dikarenakan korban tidak dapat dihadirkan kembali karena sudah tidak tahu lagi keberadaannya dimana.
132
D. Kendala yang dihadapi Polda Sumut dalam menangani TPPO
Tindak pidana Perdagangan Orang adalah bentuk tindak kejahatan yang kompleks, dan memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak
hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak
hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Hakim maupun pihak-pihak yang terkait yaitu lembaga pemerintah kementrian terkait dan lembaga non pemerintah LSM baik
lokal maupun Internasional. Semua pihak bisa saling tukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi.
133
1. Kendala Yuridis Undang-undang
Aturan hukum yang meliputi aspek pidana dari tindak pidana perdagangan orang yang seharusnya mengandung kepastian hukum dan keadilan dalam arti
penjatuhan sanksi pidana, faktanya banyak hambatan atau kendala yuridis yang dihadapi oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara antara lain :
a. Penerapan Pasal 48,49 UU PTPPO yang menyatakan bahwa korban TPPO atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi atau ganti kerugian atas penderitaan
132
Sitiani Purba, Panit Perlindungan PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 10 Maret 2010 di Polda Sumut, pukul 11.00 Wib.
133
IOM International Organization for Migration, Op Cit hal 75
Universitas Sumatera Utara
atau biaya tindakan medis yang dialami korban akibat TPPO dengan disertai tanda bukti pelaksanan pemberian restitusi tersebut, namun faktanya di
lapangan semua pasal baik 48, 49 UU PTPPO, tidak pernah dilaksanakan dalam arti mandul, karena didalam UU PTPPO tersebut korban harus dapat
memberikan bukti-bukti kerugian yang dideritanya akibat eksploitasi yang dialaminya sebagai dasar mendapatkan restitusi kwitansibon, pengeluaran-
pengeluaran lainnya, kemudian bukti-bukti tersebut harus dilampirkan bersama berkas perkaranya penjelasan pasal 48 UU PTPPO sedangkan korban TPPO
tidak mungkin dapat memenuhi bukti-bukti tersebut karena untuk melayani seorang laki-laki “hidung belang” Istilah di Malaysia “Kong” tidak pernah
memakai kwitansibon, padahal disitulah letak kerugian yang sangat besar yang dialami oleh korban, korban TPPO tidak pernah berurusan soal pembayaran
dari tamu-tamu yang dilayaninya, semua sudah diatur oleh “mami” Mucikari bahkan pengeluaran-pengeluaran selama hidup dalam penyekapan mami sudah
menjadi utang yang harus dibayar oleh korban, dan semua bukti-bukti pengeluaran tersebut dipegang oleh mami, akhirnya bagi korban yang datang
melaporkan kasusnya kepada kepolisian tidak pernah dapat menunjukan bukti- bukti seperti yang diminta oleh UU PTPPO, hal ini menjadi satu alasan
sehingga restitusi tidak pernah dilaksanakan, dan bagi korban ini tidak mencerminkan suatu keadilan yang memang seharusnya menjadi haknya,
karena akhirnya Hakim tidak pernah mempertimbangkan jumlah restitusi baik
Universitas Sumatera Utara
materiil maupun immateriil yang menjadi kewajibannya untuk menuangkannya dalam dictumamar putusan pengadilan, padahal korban mengharapkan Hakim
dapat mempertimbangkan tidak saja berdasarkan Legal Justice, tapi juga berdasarkan Moral Justice untuk mendapatkan Precise Justice. Tidak boleh
dilupakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan keadilan dari putusan Hakim, berupa rasa aman, ketenangan dan rasa lega karena putusan
Hakim dapat diterima dan dianggap setimpal dengan perbuatan pelaku. UUD 1945 RI menjamin masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan kepastian
hukum berdasarkan pasal 28 D ayat 1 : “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.” b.
Pasal 1 UU PTPPO tidak membedakan antara definisi perdagangan anak dengan perdagangan orang dewasa, sehingga dikhawatirkan ada peluang bagi
aparat penegak hukum akan menggunakan definisi perdagangan orang dewasa sama dengan definisi perdagangan anak, karena menurut pasal 17 UU PTPPO
pelaku tindak pidana perdagangan orang jika dilakukan terhadap anak, ancaman pidananya diperberat ditambah 13 sepertiga, dengan tidak dibedakannya
tersebut akhirnya ada peluang bagi pelaku TPPO hanya mendapatkan sanksi pidana pokok dan denda saja.
c. Pasal 10 UU PTPPO menyatakan tidak membedakan ancaman hukuman bagi pelaku utama dan yang membantu melakukan, padahal kadangkala orang yang
Universitas Sumatera Utara
membantu disuruh merekrut adalah juga korban dari jaringan perdagangan orang, hal ini terjadi pada kasus-kasus TPPO yang melibatkan siswi-siswi
SMUSMP, dimana pada awalnya siswi SMUSMP ini menjadi korban TPPO, kemudian oleh pelaku utama disuruh untuk mencari korban anak lainnya
disekolah, dengan iming-iming uang yang besar, sehingga akhirnya siswi SMUSMP merasa tertarik dan mencari korban sebaya dirinya, menurut UU
PTPPO ancaman hukuman kepada siswi SMUSMP yang membantu sama dengan pelaku utama.
2. Lemahnya koordinasi antara Aparat Penegak Hukum