Pengertian Harta Bersama TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA
Hal ini sejalan dengan firman Allah di dalam Q.S An Nisa’ 4 : 32
Artinya : ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.Karena bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”. Menurut Sayuti Thalib, harta bersama adalah harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan di luar hadiah dan warisan. Dengan kata lain harta bersama itu ialah harta yang didapat atas usaha mereka suami dan istri
selama masa ikatan perkawinan.
5
Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 yang secara lengkap
berbunyi sebagai berikut: a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda
bersama. b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing si penerima para pihak tidak menentukan lain.
5
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, 1986 Cet. Kelima, h.89.
Di dalam harta bersama, suami ataupun istri dapat bertindak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan harta bersama
tersebut, hal itu tentunya atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-
masing. Abdul Kadir Muhammad, di dalam bukunya Hukum Harta Kekayaan
menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi
tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi
hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.”
6
Di dalam al- Qur’an dan hadits tidak diatur tentang harta bersama
dalam perkawinan. harta kekayaan isteri tetap menjadi milik istri atau dikuasai sepenuhnya olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami tetap menjadi milik
suami dan dikuasai sepenuhnya, bahkan dalam kitab-kitab fiqh sekalipun tidak ada yang membicarakan seolah-olah masalah harta bersama kosong dalam
pembahasan dalam hukum Islam.
6
Abdul kadir, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Atitya, 1994, h. 9.
Hal tersebut juga diakui oleh Bustanul Arifin, di dalam bukunya bahwa tidak diakui adanya harta bersama dalam pembahasan kitab-kitab fiqh
yang lama hal t ersebut sesuai dengan pemahaman syari’at fiqih waktu kitab-
kitab fiqih tersebut ditulis dan sesuai dengan keadaan susunan masyarakat di waktu itu.
7
namun di Indonesia sendiri harta bersama dikenal melalui hukum adatnya yang sampai sekarang ini masih hidup dan diterapkan, maka oleh
karena itu hal ini tidak mungkin untuk disingkirkan dari pengamatan lembaga harta bersama karena lebih besar maslahatnya dari pada mudaratnya.
Ismuha berpendapat di dalam bukunya bahwa dapat diambil kesimpulan perkongsian pada umumnya bukan saja sekedar boleh, melainkan
dari itu, disukai asalkan tidak ada unsur tipu daya.
8
Pembahasan mengenai syirkah sebenarnya terdapat dalam kitab dagang bukan dalam kitab nikah. Akan tetapi karena asal dari persoalan
syirkah adalah menangani pengaturan persyarikatan atau perkongsian dalam perdagangan dan pemberian jasa, atau dengan kata lain cara menyatukan atau
penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta orang lain, maka kemudian diterapkan pula pada masalah harta bersama suamiisteri dalam
membicarakan hukum perkawinan.
7
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prosfeknya, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, h. 122.
8
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986, Cetakan Pertama , h.
283.
Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dengan yang lain.
9
Sedangkan menurut istilah hukum Islam syirkah ialah adanya hak dua orang atau lebih
terhadap sesuatu. Dalam bab muamalah, dikenal dengan beberapa macam syirkah yang
diambil dari pendapat ulama madzhab, adalah sebagai berikut: a.
Syirkah ‘Inan Perkongsian terbatas, yaitu bentuk penggabungan harta dan usaha dengan pembagian keuntungan sesuatu dengan perjanjian. Para ulama
4 madzhab sepakat membolehkannya. b.
Syirkah Mufawadhah Perkongsian tak terbatas, yaitu bentuk penggabungan harta dan usaha dengan pembagian keuntungan disesuaikan
banyaknya modal. Bentuk syirkah ini dibolehkan oleh madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi tidak dibolehkan oleh mazhab Syafi’i, karena
dalam syirkah ini mengandung ghurur ketidaktentuan, ketidaktahuan, dan penipuan.
10
c. Syirkah Abdan Perkongsian tenaga, yaitu syirkah dalam bidang pemberian
jasa atau melakukan pekerjaan dengan keuntungan dibagi sesuai perjanjian. Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya tetapi Syafi’i
9
Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, h. 46.
10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 80.
membatalkannya. Karena dalam syirkah ini tidak ada penggabungan harta dan adanya ghurur.
11
d. Syirkah Wujuh Perkongsian kepercayaan, yaitu syirkah antara dua orang
atau lebih berdasarkan kepercayaan untuk membeli barang dengan cara kredit dan menjualkannya untuk mendapatkan keuntungan. Hukumnya
boleh menurut para imam madzhab kecuali Syafi’i, alasan tidak boleh karena tidak ada modal dalam syirkah ini.
e. Syirkah Mudharabah Perkongsian orang yang memiliki modal dan yang
tidak, yaitu syirkah antara orang yang memiliki modal dengan yang tidak. Orang yang memiliki modal untuk berdagang. Madzhab Maliki da Hambali
membolehkan syirkah ini, karena terdapat laba keuntungan, tetapi mazhab Syafi’i dan Hanafi tidak boleh karena bentuk ini tidak termasuk syirkah.
12
Dari beberapa macam syirkah tersebut di atas, terdapat perbedaan pendapat mengenai bentuk syirkah yang lebih mendekati kepada pengertian
harta bersama. Menurut Ahmad Rofiq, dalam konteks konvensional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai
manajer yang mengatur ekonomi rumah tangga. Sehingga lebih tepat disebut syirkah abdan, karena modal dari suami, isteri mempunyai andil jasa dan
tenaganya. Tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, isteri juga dapat
11
Ibid., h. 81.
12
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, h. 294-295.
melakukan pekerjaan yang mendatangkan kekayaan, sehingga masing-masing suami isteri mendatangkan modal dan dikelola bersama. Bentuk ini disebut
syirkah ‘inan.
13
Menurut Ismail Muhammad Syah, pencaharian bersama suami isteri lebih dekat kepada pengertian syirkah abdan dan syirkah mufawadhah.
Dikatakan syirkah abdan karena pada umumnya suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang untuk mendapatkan nafkah
hidup keluarga. Hanya saja terkadang pekerjaan isteri lebih ringan dari pekerjaan suami. Adapaun dikatakan syirkah mufawadhah karena memang
perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama perkawinan termasuk harta bersama. Kecuali yang mereka terima
sebagai warisan atau sebagai pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua.
14