47 b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
c. Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama konsensus di kalangan anggota kelompok masyarakat.
Ada dua faktor penyebab utama dalam perubahan sosial, yaitu penimbunan akumulasi kebudayaan dan penemuan baru, pertambahan
penduduk.
1. Timbunan kebudayaan dan penemuan baru.
Timbunan kebudayaan merupakan faktor penyebab perubahan sosial yang penting. Kebudayaan dalam kehidupan masyarakat senantiasa terjadi penimbunan,
yaitu suatu kebudayaan semakin beragam dan bertambah secara akumulatif. Bertimbunnya kebudayaan ini oleh karena adanya penemuan baru dari anggota
masyarakat pada umumnya. Terjadi juga pada situasi masyarakat yang tergolong fanatik terhadap kebudayaan-kebudayaan; tidak mudah dihilangkan.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya penemuan baru inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, jalannya
unsur kebudayaan baru yang tersebar ke lain-lain bagian dari masyarakat dan cara-cara unsur kebudayaan baru tadi diterima, dipelajari dan akhirnya dipakai
dalam masyarakat yang bersangkutan. Penemuan baru dapat berupa benda-benda tertentu yang bersifat fisik, dapat pula bersifat non fisik seperti ide-ide baru,
sistem hukum, atau aliran-aliran kepercayaan yang baru. Ogburn dan Nimkoff menyebut penemuan baru social invention; yaitu penciptaan pengelompokan
dari individu-individu yang baru, atau penciptaan adat-istiadat yang baru, peri kelakuan sosial yang baru.
48
2. Perubahan jumlah penduduk.
Perubahan jumlah penduduk juga merupakan penyebab terjadinya perubahan sosial, seperti pertambahan atau berkurangnya penduduk pada suatu
daerah tertentu. Bertambahnya penduduk pada suatu daerah mengakibatkan perubahan pada struktur masyarakat terutama mengenai lembaga-lembaga
kemasyarakatannya. Sementara pada daerah yang lain terjadi kekosongan sebagai akibat perpindahan penduduk tadi. Ditinjau dari pertambahan penduduk misalnya
transmigrasi, jika berjalan secara ideal dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan keamanan, mungkin akan terjadi perubahan yang
positif. Artinya dengan adanya pendatang baru yang terampil dan siap bekerja di tempat yang baru maka besar kemungkinan justru tidak hanya sekedar
menguntungkan bagi pihak transmigran belaka, melainkan juga dapat berpengaruh terhadap penduduk asli untuk ikut serta pula bekerja dengan pola yang
menguntungkan sama dengan penduduk pendatang. Kehidupan masyarakat pun berubah karena pencampuran antara berbagai macam pola perilaku sosial dan
kebudayaan; begitu juga ekonomi, politik, dan keamanan. Sementara, perubahan sosial yang disebabkan oleh berkurangnya penduduk mengakibatkan kekosongan
pada daerah pemukiman yang lama. Roucek dan Waren menggambarkan perubahan sosial yang disebabkan oleh adanya penduduk yang heterogen.
Masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik yang berbeda yang bercampur gaul dengan bebas dan mendifusikan adat, pengetahuan teknologi dan
ideologi, biasanya mengalami kadar perubahan yang pesat. Konflik budaya, mores selalu menghasilkan ketidaksesuaian dan keresahan sosial, dan memudahkan
terjadinya perubahan sosial.
49 Jadi, jika dilihat dari pergeseran perubahan solidaritas masyarakat ini
maka pergeseran solidaritas masyarakat yang terjadi semakin berkurang disebabkan karena berkurangnya penduduk yang tinggal di sekitar sungai dan
karena menurunnya ekonomi keluarga pemberi bantuan kepada mereka yang terkena banjir dalam jumlah yang banyak dan timbunan kebudayaan yang baru
menuntut kemandirian hidup masyarakat. Karena menurut warga yang terkena banjir, banjir sering terjadi pada awal dan akhir tahun di saat banyak pengeluaran
keluarga dan pengusaha yang membantu makanan lagi sedikit pelanggan.
2.7. Ketidakmampuan Membeli Rumah Bagus Sebagai Alasan Masyarakat Tetap Bertahan Tinggal Menghadapi Resiko Banjir di Sekitar DAS Deli.
Faktor yang paling menonjol dalam kehidupan yang keras di perkotaan menghinggapi penduduk kota adalah masalah ekonomi. Akhirnya permasalahan
pun muncul berangkat dari kehidupan masyarakat kota yang mengutamakan kebutuhan akan materi dan terjadilah persoalan yang semuanya berpangkal pada
faktor ekonomi. Terjadilah kemerosotan sosial dan budaya dalam hal kemiskinan, kriminalitas serta budaya materialis yang mengagungkan harta benda sebagai hal
yang paling utama dalam kehidupan, akibatnya masyarakat kota banyak yang hidup dalam tingkat persaingan tinggi seperti dalam hal mencari pekerjaan, serta
mengutamakan diri sendiri ataupun kepentingan kelompok. Keberadaan masyarakat yang begitu banyak di kota mengakibatkan sebagian masyarakat harus
terpaksa ada yang bermukim di tempat kumuh, tidak terlepas dari adanya urbanisasi. Adanya ciri khas kota yang menunjukkan banyaknya penduduk dari
beranekaragam suku bangsa, agama, ras, adat-istiadat serta kelas sosial yakni dari
50 yang kaya sampai miskin, membuat kehidupan kota begitu kontras dengan
perbedaan dan mencoloknya kesenjangan para masyarakat, khususnya menyangkut aspek ekonomi atau kemiskinan. Faktor ekonomi membawa dampak
yang besar bagi terciptanya strata sosial ekonomi sehingga membuat kesenjangan masyarakat nampak nyata hadir dalam kehidupan kota.
Masyarakat kaya otomatis memiliki harta benda, sedangkan masyarakat miskin dikenali sebagai masyarakat yang tidak memiliki apa-apa. Pada
kenyataannya, tidak sedemikian adanya jika diperhatikan, berhubung dengan keadaan kota yang begitu padat, jumlah penduduk yang banyak, terjadinya
keterbatasan lahan, ujungnya masalah tata ruang menimbulkan masalah pemukiman. Pemukiman sebagai tempat hunian serta berkumpulnya rumah-rumah
suatu masyarakat, tampak dari bentuk hunian serta lokasi pemukiman yang dapat dengan mudah terlihat di berbagai jalan-jalan dan sudut-sudut kota. Orang yang
berada dan tinggal di kawasan elit seperti Perumnas dan Perumahan menandakan dirinya mampu dalam segi ekonomi dan jelas sekali rumah yang dia tempati dapat
dikatakan sebagai bagian harta benda yang dimiliki. Lalu masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi dan kurang beruntung dalam menempati pemukiman
yang layak sangat sulit untuk dikatakan tidak memiliki harta benda, karena tidak semua masyarakat yang susah secara ekonomi tidak memiliki harta. Meskipun
terdapat penduduk di kota yang bermukim di lingkungan kumuh namun pengetahuan serta pandangan mereka akan harta benda justru ada dan melekat
dalam kehidupan mereka, bahkan menjadi sebuah nilai budaya. Nilai budaya yang terbentuk yang didasari oleh pengetahuan akan harta benda sesuai pandangan
masing-masing penduduk yang bermukim pada pinggiran Sungai Babura Medan,
51 Kelurahan Petisah Tengah dan Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja Medan juga
terbentuk dibarengi dengan keadaan dan kondisi lingkungannya baik struktur masyarakat, historissejarah, kenyamanan, serta kebersamaan masyarakat yang
terikat dalam sifat Gemeinschaftpaguyuban. Tetapi, pemukiman di pinggiran sungai yang tadinya banyak dihuni oleh
masyarakat yang kurang sanggup untuk tinggal di tempat yang lebih baik dan membeli lahan yang berizin, lambat laun justru diisi oleh masyarakat yang bahkan
mampu mendirikan rumah yang cukup bagus, seperti bangunannya yang permanen seakan-akan kontras dengan lingkungan dan keadaan sekitarnya yang
masih bertetangga dengan rumah-rumah yang sangat sederhana, masih ada yang semi permanen dan non permanen, misalnya rumah-rumah seperti pada umumnya
namun disalahgunakan. Di pemukiman kumuh Slum area adalah rumahnya kecil, terbuat dari papan, tepas-tepas, untuk di pinggiran sungai rumah sengaja
ditinggikan dengan menggunakan tiang-tiang penyangga seperti kayu karena pinggiran sungai memang rendah dan sekaligus tiang penyangga dibuat untuk
mensiasati rumah dari banjir maupun luapan sungai. Sekarang yang terjadi malah dinamika kehidupan daerah pemukiman
kumuh cukup menarik karena berbagai lapisan orang tinggal dan jika dilihat sekilas ternyata rumah-rumah yang berada di pinggiran sungai yang masuk ke
dalam daerah kumuh diisi oleh rumah-rumah yang sebagian sudah bagus dan layak jadi. Padahal sesungguhnya alasan adanya masyarakat yang bertempat
tinggal di pemukiman yang liar dan menggantungkan hidup di tempat kumuh semuanya karena faktor ekonomi maupun biaya. Ketidakmampuan untuk tinggal
di rumah yang bagus, tempat yang baik, lingkungan yang sehat serta tanah dan
52 lahan yang sah menjadi milik pribadi tidak dapat diperoleh mereka karena harga
rumahnya mahal. Dan alasan mereka bertahan tinggal di sekitar sungai karena di sana mencari makan mudah karena dengan dengan pasar, harga sewa rumah
murah, begitulah pengakuan Bu Mardiana, warga lingkungan V Kelurahan Sukaraja yang sering terkena banjir. Pemukiman kumuh menandakan adanya
kemiskinan yang terjadi di kota
http:repository.usu.ac.idbitstream123456789309736Chapter20I.pdf. Oleh sebab itulah, masyarakat masih bertahan tinggal di bantarandekat
Sungai Deli. Mereka memang merasa kurang nyaman tinggal di sana karena kalau terjadi banjir besar banjir gawat, mereka harus siap-siap menguras air yang
menggenangi rumah mereka. Walaupun begitu, mereka tetap bertahan tinggal di bantaransekitar sungai karena mereka tidak mampu membeli rumah bagus yang
jauh dari sungai sebab terlalu mahal membeli rumah di luar seperti di Perumnas, begitulah pengakuan salah satu warga Kelurahan Sukaraja, dekat Sungai Deli.
Mereka hanya mampu mengontrak rumah di sekitar sungai karena penghasilan mereka pun tidak banyak jadi mereka hanya dapat membeli rumah di daerah
sekitar sungai karena lebih murah harga jualnya ataupun harga kontrakannya. Dan mereka yang terkena banjir juga mengatakan bahwa mereka tetap bertahan tinggal
di sekitar sungai karena sudah enak bertetangga dan tempatnya strategis.
53
BAB III METODE PENELITIAN