Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
tersebut harus jelas pertanggung jawabannya sebagai kelangsungan hidup manusia dan peradaban dunia.
5
Hakikat perkawinan yang digambarkan dalam Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan sejalan dengan hakikat perkawinan dalam Islam, karena
keduanya tidak hanya melihat dari segi ikatan kontrak lahirnya saja, tapi sekaligus ikatan pertautan kebathilan antara suami istri yang ditujukan untuk membina keluarga
yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, kedua bentuk hukum tersebut berbeda-beda dengan hukum Barat-Amerika, yang
memandang perkawinan hanya merupakan bentuk persetujuan, dan kontrak perkawinan menurut mereka.
6
Pencatatan perkawinan ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih
khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami dan istri,
atau salah satunya tidak bertanggun jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan
5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, Cet Ke- 1, h. 107.
6
Huzaimah. T. Yanggo dah Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994 , Cet Ke-1, h. 56.
3
akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
7
Persoalan muncul ketika perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak dicatatkan sehingga tidak mendapatkan akta nikah. Di dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 2 sudah ditegaskan bahwa, ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
8
Ayat 2 Pasal 2 Undang- undang No. 1 Tahun 1974 diatas dipertegas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
5 ayat 1 yaitu, ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Yang mana teknik pelaksanaannya dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu, 1 Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah 2 Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
9
Itsbat nikah adalah penetapan nikah yang tidak terdaftar di pengadilan agama setempat. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena
adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah penetapan nikah kepada pengadilan
7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Cet Ke-1, h. 108.
8
Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, Serta Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: 2004, h. 14.
9
Ibid, h. 129. 4
agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat 2 dan 3 mengungkapkan sebagai berikut.
Ayat 2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama
Ayat 3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. Adanya perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974; e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
10
Melihat penjelasan di atas, kita memahami bahwa Pengadilan Agama mempunyai sebuah wewenang dalam menangani itsbat nikah pernikahan sirri.
Bagaimana Pengadilan Agama meelaksanakan wewenang tersebut? Apakah mereka menangani dan memberikan penetapan sudah sesuai dengan prinsip dasar hukum
Islam yaitu keadilan dan kesetaraan.
10
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 27. 5
Atas latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk
meneliti praktek pelaksanaan itsbat nikah dengan mengangkat tema ”Praktek Itsbat Nikah Pernikahan Sirri Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Nomor 10 Pdt.P 2007 PA. JS dengan Nomor 040Pdt.P2008PAJS” B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis akan mengemukakan seputar masalah pernikahan sirri yang tidak tercatat dan praktek pelaksanaan itsbat nikah seperti
diatur dalam peraturan perundang-undangan menurut konteks hukum Islam dan hukum positif. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hal itu, maka penulis
membatasi pembahasan pada praktek itsbat nikah dari pernikahan sirri dengan menganalisa putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 10
Pdt.P 2007 PA. JS.dengan putusan Nomor 040Pdt.P2008PAJ tentang pembahasan itsbat nikah.
a. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pembahasan masalah di atas, perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa alasan-alasan pengajuan penetapan itsbat nikah?
2. Bagaimana prosedur pengajuan itsbat nikah?
3. Apa pertimbangan hakim dalam memberikan putusan?
6
4. Bagaimana status nikah sirri setelah dilaksanakan itsbat nikah?