Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
lain.Maka pada saat terjadinya perkawinan, berlakulah persatuan harta kekayaan dalam perkawinan antara suami istri. Tidak menutup kemungkinan
harta kekayaan dalam perkawinan terdapat harta milik pribadi masing-masing suami istri.
Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 85 disebutkan, adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami dan istri. dan dalam Pasal 86 KHI disebutkan, pada dasarnya
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri. Harta istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri, begitu juga
sebaliknya.
6
Dalam Pasal 88 KHI disebutkan apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu
diajukan kepada Pengadilan Agama.
7
Islam tidak mengenal adanya percampuran harta bersama suami istri akibat adanya perkawinan, tetapi mengenal adanya perkongsian antara suami
istri dalam bentuk syirkah.
8
Karena suami istri bekerjasama dalam memperoleh dan memanfaatkan harta kekayaan dalam perkawinan. Harta
6
Abdul Manan. Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia, h. 100.
7
Ibid.
8
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 2007, Cet. Kesebelas , h. 2.
yang diperoleh bersama-sama suami istri dikelola dan dimanfaatkan bersama- sama suami istri.
Harta bersama yang diperoleh pada saat perkawinan berlangsung jika perkawinan tersebut putus, maka harta bersama dibagi antara suami istri.
Kecuali jika ada ketentuan lain pada perjanjian sebelum perkawinan terikat. dengan putusnya perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum yang
menjadi konsekuesi antara suami maupun istri. Akibat hukum yang ditimbulkan salah satunya adalah pembagian harta bersama harta gono-gini
antara suami istri.
9
Hukum harta bersama itu sendiri seringkali kurang mendapatkan perhatian yang seksama dari para ahli hukum, terutama praktisi hukum yang
semestinya memperhatikan hal ini secara lebih serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam
kehidupan suami istri apabila ia telah bercerai. dan dalam kitab fiqh klasik dan kontemporerpun tidak ditemukan pembahasannya secara tegas masalah
pembagian harta bersama ini, hal ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini biasanya apabila sudah terjadi perceraian antara suami istri,
atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama,
9
Moch. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Perkawinan Islam, Jakarta : IND-HIIILCO, 1985, h. 212-213.
sehingga timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.
10
Pada umumnya perselisihan harta bersama ini baru muncul ketika suami isteri akan memutuskan ikatan perkawinan bercerai. dan dalam hal ini
apabila suami atau isteri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan dengan perceraian salah satunya pembagian harta bersama sekaligus tuntas.
Maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau isteri tersebut untuk menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta
bersama tersebut dalam satu surat gugatan. Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan
tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok gugatan perceraian dengan
gugatan pembagian harta bersama. Di Pengadilan Agama sendiri penyelesaian perkara perceraian
bersamaan dengan gugatan harta bersama, sudah diterapkan dengan cara gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assesoir terhadap gugatan
perceraian. Cara assesoir-nya dapat ditetapkan dalam suatu acuan jika gugat perceraian ditolak otomatis gugat pembagian harta bersamapun dinyatakan
tidak dapat diterima. Begitupun sebaliknya jika gugatan perceraian dikabulkan sembari terbuka kemungkinan untuk mengabulkan pembagian
10
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 103.
harta bersama sepanjang barang-barang yang ada dapat dibuktikan sebagai harta bersama.
11
Adapun kebolehan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama ini, berdasar pada pasal 86 ayat 1 Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 yaitu : “Gugatan soal penguasaan anak , nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat mengajukan bersama-sama dengan
gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap
”. Berdasarkan pada pasal 86 ayat 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tersebut, pada pasal ini memberi pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin menggabung gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan
menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam kebebasan memilih tata cara dimaksud, sudah
barang tentu lebih bermanfaat menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, karena sekaligus dapat diselesaikan kedua
permasalahan tersebut dengan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sehingga suami isteri dapat lebih cepat menikmati harta bersama
tersebut. Namun seiring dalam pelaksanaannya, terdapat sebuah perselisihan
mengenai permasalahan harta bersama yakni adanya pengajuan permohonan
11
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, Cet. Pertama, h. 267.
dalam perkara sita marital yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada suaminya sebagai Termohon, yang masih dalam status perkawinan yang
terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Permohonan ini diajukan oleh istri kepada suami yang telah mengajukan permohonan talak terhadap istrinya
akan tetapi masih di proses dalam persidangan yang belum mencapai putusan. Tindakan pengajuan permohonan sita marital ini dilakukan sebagai upaya
preventif terhadap keselamatan harta bersama karena Pemohon khawatir Termohon melakukan tindakan yang dapat merugikan harta bersama yakni
pemborosan. Di dalam HIR, R.Bg. dan Rv tidak ditemukan istilah sita marital
terhadap harta bersama.
12
, tetapi dengan tujuan yang sama dengan sita jaminan disebutkan dalam Pasal 215 ayat 1 KUH Perdata yaitu tidak
mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam hukum perdata.
Sita marital marital beslag ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Sita marital ini diatur dalam Pasal 78 huruf c Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam KHI.
Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pada Pasal 215 KUH Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. HIR sendiri tidak
12
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009, h. 99.
mengenal adanya sita marital, dan di dalam praktek peradilan sekarang ini sita marital tidak banyak dimanfaatkan.
13
Dalam pengajuan permohonan sita marital di Peradilan Agama yakni berdasarkan Pasal 95 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 186 KUH
Perdata, istri sebagaiPemohon dapat mengajukan permohonan sita marital kepada Pengadilan Agama terhadap harta bersama, sekalipun di luar adanya
permohonan gugatan cerai. Gunanya adalah untuk melindungi harta bersama dari perbuatan salah satu pihak yang merugikan, seperti mabuk, judi, boros,
dan sebagainya. Permohonan sita marital ini tetap diajukan tanpa memutus ikatan perkawinan, tapi harta bersama bisa dijamin pemeliharaannya.
Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah permohonan sita marital sita harta
bersama ini dan merumuskannya dalam sebuah karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul
“PERMOHONAN SITA MARITAL MARITAL BESLAG TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN
PERCERAIANAnalisis PutusanNomor 549Pdt.G2007PA.JP ”.