Teknik Pengumpulan Data Lahirnya UU PTPPO

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 45

5. Metode Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan : 46 a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum konseptualisasi yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut; 45 Riduan, Metode Teknik Menyusun Tesis, Bandung : Bina Cipta, 2004, hal. 97. 46 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Grafindo, 2006, hal. 225. Universitas Sumatera Utara b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah urgensi pidana trafficking kepada trafiker; c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. 47 47 Jonny Ibrahim, Op Cit, hal 175 Universitas Sumatera Utara

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT

UNDANG-UNDANG NO.21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG PTPPO

A. Pengertian dan Terminologi Tindak Pidana Perdagangan Orang TPPO

1. Lahirnya UU PTPPO

Pengertian Perdagangan Orang dalam UU PTPPO mencerminkan Pengertian Trafficking in Persons yang diatur dalam UN Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, yang sudah diakui dan diterima masyarakat Internasional. Ketentuan Pasal 3a Protocol tersebut menyatakan bahwa : “ Trafficking In Persons” berarti Pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain,untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi minimal berbentuk eksploitasi prostitusi pada orang lain atau bentuk bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, kerja paksa atau pengambilan organ tubuh.” 48 Istilah “Perdagangan Orang” kemudian menjadi baku mengingat UU PTPPO secara lebih luas dan lengkap memberikan definisi yang bisa ditemukan dalam Ketentuan Umum, pasal 1 : 48 IOM International Organization for Migration,Op Cit , hal 72 Universitas Sumatera Utara 1 Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 7 Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ danatau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. 8 Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Istilah “Perdagangan Orang” atau tindak pidana Perdagangan Orang TPPO digunakan dalam keseluruhan isi pedoman ini menggantikan istilah “trafficking” yang sebelumnya banyak digunakan baik dalam buku-buku maupun sosialisasi. Istilah “Perdagangan Orang juga akan digunakan sebagai terjemahan “Trafficking In Persons” yang disebutkan dalam Protokol PBB. Indonesia pernah menjadi sorotan dunia internasional, ketika pemerintah Amerika dalam Laporan Tahunan tentang Perdagangan Orang Tahun 2002 menempatkan Indonesia ke dalam Tier III atau negara yang tidak memenuhi standar minimal penanganan perdagangan orang atau tidak melakukan usaha-usaha yang signifikan dalam meresponnya. Pada tahun itu juga, Megawati selaku Presiden Universitas Sumatera Utara mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang salah satu tujuan kuncinya adalah untuk mendorong dan atau menyempurnakan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak. Sebelum UU TPPO diterbitkan, larangan praktek perdagangan orang sudah diatur dalam produk hukum nasional, diantaranya : 1. Pada Pembukaan UUD 1945, alinea ke 4 Pancasila, Sila ke dua yaitu : “ Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” , menunjukkan bahwa perbudakan tidak dimungkinkan, apalagi berdasarkan pasal 28 1 negara menjamin “hak untuk tidak diperbudak” amandemen ke-2, tanggal 18 Agustus 2000. 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, pasal 297 : “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Meskipun pada kenyataannya korban perdagangan orang tidak hanya perempuan dan laki-laki yang belum dewasa, melainkan orang-orang yang berada dalam posisi rentan, baik perempuan, laki-laki, dewasa dan anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 ini juga memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita kornan akibat kejahatan perdagangan orang. 3. Pasal 324 KUHP : “ Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung Universitas Sumatera Utara dalam salah satu perbuatan tersebut diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Pasal 324 KUHP mengatur “Perniagaan budak belian” Slavenhandel, tetapi Perbudakan di Indonesia menurut hukum berdasarkan pasal 169 “Indische Staatsregeling” pada tanggal 1 Januari 1860 telah dihapus dengan pertimbangan bahwa perbudakan tidak akan pernah terjadi di zaman modern ini. Tetapi ternyata asumsi tersebut keliru karena justru di era globalisasi ini “Slavenhandel” marak kembali dalam wujud yang lebih canggih dan lebih berani serta dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung. Perempuan pekerja domestik sering diperlakukan layaknya sebagai budak, dipekerjakan tanpa mendapatkan upah sama sekali, tidak diberikan tempat istirahat yang layak dan dirampas kebebasan bergeraknya. Tarif yang ditetapkan oleh agen perekrut tenaga kerja kepada calon majikan, seolah memberikan kekuasaan kepada majikan atas pekerja domestik yang telah dibelinya. Sehingga untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pekerja domestik, majikan mengeksploitasi korban secara terus menerus. Larangan perbudakan juga diatur dan tercantum dalam pasal 10 UUD Sementara tahun 1950. Universitas Sumatera Utara 4. Pasal 83 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. 49

2. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional