7
Deguchi 2005 melakukan perbandingan pengukuran dalam penelitiannya : Clinical assessment of orthodontic outcomes with the PAR, DI, OGS and CCA.
Tujuan penelitian untuk menilai secara kuantitatif hasil perawatan pada Klinik Ortodonsia di Okayama University dan Indiana University. Hasilnya berupa skor DI
rata-rata pada Okayama University 19.1 dan pada Indiana University skor DI 17,1. Sadikin 2007 dalam penelitiannya dengan judul Gambaran Maloklusi di
Klinik Ortodonsia RSGM FKG UI menggunakan teknik pengukuran Discrepancy Index. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan persentase keparahan pasien yang
dirawat. Desain penelitian deskriptif dan hasil penelitian : sebagian besar kasus maloklusi pasien yang dirawat tergolong memiliki kompleksitas tinggi skor DI 25
yaitu sebesar 40,2, dengan gambaran maloklusi Klas I DI = 17,99 : maloklusi Klas II DI = 26,95 : maloklusi Klas III DI = 22,20.
2.2. Manfaat Pengukuran DI
Metode pencatatan dan pengukuran yang baik dari suatu maloklusi penting sebagai dokumentasi tentang prevalensi dan keparahan maloklusi dalam suatu
kelompok populasi. Jenis data ini tidak hanya penting bagi epidemiologis, tetapi juga penting bagi perencana ketetapan perawatan ortodonsia di dalam masyarakat atau
untuk pendidikan spesialis ortodonsia. Jika metode telah diterima dan digunakan secara umum, data yang dikumpulkan dari kelompok populasi yang berbeda dapat
diperbandingkan.
3,13,14
Universitas Sumatera Utara
8
Sebagian besar metode pengukuran terhadap keparahan maloklusi dikembangkan dari Tahun 1950-1960. DI merupakan suatu metode yang bermanfaat
dalam menganalisa kasus dan untuk meringkaskan keadaan klinis kondisi pasien dengan suatu perhitungan. Metode DI selain untuk mengukur derajat maloklusi
secara kuantitatif, juga dapat digunakan untuk memilih rencana perawatan. Semakin tinggi kompleksitas maloklusi akan semakin tinggi keterampilan yang dibutuhkan
ortodontis dalam memilh rencana perawatan dan melakukan perawatan terhadap pasien.
1,15,16,17
2.3. Landasan Teori
Komponen parameter DI terdiri dari beberapa variabel antara lain : : overjet, overbite, anterior open bite, lateral open bite, crowding, oklusi, lingual posterior
crossbite, buccal posterior crossbite, sudut ANB, IMPA dan SN-Go-GN. Semakin besar nilai parameter ini, semakin besar kompleksitas yang ada.
2.3.1. Overjet
Besar overjet ditentukan oleh posisi gigi anterior maksila dan mandibula. Iregularitas pada overjet dikaitkan dengan fungsi lidah dan bibir yang
abnormal atau ada diskrepansi ukuran gigi antara lengkung maksila dan mandibula anterior.
18
Menurut Rakossi 1993, overjet adalah jarak antara tepi insisal bagian lingual gigi insisivus sentralis maksila ke tepi insisal bagian
labial gigi insisivus sentralis mandibula Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.1. Overjet
14
2.3.2. Overbite
Lengkung gigi maksila lebih besar dibandingkan lengkung mandibula sehingga memungkinkan anterior maksila overlapping dengan anterior mandibula.
Derajat overlapping dalam arah vertikal disebut overbite, dengan nilai normal berkisar 2-4 mm Gambar 2.2. Kondisi dimana terjadi kelebihan overlapping
secara vertikal dinamakan deepbite. Ada dua jenis deep bite
12
: 1. Incomplete Deep Bite : Bila hubungan insisivus mandibula tidak beroklusi
dengan insisivus maksila. 2. Complete Over Bite : Hubungan gigi insisivus mandibula berkontak dengan
permukaan palatal insisivus maksila atau jaringan palatal ketika gigi dalam oklusi sentrik.
Klasifikasi Deep Bite digolongkan ke dalam dua jenis yaitu skeletal deep bite dan dental deep bite. Pasien dengan skeletal deep bite memperlihatkan arah
pertumbuhan yang horizontal, tinggi wajah anterior berkurang, jarak
Universitas Sumatera Utara
10
interoklusal berkurang, pemeriksaan sefalometri seperti mandibula plane, F.H. plane, S.N. plane, paralel satu sama lain. Dentoalveolar deep bite terjadi
disebabkan oleh over erupsi gigi anterior atau infra oklusi gigi-gigi molar.
19
Gamabr 2.2. Overbite
14
2.3.3. Anterior Open bite
Open bite merupakan maloklusi yang terjadi dalam arah vertikal, dengan karekteristik tidak terjadi vertikal overlapping antara gigi-gigi maksila dan
mandibula Gambar 2.3. Open bite diklasifikasikan sebagai
18
: a. Skeletal anterior open bite
Menunjukkan adanya pertambahan tinggi wajah mandibula, sudut mandibula plane curam, pasien memiliki bibir atas yang pendek dan
insisivus maksila terlihat panjang, memiliki wajah yang panjang dan sempit, pemeriksaan sefalometri memperlihatkan rotasi mandibula ke bawah dan ke
depan.
Universitas Sumatera Utara
11
b. Dental anterior open bite Memperlihatkan karakteristik berupa proklinasi gigi anterior maksila, gigi
maksila dan anterior mandibula tidak overlapping satu sama lain sehingga menghasilkan ruang antara maksila dan mandibula di bagian anterior.
Gambar 2.3. Anterior Open bite
14
2.3.4. Lateral Open bite
Open bite lateral adalah suatu maloklusi dimana tidak adanya vertikal overlapping antara gigi posterior maksila dan mandibula Gambar 2.4. Pada
open bite jenis ini oklusi pada kedua sisi didukung hanya pada bagian anterior dan gigi molar permanen.
18,19
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.4. Lateral Open bite
14
2.3.4. Crowding
Klasifikasi crowding Gambar 2.5 tergantung dari etiologi yaitu : a. Primary crowding penyebabnya adalah genetik yang terjadi oleh karena
disproporsi ukuran gigi dan rahang. b. Secondary crowding adalah anomali yang didapat oleh karena pergeseran
gigi posterior ke mesial setelah premature loss gigi desidui dalam segmen lateral.
c. Tertiary crowding penyebabnya masih diperdebatkan karena terjadi pada umur 18 dan 20 tahun yang berhubungan dengan erupsi gigi molar ketiga.
18
Gambar 2.5. Crowding
18
Universitas Sumatera Utara
13
2.3.6. Oklusi
Penggolongan keadaan oklusi adalah sebagai berikut : a.
Klas I Angle disebut juga neutro oklusi ditandai dengan tonjol mesiobukal dari molar pertama permanen maksila terletak pada bukal groove dari
molar pertama permanen mandibula. Kaninus maksila terletak pada ruangan antara tepi distal dari kaninus mandibula dan tepi mesial dari
premolar pertama mandibula Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Oklusi Klas I Angle
14
b. Klas II Angle disebut juga disto oklusi yaitu tonjol mesio bukal dari molar pertama permanen maksila beroklusi pada ruangan antara tonjol mesio
bukal dari molar pertama permanen mandibula dan tepi distal dari tonjol bukal premolar kedua mandibula Gambar 2.7.
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 2.7. Oklusi Klas II Angle
14
c. Klas III Angle, memperlihatkan tonjol mesio bukal dari molar permanen pertama maksila beroklusi pada ruangan inter dental, di antara bagian distal
dari tonjol distal molar pertama permanen mandibula dengan tepi mesial dari tonjol mesial molar kedua permanen mandibula Gambar 2.8.
18
Gambar 2.8. Oklusi Klas III Angle
14
Universitas Sumatera Utara
15
2.3.7. Lingual Posterior x-bite
Posterior cross bite terjadi akibat kurangnya koordinasi dalam dimensi lateral antara lengkung gigi maksila dan lengkung gigi mandibula. Lingual posterior
x-bite merupakan keadaan kondisi maksila bagian posterior beroklusi sepenuhnya pada aspek lingual mandibula bagian posterior Gambar 2.9.
19
Gambar 2.9. Lingual Posterior x-bite
14
2.3.8. Buccal Posterior x-bite
Bentuk posterior cross bite adalah gigi-gigi maksila bagian posterior beroklusi sepenuhnya pada aspek bukal gigi-gigi mandibula bagian posterior dinamakan
bukal posterior x-bite Gambar 2.10. Kondisi ini juga dinamakan sebagai scissors bite. Skeletal cross bite dapat terjadi karena malposisi atau malformasi
rahang. Cross bite jenis ini biasanya akibat perkembangan embrio yang tidak sempurna juga dapat terjadi sebagai akibat pertumbuhan mandibula yang
berlebihan dengan karakteristik lengkung maksila sempit. Dental cross bite disebabkan gangguan yang terlokalisir seperti erupsi ektopik gigi permanen
atau over retained gigi desidui. Panjang lengkung gigi yang mengalami
Universitas Sumatera Utara
16
diskrepansi dapat menyebabkan crowding dan posisi lingual gigi maksila menjadi dental cross bite. Functional cross bite adanya gangguan oklusal akan
menyebabkan deviasi mandibula selama rahang menutup. Keadaan ini menyebabkan unilateral posterior cross bite
19
.
Gambar 2.10. Buccal Posterior x-bite
14
2.3.9. Penilaian sefalometri untuk : ANB, SN-GoGn , IMPA
Sudut ANB terbentuk melalui perpotongan garis yang menghubungkan nasion ke titik A dan nasion ke titik B. Nilai rata-rata adalah 2°. Pertambahan sudut ini
mengindikasikan tendensi Klas II skeletal, bila sudut berkurang dari nilai normal, nilainya menjadi negative yang menyebabkan hubungan skeletal
Klas III.
19
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.11. Sudut ANBa,SN-GoGnb,IMPAc
14
Bidang mandibula di bentuk antara titik gonion Go dan gnathion Gn. Sudut bidang mandibula dibentuk dengan menghubungkan bidang ini ke anterior
cranial base S-N. Rata-rata besar sudut adalah 32°. Sudut bidang mandibula yang bertambah besar atau kecil menandakan pola pertumbuhan yang tidak
baik. Pola yang demikian mempengaruhi hasil perawatan, dan adalah bijaksana untuk mengantisipasi problem jika terjadi seperti ini.
20
Sudut IMPA dibentuk oleh perpotongan aksis gigi insisivus mandibula dengan bidang mandibula.
Nilai rata-rata adalah 90°. Peningkatan nilai sudut ini mengindikasikan proklinasi insisivus mandibula Gambar 2.11.
20
b a
c
Universitas Sumatera Utara
18
2.3.10. Dan lain lain
Dan lain lain adalah kategori untuk kondisi kelainan yang dapat mempengaruhi perawatan karena tidak mungkin jika memasukkan semua
gambaran klinis yang ada dalam suatu indeks, contohnya : agenesis, supernumerari, ektopik, transposisi, anomali ukuran dan bentuk gigi,
pergeseran midline, kurva Spee yang dalam.
2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep disusun berdasarkan pemeriksaan pada studi model, foto sefalometri, foto panoramik yang diukur pencapaian skor melalui overjet,
overbite, anterior openbite, lateral openbite, crowding, oklusi molar, lingual posterior x-bite, buccal posterior x-bite, ANB, SN-GoGn, IMPA dan lain lain.
Hasil pengukuran dan analisa setiap indikator dengan menggunakan metode DI
merupakan penilaian tingkat kompleksitas maloklusi Gambar 2.12..
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.12. Kerangka Konsep Penelitian Overjet
Dan Lain-lain agenesis, supernumerari, ektopik,
transposisi, anomali ukuran dan bentuk gigi, pergeseran midline,
kurva Spee yang dalam
ANB ,SN-GoGn, IMPA Lingual Posterior x-bite
Buccal Posteriorx-bite Crowding
Oklusi Molar Lateral Open bite
Anterior Open bite Overbite
Komponen Parameter DI
Skor DI Maloklusi
Klas I
Skor DI Maloklusi
Klas II
Skor DI Maloklusi
Klas III Tingkat Kompleksitas
Maloklusi Klas I: -
Rendah -
Sedang -
Tinggi
Tingkat Kompleksitas Maloklusi Klas II:
- Rendah
- Sedang
- Tinggi
Tingkat Kompleksitas Maloklusi Klas III:
- Rendah
- Sedang
- Tinggi
Variabel yang Dominan
Universitas Sumatera Utara
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian