TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH
ramai, maka pernikahannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah
berlangsung, tidak ada satu pun saksi yang menyaksikannya, maka perkawinan tersebut tidak sah.
Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir, Umar, Urwah, Sya’bi dan Nafi apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan
kepada yang hadir agar merahasiaknnya pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda
Nabi SAW dan Aisyah:
ا فْﻮ ﺪ ﺎ ْ ْﻮ ﺮْﺿاوﺪ ﺎ ا ْﻮ ْ او حﺎﻜ ااﺬه اْﻮ
ىذ ﺮ ﺎهاور
Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Mesjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana”. H.R at-Tirmidzi.
30
Senada dengan pendapat di atas, madzab Hanbali menyatakan nikah yang telah dilangsungkan menurut syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua
mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja hukumannya makruh.
31
Ulama golongan kedua adalah golongan Maliki. Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup diumumkan saja sebelum terjadi
persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai
30
Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Safi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19.
31
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989, h. 187. 38
sudah terjadi persenggamaan, maka pernikahannya batal, meskipun saat akad nikah dihadiri oleh para saksi.
32
Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang dipersaksikannya tidak disebut secara tegas dalam
al-Qur’an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli mu’ajjal atau utang piutang yang disebut jelas dalam surat al-Baqarah:282. Kalau yang disebut yakni
saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklan wajib, maka untuk yang tidak disebut dalam hal ini saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga.
33
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki tetapi
dipesan agar mereka merahasiaknnya; lalu jawabannya: keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya
yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.
34
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri rahasia tidak boleh.
35
Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan keduanya diamati untuk merahasiakan pernikahan, tentang apakah hal itu dianggap
nikah sirri atau bukan?. Imam abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal
32
Ahmad Kuzairi, Nikah sebagai Perikatan, Jakarata: Raja Grafindo Persada, 1995. Cet. Ke-1, h. 48.
33
Ahmad Kuzari Op. Cit., h. 48.
34
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187.
35
Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990, Cet. Ke-1, h. 383.
39
itu bukan nikah sirri. Tatpi Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri dan dibatalkan.
36
Perbedaan pendapat ini disebabkan apakah kedudukan saksi dalam perkawinan merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu
dimaksudkan unuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran? Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka
mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk
menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.
37
b. Nikah Sirri Persepektif Hukum Positif
Sejalan dengan berkembangnya zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan oral
kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa
hilang dengan sebab kematian, tetapi juga karena manusia dapat mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar itu diperlukan bukti yang abadi yaitu dalam bentuk akta.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah
36
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187.
37
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 79. 40
dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.
38
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun
secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-undang yang berlaku,
khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan
perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah,
talak, dan rujuk.
39
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah:
ل ْﺪ ْﺎ ﺎآ ْ ﻜ ْ ﻜ ْو ْﻮ ْآﺎ ﻰً أ ﻰ إ ْﺪ اﺬ اذإ اْﻮ ا ْﺬ ا ﺎﻬ ﺄ ْنأ ﺎآ بْﺄ ﻻو
ْ ىﺬ ا ْ ْو ْ ْﻜ ْ ﷲا ﺎ آ ْﻜ
ر ﷲا ْو ْا
38
Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No
1 1974 sampai KHI, Jakarta: Kncana Prenada Media Group, 2006, Cet. Ke-3, h. 121-122.
39
Arso sastroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h. 55-56.
41
Artinya: “Hai orang-rang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakannya apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” Al-Baqarah: 2282.
Para pemikir Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan, sehingga mereka menganggap hal itu tidak
penting. Namun bila diperhatikan pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih:
د
ﺎ اءر ﺎﺼ ا
ﻰ مﺪ ﺪ
“Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”.
40
Pemerintah Indonesia melihat bahwa pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntuatan dari perkembangan hukum dan mewujudkan
kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.
41
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-
40
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persefektif Fiqih, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004, Cet. Ke-1, h. 148.
41
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Garfika, 2006, Cet. Ke-1, h. 29-30.
42
undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan
yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percecokan diantara mereka, atau salah
satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam UU No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan daripada perkawinan
adalah membentuk keluarga yang kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
42
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 3 juga disebutkan bahwa perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadddah dan rahmah. Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
maka perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
43
Tentang Pencatatan Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjeaskan dalam pasal 5 yaitu:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan dalam masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
42
Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta : Redaksi Sinar Grafika, 2000, Cet. Ke-4, h. 24.
43
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998, 1999, h. 14.
43
2. Pencatatn perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan nikah sebagiman diatur dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun 1954.
44
Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila telah memenuhi dua syarat
berikut: 1.
Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah UUP No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1, yaitu pernikahan telah
dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Maka bagi orang Islam pernikahan itu sah apabila telah
memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam.
2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang dikehendaki UUP
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2, yaitu pernikahan tersebut telah dicatatkan oleh Pegawi Pencatat nikah PPN yang berwenang dan telah
memperoleh bukti otentik berupa akta nikah. Nikah sirri merupakan nikah yang telah memenuhi ketentuan syari’at Islam
dan dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari PPN sehingga tidak tercatatkan. Dari sini dapat dipahami bahwa pernikahan sirri hanya
44
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di indonesia, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. Ke-1, h. 109.
44
baru memperoleh legalitas dari hukum Islam, karena hanya syarat materiilnya saja yang terpenuhi, sedangkan syarat formilnya belum terpenuhi sehingga selamanya
dianggap oleh negara tidak pernah terjadi sebuah pernikahan. Atau dengan kata lain pernikahan tersebut tidak diakui dan tidak mendapatkan legalitas dari Negara.
Dilihat dari teori hukum dapat dikatakan bahwa perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga
dapat menimbulkan akibat hukum.
45
Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun
tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum.
Dengan demikian suatu pernikahan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum menurut hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku
secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara pernikahan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum yakni yang adanya hak mendapat pengakuan dan
perlindungan hukum atas pernikahan itu sendiri, sehingga dengan demikian esistensi pernikahan secara yuridis formil diakui.
45
Soedjono Dirojsworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja grafindo Persada. 1994, Cet. Ke-4, h. 126.
45
Namun demikian aturan tentang pencatatan tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa keluarga misalnya tidak melakukan pencatatan
terhadap perkawinan mereka. Dan ini dipicu oleh beberapa kondisi lahir. Adapun faktor-faktor penyebab mereka melakukan perkawinan secara diam-diam sirri
tersebut antara lain: 1.
Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa
masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintahNegara;
2. Tidak ada izin istri atau istrinya dan Peradilan Agama bagi orang yang
bermaksud kawin lebih dari satu orang; 3.
Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon istrisuami, sehinga dikhawatirkan terjadi hal-hal
negativ yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama;
4. Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya,
karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka
perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
46
Sehubungan dengan faktor-faktor di atas, diharapkan kepada masyarakat agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek fiqih saja, tetapi
perlu juga dipikirkan aspek-aspek keperdataannya secara seimbang. Perlu diingat bahwa pencatatan ini merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat
demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. Kalau perkawinan sudah dicatat, maka Pegawai Pencatat Nikah akan mengeluarkan kutipan akta nikah yang merupakan
bukti jaminan hukum apabila salah seorang dari mereka menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
46
B.
Dampak Daripada Pernikahan Sirri
Pernikahan sirri merupakan pernikahana yang tidak memenuhi syarat administrasi yang telah diatur oleh Negara, karena pernikahan sirri adalah pernikahan
yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Sehingga dari pernikahan sirri ini menimbulkan dampak negative. Dampak daripada pernikahan sirri secara hukum
kenegaraan adalah tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang ditimbulkan oleh pertalian hubungan perkawinan, tidak dianggap istri sah dan tidak berhak atas nafkah
dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. Disamping itu juga tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahanperceraian. Begitu pula tidak adanya
pengakuan hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami istri yang menikah dibawah tangan, status anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan
46
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke-2, h. 48-49.
47
dibawah tangan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari pihak ibu. Artinya anak
itu tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Sedangkan dampak secara sosial dari pasangan suami istri yang melakukan
pernikah dibawah tangan cenderung lebih sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai istri simpanan atau istri tidak sah secara hukum.Tidak dapat
dijadikan alasan untk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan.
C.
Lembaga Itsbat Nikah
1.
Pengertian itsbat nikah
Seperti telah disinggung sebelumnya dalam Kompilsai Hukum Islam pasal 7 yang berbunyi bahwa dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat Nikah merupakan gabungan dari dua kalimat yakni Itsbat dan Nikah. Itsbat merupakan masdar dari kata
ﺎ ﺎ ا ـ ـ ا yang mempunyai makna penetapan atau pembuktian.
47
Sedangkan kata nikah adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
47
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, cet. 14, h. 145.
48
dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
48
Sedangkan definisi nikah yang diberikan oleh para ulama fikih yaitu, aqad yang membolehkan tejadinya al-istimta’
persetubuhan dengan seorang wanita, atau melakukan wati’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau
persusuan.
49
Dari dua kalimat di atas dapat digabungkan bahwa itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan Pengadilan terhadap pernikahan
yang dilakukan karena alasan-alasan tertentu. Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 berbunyi: Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
50