Kebijakan Pemerintah dalam Manajemen Internal ABRI Restrukturisasi Sistem Politik

68 VIMPR1998 menetapkan B.J Habibie sebagai wakil presiden. Pelimpahan kekuasaan ketangan B.J Habibie memunculkan isu perpecahan dikalangan ABRI kedalam dua kelompok yaitu kelompok Jenderal TNI Wiranto dan Letjen TNI Prabowo Subiyanto. 77

3.1.1 Kebijakan Pemerintah dalam Manajemen Internal ABRI

Keadaan yang semakin semeraut menuntun pemerintahan baru harus mengambil tindakan cepat untuk merepon tuntutan demonstran, dengan kenyataan tersebut maka pemerintah melakukan beberapa tindakan, diantaranya adalah : Pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Presiden B.J Habibie kebijakan hubungan sipil-militer cenderung seperti di masa orde baru. meskipun B.J Habibie merupakan kalangan sipil tapi pada dasarnya presiden memiliki kedekatan yang sangat erat dengan militer walaupun banyak isu yang beredar mengenai kebencian militer terhadap B.J Habibie. Pada masa transisi ini untuk menunjukkan adanya kontrol sipil terhadap militer pemerintah masih mempertahankan kedudukan strategis penjabat-pejabat militer pada masa pemerintahan Soeharto. Keberhasilan B.J Habibie dalam menjaga hubungan baik dengan militer terletak pada bagaimana sikap B.J Habibie dalam menghadapi pihak militer. Sebagai seorang yang dibesarkan secara politis oleh Soeharto, B.J Habibie belajar banyak dari 77 Malik A Haramain dan Nurhuda Y, Mengawali Transisi : Refleksi atas Pemantauan Pemilu ’99. Georai Pratama Press, Jakarta, 2000. Hal 10-11 69 mentornya tersebut. Meskipun Presiden Soeharto mencampuri urusan internal militer tetapi tetap saja dilakukan dengan cara elegan melalui lembaga formal militer. 78

3.1.2 Restrukturisasi Sistem Politik

Pada masa pemerintahan presiden B.J Habibie yang lebih bersifat transisi belumlah merupakan sebuah pemerintahan yang kuat, karena tidak menguasai tentara sepenuhnya seperti Presiden Soeharto dulu melakukannya. Keadaan ini membuka peluang bagi berlakunya kembali Objective Civilian Control kontrol sipil objektif. Kebijakan Presiden B.J Habibie dalam menata peran militer pasca-Orde Baru lebih banyak diserahkan kepada Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Oleh karena itu pada masa pemerintahan B.J Habibie terdapat peluang yang relatif terbuka untuk menjadikan institusi militer menjadi profesional tanpa adanya kontrol sipil subjektif, namun lebih mengacu pola kontrol sipil objektif. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru membawa dampak adanya perubahan dalam sistem politik di Indonesia. Pada masa Orde Baru Undang-Undang Politik dianggap oleh organisasi politik konstestan pemilihan umum seperti PPP dan PDI tidak adil karena lebih banyak memuat aturan yang lebih menguntungkan partai penguasa. Oleh karena itu, dengan jatuhnya rezim penguasa maka muncullah euforia 78 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan kelak. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. Hal 337- 338. 70 kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai luapan dan wujud dari sistem demokrasi yang pada masa orde baru dimanipulasi. Bentuk dari euforia tersebut munculnya sejumlah partai politik baru yang jumlahnya lebih dari 100 partai sebagai wujud kebebasan berpartisipasi warga negara dalam berpolitik. Menyadari bahwa UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya tidak dapat lagi menampung aspirasi politik rakyat, apalagi dengan adanya rencana untuk mengadakan pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil maka DPR segera membahas RUU Politik. 79 Tim Panitia Khusus Pansus RUU Politik diikuti oleh empat fraksi yang ada. Tim Pansus ini diketuai oleh Abu Hasan Sadzili dari F-KP termasuk Aminullah Ibrahim. F-PDI diwakili, diantaranya oleh YB Wiyanjono dan Suyanto. F-PP diwakili oleh Haminto dan Robbani Thoha sedangkan F-ABRI diwakili Budi Harsono. RUU Politik yang dibahas di DPR merupakan usulan dari Tim Revisi RUU Politik Departemen Dalam Negeri Tim Tujuh. Ada targetan yang diharapkan dari RUU yang mulai dirancang sejak 29 Mei dan selesai 27 Juli 1998 tersebut untuk segera ditetapkan sebagai Undang-Undang, mengingat waktu yang terbatas. Dengan disepakati menjadi Undang-Undang pada tanggal 28 Januari 1999 berarti ada kepastian sebagai dasar hukum dalam pemilu 1999, yang kemudian ditetapkan 7 Juni 1999. 79 Arif Yulianto, Opcit hal 349 71 Mereka membahas tiga hal yang sangat penting dari RUU Tim Tujuh, yakni mengenai Partai Politik, Pemilihan Umum dan SusunanKedudukan MPR, DPRDPRD. 80 Setelah melalui kerja keras dan perdebatan yang panjang dan sangat alot serta diiringi demonstrasi mahasiswa dari luar Gedung DPR, akhirnya ketiga RUU itu berhasil disepakati bersama dan kemudian dirumuskan menjadi Undang-Undang Politik, yakni : 81 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang disahkan dan diundangkan tanggal 1 Februari 1999 2. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang disahkan dan diundangkan tanggal 1 Februari 1999, dan 3. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPRDPRD yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 1 Februari 1999. Sebelum RUU Politik disahkan menjadi UU Politik, pada tanggal 26 Januari 1999 telah disepakati bersama pula Peraturan Pemerintah RI Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Anggota Partai Politik yang selanjutnya diubah lagi dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 12 Tahun 1999 tentang Perubahan 80 Thamrin Sonata, UU Politik Buah Reformasi Setengah Hati, Yayasan PARIBA, Jakarta 1999 hal 1 81 Arif Yulianto, Opcit hal 350 72 Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Anggota Partai Politik. 3.1.3 Reformasi Internal TNI Pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, banyak perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep organisatoris. Derasnya gelombang demokrasi yang terbentuk dari tuntutan demonstrasi, akhirnya ABRI menyadari untuk melakukan reformasi internal seperti yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No.XMPR’98 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, utamanya tentang agenda penyesuaian implementasi Dwi Fungsi TNI dengan paradigma baru. 82 Bertepatan pada hari ABRI, tanggal 5 Oktober 1998, MenhankamPangab Jenderal Wiranto mengeluarkan buku yang berjudul “ABRI Abad XXI” : Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa. Yang dimaksud dengan Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran TNI adalah sebgaia berikut : 83 1. Redefenisi : Dwifungsi ABRI di masa reformasi telah diubah terminologinya menjadi peran ABRI hal ini dimaksudkan untuk menghindari 82 Ibid hal 352 83 ABRI Abad XXI : Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, Mabes ABRI, Jakarta, 1998 hal 17-19, sebagaimana dikutip Arif Yulianto dalam buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba 73 salah tafsir. Istilah peran ABRI mengandung pemahaman adanya integrasi fungsi secara utuh sehingga tidak ada lagi peran dikotomis dan distingtif. 2. Reposisi : Reposisi dimaksudkan sebagai penataan posisi ABRI yang diletakkan pada wacana kehidupan bangsa, yang berpangkal dan berujung pada titik kebebasan dan transparansi sebagai kosakata reformasi. 3. Reaktualisasi : upaya penataan kembali implementasi peran ABRI pada masa mendatang. Sudah menjadi komitmen ABRI untuk menerapkan perannya di masa depan secara tepat sesuai perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat. Sebagai realisasi dari konsep di atas maka ABRI mulai melaksanakan langkah-langkah perubahan mendasar yang meliputi : 84 1. Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran ABRI abad XXI. 2. Sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru peran Sospol ABRI. 3. Pemisahan Polri dari tubuh ABRI yang telah menjadi keputusan pemimpin ABRI mulai 1 April 1999 sebagai transformasi awal. 4. Penghapusan Dewan Sosial Politik Pusat Wansospolpus dan Dewan Sosial Politik Daerah Wansospolda tingkat I. 5. Perubahan Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial. 84 Ibid hal 19-20 74 6. Likuidasi Staf Karyawan Syawan ABRI, Kamtibmas ABRI dan Badan Pembinaan Kekaryaan Babinkar ABRI. 7. Penghapusan sosial politik kodam, Badan Pembina Kekaryaan Kodam, Sosial Politik Korem dan Sosial Politik Kodim. 8. Penghapusan kekaryaan ABRI melalui pensiun atau alih status. 9. Pengurangan jumlah fraksi ABRI di DPR. 10. ABRI tidak akan pernah lagi terlibat dalam politik praktis. 11. Pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Gokar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada. 12. Komitmen dan konsistensi netralitas ABRI dalam pemilu. 13. Perubahan paradigma hubungan ABRI dengan Keluarga Besar ABRI KBA. 14. Revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI disesuaikan dengan era reformasi dan peran ABRI abad XXI. 15. Perubahan Nama ABRI menjadi TNI. 16. Perubahan Staf Sospol menjadi Staf Komunikasi Sosial Komsos. 17. Pembubaran Badan Koordinasi dan Strategi Nasional Bakorstanas dan Badan Koordinasi dan Strategis Daerah Bakorstanasda. 75

3.2 Kontrol Pemerintah Terhadap Militer Pasca Orde