Tujuan Perkawinan Pernikahan menurut Fiqih Klasik

Sudah menjadi kodrat iradat Allah SWT, manusia diciptakan berpasang- pasangan dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita sehingga Al-Qur’an melukiskan bahwa pria dan wanita itu bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaiman disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yaitu: ﻜﺋﺎ ﻰ إ ﺮ ا مﺎ ﺼ ا ﺔ ﻜ أ ﻬ سﺎ أو ﻜ سﺎ ه Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itulah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” QS. Al-Baqarah: 187 Di samping perkawinan untuk mengatur naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Sedangkan perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban. 3. Memelihara diri dari kerusakan Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat ditunjukan melalui perkawinan. Ornag-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun 28 orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53: ﻻإ ءﻮ ﺎ ةرﺎ ﻷ ا نإ ﻰ ئﺮ أﺎ و ﻰ ر نإ ﻰ ر رﺎ ر رﻮ ﻏ Artinya: “Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan.” QS. Yusuf: 53 Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.

C. Pernikahan Menurut Hukum Positif

1. Syarat-syarat Perkawinan Di dalam hukum positif terdapat syarat-syarat perkawinan. Syarat perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum pernikahan dilangsungkan. 21 Persyaratan perkawinan berdasarkan UU perkawinan terdiri dari syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga sebagai “syarat subyektif”. Syarat formil 21 Ibid., h. 67. 29 adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga sebagai “syarat obyektif”. a. Syarat Materil UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: 1. Asas monogami relative Pasal 3 ayat 1 UU Perkawinan; 2. {ersetujuan bebas kedua belah pihak Pasal 6 UU Perkawinan; 3. Mencapai batas umur, untuk laki-laki 19 tahun dan gadis 16 tahun Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan; 4. Lewat masa idah Pasal 11 ayat 1 UU Perkawinan; Masa idah ini diatur perincian pada pasal 39 PP no. 9 Tahun 1975, yaitu: - 130 hari, apabila perkawinan putus karena kematian; - 90 hari atau 3 x khuru’, apabila perkawinan putus karena perceraian; - Sampai bayi dilahirkan, apabila perkawinan putus karena perceraian dan istri dalam keadaan hamil 5. Tida k terhalang oleh larangan perkawinan. 30 Pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan perkawinan bagi dua hal: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibubapak tiri; d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibipaman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. b. Syarat Formil 31