TNI dan Birokrasi Hubungan Sipil dengan Militer Pasca Orde Baru .1 Keberadaan TNI di Lembaga Legislatif

99 militer yang profesional dan untuk menegakkan supermasi sipil, prinsip demokrasi, penegakan hak Asasi Manusia dan ketetuan hukum nasional.

3.3.2 TNI dan Birokrasi

Adanya paradigma baru TNI yang salah satunya meniadakan penugaskaryaan bagi anggota prajurit TNI melalui keputusan pensiun dan ahli status telah dilaksanakan sejak 1 April 1999. Kebijakan penghapusan penugaskaryaan ABRI merupakan langkah yang baik mengingat banyaknya distorsi dan menciptakan monopoli kekuasaan serta mengurangi peluang non-ABRI atau kalangan sipil pada jabatan sipil. Pimpinan ABRI pada waktu itu jenderal TNI Wiranto segera membuat langkah-langkah sebagai realisasi dari kebijakan penugaskaryaan ABRI, yaitu : 96 1. Mengurangi secara sistematis dan berharap jumlah karyawan ABRI yang kurang strategis atau jabatan karier pada lembaga departemen dan non departemen. 2. Status karyawan non organik yang terdiri dari purnawirawan ABRI, tidak dipertahankan sebagai karyawan ABRI. Hal ini dikarenakan secara institusional purnawirawan sudah lepas dari ABRI. 96 Saurip Kadi, ‘’ Dwi Fungsi dan Penampilan TNI ‘’ Sebuah Tinjauan Kritis ‘’ dalam Agus Wirahadikusumah dkk., Indonesia Baru dan Tantangan TNI, Pemikiran Masa Depan, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999, Hal 300. 100 3. Penempatan karyawan sesuai dengan urgensinya, dalam arti tidak hanya bersifat legitimasi formal, tetapi ada manfaatnya. Kebijakan tersebut di sambut baik oleh kalangan sipil yang selama ini tertekan dengan kehadiran militer di lembaga-lembaga birokrasi yang selalu memonopoli. Namun bagi kalangan militer ini merupakan puncak kehancuran mereka dikarenakan tidak dapat menguntungkan bagi mereka. Bagi kalangan militer yang ingin mempertahankan jabatan birokrasinya mereka haruslah pensiun dari dinas kemiliterannya, sedangkan meraka yang memilih untuk tetap berkarier di militer harus siap menjadi perwira biasa tanpa memiliki jabatan struktural. Beberapa perwira tinggi yang terkena kebijakan tersebut antara lain adalah Mayjen Mardiyanto Gubernur Jawa Tengah, Mayjen TNI T. Rizal Nurdin Gubernur Sumatera Utara, Mayjen TNI Sutiyoso Gubernur DKI Jaya, Mayjen Adang Ruchiatna Irjen Departemen Sosial, Letjen TNI A.M. Hendro Priyono Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, serta Letjen TNI Yunus Yosfiah Menteri Penerangan. Sebagian besar perwira, ternyata lebih memilih pensiun dipercepat sehingga tetap menduduki jabatan birokrasi sipil. 97 Kebijakan untuk menempatkan perwira tinggi militer dijabatan birokrasi terjadi ketika pemerintahan Abdurahman Wahid. Walaupun jabatan Menteri Pertahanan diberikan kepada sipil bukan militer, akan tetapi tetap saja pemerintahan 97 Arif Yulianto, Opcit hal 444 101 pada saat itu menempatkan perwira militer menduduki jabatan sipil seperti Agung Gumelar sebagai Menteri Perhubungan dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Jabatan sipil lain yang diisi oleh militer adalah jabatan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Mantan Gubernur Irian Jaya, Laksamana Muda TNI Freddy Numberi di percayai untuk menduduki jabatan tersebut. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid juga mengangkat Mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Letnan Jenderal TNI Luhut Binsar Panjaitan sebagai pengganti dari jabatan lama Laksamana Sukardi yang dicopot karena dugaan korupsi. 98 98 Ibid hal 445. Jabatan sipil yang diduduki oleh kalangan militer aktif tidaklah bertahan lama, karena telah diberlakukan pembatasan akan aktifitas politik praktis oleh pemerintah sesuai pedoman tentang paradigma baru dan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang profesionalisme militer. Sehingga para perwira militer haruslah mengundurkan diri atau telah pensiun dari jabatan militernya untuk dapat berkarier dalam politik praktis, hal tersebut terlihat di mana saat ini banyaknya purnawirawan yang terlibat dalam politik praktis dan tergabung kedalam partai politik seperti Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua salah satu partai politik. 102

3.3.3 TNI dan Partai Politik