Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan kecerdasan emosi dan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan menghadapi masa pensiun, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam rentang kehidupan, manusia akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Hurlock 1980 menyebutkan bahwa ada beberapa tahapan perkembangan yang dijalankan oleh manusia, yaitu periode prenatal, bayi, masa bayi, awal masa kanak-kanak, akhir masa kanak-kanak, masa puber atau pra-masa remaja, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa tua atau usia lanjut. Masing- masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock 1980 ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Dalam setiap periode yang dijalankan oleh manusia, terdapat peristiwa-peristiwa yang mencerminkan adanya proses transisi. Tidak jauh berbeda dengan masa pubertas yang merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja dan kemudian dewasa, usia dewasa tengah juga merupakan suatu masa transisi. Bagi orang yang berada dalam usia setengah baya atau yang disebut juga dewasa madya, transisi dapat diartikan sebagai penyesuaian diri terhadap suatu perubahan, diantaranya: perubahan fisik, perubahan mental, perubahan minat, dan perubahan sosial Hurlock, 1980. Pada umumnya usia setengah baya atau usia dewasa madya dipandang sebagai masa usia antara 40 sampai 60 tahun. Masa ini ditandai oleh adanya perubahan- perubahan jasmani dan mental. Pada usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, yang sering diikuti oleh penurunan daya ingat. Pada usia inilah, semua orang dewasa harus melakukan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, salah satunya penyesuaian dalam bidang pekerjaan. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seseorang perlu melakukan usaha untuk mempertahankan hidup. Usaha untuk mempertahankan hidup bagi semua makhluk dimulai dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu makan dan minum. Dalam teori Maslow Atkinson, 1983 memenuhi kebutuhan fisiologis adalah pemenuhan kebutuhan paling dasar yang dilakukan oleh seorang individu. Setiap individu harus melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan fisiologis ini. Jika suatu kebutuhan dasar sudah terpenuhi, maka pemenuhan kebutuhan lain akan meningkat pada hierarki yang lebih tinggi Atkinson, 1983. Salah satu usaha untuk mendapatkan makan dan minum adalah dengan bekerja. Dengan bekerja, seseorang mendapatkan imbalan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Selain itu, bekerja juga berguna untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri. Ada dua macam kebutuhan akan harga diri, yang pertama, yaitu kebutuhan akan kekuatan, penguasaan,kompetensi, percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua, yaitu kebutuhan- kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting dan diapresiasi orang lain Sarwono, 2002. Bekerja dalam suatu kantor atau instansi memiliki periode dan waktu tertentu. Masa pekerjaan formal akan berakhir ketika seseorang memasuki usia tertentu, hal ini disebabkan oleh keadaan fisik atau kondisi fisik seseorang. Kondisi fisik manusia untuk bekerja memiliki batasan, semakin tua seseorang, semakin menurun kondisi fisiknya, makan beriringan dengan hal itu produktivitas kerja yang dimiliki pun akan semakin menurun. Pada saat itulah seseorang akan diminta berhenti dari pekerjaannya, atau pensiun dan beristirahat untuk menikmati hasil yang diperolehnya selama bekerja. Sehubungan dengan masa pemberhentian pada pegawai negeri sipil, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1979 pasal 28 disebutkan bahwa: “Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Pejabat Negara dan dibebaskan dari jabatan organiknya, pada saat ia mencapai usia 56 lima puluh enam tahun diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, dengan mendapat hak-hak kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan ketetapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia ini, seseorang yang akan menghadapi masa pensiun berarti mengalami perubahan dalam pola hidup mereka, yaitu dari bekerja menjadi tidak bekerja. Manusia tidak selamanya dapat melakukan aktivitas secara formal, terutama bagi yang bekerja di kantor atau instansi tertentu. Pensiun merupakan akhir dari seseorang melakukan pekerjaannya. Pensiun seharusnya membuat orang senang karena bisa menikmati hari tuanya. Tetapi sebaliknya, Beverly Hurlock, 1980 berpendapat bahwa pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena mereka tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan mereka hadapi kelak. Kecemasan merupakan gangguan psikologis yang memiliki ciri- ciri seperti ketegangan motorik gelisah, tidak relaks, hiperaktivitas pusing, jantung berdebar-debar, dan pikiran serta harapan yang mencemaskan Santrock, 2002. Lebih lanjut, David Sue 2010 mendefinisikan “anxiety a fundamental human emotion that produce bodiliy reactions that prepare us for “fight or flight” ; anxiety is anticipatory; the dreaded event or situation has not yet occurred”. Dari definisi ini dapat diartikan bahwa kecemasan adalah emosi dasar manusia yang menghasilkan reaksi tubuh untuk mempersiapkan seseorang untuk “bertahan atau lari”. Kecemasan juga diartikan sebagai ketakutan atau rasa takut yang timbul pada situasi yang belum terjadi. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang cenderung merasa cemas ketika akan memasuki masa pensiun. Hal ini terjadi karena adanya sudut pandang yang negatif mengenai pensiun. Sebagai contoh ZA, merupakan salah pegawai fungsional dari Kementrian Agama Kota Padang. Ketika akan memasuki masa pensiunnya dalam jangka waktu yang tidak lama lagi, yaitu pada Juli 2011 mengaku merasakan cemas semenjak dua tahun yang lalu dan membuatnya merasa terganggu. ZA mengaku bahwa ia merasa takut kehilangan fasilitas yang telah dimiliki selama ini. Menurut keluarganya, terkadang subjek juga suka melamun sendiri, mengeluh, merasa sering cepat lelah, dan terkadang sering marah- marah tanpa alasan yang jelas. Padahal, biasanya subjek jarang marah dan mengeluh berdasarkan hasil wawancara via telepon dengan keluarga ZA, pada 11 Mei 2011. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa masa pensiun adalah masa yang sangat tidak menyenangkan, suram, tidak dihormati lagi, dan kehilangan semua fasilitas jabatan yang selama ini dinikmati. Berdasarkan contoh kasus ini, menunjukkan bahwa adanya kecemasan ketika akan menghadapi pensiun pada salah satu pegawai Kementerian Agama di atas. Orang pada usia madya ini memiliki tingkat kecemasan yang lebih besar. Hal ini dapat dijelaskan melalui fakta bahwa terjadi perubahan dalam pola hidup, perubahan peran dan perubahan konsep diri yang disertai dengan adanya ketegangan yang mengganggu dan merangsang emosi Hurlock, 1980. Dalam sebuah jurnal penelitian mengenai perbedaan tingkat kecemasan menghadapi pensiun pegawai negeri sipil oleh Ratnasari 2009, mengungkapkan bahwa seseorang yang akan menghadapi masa pensiun mengalami perubahan dari kesibukan yang teratur, penghasilan yang mencukupi menjadi keadaan menganggur, penghasilan berkurang sedikit banyak akan menimbulkan goncangan mental. Goncangan ini akan terasa terutama bagi mereka yang mempunyai tanggungan keluarga seperti anak-anak yang masih kecil dan membutuhkan banyak biaya, maka ketika akan pensiun merasakan beban hidup yang semakin berat. Kenyataan yang dihadapi oleh semua pensiunan pada dasarnya sama, pertama akan menghadapi masalah berkurangnya penghasilan dan ketidakstabilan kerja. Seorang yang memiliki pekerjaan sampingan selain pekerjaan pokok dapat mengadakan penyesuaian yang lebih baik terhadap pensiun. Banyaknya waktu luang setelah pensiun pada pegawai yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan sering membuat bingung karena merasa tidak ada hal lain yang dapat dilakukannya untuk mengganti aktivitas kerja. Ratnasari 2009, menambahkan bahwa seorang pegawai negeri yang mempunyai pekerjaan sampingan selain pekerjaan pokok dapat mengadakan penyesuaian yang lebih baik terhadap pensiun. Perasaan kehilangan yang dirasakan ketika tiba waktu pensiun dapat tergantikan oleh pekerjaan sampingan tersebut. Idealnya masa pensiun tidak perlu ditanggapi dengan kecemasan, artinya seseorang akan lebih merasa banyak sisi positif yang bisa diambil ketika masa pensiun tiba. Menurut Back Santrock, 2002 hal-hal yang dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima masa pensiun sebenarnya adalah masalah emosional para pekerja terhadap pensiun itu sendiri. Jika ia mampu mengendalikan dorongan hati atau emosi dengan baik, maka ia akan menemukan banyak sisi positif yang bisa diambil. Disinilah dibutuhkan adanya kecerdasan secara emosional pada diri inidividu. Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mampu untuk mengendalikan dorongan hati atau emosi, mengatur suasana hati, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan mampu menjalin hubungan sosial dengan baik, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta kemampuan untuk memimpin Goleman, 2000. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviana dan Kumolohadi 2008 mengenai kecerdasan emosi, menggambarkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki oleh seseorang,maka kecemasan yang dihadapi semakin menurun. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik,akan mampu mengolah emosi yang ada dalam dirinya sehingga menjadi sesuatu kekuatan yang lebih positif. Keterampilan dalam mengatur emosi akan membuat seseorang menjadi terampil dalam melepaskan diri dari perasaan negatif yang ada, sehingga kecemasan yang muncul pada saat akan menghadapi pensiun dapat diminimalkan. Sehingga kecerdasan emosi yang dimiliki akan membantu seseorang keluar dari tekanan atau situasi yang tidak menyenangkan. Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang cakap secara emosi, yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan Goleman, 2000. Salovey dalam Goleman, 2000 menambahkan bahwa kecerdasan emosi merupakan serangkaian keterampilan untuk menilai emosi secara tepat pada diri sendiri dan orang lain serta memakai perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan mencapai sesuatu dalam kehidupan seseorang. Orang-orang yang mendapat skor tinggi dalam kecerdasan emosional akan lebih mampu untuk mengerti dan mengelola reaksi emosional mereka dan dapat membantu mereka untuk beradaptasi dengan tuntutan hidup yang ada. Selain memiliki kecerdasan emosi seperti yang telah dipaparkan pada paragraf di atas, dalam hubungan atau interaksi dengan orang lain, individu yang akan memasuki masa pensiun juga membutuhkan adanya dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Dukungan sosial dapat berasal dari teman kerja, keluarga, pasangan hidup dan teman di lingkungan sekitarnya. Sarafino 1998 mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain. Dukungan sosial ini terbagi ke dalam beberapa komponen diantaranya, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dukungan material, dan dukungan jaringan sosial. Komponen-komponen yang ada dalam dukungan sosial ini dapat menimbulkan pengaruh positif seperti dapat mengurangi kecemasan dan memelihara kondisi psikologis yang berada dalam tekanan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Kuncoro 2006 mengenai dukungan sosial, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang dimiliki oleh seseorang, makan semakin rendah kecemasan dalam menghadapi masa pensiun. Hal ini senada dengan pendapat Sarafino 1998 yang menyatakan bahwa dukungan sosial dapat membantu seseorang dalam menghadapi kecemasan juga dapat mencegah berkemangnya masalah yang timbul. Selain beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas, terdapat faktor demografis yang ikut diteliti dalam penelitian ini, yaitu jenis kelamin dan penghasilan. Jenis kelamin merupakan identitas responden yang dapat digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dari jurnal Suksesiati 2011 terlihat bahwa jenis kelamin memiliki kontribusi yang cukup besar dalam melihat kecemasan orangtua saat mendampingi anak di Ruang High Care Rumah Sakit Fatmawati Jakarta. Dalam jurnal Trismiati 2004, tentang Perbedaan tingkat kecemasan antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, terlihat bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kecemasan yang berbeda. Sedangkan penghasilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan atau income yang dilihat dari hasil herih payah bekerja baik sebagai pegawai atau karyawan atau bantuan dari pihak lain. Dari fenomena dan penelitian-penelitian yang telah di paparkan sebelumnya, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana kecemasan yang dialami pada usia dewasa madya saat menghadapi masa pensiun, dan bagaimana hubungan kecemasan tersebut dengan kecerdasan emosi yang dimiliki, dukungan sosial, jenis kelamin dan penghasilan yang ada. Berdasarkan pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul: “Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Dukungan Sosial dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun”. 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI SBMPTN Hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan dalam menghadapi SBMPTN.

0 2 16

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI SBMPTN Hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan dalam menghadapi SBMPTN.

0 3 5

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI SBMPTN Hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan dalam menghadapi SBMPTN.

0 3 19

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KECEMASAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Dukungan Sosial Keluarga Dengan Kecemasan Menghadapi Masa Menopause.

0 3 16

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI MASA Hubungan Antara Persepsi Terhadap Dukungan Sosial Keluarga Dengan Kecemasan Menghadapi Masa Menopause.

0 2 13

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan Sebelum Menghadapi Pertandingan Pada Atlet Futsal.

0 2 16

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN SEBELUM MENGHADAPI PERTANDINGAN PADA ATLET FUTSAL Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan Sebelum Menghadapi Pertandingan Pada Atlet Futsal.

0 11 13

PENGARUH PENERIMAAN DIRI DAN KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN PADA PEGAWAI YANG AKAN MENGHADAPI MASA PENSIUN DI PEMERINTAHAN KABUPATEN KUTAI TIMUR

0 0 11

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA PEGAWAI SKRIPSI

0 3 17

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI MASA PENSIUN PADA KARYAWAN SWASTA - Unika Repository

0 0 15