutif tidak berfungsi dengan baik. Negara ini timbul karena adanya kelompok-kelompok yang bersimpati pada pihak militer sehingga terjadilah istilah political decay yang dapat merusak citra pemerintahan yang dipimpin oleh militer. 3. Tentara Revolusioner Profesional Tentara revolusioner professional hampir sama dengan tentara pretorian. Hanya saja jika tentara pretorian melakukan intervensi secara terang-terangan dengan melakukan pengambilalihan terhadap kepemimpinan negara, maka tentara revolusioner professional melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jenis tentara ini memberikan dukungan terhadap kaum revolusioner yang menginginkan perubahan. Tentara ini bukan merupakan hasil dari pendidikan militer, melainkan lahir dari panggilan negara untuk berjuang bersama revolusi. Dari pertama masuk tentara, jenis tentara ini sudah mengalami politisasi dan memiliki hubungan yang simbolik sifatnya dengan revolusi itu sendiri. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karena itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi adalah angkatan bersenjata massal suatu bangsa yang di persenjatai. Tentara revolusioner professional enggan berdamai dengan rezim yang baru, terutama bila angkatan bersenjata sebelumnya memainkan peranan penting dalam 24 perang pembebasan yang revolusioner itu. Sebelum dan selama revolusi tentara selalu setia kepada gerakan partai. Bila gerakan partai menjadi sama dengan negara atau rezim, maka ia lebih setia kepada bangsanya daripada rezimnya. Kaum revolusioner mutlak harus setia kepada revolusi dan ajaran - ajarannya. Tujuan pokok rezim revolusioner adalah subordinasi segala peralatan kontrol ditangan gerakan partai dan ideologinya. Jadi ideologi kaum revolusioner akan mencakup semua persyaratan prajurit professional pada saat terakhir. Semua nilai orientasi militer tersebut merupakan hasil dari tradisi para perwira militer yang cenderung mematuhi dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan oleh militer untuk mendapat keabsahan dari masyarakat luas. 1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Penulis menggunakan jenis penelitian studi kasus interpretif. Studi kasus interpretif atau disiplin-konfiguratif bertujuan untuk menjelaskanmenafsirkan kasus tunggal, tapi interpretasi itu secara ekplisit dibangun oleh teori atau bingkai kerja teoritis kokoh yang memusatkan perhatian pada beberapa aspek teoritis spesifik atas realitas dan mengabaikan hal lain.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka, yakni dengan cara 25 pengumpulan data dengan menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen- dokumen serta sarana informasi lainnya yang tentu saja berhubungan dengan masalah-masalah penelitian ini. 25

1.7.3 Teknik Analisa Data

Pada penelitian ini bersifat deskriptif dengan harahapan dapat memberikan gambaran terhadap kondisi dan situasi yang terjadi. Data-data yang telah terkumpul akan ditampilkan dalam bentuk uraian kemudian dianalisis lalu dieksplorasi secara mendalam dengan cara membuat penjelasan tentang militer pasca orde baru dalam paradigma baru TNI, kontrol pemerintah terhadap militer pasca orde baru dan hubungan sipil-militer pasca orde baru seperti hubungan militer dengan partai politik dan birokrasi.

1.8 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab, yaitu :

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian serta sistematika penulisan. 25 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1995, hal. 30 26

BAB II : Sejarah dan Praktek Hubungan Sipil-Militer di Masa Orde Baru

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran sejarah militer di Indonesia masa orde baru.

BAB III : Analisis Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

Pada bab ini nantinya akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian serta analisis bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru di Indonesia.

BAB IV : Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun lembaga- lembaga yang terkait secara umum. 27 BAB II SEJARAH DAN PRAKTEK HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI MASA ORDE BARU 2.1 Lahirnya Orde Baru Orde Baru adalah tonggak sejarah baru setelah periode pemerintah Soekarno. Diawali dengan adanya pemberontakan G 30 SPKI yang secara cepat dapat diatasi oleh ABRI dan rakyat, kemudian diperburuk lagi dengan adanya krisis politik yang tidak menentu akibat Soekarno enggan untuk menyelesaikan kasus G 30 SPKI, krisis ekonomi menjadi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas sehingga akhirnya terjadilah demontrasi-demontrasi mahasiswa yang mengajukan 3 tuntutan atau yang dikenal aksi Tritura Tri Tuntutan Rakyat 10 Januari 1966, yaitu : 1. Bubarkan PKI 2. Turunkan harga, dan 3. Retool kabinet Dwikora 26 ABRI sebagai kekuatan sosial politik mengeluarkan pernyataan bahwa ABRI tetap patuh dan taat pada Pimpinan Besar RevolusiPanglima Tertinggi ABRI dan menyerukan agar memelihara kekompakan sesama ABRI dan kekompakan antara rakyat-ABRI. Hal ini dilakukan oleh ABRI mengingat adanya kekuatan-kekuatan ABRI yang terpecah-pecah dalam dua kelompok, yaitu : 26 Arif Yulianto, Opcit Hal. 244 28 1. Pendukung gerakan atau aksi mahasiswa yang menuntut dibubarkannya PKI yang antara lain adalah RPKAD Resimen Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat dan Kostrad Komando Strategis dan Cadangan TNI Angkatan Darat. 2. Kelompok yang memebela barisan Soekarno seperti KKO AL dibawah Mayjen KKO Hartono dan Brimob-Polri. 27 Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno memerintakan kepada MenteriPANGDAM Letjen Soeharto untuk atas nama PresidenPanglima TertinggiPemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa kepemimpinan PresidenPanglima TertinggiPemimpin Besar RevolusiMandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima angkata lainnya dengan sebaik-baiknya. Surat Perintah yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 itulah yang dikenal dengan ‘’Supersemar’’ Surat Perintah Sebelas Maret kemudian dianggap sebagai titik awal Orde Baru. Dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret ini, secara politik dimanfaatkan oleh Lenjen Soeharto untuk tidak ada alasan lagi untuk membubarkan PKI karena 27 Sayidiman Suryohardiprojo, Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya, Intermasa,1996, hal 220- 222. 29 dianggap sebagai sumber ketidakamanan serta ketidaktentraman masyarakat. Disinilah peranan ABRI semakin besar dalam perpolitikan di Indonesia terutama karena Letjen Soeharto menjadi pemegang Supersemar. Sementara itu, dorongan kalangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia semakin keras untuk mendesak pimpinan TNI AD untuk mengambil langkah-langkah pergantian kepemimpinan nasional. Namun Letjen Soeharto berpedoman pada ketentuan bahwa segala sesuatu harus berdasarkan konstitusi, karena ABRI menghendaki kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka berdasarkan hal itu, segera dilaksanakan pelaksanaan Sidang MPRS pada waktu itu belum ada MPR yang sebenarnya, karena sejak Indonesia kembali ke UUD 1945 belum pernah ada Pemilu, yang ada baru MPRS yang anggotanya diangkat untuk membicarakan keadaan negara yang semakin kacau. Dalam sidang tersebut menghasilkan beberapa ketetapan penting, diantaranya adalah ketetapan tentang pengukuhan Supersemar Tap MPRS No.IX1966, pembubaran PKI Tap MPRS No.XXVMPRS1966, pembentukan Kabinet Ampera Tap MPRS No.XIIIMPRS1966 pelaksanaan Pemilu dalam tempo dua tahun Tap MPRS No.XIMPRS1966, koreksi politik luar negeri agar kembali pada politik 30 bebas-aktif yang tetap anti-imprialisme dan kolonialisme Tap MPR No.XIIMPRS1966. 28

2.2 Konsep dan Landasan Dwi Fungsi ABRI