Kehidupan Religi Kehidupan Kesenian

54 menunjukkan identitas Islam pada kenyataannya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja yang tentunya banyak dianut oleh etnis Jawa di Berastagi. Pendidikan formal bagi etnis Jawa biasanya diperoleh dari sekolah-sekolah atau yayasan pendidikan, pesantren dan sebagainya. Hal ini dilakukan dalam upaya mencerdaskan kehidupan mereka agar kelak memperoleh hidup yang lebih baik. Adanya yayasan pendidikan ini tidak hanya memguntungkan masyarakat Jawa saja akan tetapi juga turut memberikan suatu kontribusi yang sangat bernilai tinggi bagi pendidikan masyarakat di Berastagi sebagai salah satu usaha mencerdaskan bangsa.

3.4 Kehidupan Religi

Kata religi sama artinya dengan agama atau kepercayaan. Agama berasal dari kata a dan gama, a artinya tidak sementara gama artinya rusak. Sehingga dapat dibuat suatu pengertian bahwa agama adalah suatu ajaran atau keyakinan yang bila dipatuhi tidak akan membuat penganutnya menjadi rusak malah sebaliknya memperoleh kebahagiaan. Agama dalam pandangan orang Jawa sama seperti busana atau pakaian, yang sering mereka sebut dengan ageman. 35 35 Kasim Siyo, dkk, Op. Cit. hal 125. Penganut agama yang baik tentunya akan memperhatikan ajaran agama yang terdapat dalam Kitab Suci agamanya tersebut. Kehidupan religi atau keagamaan seseorang merupakan hubungan yang bersifat vertikal, akan tetapi secara umum kehidupan religi atau keagamaan suatu masyarakat dapat dilihat dari bagaimana cara mereka menjalankan ibadah ataupun perintah-perintah agama yang dianutnya tersebut. 55 Orang-orang Jawa Di Kecamatan Berastagi menjalankan kehidupan religi atau keagamaannya dengan baik. Mereka rutin mengadakan acara pengajian, bagi kaum Muslimah lebih dikenal dengan sebutan perwiritan. Dalam perwiritan tersebut kaum Muslimah sering mendendangkan nasyid, yakni suatu bentuk puji-pujian terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW. Antroplog Amerika, Clifford Geertz, mengelompokkan masyarakat dalam 3 tiga kelompok, yakni kelompok Santri, Abangan dan Priyayi. 36 Kelompok Santri merupakan kelompok penganut agama Islam yang taat, kelompok abangan merupakan kelompok penganut agama Islam secara nominal atau kejawen sedangkan kelompok Priyayi adalah kelompok bangsawan. 37 Secara umum, kesenian tradisional Jawa terdiri dari berbagai macam, tetapi tetap dalam satu akar budaya. Kesenian Jawa dikelompokkan menjadi tiga kelompok Dengan demikian, karena orang- orang Jawa yang ada di Berastagi merupakan orang-orang yang masih membawa budaya dan adat kebiasaan dari daerah asalnya sehingga mereka dikelompokkan ke dalam kelompok Abangan.

3.5 Kehidupan Kesenian

Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal. Kesenian merupakan hal yang senantiasa berhubungan dengan nilai estetika keindahan. Kesenian merupakan hasil budi daya manusia yang diciptakan oleh manusia untuk manusia itu sendiri. Kesenian tersebut dapat lagi dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yakni: seni suara, seni tari, seni lukis dan sebagainya. 36 Kasim siyo, dkk, Op. Cit, hal.89. 56 besar, yakni Banyumasan seperti Lengger Calung, Ebeg dan sebagainya, Jawa Tengahan dan Jawa Timuran seperti Ludruk, Reog dan sebagainya. Kesenian tradisional Jawa umumnya bersentral pada kebudayaan atau kesenian Jawa Tengah dan Yogyakarta dan umumnya tumbuh dalam lingkungan Kraton dan kebudayaan rakyat. Dalam budaya Jawa ada banyak sekali kesenian yang merupakan asli kesenian budaya Jawa, diantaranya adalah wayang kulit, kesenian ini konon dimulai sewaktu salah satu dari Wali Songo menagjarkan agama Islam di Pulau Jawa. Konon, untuk menarik minat para penduduk asli, Wali Songo tersebut menggunakan kesenian tersebut untuk menarik minat mereka berkumpul. Sampai saat ini, kesenian wayang kulit masih terus hidup di tengah masyarakat Jawa bahkan bangsa Indonesia. Selain itu, dikenal juga kesenian jathilan, yakni suatu kesenian yang menyatukan antara unsur tari dan magis. Jathilan dikenal sebagai salah satu tarian yang paling tua di Jawa. Sering juga disebut dengan Jaran kepang, jaran roh, kuda lumping, dan sebagainya. Jathilan adalah sebuah drama tari yang menampilkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda sambil menghunus pedang. Pertunjukan jaran kepang ini biasanya dimulai dengan tari-tarian kemudian para penari bak kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik seperti gamelan, saron, kendang, bonang, kempul, slompret, ketipung dan gong, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang cemeti atau pecut. 37 Ibid. hal.89. 57 Pemain yang bertugas mengawasi itu adalah yang terpenting dalam jathilan karena dia adalah dukun atau pawang yang mengendalikan roh halus yang merasuki para penari tersebut. Para penari umumnya menggunakan kuda kepang yang terbuat dari bambu maupun kulit binatang yang dianyam sedemikian rupa menyerupai bentuk kuda. Pemain atu penari biasanya menempatkan kuda kepang ini diantara kedua pahanya sehingga tampak seperti seorang ksatria yang menunggang kuda sambil menari dengan diiringi musik. Para penari ini juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang terkadang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Diantaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, dan benda-benda lainnya tanpa terluka atau merasakan sakit. Bahkan ketika mereka dilecuti dengan cambuk atau cemeti sekalipun tubuh mereka tidak memar atau tergores. Tari jathilan merupakan pentas drama yang dibawakan oleh enam orang secara berpasangan dengan menggunakan seragam yang serupa. Sebagai tambahan dalam tari ini, juga ditampilkan penari yang menggunakan topeng. Dengan tokoh- tokoh yang beragam, seperti gondoruwo setan, barongan singa dan sebagainya. Mereka muncul kala para prajurit itu berangkat perang dengan tujuan untuk mengganggu. Tidak ada yang dapat mengetahui kapan sebenarnya tarian ini mulai ada.namun yang pasti, Jathilan berkembang di beberapa wilayah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun, masing-masing wilayah tersebut menampilkan versi yang berbeda. Hal ini juga lah yang dibawa oleh orang-orang 58 Jawa yang berasal dari daerah tersebut ke daerah perantauan mereka termasuk ke Berastagi. Tari ini bersifat fleksibel, bisa ditampilkan dimana saja, saat pesta pernikahan, sunatan maupun pesta atau festival-festival kesenian rakyat lainnya. Seni tari ini juga bersumber dari rakyat jelata. Hal ini dapat dilihat dari penampilan kesederhanan pakaian yang digunakan oleh para penarinya. Mereka mengenakan celana sebatas lutut, kain batik bawahan, kemeja atau kaos lengan panjang, setagen, ikat pinggang bergesper, selempang bahu srempeng, selendang pinggang sampur dan kait ikat kepala udheng dan hiasan telinga sumping. Para penari berdandan mencolok dan mengenakan kacamata hitam. Tentu sangat berbeda dengan pakaian sebuah pembesar kerajaan yang menggunakan pakaian serba lengkap dan gemerlap. Tarian yang diperagakan pun cenderung berulang-ulang dan monoton dengan komposisi musik yang sederhana namun dengan penuh semangat. Selain itu juga terdapat seni reog, yakni salah satu kesenian Jawa yang berasal dari daerah Jawa Timur bagian barat laut, yakni kota Ponorogo, sehingga sering disebut dengan reog ponorogo. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat. Reog biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan bahkan hari-hari besar nasional. Seni reog ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah 59 tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang. Sehingga terdapat sebuah kesinergisan antara pertunjukan reog dan jaran kepang karena keduanya dapat dipentaskan sekaligus. Tarian pembukaan lainnya biasanya adalah berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu. Setelah tarian pembukaan selesai baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog tersebut ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan biasanya ditampilkan cerita pendekar dan sebagainya. Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Sehingga selalu ada interaksi antara pemain dan dalang yang biasanya adalah pemimpin rombongan dan bahkan kadang-kadang dengan penonton. Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku atau yang menjadi penarinya memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan ini selain diperoleh dengan latihan yang berat juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan bertapa. Bagi etnis Jawa di Berastagi, kesenian merupakan sesuatu hal yang senantiasa harus dilestarikan dan senantiasa dipertahankan sebagai identitas mereka. Terutama karena mereka di Berastagi adalah masyarakat pendatang yang harus berbaur dengan masyarakat setempat. Hal ini tentunya akan menimbulkan suatu kekhawatiran bagi 60 orang-orang Jawa tersebut jika suatu saat kebudayaan asli mereka akan terlupakan karena telah mengalami pembauran dengan kebudayaan setempat, salah satunya adalah dalam bidang kesenian. Salah satunya adalah seni kuda kepang dan reog tersebut. Kesenian-kesenian ini senantiasa dipertunjukkan ketika ada kegiatan pagelaran kebudayaan ataupun kegiatan-kegiatan lainnya. Masyarakat Jawa sendiri sangat melestarikan kesenian tersebut hal ini dilakukan salah satunya yaitu dengan mendirikan sanggar kesenian kuda kepang Sekar Harum. Sanggar ini sebelumnya yakni sebelum tahun 1990an memiliki nama yang berbeda, yakni Melati Sari. Sanggar tersebut merupakan sebuah wadah perkumpulan bagi pecinta-pecinta kesenian Jawa dalam melestarikan kesenian atau kebudayaan mereka tersebut. 38 Pada awal pembentukannya sanggar ataupun paguyuban ini juga bernama Badan Kesenian Keluarga Jawa BKKJ. Dibentuk atas prakarsa tokoh-tokoh seperti Sakirin, Alm. Kemis, Alm. Subari Bambang, Alm. Suterisno, Alm. Samsuddin, H. Jarno, H. Samianis, Rebo dan beberapa tokoh lainnya, badan inilah yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal perkumpulan kesukuan bagi etnis Jawa di Berastagi yakni Putera Jawa Kelahiran Sumatera Pujakesuma. 39 38 Hasil wawancara dengan Kemis pada tanggal 10 September pada pukul 15.10, di Jalan Jamin Ginting No. 124. 39 Hasil wawancara dengan Eddy Sofyan pada tanggal 12 September pada pukul 14.40, di Jalan Jamin Ginting Gg. Karya No. 36. 61

3.6 Sistem Kekerabatan Orang Jawa di Berastagi