TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN SIRRI DAN ITSBAT NIKAH

ramai, maka pernikahannya tetap sah. Sebaliknya meskipun pernikahannya itu diumumkan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika akad nikah berlangsung, tidak ada satu pun saksi yang menyaksikannya, maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, Ibnu Mundzir, Umar, Urwah, Sya’bi dan Nafi apabila terjadi akad nikah tetapi dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar merahasiaknnya pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pernikahan. Sabda Nabi SAW dan Aisyah: ا فْﻮ ﺪ ﺎ ْ ْﻮ ﺮْﺿاوﺪ ﺎ ا ْﻮ ْ او حﺎﻜ ااﺬه اْﻮ ىذ ﺮ ﺎهاور Artinya: “Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah di Mesjid serta ramaikanlah dengan memukul rebana”. H.R at-Tirmidzi. 30 Senada dengan pendapat di atas, madzab Hanbali menyatakan nikah yang telah dilangsungkan menurut syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya, hanya saja hukumannya makruh. 31 Ulama golongan kedua adalah golongan Maliki. Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib dan cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi jika sebelum akad nikah diumumkan kepada khalayak ramai 30 Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Safi’i, Al-Umm, juz 5, h. 19. 31 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989, h. 187. 38 sudah terjadi persenggamaan, maka pernikahannya batal, meskipun saat akad nikah dihadiri oleh para saksi. 32 Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang dipersaksikannya tidak disebut secara tegas dalam al-Qur’an dibanding dengan ketentuan mengenai akad jual beli mu’ajjal atau utang piutang yang disebut jelas dalam surat al-Baqarah:282. Kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja ditemukan dalil menyatakan tidaklan wajib, maka untuk yang tidak disebut dalam hal ini saksi akad nikah, tentulah tidak wajib juga. 33 Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-laki yang mengawini seorang perempuan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiaknnya; lalu jawabannya: keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi isterinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya, sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum. 34 Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri rahasia tidak boleh. 35 Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi dan keduanya diamati untuk merahasiakan pernikahan, tentang apakah hal itu dianggap nikah sirri atau bukan?. Imam abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal 32 Ahmad Kuzairi, Nikah sebagai Perikatan, Jakarata: Raja Grafindo Persada, 1995. Cet. Ke-1, h. 48. 33 Ahmad Kuzari Op. Cit., h. 48. 34 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187. 35 Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990, Cet. Ke-1, h. 383. 39 itu bukan nikah sirri. Tatpi Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri dan dibatalkan. 36 Perbedaan pendapat ini disebabkan apakah kedudukan saksi dalam perkawinan merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu dimaksudkan unuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran? Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan. 37 b. Nikah Sirri Persepektif Hukum Positif Sejalan dengan berkembangnya zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan oral kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, tetapi juga karena manusia dapat mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar itu diperlukan bukti yang abadi yaitu dalam bentuk akta. Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah 36 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 187. 37 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 79. 40 dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. 38 Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk. 39 Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah: ل ْﺪ ْﺎ ﺎآ ْ ﻜ ْ ﻜ ْو ْﻮ ْآﺎ ﻰً أ ﻰ إ ْﺪ اﺬ اذإ اْﻮ ا ْﺬ ا ﺎﻬ ﺄ ْنأ ﺎآ بْﺄ ﻻو ْ ىﺬ ا ْ ْو ْ ْﻜ ْ ﷲا ﺎ آ ْﻜ ر ﷲا ْو ْا 38 Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No 1 1974 sampai KHI, Jakarta: Kncana Prenada Media Group, 2006, Cet. Ke-3, h. 121-122. 39 Arso sastroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h. 55-56. 41 Artinya: “Hai orang-rang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakannya apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” Al-Baqarah: 2282. Para pemikir Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan, sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun bila diperhatikan pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fiqih: د ﺎ اءر ﺎﺼ ا ﻰ مﺪ ﺪ “Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”. 40 Pemerintah Indonesia melihat bahwa pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntuatan dari perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia. 41 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang- 40 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persefektif Fiqih, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004, Cet. Ke-1, h. 148. 41 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Garfika, 2006, Cet. Ke-1, h. 29-30. 42 undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percecokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam UU No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan daripada perkawinan adalah membentuk keluarga yang kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 42 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 3 juga disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadddah dan rahmah. Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah maka perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 43 Tentang Pencatatan Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjeaskan dalam pasal 5 yaitu: 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan dalam masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. 42 Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta : Redaksi Sinar Grafika, 2000, Cet. Ke-4, h. 24. 43 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998, 1999, h. 14. 43 2. Pencatatn perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatatan nikah sebagiman diatur dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo. Undang-undang nomor 32 tahun 1954. 44 Menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, suatu perkawinan akan diakui dan mendapatkan legalitas dari Negara apabila telah memenuhi dua syarat berikut: 1. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah UUP No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1, yaitu pernikahan telah dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukum agama masing-masing. Maka bagi orang Islam pernikahan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. 2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang dikehendaki UUP No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2, yaitu pernikahan tersebut telah dicatatkan oleh Pegawi Pencatat nikah PPN yang berwenang dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah. Nikah sirri merupakan nikah yang telah memenuhi ketentuan syari’at Islam dan dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari PPN sehingga tidak tercatatkan. Dari sini dapat dipahami bahwa pernikahan sirri hanya 44 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di indonesia, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. Ke-1, h. 109. 44 baru memperoleh legalitas dari hukum Islam, karena hanya syarat materiilnya saja yang terpenuhi, sedangkan syarat formilnya belum terpenuhi sehingga selamanya dianggap oleh negara tidak pernah terjadi sebuah pernikahan. Atau dengan kata lain pernikahan tersebut tidak diakui dan tidak mendapatkan legalitas dari Negara. Dilihat dari teori hukum dapat dikatakan bahwa perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. 45 Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian suatu pernikahan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum menurut hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara pernikahan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan. Pernikahan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum yakni yang adanya hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum atas pernikahan itu sendiri, sehingga dengan demikian esistensi pernikahan secara yuridis formil diakui. 45 Soedjono Dirojsworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja grafindo Persada. 1994, Cet. Ke-4, h. 126. 45 Namun demikian aturan tentang pencatatan tidak sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Beberapa keluarga misalnya tidak melakukan pencatatan terhadap perkawinan mereka. Dan ini dipicu oleh beberapa kondisi lahir. Adapun faktor-faktor penyebab mereka melakukan perkawinan secara diam-diam sirri tersebut antara lain: 1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang, mereka masih menganggap bahwa masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan tidak perlu ada campur tangan pemerintahNegara; 2. Tidak ada izin istri atau istrinya dan Peradilan Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang; 3. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang sudah bergaul rapat dengan calon istrisuami, sehinga dikhawatirkan terjadi hal-hal negativ yang tidak diinginkan, lalu dikawinkan secara diam-diam dan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama; 4. Adanya kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya, karena anaknya segera dikawinkan dengan suatu harapan pada suatu saat jika sudah mencapai batas umur yang ditentukan terpenuhi, maka perkawinan baru dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 46 Sehubungan dengan faktor-faktor di atas, diharapkan kepada masyarakat agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek fiqih saja, tetapi perlu juga dipikirkan aspek-aspek keperdataannya secara seimbang. Perlu diingat bahwa pencatatan ini merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. Kalau perkawinan sudah dicatat, maka Pegawai Pencatat Nikah akan mengeluarkan kutipan akta nikah yang merupakan bukti jaminan hukum apabila salah seorang dari mereka menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 46 B. Dampak Daripada Pernikahan Sirri Pernikahan sirri merupakan pernikahana yang tidak memenuhi syarat administrasi yang telah diatur oleh Negara, karena pernikahan sirri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Sehingga dari pernikahan sirri ini menimbulkan dampak negative. Dampak daripada pernikahan sirri secara hukum kenegaraan adalah tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang ditimbulkan oleh pertalian hubungan perkawinan, tidak dianggap istri sah dan tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. Disamping itu juga tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahanperceraian. Begitu pula tidak adanya pengakuan hak-hak sipil dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami istri yang menikah dibawah tangan, status anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan 46 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke-2, h. 48-49. 47 dibawah tangan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari pihak ibu. Artinya anak itu tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Sedangkan dampak secara sosial dari pasangan suami istri yang melakukan pernikah dibawah tangan cenderung lebih sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai istri simpanan atau istri tidak sah secara hukum.Tidak dapat dijadikan alasan untk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang pernikahan. C. Lembaga Itsbat Nikah 1. Pengertian itsbat nikah Seperti telah disinggung sebelumnya dalam Kompilsai Hukum Islam pasal 7 yang berbunyi bahwa dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Itsbat Nikah merupakan gabungan dari dua kalimat yakni Itsbat dan Nikah. Itsbat merupakan masdar dari kata ﺎ ﺎ ا ـ ـ ا yang mempunyai makna penetapan atau pembuktian. 47 Sedangkan kata nikah adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia 47 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, cet. 14, h. 145. 48 dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. 48 Sedangkan definisi nikah yang diberikan oleh para ulama fikih yaitu, aqad yang membolehkan tejadinya al-istimta’ persetubuhan dengan seorang wanita, atau melakukan wati’, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau persusuan. 49 Dari dua kalimat di atas dapat digabungkan bahwa itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan Pengadilan terhadap pernikahan yang dilakukan karena alasan-alasan tertentu. Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 berbunyi: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. 50

2. Aturan itsbat nikah

Aturan mengenai itsbat nikah ini dijelaskan dalam Undang-undang N0. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 yang menggantikan segala landasan hukum Pengadilan Agama sebenarnya, memang lembaga itsbat nikah tidak dimekarkan tetapi tidak berarti hilang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 49 ayat 2 bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang 48 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta: Intermasa, 1991, h. 187. 49 Wahbah al-Zuhaily , al-Fiqh al-islami wa adillatuhu, Juz VII, Damsiq: Dar al-Fikr, 1989, h. 29. 50 Abdul Ghani Abdullah, op.cit., h. 99. 49 mengenai perkawinan yang berlaku, sedangkan dalam penjelasan pasal 49 ayat 2 tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam Undang- undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain. Jadi Lembaga Itsbat nikahpengesahan nikah yang ditampung dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Undang-undang No. 7 tahun 1989, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 tahun 1974. Sedangkan itsbat nikahpengesahan nikah yang karena alasan-alasan lain tidak dimuat dan tidak ada pula penjelasan tentang ketidak bolehannya. Kelemahan dalam Undang-undang ini kemudian dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama. Dan pada ayat 3 berbunyi: Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan; a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah; c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang N0. 1 Tahun 1974; 50 e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974; Kemudian didalam ayat 4 disebutkan bahwa, yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah Suami, Istri, Anak-anak mereka, Wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Artinya bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Setelah dikabulkan permohonan itsbat nikah maka secara otomatis yang berkepentingan akan mendapatkan bukti otentik tentang pernikahan mereka yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama yaitu akta nikah. Itsbat nikah ini berfungsi sebagai kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan. Persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. D. Gambaran umum Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya Pengadilan Agama di Jakarta hanya terdiri dari kantor induk dan 2 cabang yaitu : a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara 51 b. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah sekarang Jakarta Pusat c. Kantor cabang Pengadilan Istimewa Jakarta Raya sebagai induk. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas ermasuk wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang Mahkamah Islam Timggi Bandung berdasarkan surat Keputusan Menteri Agama RI No. 17 tahun 1976, semua Pengadilan Agama di Provinsi Jawa Barat dan Pengadilan Agama di daerah khusus ibu kota Jakarta berada dalam wilayah Hukum Mahkamah Timggi cabang Bandung. Dalam perkembanagan selanjutnya istilah Mahkamah Tinggi diubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama PTA. Berdasarkan surat Keputusan Menteri agama No. 61 tahun 1985 tanggal 16 juli 1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindahkan ke Jakarta yang realisasi perpindahan tersebut baru terlaksana pada tanggal 30 oktober 1987. Dengan demikian otomatis wilayah hukum Penagdilan Agama yang ada di JJakarta yang semula termasuk wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Bandung menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Dasar Hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai instansi yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan tugasnya yang menjadi dasar hukum dan landasan kerjanya adalah : 1. Undang-undang Dasar 1945 52 2. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman 3. Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang mahkamah agung 4. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 5. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilab Agama Pada tahun 2008 berasal dari DIPA Pengadilan Tinggi Agama tahun 2007 memperoleh sebidang tanah seluas 6.149 m2 terletak di Jalan RM. Harsono No. 4 Kelurahan Ragunan Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang diperuntukan untuk bangunan gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang baru. Setelah dibangun, bangunan ini merupakan gedung Pengadilan Agama terbesar dan termegah di Indonesia dan sudah diresmikan awal tahun 2009. Pengadilan Agama Jakarta Selatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari seorang ketua dan seorang Wakil Ketua, Hakim, Panitera Sekretaris, dibantu oleh Wakil Panitera yang membawahi tiga orang Kepala Sub Kepaniteraan Panitera Muda dan Wakil Sekretaris. Wakil Sekretaris membawahi tiga orang Kepala Sub Bagian, Panitera Pengganti, Jurusita Pengganti, Calon Hakim dan beberapa orang staf pelaksana serta dibantu beberapa orang tenaga honorer. 53 54

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian dan Dasar Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin anatu bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah حﺎﻜ yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh wathi. Kata “nikah “ sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan coitus, juga untuk arti akad nikah. Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi pernikahan, diantaranya adalah : و ةأْﺮ ْﺎ ﺮ ا ع ﺎ ْ ْ ا ﻚ ﺪْ ْ عرﺎ ا ﺿو ﺪْ ﻮه ﺎ ْﺮ جاوﺰ ا ﺮ اﺎ ةأْﺮ ْا عﺎ ْ ْ ا . Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenagsenangnya perempuan dengan laki-laki. 1 Para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya beberapa definisi akan diuraikan di bawah ini misalnya Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa pernikahan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ persetubuhan dengan seorang wanita tesebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, ataupun sepersusuan. Sama halnya menurut Hanafiah bahwa nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Begitupula menurut Hanabilah bahwa nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang. Dalam kitab Kifayatul Akhyar imam Taqiyuddin mendefinisikan nikah dengan seperti aqad yang mahsur yang terdiri dari rukun dan syarat dan yang dimaksud dengan aqad adalah al-wath’. 1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 7-8. Dari definisi yang di atas, jelas para ulama fiqih mengartikan dari kata nikah dengan makna hubungan biologis atau dengan kata lain nikah diartikan dengan makna persetubuhan. 2 Didalam fiqih klasik dijelaskan bahwa segolongan fuqaha, yakni jumhur, berpendapat bahwa nikah itu sunah hukumnya. Golongan zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan ulama Maliki mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya, dan mubah untuk segolongan yang lain lagi. Silang pendapat ini disebabkan, apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis berikut ini harus diartikan wajib, sunah ataukah mubah? Ayat tersebut adalah: رو و ْ ءﺎ ا ْ ﻜ بﺎﻃ ﺎ اْﻮ ﻜْﺎ ءﺎ ا : 3 Artinya : “….maka kawinlah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” Qs. an-Nisa : 3 Dan hadis tersebut adalah : ﺈ اْﻮ آ ﺎ ﺄْا ﻜ ﺮ ﺎﻜ ْ . ﺎ او ﺋﺎ ا ﺮﺧأ 2 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, h. 38-40.