Keanekaragaman Dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya Dengan Faktor Fisik Dan Kimia Air Di Muara Sungai Asahan

(1)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA

KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

T E S I S

OLEH

LAMRIA BANJARNAHOR

087030013

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA

KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

OLEH

LAMRIA BANJARNAHOR

087030013

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Penelitian : KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR DI MUARA SUNGAI ASAHAN

Nama : LAMRIA BANJARNAHOR

NIM : 087030013

Program Studi : BIOLOGI

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc Prof.Dr.Syafruddin Ilyas, M.BioMed Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus M.Sc Anggota : Prof. Dr. Syafruddin Ilyas M.BioMed

Prof. Dr. Retno Widhiastuti MS Dr. Suci Rahayu


(5)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA SERTA KAITANNYA DENGAN FAKTOR FISIK DAN KIMIA AIR

DI MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(6)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya dengan Faktor Fisik dan Kimia Air di Muara Sungai Asahan” dalam waktu yang telah ditetapkan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada progam studi Magister Biologi Sekolah pascasajana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus.,M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas M.Biomed selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan, serta perhatian selama Penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih banyak kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti,.MS dan Ibu Dr. Suci Rahayu sebagai dosen

penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.

2. Prof.Dr.Dwi Suryanto, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(7)

3. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Sekolah Pascasarjana Program Studi Biologi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membekali penulis dalam berbagai disiplin ilmu.

4. Gubernur Sumatera Utara dan Ketua Bapeda Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan studi S2 Biologi pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Suami tercinta Drs. Pelman Sinaga dan ananda Luna Caroline, Agriva Amelia dan Oliver Orlando yang telah banyak memberikan motivasi, dorongan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 ini.

6. Keluarga besar orang tuaku tercinta Ayahanda St. R. Banjarnahor (alm) dan Ibunda tersayang T. Lumbangaol yang telah membesarkan dan mendidik penulis, serta seluruh keluarga abang kakak dan adik serta keponakanku yang telah banyak memberikan dukungan materil maupun moril.

7. Keluarga besar mertua tersayang Bapak Dj. Sinaga (alm)/ Ibu B.br Siringoringo dan keluarga abang, adek iparku yang telah banyak memberikan dukungan.

8. Keluarga besar SMA negeri 5 Medan, Kepala Sekolah Bapak Drs. Salmi Effendi M.Pd. PKS, rekan-rekan guru dan pegawai serta karyawan yang sangat banyak membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis dalam mengikuti dan menyelesaikan studi S2 ini.

9. Rekan-rekan mahasiswa S2 2008 dan adik-adik mahasiswa S1 FMIPA Departemen Biologi Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


(8)

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap memberikan kasihNya yang besar kepada kita, sehingga kita tetap semangat dalam mengejar ilmu dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Doloksanggul Kabupaten Humbahas pada tanggal 12 Nopember 1970. Adapun riwayat pendidikan penulis adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD) negeri 1 Hutapaung dari tahun 1977 – 1983

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri Pollung dari tahun 1983 -1987

3. Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMT Pertanian) negeri Pematang Raya dari tahun 1987-1990

4. Sarjana (S1) Fakultas MIPA Program Studi Biologi Universitas Palangkaraya dari tahun 1991-1996 (memperoleh gelar S.Pd)

5. Tahun 2008 – 2010 mendapat kesempatan belajar pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Biologi program beasiswa dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.

Riwayat Pekerjaan

1. Tahun 1997- 1998 sebagai guru di SMA Negeri 2 Sampit Kalimantan Tengah. 2. Tahun 1999 – sekarang sebagai guru di SMA Negeri 5 Medan.


(10)

ABSTRAK

Penelitian tentang keanekaragaman dan distribusi bivalvia serta kaitannya dengan faktor fisik dan kimia air di Muara Sungai Asahan dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel dengan metode Purposiv random sampling pada 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 30 kali ulangan untuk setiap stasiun dengan menggunakan serok. Sampel bivalvia yang didapat diidentifikasi di laboratorim Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Hasil analisis laboratorim terhadap parameter faktor fisik- kimia air dengan mengacu pada baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan surat keputusan No 51 tahun 2004 mengindikasikan bahwa perairan muara Sungai Asahan masih tergolong baik untuk kelangsungan hidup biota termasuk bivalvia.

Dari hasil penelitian diperoleh Bivalvia yang terdiri dari 4 ordo, 9 famili dan 13 genus yaitu genus Anadara 1, Anadara 2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, dan Ruditapes.Indeks keanekaragaman bivalvia di muara Sungai Asahan tergolong rendah dengan nilai 1,426 – 2,051, indeks keseragaman tergolong tinggi dengan nilai 0,886 – 0,993, sedangkan indeks similaritas (kemiripan) genus bivalvia yang diperoleh pada stasiun 1 dan stasiun 2 adalah mirip dengan nilai 72,72%, antara stasiun 2 dan stasiun 3 dengan nilai 14,28% (tidak mirip) dan antara stasiun 1 dan stasiun 3 dengan nilai 40% juga tidak mirip. Selanjutnya indeks morista (distribusi) setiap genus adalah mengelompok.

Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa suhu, penetrasi cahaya, intesitas cahaya,TDS, pH, salinitas, DO, BOD5, dan PO4 berkorelasi positif (+) atau searah terhadap keanekaragaman bivalvia sedangkan TSS, COD, kandungan organik dan NO3 berkolerasi negatif (-) atau berlawanan terhadap keanekaragaman bivalvia, selanjutnya TSS, DO, NO3 dan kandungan substrat organik berkorelasi positif (+) atau searah terhadap distribusi bivalvia sedangkan suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, TDS, pH, salinitas, BOD, COD, dan PO4 berkorelasi negatif (-) atau berlawanan terhadap distribusi bivalvia.


(11)

ABSTRACT

This study deals with the diversity and distribution of bivalve and its relations with the physical and chemical factors of water on the Mouth of Asahan River carried out Augst 2009. Establishment of sampling location for taking the sample is by Purposive random sampling method on 3 (three) stations. It took samples with 30 repetitions on each station using scoop. The bivalve sample as obtained then identified in the Laboratory of Natural and Environmental Resources Management,Mathematics and Nature Science Faculty of North Sumatra University.

On laboratory analysis over parameter of physics and chemistry factors in water with the result relied on quality standard of sea water for marine biota as appointed by The State Minister on Environment under the Decision No. 51 of 2004 indicated that the water of Sungai Asahan’s mouth is classified properly for having survival on biota included bivalve.

The result of study there are obtained Bivalve comprising of 4 ordo, 4 family and 13 genus such as Anadara sp1, Anadara sp2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, and Ruditapes. The diversity index of Bivalve on Asahan River mouth is classified lower with its rate of 1,426 – 2,051, its equality index is classified high with rate of 0,886 – 0,993, while the similarities index (resemblance) genus bivalve as obtained on station 1 and station 2 are its resemblance with rate of 72,72%, between station 2 and station 3 with rate of 14,28% (not resembled) and between station 2 and station 3 with rate 14,28% (not resembled) and between station 1 and station 3 with rate 40% it is also not resembled. Further, its morista index (distribution) of each genus is run to group.

The analysis result in Pearson correlation showed that the temperature, light penetration, light intensity, TDS, pH, salinity, DO, BOD5, and PO4 is correlated positive (+) or same direction over diversity bivalve while TSS, COD, its organic content and NO3- is correlated negative (-) or be opponent over diversity bivalve, further TSS, DO, NO3 and the content of organic substrate is correlated positive (+) or be directive over distribution bivalve while the temperature, light intensity, light penetration, TDS, pH, salinity, BOD, COD, and PO4 is correlated negative (-) or be opponent over distribution bivalve.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGHARGAAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Bivalvia ... 6

2.2 Habitat Bivalvia ... 9

2.3 Ekologi Wilayah Pesisir... 11

2.4 Pencemaran Wilayah Pesisir ... 15

2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan ... 16

BAB III BAHAN DAN METODA 3.1 Waktu dan Tempat ... 22

3.2 Metode Penelitian ... 22


(13)

3.4 Pangambilan Sampel... 23

3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan ... 24

3.6 Analisis Data ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Biota ... 31

4.2 Nilai Kepadatan, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi kehadiran Bivalvia pada Masing-masing Stasiun Penelitian ... 41

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E’) ... 46

4.4 Indeks Similaritas... 48

4.5 Indeks Distribusi ( Morista ) ... 49

4.6 Parameter Faktor Fisik-Kimia... 51

4.7 Analisis Korelasi Keanekaragaman Bivalvia dengan Faktor Fisik – Kimia Perairan ... 64

4.8. Analisis Korelasi Distribusi Bivalvia dengan Faktor Fisik – Kimia Perairan ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 69

5.2 Saran... 70


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran... Faktor Fisik Kimia Perairan ... 27 Tabel 4.1. Hasil Identifikasi ... 31 Tabel 4.2. Nilai Kepadatan Populasi ( ind./m2 ), Kepadatan Relatif ( % ) dan

Frekuensi Kehadiran ( % ) pada Setiap Stasiun Penelitian ... 41 Tabel 4.3. Nilai Indeks Keanekaragaman ( H’ ) dan Indeks Keseragaman ( E’ )

Bivalvia pada Setiap Penelitian... 47 Tabel 4.4. Nilai Indeks Similaritas ( IS ) atau Indeks Kesamaan antar Stasiun

Penelitian... 48 Tabel 4.5. Nilai Indeks Morista pada Setiap Stasiun Penelitian ... 49

Tabel 4.6. Nilai Rata-rata Parameter Fisik-Kimia Perairan pada

Masing-masing Stasiun di Perairan Muara Sungai Asahan ... 51 Tabel 4.7. Tingkat Kesuburan Menurut Joshimura dalam

Simanjuntak (2006)... 63

Tabel 4.8. Nilai Analisis Korelasi Keanekaragaman Bivalvia dengan Faktor Fisik-Kimia Perairan ... 64 Tabel 4.9. Nilai Analisis Korelasi Distribusi Bivalvia dengan Faktor

Fisika - Kimia Perairan ... 67


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1.1 Bentuk Morfologi Cangkang Anadara 1 ... 32

Gambar 4.1.2 Bentuk Morfologi Cangkang Anadara 2 ... 33

Gambar 4.1.3 Bentuk Morfologi Cangkang Aequipecten ... 34

Gambar 4.1.4 Bentuk Morfologi Cangkang Ensis ... 34

Gambar 4.1.5 Bentuk Morfologi Cangkang Macoma ... 35

Gambar 4.1.6 Bentuk Morfologi Cangkang Marcia ... 36

Gambar 4.1.7 Bentuk Morfologi Cangkang Meretrix ... 36

Gambar 4.1.8 Bentuk Morfologi Cangkang Nutallia ... 37

Gambar 4.1.9 Bentuk Morfologi Cangkang Paphia ... 38

Gambar 4.1.10 Bentuk Morfologi Cangkang Perna ... 38

Gambar 4.1.11 Bentuk Morfologi Cangkang Pinctada ... 39

Gambar 4.1.12 Bentuk Morfologi Cangkang Ruditapes ... 40


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO... 76

Lampiran B : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 ... 77

Lampiran C : Bagan Kerja Untuk Mengukur COD ... 78

Lampiran D : Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat... 79

Lampiran E : Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3)... 80

Lampiran F : Bagan Kerja Analisis Fospat (PO4) ... 81

Lampiran G : Alat Penangkap Kerang... 82

Lampiran H : Alat Spectofotometri ... 83

Lampiran I : Peta Lokasi Penelitian ... 84

Lampiran J : Foto Lokasi Penelitian ... 85

Lampiran K : Data Mentah Bivalvia yang Diperoleh ... 86

Lampiran L : Contoh Hasil Perhitungan ... 87

Lampiran M : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 ... 88 Lampiran N : Hasil Analisis Laboratorium


(17)

ABSTRAK

Penelitian tentang keanekaragaman dan distribusi bivalvia serta kaitannya dengan faktor fisik dan kimia air di Muara Sungai Asahan dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel dengan metode Purposiv random sampling pada 3 (tiga) stasiun pengamatan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 30 kali ulangan untuk setiap stasiun dengan menggunakan serok. Sampel bivalvia yang didapat diidentifikasi di laboratorim Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Hasil analisis laboratorim terhadap parameter faktor fisik- kimia air dengan mengacu pada baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan surat keputusan No 51 tahun 2004 mengindikasikan bahwa perairan muara Sungai Asahan masih tergolong baik untuk kelangsungan hidup biota termasuk bivalvia.

Dari hasil penelitian diperoleh Bivalvia yang terdiri dari 4 ordo, 9 famili dan 13 genus yaitu genus Anadara 1, Anadara 2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, dan Ruditapes.Indeks keanekaragaman bivalvia di muara Sungai Asahan tergolong rendah dengan nilai 1,426 – 2,051, indeks keseragaman tergolong tinggi dengan nilai 0,886 – 0,993, sedangkan indeks similaritas (kemiripan) genus bivalvia yang diperoleh pada stasiun 1 dan stasiun 2 adalah mirip dengan nilai 72,72%, antara stasiun 2 dan stasiun 3 dengan nilai 14,28% (tidak mirip) dan antara stasiun 1 dan stasiun 3 dengan nilai 40% juga tidak mirip. Selanjutnya indeks morista (distribusi) setiap genus adalah mengelompok.

Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa suhu, penetrasi cahaya, intesitas cahaya,TDS, pH, salinitas, DO, BOD5, dan PO4 berkorelasi positif (+) atau searah terhadap keanekaragaman bivalvia sedangkan TSS, COD, kandungan organik dan NO3 berkolerasi negatif (-) atau berlawanan terhadap keanekaragaman bivalvia, selanjutnya TSS, DO, NO3 dan kandungan substrat organik berkorelasi positif (+) atau searah terhadap distribusi bivalvia sedangkan suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, TDS, pH, salinitas, BOD, COD, dan PO4 berkorelasi negatif (-) atau berlawanan terhadap distribusi bivalvia.


(18)

ABSTRACT

This study deals with the diversity and distribution of bivalve and its relations with the physical and chemical factors of water on the Mouth of Asahan River carried out Augst 2009. Establishment of sampling location for taking the sample is by Purposive random sampling method on 3 (three) stations. It took samples with 30 repetitions on each station using scoop. The bivalve sample as obtained then identified in the Laboratory of Natural and Environmental Resources Management,Mathematics and Nature Science Faculty of North Sumatra University.

On laboratory analysis over parameter of physics and chemistry factors in water with the result relied on quality standard of sea water for marine biota as appointed by The State Minister on Environment under the Decision No. 51 of 2004 indicated that the water of Sungai Asahan’s mouth is classified properly for having survival on biota included bivalve.

The result of study there are obtained Bivalve comprising of 4 ordo, 4 family and 13 genus such as Anadara sp1, Anadara sp2, Aequipecten, Ensis, Macoma, Marcia, Meretrix, Nutallia, Paphia, Perna, Placuna, Pinctada, and Ruditapes. The diversity index of Bivalve on Asahan River mouth is classified lower with its rate of 1,426 – 2,051, its equality index is classified high with rate of 0,886 – 0,993, while the similarities index (resemblance) genus bivalve as obtained on station 1 and station 2 are its resemblance with rate of 72,72%, between station 2 and station 3 with rate of 14,28% (not resembled) and between station 2 and station 3 with rate 14,28% (not resembled) and between station 1 and station 3 with rate 40% it is also not resembled. Further, its morista index (distribution) of each genus is run to group.

The analysis result in Pearson correlation showed that the temperature, light penetration, light intensity, TDS, pH, salinity, DO, BOD5, and PO4 is correlated positive (+) or same direction over diversity bivalve while TSS, COD, its organic content and NO3- is correlated negative (-) or be opponent over diversity bivalve, further TSS, DO, NO3 and the content of organic substrate is correlated positive (+) or be directive over distribution bivalve while the temperature, light intensity, light penetration, TDS, pH, salinity, BOD, COD, and PO4 is correlated negative (-) or be opponent over distribution bivalve.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, meluas ke sungai sejauh batas pasang naik dan bercampur dengan air tawar yang berasal dari drainase daratan (Supriharyono, 2006). Menurut Dahuri (2003) estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan laut sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran air tawar dengan air laut. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Partikel yang mengendap kaya akan bahan organik yang berperan sebagai cadangan makanan bagi organisme estuaria.

Perairan muara memiliki ciri fluktuasi salinitas yang bergantung pada musim, pasang surut dan jumlah air tawar. Demikian pula dengan suhu perairan muara lebih cenderung bervariasi dibandingkan perairan di dekatnya karena volume air kecil sedangkan luas permukaan lebih besar. Sementara itu tingkat kecerahan perairan muara cenderung lebih rendah dibanding perairan sekitarnya terutama saat aliran sungai maksimum (Dahuri, 2003).

Muara Sungai Asahan merupakan daerah estuaria dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan yakni air asin dari selat Malaka dan air tawar dari sungai


(20)

Asahan. Kawasan muara Sungai Asahan terdiri dari vegetasi mangrove, daerah pemukiman / perkotaan, pergudangan dan pengolahan ikan.

Muara Sungai Asahan juga telah mengalami eksploitasi karena sudah dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas manusia antara lain; pemukiman, sarana transportasi, pelabuhan, pergudangan dan tempat penangkapan biota laut berupa ikan, kepiting, udang dan kepah. Adanya aktifitas tersebut dapat memberikan dampak negatif berupa pencemaran (Jovita et al., 2003).

Menurut Dahuri (2003) sebagian besar bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan. Sumber pencemaran dapat di kelompokkan sebagai berikut; (1) industri, (2) limbah cair pemukiman (sewage), (3) limbah cair perkotaan (urban stormwater), (4) pertambangan, (5) pelayaran (shipping), (6) pertanian, dan (7) budidaya perikanan. Pencemaran di daerah pesisir dan laut dapat juga terjadi akibat frekuensi transportasi lalu lintas yang sangat tinggi mengakibatkan adanya tumpahan minyak.

Menurut Darmono (2001) minyak mengandung senyawa aromatik hidrokarbon toksik seperti benzena dan toluena yang dapat membunuh karang. Selanjutnya Connel dan Miller (1995) menyatakan buangan yang mengandung minyak baik sengaja maupun tidak sengaja akibat penambangan dan pengangkutan menimbulkan penurunan kualitas air laut secara fisik, kimia dan biologis. Berbagai aktivitas tersebut merupakan sumber pencemaran bagi perairan pantai sekitarnya.

Selanjutnya menurut Nontji (1986) sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir (lotik) yang mendapat masukan semua buangan dari berbagai kegiatan


(21)

manusia di daerah pemukiman, pertambakan, pertanian dan industri di sekitarnya. Masukan buangan ke dalam sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisik, kimia dan biologi dalam perairan.

Ditinjau dari sudut pandang ekologi, kawasan pesisir merupakan suatu ekosistem alami yang terbentuk puluhan tahun silam. Disamping fauna juga terdapat berbagai flora seperti bakau (Rhizophora sp), api api (Avicenni sp), pedada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera sp) nyirih (Zylocarpus sp), tengar (Ceriop sp) dan buta-buta (Exoecaria sp) yang umum dijumpai di Indonesia. Tumbuhan tersebut memberi perlindungan dan dukungan bagi kehidupan fauna-fauna di dalamnya (Dahuri 2003).

Peningkatan aktivitas manusia di sekitar perairan muara Sungai Asahan akan mempengaruhi beberapa faktor lingkungan yang pada akhirnya akan memberi pengaruh pada individu dan juga komunitas bentik. Faktor lingkungan dalam suatu ekosistem akan mempengaruhi jumlah dan jenis biota yang hidup di dalamnya. Hal ini selaras dengan pendapat Nybakken (1992) bahwa kehidupan hewan bentik pada ekosistem perairan sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, baik lingkungan biotik maupun abiotik yang dapat mempengaruhi kelimpahan dan keseragaman jenis biota di lingkungan tersebut.

Kelompok Bivalvia umumnya dijumpai di perairan laut terutama daerah pesisir pantai atau daerah intertidal. Diperkirakan terdapat sekitar 1000 jenis Bivalvia yang dapat hidup di perairan Indonesia. Banyak jenis Bivalvia yang memiliki arti ekonomis yaitu sebagai sumber protein seperti Anadara granosa (kerang darah),


(22)

Anadara antiquata (kerang bulu). Mytilus viridis (kerang hijau) Crassostrea cucullata (tiram bakau) sebagai perhiasan dan lainnya (Nontji, 1987). Selanjutnya Nurdin et al., (2008) menyatakan kerang hidup pada semua tipe perairan yaitu air tawar, estuaria dan perairan laut.

Muara Sungai Asahan yang telah mengalami eksploitasi dapat mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota laut termasuk kelompok Bivalvia. Sampai saat ini informasi mengenai keanekaragaman Bivalvia di muara Sungai Asahan belum pernah didapatkan, oleh itu karena perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui secara ilmiah tentang keanekaragaman dan distribusi Bivalvia serta kaitannya dengan faktor fisik kimia.

1.2 Permasalahan

a. Bagaimana pengaruh aktivitas masyarakat terhadap keanekaragaman dan distribusi Bivalvia di perairan muara Sungai Asahan, khususnya di daerah pemukiman, mangrove dan muara.

b. Bagaimana pengaruh sifat fisik kimia perairan muara Sungai Asahan terhadap keanekaragaman dan distribusi Bivalvia khususnya di tiga lokasi tersebut.

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi Bivalvia di perairan muara Sungai Asahan


(23)

b. Untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik-kimia perairan muara Sungai Asahan dengan keanekaragaman dan distribusi Bivalvia.

1.4 Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman Bivalvia antar stasiun di perairan muara Sungai Asahan.

b. Terdapat perbedaan distribusi Bivalvia antar stasiun di perairan muara Sungai Asahan.

c. Ada hubungan faktor fisik kimia perairan muara Sungai Asahan terhadap keanekaragaman Bivalvia.

d. Ada hubungan faktor fisik kimia perairan muara Sungai Asahan terhadap distribusi Bivalvia.

1.5. Manfaat

a. Dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang keanekaragaman dan distribusi Bivalvia di muara Sungai Asahan Sumatera Utara.

b. Dapat digunakan sebagai langkah awal dalam upaya pengelolaan biota Bivalvia, baik sebagai sumber plasma nutfah maupun untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek pelestariannya.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Bivalvia

Bivalvia memiliki tubuh bilateral simerti, pipih secara lateral kaki berbentuk seperti baji, insang tipis berbentuk seperti papan, umumnya mempunyai kelamin terpisah, tetapi beberapa diantaranya hermaprodit. Tubuh biasanya dilindungi oleh cangkang yang terdiri dari tiga lapis yaitu; periostrakum, lapisan primatik dan lapisan mutiara (Sugiri, 1989).

Bivalvia atau lebih umum dikenal dengan nama kerang-kerangan, mempunyai dua keping atau belahan kanan dan kiri yang disatukan oleh satu engsel yang bersifat elastis disebut ligamen dan mempunyai dua otot yaitu abductor dan adductor dalam cangkangnya, yang berfungsi untuk membuka dan menutup kedua belahan cangkang tersebut (Barnes, 1982).

Menurut Wesz (1973) ciri-ciri umum Bivalvia : hewan lunak, sedentary (menetap pada sedimen), umumnya hidup di laut meskipun ada yang hidup di air tawar, pipih di bagian lateral dan mempunyai tonjolan di bagian dorsal, tidak memiliki tentakel, kaki otot berbentuk seperti lidah, mulut dengan palps (lembaran berbentuk seperti bibir), memiliki radula , insang dilengkapi dengan silis untuk filter feeding (makan dengan menyaring larutan), alat kelamin terpisah atau ada yang hermaprodit, perkembangan lewat trocophora dan viliger pada perairan laut dan tawar.


(25)

Menurut Prawirohartono (2003) secara umum cangkang kerang tersusun atas zat kapur dan terdiri dari 3 (tiga) lapisan yaitu:

a. Periostrakum, merupakan lapisan terluar, tipis, gelap dan tersusun atas zat tanduk. b. Prismatik, merupakan lapisan tengah yang tebal, tersusun atas kristal-kristal

CaCO3 berbentuk prisma.

c. Nakreas, merupakan lapisan terdalam disebut juga lapisan mutiara, tersusun atas kristal CaCOз yang halus dan berbeda dengan kristal-kristal pada lapisan prismatik. Perbedaan yang khas dari cangkang dapat menjadi petunjuk identifikasi sampai ke tingkat jenis. Permukaan cangkang, lekukan dan tonjolan yang tersusun sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu bangunan seperti kipas.

Hewan kelas pelecypoda termasuk kerang, tiram, remis dan sebangsanya. Biasanya bilateral simetris, mempunyai cangkang setangkup dan sebuah mantel yang berupa dua daun telinga atau kuping. Karena cangkang disebut tangkup (valve) dan jumlahnya dua maka kelas ini dinamakan Bivalvia. Bentuk cangkangnya digunakan untuk identifikasi (Romimohtarto dan Sri, 2001). Untuk lebih jelasnya morfologi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar 2.1


(26)

Pergerakan Bivalvia dibantu oleh kaki di antara valves yang melebar atau mengait pada dasar material dengan mekanisme tarik ulur dan kontraksi otot. Aktivitas ini diaktivasi dari keluar masuknya darah ke dalam sinus otot-otot kaki (Nybakken et al., 1982). Selanjutnya menurut (Robet et al, 1982 dalam Syafikri 2008 ) Bivalvia tidak memiliki kepala dan mata di dalam tubuhnya. Bivalvia terdiri dari tiga bagian utama yaitu kaki, mantel dan organ dalam. Kaki dapat ditonjolkan di antara dua cangkang tertutup, bergerak memanjang dan memendek berfungsi untuk bergerak. Untuk lebih jelasnya anatomi Bivalvia dapat dilihat pada Gambar 2.2

(adevalent-gastropoda.blogspot.com/2009_05_01_...) Gambar 2.2 . Anatomi Bivalvia


(27)

2.2 Habitat Bivalvia

Dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya, makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungan dan cenderung untuk memilih kondisi lingkungan serta tipe habitat yang terbaik untuk tetap tumbuh dan berkembangbiak.

Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi biota adalah rendahnya kelimpahan biota tersebut pada suatu area ataupun ketidakmampuannya berdistribusi mencapai area tersebut (Dodi, 1998).

Pada umumnya Bivalvia hidup membenamkan dirinya di dalam pasir atau pasir berlumpur dan beberapa jenis di antaranya ada yang menempel pada benda-benda keras dengan menggunakan byssus atau sifon (Kastoro, 1988).

Selanjutnya menurut Nontji (1987) Bivalvia hidup menetap di dasar laut dengan cara membenamkan diri di dalam pasir atau lumpur bahkan pada karang-karang batu. Akan tetapi pada beberapa spesies Bivalvia seperti Mytillus edulis dapat hidup di daerah intertidal karena mampu menutup rapat cangkangnya untuk mencegah kehilangan air (Nybakken, 1992).

Menurut kebiasaan hidupnya, pelecypoda digolongkan ke dalam kelompok makrozobentos dengan cara pengambilan makanan melalui penyaringan zat-zat tersuspensi yang ada di dalam perairan atau filter feeder (Heddy, 1994). Makanan berupa organisme atau zat-zat terlarut yang ada di dalam air yang diperoleh melalui tabung sifon dengan cara memasukkan air ke dalam sifon dan menyaring zat-zat terlarut. Makin dalam kerang membenamkan diri makin panjang sifonnya (Yasin, 1987 dalam Nontji, 1987). Selanjutnya Nybakken (1992) mengklasifikasikan


(28)

Bivalvia ke dalam kelompok pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit. Oleh karena itu jumlahnya cenderung melimpah pada sediment lumpur dan sediment lunak.

Di daerah intertidal kehidupan pelecypoda dipengaruhi oleh pasang surut. Adanya pasang surut menyebabkan daerah ini kering dan faunanya terkena udara terbuka secara periodik. Bersentuhan dengan udara terbuka dalam waktu lama merupakan hal yang penting, karena fauna ini berada pada kisaran suhu terbesar akan memperkecil kesempatan memperoleh makanan dan akan mengalami kekeringan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kematian. Oleh karena itu perlu melakukan adaptasi untuk bertahan hidup dan harus menunggu pasang naik untuk memperoleh makanan. Bivalvia dapat mati bila kehabisan air yang disebabkan oleh meningkatnya suhu. Gerakan ombak berpengaruh pula terhadap komunitasnya dan harus beradaptasi dengan kekuatan ombak. Perubahan salinitas turut juga mempengaruhinya, ketika daerah ini kering oleh pasang surut kemudian digenangi air atau aliran air hujan salinitasnya akan menurun. Kodisi ini dapat melewati batas toleransinya dan akan mengakibatkan kematian (Nybakken, 1992).

Menurut (Sumich, 1992) berdasarkan habitatnya Bivalvia dapat dikelompokkan ke dalam:

a) Bivalvia yang hidup di perairan mangrove.

Habitat mangrove ditandai oleh besarnya kandungan bahan organik, perubahan salinitas yang besar, kandungan oksigen yang minimal dan kandungan H2S yang tinggi sebagai hasil penguraian sisa bahan organik dalam lingkungan yang


(29)

miskin oksigen. Contoh jenis Bivalvia yang hidup di daerah mangrove; Oatrea spesies dan Gleonia cocxans.

Menurut (Nybakken, 1982 dalam Hari, 1999) Bivalvia merupakan kelompok kedua dari moluska yang menempati hutan mangrove. Tiram adalah Bivalvia dominan dan melekat pada akar-akar mangrove. Bivalvia mempunyai adaptasi khusus untuk dapat bertahan hidup di lingkungan hutan mangrove yang sering mengalami perubahan salinitas secara ekstrem. Salah satu bentuk adaptasi untuk melindungi hewan tersebut jika terjadi hujan deras atau aliran air tawar yang berlebihan adalah dengan cara menutup cangkang.

b) Bivalvia yang hidup di perairan dangkal

Bivalvia yang hidup di perairan dangkal dikelompokkan berdasarkan lingkungan tempat di mana mereka hidup antara lain; hidup di garis pasang tinggi, hidup di daerah pasang surut dan yang hidup di bawah garis surut terendah sampai kedalaman 2 meter. Contoh jenis yang hidup di daerah ini adalah; Vulsella sp, Osterea sp, Maldgenas sp, Mactra sp dll.

c) Bivalvia yang hidup di lepas pantai

Habitat lepas pantai adalah wilayah perairan sekitar pulau yang kedalamannya 20-40 meter. Jenis Bivalvia yang ditemukan di daerah ini seperti; Plica sp, Chalamis sp, Amussium sp, Pleuronectus sp, Malleu albus, Solia sp, Pinctada maxima dll (Sumich,1992)


(30)

2.3 Ekologi Wilayah Pesisir

Pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2006)

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir (Dahuri, 2004).

Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit, wilayah ini disebut zona intertidal. Kawasan pesisir pantai merupakan suatu habitat peralihan antara darat dan perairan laut maupun sungai, Pada kawasan ini terdapat berbagai tipe ekosistem yang cukup luas dan terkhususkan, seperti hutan mangrove terumbu karang dan rumput laut. Kawasan ini berada diantara daratan dan lautan karena menunjukkan ciri-ciri berbeda dengan daratan (Ongkosono, 1990).


(31)

Selanjutnya menurut (Odum, 1998) pada kawasan pesisir di samping hutan mangrove terdapat juga rawa non-mangrove yaitu rawa pasang surut. Rawa pasang surut merupakan daerah antara pasang naik dan pasang surut. Daerah ini dapat meluas jauh melalui muara ke daerah sekitarnya, sehingga membentuk daerah pantai setengah tertutup. Daerah pantai setengah tertutup berhubungan langsung dengan laut terbuka, dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Keadaan air di dalamnya adalah pencampuran antara air laut dengan air tawar. Dilihat dari kondisi demikian daerah ini sering digolongkan ke dalam estuaria atau zona transisi.

Melalui mekanisme pasang surut (pasut) dan aliran sungai terciptalah pencampuran kedua massa air tawar dan air laut secara intensif di estuaria. Selain itu adanya hutan mangrove yang memiliki produksi primer tinggi di sungai besar menyebabkan kandungan detritus organik yang tinggi sehingga produktivitas sekunder di estuaria menjadi tinggi pula. Oleh karena itu, habitat estuaria menjadi sangat produktif hingga dapat berfungsi sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-larva dan juvenile dari berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan dan daerah penangkapan (fising ground) (Dahuri, 2003 ).

Menurut Heddy (1994) estuaria sering disebut dengan ekoton, yaitu peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Komunitas dalam ekoton biasanya mengandung sebagian dari kedua anggota komunitas dan tumpang tindih dengan tambahan beberapa spesies yang terbatas. Umumnya jumlah spesies dan kepadatan populasi pada ekoton lebih besar dari komunitas lainnya.


(32)

Selanjutnya menurut Nybakken (1992) dilihat dari struktur tanah dan bahan penyusunnya pantai intertidal dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu

a) Pantai Berbatu

Daerah ini tersusun dari bahan keras dan merupakan dasar paling padat makroorganismenya dan mempunyai keanekaragaman besar baik spesies hewan maupun tumbuhan. Hamparan tumbuhan vertikal pada zona intertidal berbatu amat beragam, tergantung pada kemiringan permukaan berbatu, kisaran pasang surut dan keterbukaannya terhadap gerakan ombak. Keterangan yang lebih jelas mengenai terjadinya zona adalah bahwa zona-zona tersebut terbentuk dari hasil kegiatan pasang surut di pantai dan oleh karena itu mencerminkan perbedaan toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan terhadap udara dan hasilnya adalah kekeringan dan suhu yang ekstrim. Faktor biologis yang utama adalah persaingan, pemangsa dan grazing (herbivora).

b) Pantai Berpasir

Pantai pasir intertidal umumnya terdapat di seluruh dunia dan lebih terkenal dari pada pantai berbatu, karena pantai pasir ini merupakan tempat yang dipilih untuk melakukan berbagai aktivitas rekreasi.

c) Pantai Berlumpur

Pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Kelompok makro fauna yang dominan di daerah pantai berlumpur ini sama dengan yang terdapat di


(33)

pantai pasir yaitu berbagai cacing polikaeta, moluska Bivalvia dan krustacea besar dan kecil tetapi dengan jenis yang berbeda tipe cara makan yang dominan di dataran lumpur adalah pemakan deposit dan pemakan bahan yang melayang (suspensi) sama halnya dengan pantai pasir, contohnya tiram telinidae yang kecil dari genus macoma atau Scrobicularia.

2.4 Pencemaran Pesisir

Pencemaran laut (perairan pesisir) didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membahayakan) terhadap biota, sumber daya dan kekayaan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1987).

Dampak negatif pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia bahkan penyebab kematian, mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir dan lautan dan merugikan secara sosial ekonomi. Bentuk dampak pencemaran berupa sedimen, eutrofikasi, anoksia (kekurangan oksigen) masalah kesehatan umum, pengaruh terhadap perikanan, kontaminasi trace elemen dalam rantai makanan, keberadaan spesies asing dan kerusakan fisik habitat.

Limbah rumah tangga banyak mengandung mikroorganisme diantaranya virus, bakter, fungi dan protozoa yang dapat bertahan hidup sampai ke lingkungan laut. Meskipun limbah rumah tangga mendapatkan perlakuan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme hingga mencapai 10.000/ml atau lebih, tetap saja mikroorganisme bersifat patogen ini menimbulkan masalah kesehatan manusia.


(34)

Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk dan obat pemberantas hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya. Aplikasi bahan tersebut tidak tepat, baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan-rembesan (leeching) dapat mencemari lingkungan perairan pesisir sekitarnya (Dahuri, 2004).

2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia merupakan dua faktor pembatas distribusi populasi selain faktor tingkah laku dan interaksi antara organisme. Setiap organisme mempunyai kisaran toleransi faktor fisik dan kimia tertentu dalam menunjang kehidupannya tergantung spesies dan lingkungannya serta keterkaitan antara keduanya. Beberapa faktor fisik dan kimia antara lain:

a. Suhu

Suhu air di daerah estuaria biasanya memperlihatkan fluktuasi annual dan diurnal yang lebih besar dari pada di laut terutama apabila estuaria tersebut dangkal dan air yang masuk (pada saat pasang naik) ke perairan estuaria tersebut kontak dengan daerah yang subtratnya terekspos (Supriharyono 2006). Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam pertumbuhan dan perkembangan Bivalvia. Kerang Anodonta woodiana menyukai lingkungan dengan temperatur 24 – 29 oC. (Thana, 1976 dalam Suwignyo, 1981).


(35)

b. Penetrasi Cahaya

Kejernihan air sangat ditentukan oleh partikel-partikel terlarut. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat. Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi (Levinton, 1982). Selanjutnya menurut Romimohtarto (1985) kekeruhan tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa.

c. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis air. Sebagian cahaya tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar permukaan air. Bagi organisme air intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme dalam habitatnya (Barus, 2004).

Menurut Michael (1994) intensitas matahari mempengaruhi produktifitas primer. Hasil perubahan energi matahari menjadi energi kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesis sangat tergantung pada intensitas matahari, konsentrasi CO2, oksigen terlarut dan temperatur perairan.


(36)

d. TDS (Total Dissolved Solid)

Nilai total dissolved solid mencerminkan banyaknya zat-zat padat yang terlarut dalam suatu perairan. Nilai TDS mempengaruhi kecerahan dan warna air, semakin tinggi jumlah zat padat yang terlarut dalam air maka sifat transparansi air akan berkurang sehingga menurunkan produktivitas air (Levinton, 1982).

e. TSS (Total Suspension Solid)

TSS merupakan zat-zat tersuspensi yang ada di dalam air. Secara teoritis muatan padatan tersuspensi adalah semua bahan yang masih tetap tertinggal sebagai sisa penguapan dan pemanasan pada suhu 103 – 105 0C. Semakin besar kandungan muatan tersuspensi di dalam air akan mengakibatkan terhalangnya berbagai proses fisika kimia di dalam perairan (Dahuri dan Damar, 1994 dalam Arthana, 2006). f. Kandungan Organik Substrat

Kandungan bahan organik terlarut maupun dalam sedimen mempengaruhi pertumbuhan, kehadiran dan kepadatan organisme (Levinton, 1982).

g. Tipe Substrat

Hewan Bivalvia sebagai makrozobentos umumnya hidup pada dasar perairan. Substrat yang disukai, berpasir dan berlumpur. Pennak (1989) dalam Prihatini (1999) menyatakan bahwa lingkungan yang disukai kerang famili Anodontidae adalah substrat pasir atau campuran dengan material lain, namun beberapa jenis Anodonta menyukai lumpur.


(37)

h. Salinitas

Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volum air biasanya dinyatakan dalam satuan per mil ‰. Berdasarkan nilai salinitas air diklasifikasikan sebagai berikut: air tawar <0,5 ‰, air payau (0,5 – 30 ‰) laut (30 – 40 ‰) dan hiperhalin (>40 ‰) (Barus, 2004). Selanjutnya komponen fauna di estuaria berdasarkan salinitasnya di kelompokkan menjadi 3 (tiga) yakni fauna air tawar, payau dan laut (Dahuri, 2003). Menurut Romimohtarto, (1985) pada salinitas 18‰ keberhasilan menempel kerang darah (Anadara granosa) lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan dengan salinitas yang lebih rendah dari pada salinitas untuk kerang hijau dan kerang darah.

i. pH

Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan. pH sangat penting sabagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju

kecepatan reaksi di dalam air. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme pada umumnya antara 7 – 8,5. Kodisi perairan yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004). Menurut Romimohtarto (1985) pH permukaan laut Indonesia pada umumnya antara 6,0 – 8,5. Perubahan nilai pH mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut.


(38)

j. Oksigen Terlarut ( Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air (Barus, 2004).

k. Biological Oxygen Demand (BOD5)

Nilai BOD5 menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 20°C. Pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari atau BOD5 (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Angka BOD5 tinggi menunjukan terjadinya pencemaran organik di perairan. Brower et al., (1990) menyatakan nilai konsentrasi BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l.

l. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD (Chemical Oxygen Demand) yaitu kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air, atau jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia (Wardhana, 2001).


(39)

m. Nitrat (NO3)

Menurut Barus (2004) nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitiplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

n. Fosfat

Fosfat di perairan merupakan unsur yang sangat penting untuk pertumbuhan alga. Semakin besar fosfat yang tersedia maka pertumbuhan alga semakin baik. Berdasarkan nilai kadar fosfatnya kawasan hutan mangrove Teluk Kalisusu termasuk kategori perairan yang subur (Hari, 1999).


(40)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Muara Sungai Asahan, Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02059’30,2”- 03003’33,8” LU dan 099051’43,7”- 099051’22,3” BT.

3.2 Metoda Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel adalah ”Purposive Random Sampling” pada 3 (tiga) stasiun pengamatan.

3.3 Deskripsi Area

Di perairan Muara Sungai Asahan ini banyak terdapat aktifitas antara lain pemukiman, sarana transportasi, pergudangan, pengolahan ikan, dan juga eksploitasi biota seperti penangkapan ikan, udang, kepiting dan kepah. Berbagai aktifitas tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap perairan.

a. Stasiun 1

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02059’30,2” LU – 99051’43,7” BT. Daerah ini merupakan daerah mangrove. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran G dan H.


(41)

b. Stasiun 2

Stasiun ini secara geografis terletak pada 0301’20,8” LU – 99051’37,6” BT. Daerah ini merupakan daerah pemukiman penduduk dan pelabuhan. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran G dan H.

c. Stasiun 3

Stasiun ini secara geografis terletak pada 0303’33,8” LU – 99051’22,3” BT. Daerah ini merupakan mulut muara. Denah dan lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran G dan H.

3.4 Pengambilan Sampel

Metode yang digunakan dalam penentuan titik pengambilan sampel

”purposive random sampling”. Pengambilan sampel Bivalvia dilakukan dengan menggunakan alat penangkap kerang (serok) dengan lebar 47 cm. Pada setiap stasiun pengambilan sampel dilakukan sebanyak 30 kali ulangan. Alat tersebut dimasukkan ke dasar perairan, kemudian diseret sejauh 5 m, selanjutnya ditarik ke atas permukaan lalu disaring. Sampel Bivalvia yang didapatkan dibersihkan dan disortir, kemudian dimasukkan ke plastik yang berisi formalin 10% dan diberi label. Sampel tersebut dibawa ke laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Fakultas MIPA Universita Sumatera Utara untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan Pennak (1978), Sterer (1986), Dharma (1988), Wye (1992).


(42)

3.5 Pengukuran Faktor Fisika, Kimia

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup :

a. Suhu

Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan ember, kemudian dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur suhu dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke dalam air ± 10 menit kemudian dibaca skalanya (Suin,2002).

b. Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping secchi yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping secchi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air (Barus, 2002)

c. Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut (Suin, 2002).

d. TDS

Pengukuran TDS dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara.

e. TSS

Pengukuran TSS dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara.


(43)

f. Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu, dengan cara substrat diambil, lalu ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substart yang kering digerus di lumpang dan dimasukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam. Selanjutnya substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus:

KO = x100%

A B A dengan:

KO = Kandungan organik

A = Berat konstan substrat

B = Berat abu

Analisa kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran F).

g. Tipe Substrat

Tipe substrat diamati dengan mengambil substrat dasar perairan dan diamati tipenya secara visual.


(44)

h. Salinitas

Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan sampel air ke kaca refraktometer, dan di baca skala salinitas yang tertera (Suin, 2002).

i. pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut (Barus, 2004).

j. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).

k. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel

air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Bagan kerja terlampir (Lampiran B).

l. COD (Chemycal Oxygen Demand)

Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran C).


(45)

m. NO3 (Nitrat)

Pengukuran nitrat dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Bagan kerja terlampir pada Lampiran D.

n. PO4 (Fospat)

Pengukuran fospat dilakukan di laboratorium kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Bagan kerja terlampir pada Lampiran E.

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisika kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1

Tabel 3.1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisika/ Kimia.

No. Parameter

Fisik – Kimia Satuan Alat

Tempat Pengukuran Fisika Air

1 Suhu Air 0C Termometer Air Raksa In-situ

2 Penetrasi Cahaya cm Keping Secchi In-situ

3 Intensitas Cahaya Lux Lux Meter In-situ

4 TDS mg/l Spectrofotometri Laboratorium

5 TSS mg/l Spectrofotometri Laboratorium

6 Kandungan Organik Substrat % Oven dan Tanur Laboratorium

7 Tipe Substrat - Visual In-situ

Kimia Air

8 Salinitas 0/00 Refraktometer In-situ

9 pH Air - pH meter In-situ

10 DO mg/l Metoda Winkler In-situ

11 BOD5 mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium

12 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium

13 NO3 mg/l Spectrofotometri Laboratorium


(46)

3.6. Analisis Data

a. Hasil pengukuran parameter faktor fisik kimia yang diperoleh dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004.

b. Data Bivalvia yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shanon Wienner, indeks keseragaman, indeks kesamaa, Indek morista dan analisis korelasi menurut Kreb (1985), Michael (1994) dengan persamaan sebagai berikut :

a. Kepadatan Populasi (KP)

K(ind/m2) =

b. Kepadatan Relatif (KR)

KR(%) = x100%

Jenis Seluruh Kepadatan Jumlah Jenis Suatu Kepadatan

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

ulangan total Jumlah jenis suatu ditempati yang ulangan Jumlah

Dimana : FK = 0 – 25% : Kehadiran sangat jarang FK = 25 – 50% : Kehadiran jarang

FK = 50 – 75% : Kehadiran sedang

FK > 75% : Kehadiran sering / absolut

d. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)

H’= -

pilnpi

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner pi = proporsi spesies ke-i

Area Luas ulangan / jenis suatu individu Jumlah


(47)

In = logaritma nature

pi =  ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan

keseluruhan jenis)

dengan nilai H’: 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah

2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang

H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon-Wienner (H’), dimana:

Dengan nilai H’ : > 2,0 = Tidak Tercemar 1,6-2,0 = Tercemar Ringan 1,0-1,6 = Tercemar Sedang < 1,0 = Tercemar Berat/Parah

e. Indeks Equitabilitas (E)

Indeks equitabilitas (E) =

max H

H'

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner

H maks = keanekaragaman spesies maksimum

= In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1

Semakin kecil nilai E, maka semakin kecil keseragaman suatu populasi, sebaliknya semakin besar nilai E, maka populasi akan menunjukkan keseragaman (Krebs, 1985).

d. Indeks Similaritas (IS)

IS = 2 x100%

b a

c

Dimana : a = Jumlah spesies pada stasiun A b = Jumlah spesies pada stasiun B


(48)

Bila IS = 75 – 100 % = sangat mirip 50 – 75% = mirip 25 – 50% = tidak mirip

e. Indeks Morista

Untuk mengetahui distribusi atau sebaran Bivalvia apakah berkelompok, acakdan teratur di dalam perairan dicari melalui indeks Morista dengan rumus sebagai berikut (Krebs, 1985)

Id = n

         

) 1 ( 2 N N N x

Dimana : Id = Indeks Morisita n = Jumlah plot

x2 = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot N = Jumlah total individu per plot untuk total n plot Dengan kriteria sebagai berikut:

Id = 0 distribusi acak atau random Id > 1 distribusi berkelompok Id < 1 distribusi normal

f. Analisis Korelasi (r)

Analisis korelasi antara faktor-faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman dan distribusi Bivalvia dilakukan dengan metoda analisis korelasi Pearson dengan program komputer SPSS Ver. 16.00.


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Biota

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun diperoleh jumlah genus Bivalvia yang cukup bervariasi, secara keseluruhan terdiri dari 4 ordo, 9 famili dan 12 genus. Berdasarkan jumlah genusnya paling banyak ditemukan pada stasiun 3 (mulut muara) yaitu sebanyak 9 genus, stasiun 2 (pemukiman) 6 genus dan stasiun 1 (mangrove) 5 genus. Untuk lebih jelasnya seperti tertera pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Hasil Identifikasi

Hasil identifikasi

Stasiun

No Kelas Ordo Famili Genus

I II III

1 Mytilidae Perna - + +

2

Anisomyaria

Placunidae Placuna - - +

3 Anadara 1 + + +

4

Arcoida Arcidae

Anadara 2 - - +

5 Pterioida Pectinidae Aequipecten - - +

6 Solenidae Ensis - - +

7 Pteriidae Pinctada - - +

8 Psammobiidae Nutallia + + -

9 Telliniidae Macoma + + -

10 Marcia - - +

11 Meretrix + - -

12 Paphia - + +

13

Bivalvia

Veneroida

Veneridae

Ruditaphes + + -

Keterangan : + (ditemukan) - (Tidak ditemukan)


(50)

Banyaknya jumlah genus yang ditemukan pada masing-masing stasiun memiliki jumlah genus yang berbeda-beda. Masing-masing Bivalvia yang diperoleh di lokasi penelitian memiliki ciri khusus secara morfologi pada cangkangnya sebagai berikut:

a. Anadara 1 (kerang darah)

Cangkang memiliki ukuran lebar ± 4,2 cm, bentuk cangkang elongasi oval, memiliki dua belahan yang sama, cangkang tebal dan keras, jalur-jalur radial sangat jelas dari dorsal mengarah ke tepi yang tersusun dengan rapi dan bergerigi. Sedangkan cangkang sebelah dalam berwana putih dan memiliki jalur-jalur sesuai dengan jalur luar dan berwarna kecoklatan lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.1

Gambar 4.1.1 Bentuk morfologi cangkang Anadara 1 (kerang darah)

b. Anadara 2 (kerang bulu)

Cangkang memiliki panjang ± 4 cm dan lebar ± 6 cm, bentuk cangkang elongasi, bagian luar cangkang berwarna putih terdapat garis palial yang jelas dari


(51)

dorsal ke arah tepi yang dilengkapi dengan bulu-bulu halus yang berwarna hitam dan tidak bergeri sedangkan cangkang sebelah dalam berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.2

Gambar 4.1.2 Bentuk morfologi cangkang Anadara 2 (kerang bulu)

c. Aequipecten (kerang bare)

Cangkang memiliki panjang ± 3,7 cm dan lebar ± 3,8 cm memiliki jalur-jalur radial yang jelas, terdapat cuping di daerah umbo, pada cangkang luar berwarna hitam berbelang, sedangkan cangkang sebelah dalam berwarna putih. Untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 4.1.3


(52)

Gambar 4.1.3 Bentuk morfologi cangkang Aequipecten (kerang bare)

d. Ensis (kerang bambu)

Cangkang memiliki lebar ± 2 cm, panjang ± 9 cm, cangkang luar tidak memiliki garis-garis radial, berwarna hijau kecoklat-coklatan, sedangkan permukaan dalam berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.4


(53)

e. Macoma (kepah putih)

Cangkang memiliki lebar ± 2,5 cm dan panjang ± 3,2 cm, cangkang luar memiliki permukaan yang licin, tidak terdapat jalur radial, berwarna coklat muda, sedangkan cangkang bagian dalam berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.5

Gambar 4.1.5 Bentuk morfologi cangkang Macoma (kepah putih)

f. Marcia (Kerang salome)

Cangkang luar memiliki lebar ± 4 cm dan panjang ± 5,6 cm, terdapat garis-garis sirkuler yang sangat rapat yang mengarah ke arah dorsal, sedangkan permukaan cangkang bagian dalam tidak memiliki garis-garis sirkuler, berwarna coklat kekuningan. Untuk lebih jelasnya tertera pada Gambar 4.1.6


(54)

Gambar 4.1.6 Bentuk morfologi cangkang Marcia (kerang salome) g. Meretrix ( kepah tahu)

Cangkang memiliki lebar ± 2,5 cm dan panjang ± 3 cm permukaan cangkang luar licin, berwarna kecoklatan. Sedangkan permukaan cangkang dalam berwarna putih dan terdapat bagian warna hitam pada arah ventralnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.1.7


(55)

h. Nutallia (Kerang ungu)

Cangkang memiliki lebar ± 1,9 cm panjang ± 2,5 cm, cangkang luar berwarna coklat mengkilap, pada cangkang bagian dalam terdapat bagian berwarna ungu, cangkangnya tipis dan bentuknya seperti oval. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.8

Gambar 4.1.8 Bentuk morfologi cangkang Nutallia (kerang ungu)

i. Paphia (Kerang batik)

Cangkang memiliki lebar ± 2,8 cm dan panjang ± 4,9 cm, permukaan cangkang luar licin, berwarna putih yang dilengkapi dengan garis-garis berwarna coklat yang saling menyilang dan tersusun rapat. Sedangkan permukaan dalam berwarna coklat kekuningan. Untuk lebih jelasnya seperti tertera pada Gambar 4.1.9


(56)

Gambar 4.1.9 Bentuk morfologi cangkang Paphia (kerang batik) j. Perna (kerang kemudi kapal)

Cangkang memiliki lebar ± 5 cm dan panjang ± 11,4 cm, permukaan cangkang luar licin, terdapat garis-garis sirkuler yang halus, berwarna coklat kehijauan sedangkan permukaan cangkang dalam berwarna putih kehijauan. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.10


(57)

k. Pinctada (Kerang mutiara)

Cangkang memiliki lebar ± 5,3 cm dan panjangnya ± 5 cm, permukaan cangkang luar kasar seolah-olah berduri, bewarna coklat kehitaman, sedangkan cangkang dalamnya berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti pada Gambar 4.1.11

Gambar 4.1.11 Bentuk morfologi cangkang Pinctada (kerang mutiara)

l. Ruditapes (kerang tausi)

Cangkang memiliki lebar ± 2 cm dan panjang ± 2,5 cm, permukaan cangkang luar licin,berwarna coklat dilengkapi bangun warna hitam, sedangkan permukaan cangkang dalamnya berwarna putih. Untuk lebih jelasnya seperti Gambar 4.1.12


(58)

Gambar 4.1.12 Bentuk morfologi cangkang Ruditapes (kerang tausi)

m. Placuna (kerang simping)

Cangkang sangat tipis dan transparan, pada cangkang luar terdapat garis-garis sirkuler sedangkan pada cangkang dalamnya licin, berwarna putih. Untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 4.1.13


(59)

4.2 Nilai Kepadatan, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Bivalvia Pada Masing-masing Stasiun Penelitian

Data dari hasil penelitian setelah dilakukan analisis diperoleh nilai kepadatan (K), kepadatan relatif (KR) dan frekuensi kehadiran (FK) seperti pada Tabel 4.4 berikut ini :

Tabel 4.2. Nilai Kepadatan Populasi (ind./m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Bivalvia pada setiap stasiun penelitian

ST 1 ST 2 ST 3

No Genus

K KR FK K KR FK K KR FK

1 Aequipecten - - - 3,092 9,225 60

2 Anadara sp1 0,766 4,515 36,66 7,177 32,004 100 8,582 25,603 100

3 Anadara sp2 - - - 5,759 17,181 70

4 Ensis - - - 3,348 9,987 63,33

5 Macoma 2,539 14,966 60 2,979 13,282 60 - - -

6 Marcia - - - 2,156 6,432 46,66

7 Meretrix 7,035 41,470 100 - - - -

8 Nutallia 3,035 17,892 63,33 4,170 18,595 70 - - -

9 Paphia - - - 3,418 15,243 60 3,121 9,310 60

10 Placuna - - - 2,865 8,548 63,33

11 Pinctada - - - 0,936 2,793 36,66

12 Perna - - - 1,504 6,704 53,33 3,660 10,918 70

13 Ruditapes 3,589 21,153 63,33 3,177 14,168 56,66 - - -

Total 16,965 100 22,426 100 - 184.405 100 -

Berdasarkan analisis data terhadap nilai kepadatan, kepadatan relatif serta frekuensi kehadiran Bivalvia yang diperoleh pada masing-masing stasiun pengamatan dapat diketahui bahwa pada stasiun 1 (mangrove) dijumpai 5 genus Bivalvia. Genus yang memiliki nilai tertinggi sampai nilai terendah dengan urutan sebagai berikut :

Meretrix dengan nilai kepadatan 7,035 individu, kepadatan relatif sebesar 41,470% serta frekuensi kehadiran 100%. Kemudian diikuti Ruditapes dengan kepadatan 3,589 individu, kepadatan relatif 21,153% serta frekuensi kehadiran 63,33%. Selanjutnya


(60)

Nutallia dengan kepadatan 3,035 individu, kepadatan relatif 17,892% serta frekuensi kehadiran sebesar 63,33%. Berikutnya Macoma dengan nilai kepadatan 2,539 individu, kepadatan relatif 14,966% serta frekuensi kehadiran 60,00%, sedangkan nilai paling rendah adalah Anadara 1 dengan kepadatan 0,766 individu, kepadatan relatif sebesar 4,515% serta frekuensi kehadiran 7,177%.

Tingginya nilai kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi Meretrix pada stasiun ini menunjukkan bahwa faktor fisik-kimianya sangat mendukung, atau merupakan habitat yang ideal untuk Bivalvia dalam hal ini Meretrix (kepah). Keadaan ini sesuai dengan pendapat Morton (1983) dalam Dodi (1998) yang menyatakan kerang kepah termasuk kerang yang hidup di dalam substrat berlumpur pada daerah estuaria, hutan mangrov dan sungai-sungai besar dengan kisaran pH 5,00 – 6,40.

Selanjutnya Boominathan et al., (2008) Bivalvia (Meretrix meretrix, M.lycra) banyak ditemukan pada dataran lumpur di daerah mangrove pada ekosistem estuaria. Pernyataan ini jika dikaitkan dengan tipe substrat pada stasiun 1 (substrat berlumpur) sangatlah sesuai.

Genus yang memiliki nilai terendah adalah Anadara 1 keadaan ini

menunjukkan bahwa habitat ini kurang cocok untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup Anadara. Menurut Nurdin et al.,(2006) menyatakan rendahnya kepadatan populasi Anadara granosa (kerang darah) disebabkan oleh toleransi kerang tersebut kurang terhadap salinitas dan substrat dasar. Anadara kurang cocok pada salinitas yang rendah pada daerah estuaria dan mangrov.


(61)

Pada stasiun 2 (pemukiman) diperoleh 6 genus Bvalvia dengan nilai tertinggi adalah Anadara 1 dengan kepadatan 7,177 individu, kepadatan relatif 32,004% serta frekuensi kehadiran 100%. Selanjutnya Nutallia dengan nilai kepadatan 4,170 individu, kepadatan relatif 18,595% serta frekuensi kehadiran sebesar 70%. Kemudian Paphia dengan nilai kepadatan 3,418 individu, kepadatan relatif sebesar 15,245% serta frekuensi kehadiran 60%. Berikutnya Ruditapes dengan kepadatan 3,177 individu, kepadatan relatif 14,168% serta frekuensi kehadiran 56,66%. Selanjutnya Macoma dengan kepadatan 2,979 individu, kepadata relatif 13,282% serta frekuensi kehadiran 60%. Sedangkan nilai paling rendah adalah genus Perna

dengan kepadatan 1,504 individu, kepadatan relatif 6,704% serta frekuensi kehadiran 53,33%.

Tingginya nilai kepadatan, kepadatan relatif serta frekuensi kehadiran

Anadara 1 pada stasiun ini dapat dijadikan indikasi bahwa habitat tersebut merupakan habitat yang cocok bagi kelangsungan hidup Anadara. Menurut Dodi et al., (2000) kepadatan Anadara granosa meningkat pada lokasi yang terlindung dari hempasan ombak maupun arus serta memiliki bahan organik total yang relatif tinggi pada substrat lumpur berpasir. Selanjutnya tipe substrat dasar yang disukai kerang darah adalah pasir berlumpur (Nurdin et al., 2006). Seperti parameter fisik kimia pada Tabel 4.2 tipe substrat pada stasiun 2 adalah lumpur berpasir yang berarti sangat cocok untuk habitat Anadara.


(62)

Selanjutnya keberhasilan benih kerang darah untuk menepel pada kolektor tergantung pada salinitas. Salinitas 18‰ keberhasilan jauh lebih tinggi (Romimohtarto dan Sri, 1985).

Sedangkan genus yang memiliki nilai terendah pada stasiun 2 adalah genus

Perna. Rendahnya nilai kepadatan relatif serta frekuensi kehadiran genus Perna

pada stasiun ini mengindikasikan bahwa stasiun ini tidak cocok sebagai habitatnya. Menurut Boominathan et al., (2008) Perna viridis banyak terdapat di pantai berpasir dan pasir berbatu di daerah muara sungai. Selanjutnya KLH (1984) dalam Edward (1995) menetapkan nilai salinitas untuk budidaya kerang hijau (Perna viridis) 26 ‰ – 35 ‰.

Jika dilihat dari tipe substrat (lumpur berpasir) dan salinitas (24‰) yang terdapat pada stasiun 2 setelah dikaitkan dengan pernyataan di atas kedua parameter tersebut tidaklah mendukung untuk habitat Perna. Hal ini terlihat dari nilai kepadatan, kepadatan relati maupun frekuensi kehadiran yang sangat rendah.

Pada stasiun 3 (mulut muara) diperoleh 9 genus Bivalvia nilai tertinggi adalah genus Anadara 1 dengan nilai kepadatan 8,585 individu, kepadatan relatif 25,063% frekuensi kehadiran 100%. Lalu diikuti dengan Anadara 2 dengan nilai kepadatan 5,759, kepadatan relatif 17,181% serta frekuensi kehadiran 70%. Kemudian Perna dengan nilai kepadatan 3,660 individu, kepadatan relatif 10,918% serta frekuensi kehadiran 70%. Selanjutnya Ensis dengan nilai kepadatan 3,348 individu, kepadatan relatif 9,987% serta frekuensi kehadiran 63,33%. Berikutnya diikuti dengan Paphia dengan nilai kepadatan 3,121 individu, kepadatan relatif


(63)

9,310% dengan frekuensi kehadiran 60%. Kemudian Aequipecten dengan nilai kepadatan 3,092 individu, kepadatan relatif 9,225% serta frekuensi kehadiran 60%. Selanjutnya Placuna dengan nilai kepadatan 2,865 individu, kepadatan reltif 8,548% serta frekuensi kehadiran 63,33%. Kemudian Marcia dengan nilai kepadatan 2,156, kepadatan relatif 6,342% serta frekuensi kehadiran 46,66%. Sedangkan genus dengan nilai paling rendah adalah Pinctada dengan nilai kepadatan 0,936 individu, kepadatan relatif 2,793% serta frekuensi kehadiran sebesar 36,66%.

Kepadatan dan kepadatan relatif Anadara 1 pada stasiun 3 ini lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan stasiun 2 dalam arti stasiun 3 masih lebih cocok sebagai habitat Anadara 1 dilihat dari nilai kepadatan dan kepadatan relatifnya lebih tinggi. Menurut Dodi (1998) semakin tinggi kelimpahan biota pada suatu area maka habitat tersebut semakin cocok. Seperti halnya stasiun 2, stasiun 3 pun memiliki tipe substrat lumpur berpasir yang merupakan substrat yang disukai Anadara.

Selanjutnya KLH (1984) dalam Edward (1995) menetapkan nilai beberapa parameter fisik kimia untuk budidaya kerang darah atau kerang bulu sebagai berikut : salinitas sebesar 18 ‰ – 30 ‰, DO 3 mg/l – 8 mg/l, suhu 15°C - 32°C. Dari beberapa parameter ini setelah dikaitkan dengan sifat fisik-kimia pada stasiun 3 antara lain : salinitas 26,8 ‰, DO 6,0 mg/l dan suhu 29,83°C. Keadaan ini sangatlah relevan yang berarti stasiun 3 (mulut muara) adalah habitat yang ideal untuk kehidupan Anadara.


(64)

Genus yang memiliki nilai terendah pada stasiun ini adalah Pinctada yang berarti habitat ini kurang cocok dengan kehidupan Pinctada, keadaan ini nampak dari kepadatan yang sangat rendah. Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi biota adalah rendahnya kelimpahan biota tersebut pada suatu area ataupun ketidakmampuannya untuk berdistribusi mencapai areal tersebut (Dodi, 1998). Selanjutnya (Hamzah, 2009) menyatakan semakin tinggi kadar kekeruhan air, maka semakin tinggi tingkat kematian anakan kerang mutiara keadaan ini diduga disebabkan suspensi lumpur ikut terserap kedalam lambungnya sehingga mengganggu sistem metabolisme pencernaan.

Selanjutnya menurut TTG Budidaya Perikanan (2000) menetapkan lokasi budidaya kerang mutiara (Pintada maxima) sebagai berikut salinitas 30 ‰ – 34 ‰, dasar perairan pasir karang, dan keserahan cukup tinggi. Menurut Hamzah (2009) presentase ketahanan hidup kerang mutiara cenderung lebih berhasil pada tingkat kecerahan air laut sebesar 6 m. Setelah dibandingkan dengan beberapa parameter fisik-kimia pada stasiun 3 antara lain kecerahan 120 cm, salinitas 26,8 ‰ dan substrat dasar lumpur berpasir beberapa nilai paramaeter tersebut menunjukkan bahwa stasiun ini kurang cocok untuk habitat Pinctada.

4.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E’)

Berdasarkan hasil analisis terhadap indeks keanekaragaman (diversitas) dan keseragaman (equitabilitas) Bivalvia pada masing-masing stasiun diperoleh nilai yang bervariasi seperti pada Tabel 4.3 berikut ini :


(65)

Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E’) Bivalvia Pada Setiap Stasiun Penelitian

Stasiun Indeks

1 2 3

Keanekaragaman (H’) 1,426 1,690 2,051

Keseragaman (E) 0,886 0,943 0,933

Indeks keanekaragaman pada ketiga stasiun berkisar antara 1,426 – 2,051 sedangkan indeks equitabilitas (keseragaman) berkisar antara 0,886 – 0,943. Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (mulut muara). Pada stasiun ini diperoleh genus Bivalvia paling banyak.

Menurut Barus (2004) suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing relatif merata. Pada stasiun 3 dengan lokasi sudah mengarah ke laut lepas memiliki salinitas yang lebih tinggi dibanding dengan stasiun 1 dan stasiun 2. Menurut Setyono (2006) kerang ada yang hidup di air tawar, air payau, di perairan pesisir dan laut, namun mayoritas kerang hidup di laut baik perairan laut dangkal maupun laut dalam yang berarti sangat erat kaitannya salinitas. Indeks keanekaragaman paling rendah terdapat pada stasiun 1 dengan salinitas 12 ‰. Beberapa jenis Bivalvia tidak tahan terhadap salinitas yang rendah bahkan tidak dapat hidup pada salinitas yang sangat rendah (Nurdin et al., 2006).

Menurut Krebs (1985) jika keanekaragaman 0<H'<2,302 maka keanekaragamannya rendah, 2,302 < 6,907 keanekaragaman sedang dan H' > 6,907


(66)

keanekaragaman tinggi. Dengan demikian keanekaragaman Bivalvia di Muara Sungai Asahan tergolong rendah dengan nilai 1,426 – 2,051.

Untuk nilai equitabilitas (keseragaman) pada ke tiga stasiun berkisar antara 0,886 – 0,933. Menurut Krebs (1985) menyatakan indeks equitabilitas berkisar antara 0 – 1 nilai yang mendekati 0 keseragaman rendah sedangkan nilai yang mendekati 1 maka keseragaman tinggi. Dengan demikian indeks keseragaman Bivalvia di Muara Sungai Asahan tergolong tinggi.

4.4 Indeks Similaritas

Analisis data terhadap indeks similaritas (kemiripan) seperti tertera pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan antar Stasiun Penelitian

Stasiun 1 2 3

1 72,72% 14,28%

2 40%

Dari Tabel di atas diketahui bahwa indeks similaritas (kesamaan) antara stasiun 1 dan 2 sebesar 72,72%, stasiun 1 dan 3 14,28% serta stasiun 2 dan 3 sebesar 40%. Menurut Krebs (1985) menyatakan indeks similaritas 75 - 100% sangat mirip, 50 – 75% mirip dan 25 – 50% tidak mirip. Selanjutnya Brower et al.,(1990) dua komunitas yang dibandingkan dikatakan relatif sama apabila indek kesamaan komunitas lebih besar atau sama dengan 50 %. Sebaliknya jika indeks kesamaan komunitas < 50 % maka kedua komunitas yang dibandingkan itu dapat dianggap sebagai dua komunitas


(67)

yang berbeda. Dengan demikian berdasarkan indeks similaritas yang diperoleh dapat dikategorikan bahwa antara stasiun 1 dan stasiun 2 genus Bivalvia yang didapat adalah mirip, antara stasiun 2 dengan stasiun 3 tidak mirip serta antara stasiun 1 dengan stasiun 3 juga tidak mirip.

Stasiun 1 dan 2 berdasarkan indeks similaritas yang di peroleh mirip hal ini mungkin disebabkan nilai faktor fisik kimia air antara kedua stasiun masih berada dalam kisaran toleransi yang dikehendaki biota (bivalvia) untuk kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai pendapat Krebs (1985) kesamaan komunitas yang tinggi antara dua lingkungan yang dibandingkan sangat ditentukan oleh kondisi faktor- faktor lingkungan yang terdapat pada kedua lingkungan tersebut.

4.5 Indeks Distribusi (Morista)

Dari hasil analisis terhadap indeks morisita (distribusi) Bivalvia pada ketiga stasiun penelitian diperoleh indeks morista seperti tertera pada Tabel 4.5

Tabel 4.5. Nilai Indeks Morista pada Setiap stasiun Penelitian

N0 Genus Indeks Morista Keterangan

1 Aequipecten 8.660 Berkelompok

2 Anadara 1 1.722 Berkelompok

3 Anadara 2 5.094 Berkelompok

4 Ensis 6.910 Berkelompok

5 Macoma 3.526 Berkelompok

6 Marcia 8.930 Berkelompok

7 Meretrix 3.459 Berkelompok

8 Nutallia 2.735 Berkelompok

9 Paphia 2.910 Berkelompok

10 Placuna 7.040 Berkelompok

11 Pinctada 8.510 Berkelompok

12 Perna 3.190 Berkelompok


(68)

Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa nilai indeks morista setiap genus berkisar antara 1,722 – 8,930. Berdasarkan kriteria jika Id = 0 maka distribusi acak random, Id < 1 distribusi normal dan jika Id > 1 maka distribusi berkelompok. Dengan demikian dari hasil analisis terhadap indeks morista seperti yang tertera pada tabel maka dapat dikatakan bahwa distribusi masing-masing genus Bivalvia yang ditemukan di muara Sungai Asahan berdistribusi berkelompok.

Indeks distribusi yang berkelompok disebabkan hewan tersebut memilih tempat hidup pada habitat yang paling sesuai baik faktor fisik kimia maupun tersedianya nutrisi di dasar perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suin (2002) faktor fisik kimia yang hampir merata pada suatu habitat serta tersedianya makanan bagi hewan yang hidup di dalamnya sangat menentukan hewan tersebut hidup berkelompok. Selanjutnya pola penyebaran suatu organisme bergantung pada sifat fitokimia lingkungan yang berupa nutrisi, substrat atau berupa faktor fisik kimia perairan tersebut. Suatu struktur komunitas alami tergantung pada cara organisme tersebar atau terpencar Michael (1984).


(1)

Lampiran J. Foto Lokasi Penelitian

Stasiun 1

Stasiun 2


(2)

Lampiran K. Data Mentah Bivalvia yang Diperoleh a. Stasiun 1

Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 JLH

Meretrix 5 6 10 16 15 15 11 8 7 23 14 21 9 34 25 19 26 25 12 14 34 23 11 16 19 15 5 17 21 20 496 Nutallia 4 6 3 10 15 17 6 4 7 12 14 19 25 30 4 17 12 7 2 214 Macoma 15 17 20 11 8 3 4 1 3 2 4 6 11 14 20 4 15 21 179 Ruditapes 4 7 12 19 20 34 5 11 15 21 23 11 23 14 11 3 15 2 3 253 Anadara sp1 5 3 4 5 8 2 4 5 5 8 5 54 b. Stasiun 2

Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 JLH

Anadara sp1 12 7 15 40 17 30 15 13 5 15 9 67 5 35 25 8 19 34 12 7 7 15 7 14 8 15 12 9 12 17 506 Nutallia 15 14 16 19 11 22 6 8 18 16 13 19 13 21 6 23 9 5 5 23 12 294 Macoma 3 4 7 13 2 3 5 16 5 3 25 17 19 24 3 23 23 15 210 Paphia 4 9 4 17 9 4 11 13 14 23 22 3 17 23 10 22 13 23 241 Ruditapes 10 11 7 6 7 3 8 10 18 17 13 10 11 37 23 19 14 224 Perna 6 4 5 7 8 15 1 2 11 5 3 7 4 3 21 4 106 c. Stasiun 3

Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 JLH

Anadara sp1 20 17 23 17 35 19 23 16 21 15 10 15 18 32 20 17 23 16 30 26 14 16 19 13 17 33 26 18 17 19 605 Anadara sp2 4 5 17 18 19 45 23 5 34 8 19 14 19 21 19 27 28 21 23 16 21 406 Perna 6 18 13 4 18 23 15 6 14 7 9 6 11 14 12 6 24 12 4 23 13 258 Aequipecten 6 4 13 2 19 2 4 5 27 28 3 6 29 23 5 34 4 4 218 Ensis 5 3 5 23 4 6 3 12 5 6 11 25 12 15 23 34 25 5 14 236 Placuna 7 3 3 4 5 4 6 9 10 2 3 12 13 17 34 15 15 23 17 202 Paphia 10 14 12 4 15 6 15 11 9 5 16 19 21 12 23 3 12 13 220 Marcia 5 6 25 13 4 5 7 3 5 17 16 19 23 4 152 Pinctada 5 3 5 9 10 9 4 6 3 3 9 66 Keterangan:

Stasiun 1: Daerah Mangrove

Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman Stasiun 3: Muara


(3)

0,191 E

Lampiran L. Contoh Hasil Perhitungan

1. Kepadatan Populasi Nutallia pada Stasiun 1 2 ind/m 3,035 2,35 214/30

K  

2. Kepadatan Relatif Nutallia pada Stasiun 1 100% x 16,965 3,035 KR 17,892% KR

3. Frekuensi Kehadiran Nutallia pada Stasiun 1 100%

x 30 19 FK 

FK = 63,33%

4. Indeks Diversitas Shannon Wiener (H’) Nutallia Stasiun 1

H’ = 0,308

5. Indeks Ekuitabilitas (E) Nutallia Stasiun 1 5 ln 0,308 E

6. Is = 100% 11 8 6 5 4 . 2 x

 = 72,72%

7. Indeks Morista genus Nutallia Id = n

         

) 1 ( 2 N N N x =         ) 1 508 ( 508 508 8336 90 =       556 . 257 7828 90

= 90 (0,30393) = 2,73 1196 214 ln 1196 214 H' 


(4)

105

Lampiran M: Baku Mutu Air Laut

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.

Untuk : Biota Laut Nomor : 51 Tahun 2004

No Parameter Satuan Baku Mutu

Fisika

1 Kecerahana m Coral: >5<10% perubahan euphotic

depth mangrove: - lamun: >3

2 Kecerahan - Alami3

3 Kekeruhana NTU <5

4 Padatan tersuspensi totalb mg/l Coral:20<10% perubahan konsentrasi rata-rata musiman mangrove: 80

Lamun: 20

5 Sampah - Nihil1 (4)

6 Suhu 0C Alami3 (c)

Coral: 28-30 ( c ) Lamun:28-30( c )

7 Lapisan minyak5 - Nihil1(5)

Kimia

1 pHd - 7-8,5d<0,2 satuan perubahan pH 2 Salinitas 0/00 Alami3( e )

Coral: 33-34( e ) mangrove: s/d 34(e )

Lamun: 33-34( e )

3 Oksigen terlarut(DO) mg/l >5>6(>80-90% kejenuhan)

4 BOD5 mg/l 20

5 Amonia total(NH3-N) mg/l 0,3

6 Fosfat(PO4-P) mg/l 0,015

7 Nitrat(NO3-N) mg/l 0,008 0,002

8 Sianida(CN-) mg/l 0,5 0,05

9 Sulfida(H2S) mg/l 0,01 Pestisida(acrolein)=


(5)

106

No Parameter Satuan Baku Mutu

10 PAH(Paliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003 11 Senyawa Fenil Total mg/l 0,002 12 PCB total (poliktor bifenil) mg/l 0,01 13 Surfaktan(deterjen) mg/l MBAS 1

14 Minyak dan lemak mg/l 1

15 Pestisidaf mg/l 0,01

16 TBT (Tributil tin)7 mg/l 0,01

Logam terlarut

17 Raksa (Hg) mg/l 0,001 0,05

18 Kromium heksavalen(Cr(VI)) mg/l 0,005 0,002

19 Arsen (As) mg/l 0,012 0,002

20 Kadmium (Cd) mg/l 0,001 0,015

21 Tembaga(Cu) mg/l 0,008

22 Timbal(Pb) mg/l 0,008

23 Seng (Zn) mg/l 0,05

24 Nikel (Ni) mg/l 0,05

Biologi

1 Coliform (total)g MPN/100 ml 1000(g)

2 Patogen Sel/100 ml Nihil 1

3 Plankton Sel/100 ml Tidak bloom6

Radio Nuklida

1 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

Catatan:

1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan).

2. Metode annalisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada,baik internasional maupun nasional.

3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan,bervariasi setiap saat (siang,malam dan musim)

4. Pengamatan oleh manusia (visual).

5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01 mm.


(6)

107

6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrient, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal.

a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic. b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai <10% konsentrasi rata-rata musiman. c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan< 20C dari suhu alami.

d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH.

e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata- rata musiman.

f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT,Endrin,Endosulfan dan Heptachlor. g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata musiman.